Cerpen Yetti A.KA (Jawa Pos, 25 Desember 2016)
“Kau masih mendengarku?”
“Ya, aku mendengarmu.”
“Tapi kau pasti sudah mengantuk.”
“Jika aku tertidur sekali pun, jangan berhenti bercerita.”
***
Aku pernah melihat sebuah lukisan milik temanku, Marinda. Bukan objek lukisan itu—seorang perempuan berbibir terlalu tebal dan merah—yang menjadi perhatianku, melainkan tato kecil di lengannya. Aku melihatnya seperti seekor kupu-kupu, tapi temanku bilang itu sekuntum bunga yang belum mekar. Sampai terakhir bertemu, satu tahun lalu, perihal tato itu tetap kami perdebatkan dan kami tetap pada pendirian masing-masing.
Temanku itu baru saja meninggal dunia satu jam lalu. Istrinya mengabari lewat sebuah pesan—tadi aku sempat membacanya ketika kau memutus sambungan ponsel karena mau ke kamar mandi selama sepuluh menit. Mungkin kau bertanya-tanya kenapa aku menyampaikan kabar kematian di saat kita sedang menghadapi sebuah perpisahan menyakitkan, terlebih temanku itu tak ada hubungannya denganmu?
Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Aku tidak terlalu sedih kehilangannya hingga aku harus berbagi denganmu. Namun, mungkin saja aku hanya agak gugup memikirkan bahwa ini perbincangan kita untuk terakhir kali dan setelah ini aku tak akan mendengar suaramu lagi sambil mengingat aku pernah memagut dalam-dalam bibirmu dan apa yang kurasakan kini setara dengan sebuah kematian.
Kau belum tidur, Marinda?
***
Satu hari, ia dan Marinda duduk di pinggir taman yang sepi. Ia baru saja membaca cerita pendek Seno Gumira Ad jidarma berjudul Seorang Wanita dengan Tato Kupu-Kupu di Dadanya. Cerita itu begitu berkesan baginya. Ia berkata kepada Marinda, maukah kau membuat tato kupu-kupu di dadamu?
Wajah Marinda mengeluarkan semburat merah, lalu perempuan itu berkata, Kau mau melukisnya untukku?
Ia tak langsung menjawab pertanyaan Marinda, melainkan melumat bibir kekasihnya yang kenyal dan basah sambil berkata, Tentu saja aku bersedia.
***
Setelah kematian temanku hari ini, Marinda, lukisan itu seolah terpampang lagi di depan mataku dan tato kupu-kupu di lengan perempuan berbibir tebal dan merah, dapat kulihat demikian terang. Seharusnya kau ada di sampingku saat ini. Aku ingin sekali menunjukkan sumber perdebatan panjang aku dan temanku itu kepadamu. Ah, aku mulai bersedih untuk temanku itu. Betapa malang dia yang mati tanpa melihat kebenaran yang sesungguhnya.
Dan kebenaran itu, Marinda, sekarang menunjukkan dirinya dengan sangat jelas di hadapanku. Kupu-kupu di lengan perempuan itu menaikkan sayapnya! Ia hidup. Ia hendak terbang. Mungkin ia bosan. Lagipula apa enaknya menjadi sebuah tato selama bertahun-tahun di lengan perempuan dalam lukisan.
Bagaimana kupu-kupu di dadamu, serangga itu juga sering terbang dan menghilang beberapa saat dan kembali lagi? Namun, bukankah dadamu itu tempat terindah bagi kupu-kupu dan seharusnya ia tak pergi?
Aku ingin sekali melihat kupu-kupu itu, seperti dulu.
Aku ingin sekali menjadi kupu-kupu di dadamu.
Kau benar-benar tidur, Marinda?
***
Buatlah tato kupu-kupu itu di sini, Marinda menunjuk dada bagian kanan miliknya, tepat di atas payudara yang bulat. Perempuan itu duduk dengan melipat kakinya ke belakang dan menyibakkan semua rambutnya ke bagian kiri kepalanya dan memejamkan mata dan menunggu.
