Cerpen Sunlie Thomas Alexander (Jawa Pos, 18 Desember 2016)
KERAPKALI selepas makan malam kami sekeluarga akan berkumpul di ruang toko jahit yang tak