Selama beberapa saat ia terpana menatap dada Marinda. Kemeja putih perempuan muda itu terbuka dari atas hingga sampai ke perutnya yang padat. Ayo, kata Marinda tidak sabar tanpa membuka matanya. Perempuan itu belum pernah merasakan jarum tato. Dari kecil Marinda takut jarum suntik dan rumah sakit. Namun, kini Marinda menunggu dalam kepasrahan. Ditahannya kuat-kuat rasa gemetar. Dibungkamnya rapat-rapat rasa cemas.
Ia tentu saja bukan ahli membuat tato. Sebelum mereka berada di kamar ini, ia telah belajar cara membuat tato kepada teman kuliahnya sekaligus meminjam semua peralatan yang dibutuhkan. Ia hanya akan membuat satu tato seumur hidupnya dan itu tak memerlukan keahlian yang terlalu dalam. Terlebih Marinda bilang, Jangan pikirkan bagus tidaknya, yang penting tanganmulah yang membuat.
Tunggu apa lagi, suara Marinda mulai tidak sabar. Perempuan itu barangkali khawatir tak sanggup lagi menahan gemetar, tak kuat lagi menanggung cemas.
Ia mengembuskan napas agar lebih tenang. Hati-hati ia menempelkan kertas stensil dengan pola kupu-kupu yang baru selesai ia lukis ke dada Marinda. Gambar itu ia tekan pelan-pelan. Ketika kertas ia tarik kembali, gambar kupu-kupu sudah melekat di dada Marinda. Kupu-kupu hitam dengan sayap kiri yang tampak robek karena proses pemindahan yang tidak sempurna. Ia justru menyukai gambar kupu-kupu dengan sayap seperti itu. Sekarang aku akan memulainya, ia berbisik ke telinga Marinda.
Marinda tidak menjawab dan tetap memejamkan mata.
Ia menghidupkan mesin tato dan menggerakkannya di kulit dada Marinda yang licin. Marinda meringis. Marinda nyaris menangis.
Ini tidak akan lama, bisiknya sekali lagi sebelum yang terdengar hanya mesin tato itu saja dan sesekali ringisan lembut dari bibir Marinda.
***
Kupu-kupu itu akhirnya kembali dari petualangan singkatnya, Marinda. Aku baru tahu kalau ia kupu-kupu yang ringkih setelah terbang begitu dekat di depan mataku dan dengan cepat masuk lagi ke dalam lukisan dan hinggap di lengan perempuan berbibir tebal dan merah. Sekarang, setelah temanku mati, sesuatu di lengan perempuan dalam lukisan itu tak akan pernah lagi menjadi sekuntum bunga belum mekar. Selamanya ia adalah kupu-kupu.
Memikirkan itu, aku ingin sekali tertawa sekaligus menangis. Bagaimana perasaan temanku di sana? Ia mungkin saja berusaha keras ingin hidup lagi demi berteriak di telingaku kalau itu sekuntum bunga belum mekar. Ia pasti sangat membenciku saat ini. Terlebih ia akan marah sekali jika tahu lukisan itu kini hadir dalam wujud amat nyata di depan mataku. Seolah-olah lukisan itu berhasil menerobos pintu rumah temanku yang sudah mati, melepaskan diri dari kurungan rumah yang penuh buku dan tumpukan puntung rokok, dan memilih berada di dekatku.
Saat temanku berhasil membeli lukisan itu dari pemiliknya, seorang penyair tua yang murah hati dan pernah berkata bahwa satu ketika ia ingin menjual semua yang ia miliki dan tak mau memiliki apa-apa selain uang untuk ongkos bepergian ke berbagai tempat di hari-hari sebelum kematiannya, aku menyimpan perasaan kalah. Kupikir, aku tak akan pernah punya kesempatan lagi memilikinya.
Bukan, bukan lukisan itu yang sedang kami perebutkan. Kami cuma senang bertengkar. Kami terbiasa bersaing untuk hal-hal yang tidak penting bagi orang lain. Namun, temanku itu tak pernah tahu, aku memiliki alasan yang lain dan itu berhubungan dengan kupu-kupu di dadamu, Marinda. Kupu-kupu yang pada hari itu mengepakkan sayap persis setelah aku menyelesaikan goresan terakhir di ujung sayapnya. Kupu-kupu yang selalu hidup dalam kepalaku.
***
Marinda masih memejamkan mata. Di sudut mata itu,keluar air dalam bentuknya yang tipis.
“Belum selesai juga?” tanya Marinda.
Ia tidak segera menjawab Marinda karena terkesiap memandangi kupu-kupu yang mengepakkan sayap dan keluar dari kulit dada perempuan itu. Marinda masih memejamkan mata dan tak tahu apa-apa. Ia berbisik ke telinga Marinda, Jangan dulu buka matamu. Ia ingin menyaksikan kejadian itu tanpa diganggu rasa panik kekasihnya. Ia tahu Marinda mudah sekali histeris jika berhadapan kejadian-kejadian tidak biasa, sebagaimana biasa bila perempan itu melihat darah.
Marinda patuh. Ia tak membuka matanya. Juga ketika kupu-kupu itu kembali masuk ke dalam kulitnya. Perempuan itu tak merasakan apa-apa. Marinda tidak tahu apa-apa.
Sekarang bukalah, katanya. Ia memperhatikan mata Marinda yang pelan-pelan terbuka. Lalu beralih ke seekor kupu-kupu yang menempel diam di dada perempuan itu.
***
Aku tahu kau sudah tidur. Namun, seperti permintaanmu, aku akan tetap bercerita hingga jelang menit-menit keberangkatanku, sampai aku memang tak punya kesempatan lagi melakukannya dan kemudian aku akan mulai berdamai dengan diriku sendiri bahwa tiba saatnya bagi kita untuk kembali berpisah dan aku maupun kau tidak tahu apa bisa bertemu di lain waktu atau malah tak akan pernah.
Sepuluh menit lagi, pengumuman keberangkatan dari petugas bandara akan segera terdengar–itu kalau tak ada penundaan. Kita tak punya waktu banyak lagi sekarang—dan sayangnya kau tertidur. Karena itu, Marinda, aku mau menutup ceritaku tentang tato kupu-kupu di lengan perempuan dalam lukisan kepadamu sebelum kita sampai pada kesepakatan untuk tak saling menghubungi demi kebaikan bersama, kita yang harus menyimpan semua masa lalu sedalam-dalamnya.
Lukisan itu sebenarnya milikku. Teman yang kuceritakan itu hanya karanganku saja dan tentunya tidak ada temanku yang mati hari ini. Tak ada tato kupu-kupu atau kuntum bunga belum mekar di lengan perempuan dalam lukisan itu. Tak ada pertengkaran-pertengkaran karenanya.
Hanya saja, kau pasti tahu persis kenapa aku senang membuat kisah tentang kupu-kupu itu, bukan?
Kalau saja bisa, aku ingin kau memberiku kesempatan sekali lagi untuk melihat tato kupu-kupu di dadamu itu—satu-satunya tato yang kubuat di dada seorang perempuan. Maka, bisakah kau bangun sebelum aku berangkat?
Tolong, jawablah, Marinda.
***
Marinda terbangun dengan ponsel masih menempel di telinga dan bayi kecil yang terlelap di sampingnya. Ia tak mendengar suara apa-apa lagi. Malam hening. Ia mengambil ponsel itu dan menyentuh layarnya. Sebuah pesan. Marinda membukanya.
Aku mencintaimu.
Dengan tergesa Marinda membalas pesan: Ayo, telepon lagi, katakan kalau kau mencintaiku.
Tak ada balasan. Satu menit berlalu. Tak ada balasan.
Marinda memperhatikan waktu pesan terakhir itu dikirim kepadanya. Dua puluh menit yang lalu. Air merebak di mata Marinda. Ia terlambat. Lelaki itu sudah terbang meninggalkannya dan kembali ke sebuah rumah dan perempuan yang menantinya serta dua anak lelaki yang tidak sabaran ingin pergi bermain ski di liburan musim dingin.
Dengan perasaan tidak menentu, Marinda meringkuk sambil meraba gambar seekor kupu-kupu di dadanya. Sesaat ia terdiam. Kemudian, cepat-cepat ia bangun dan dibukanya baju tidur tipis yang melekat di tubuhnya. Mata Marinda menatap tak berkedip. Di dadanya, ia melihat seekor kupu-kupu tengah hinggap di kuntum bunga baru mekar. ***
Rumah Kinoli, 2016
YETTI A.KA, tinggal di Kota Padang, Sumatera Barat. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016) dan Penjual Bunga Bersyal Merah (2016)
Leave a Reply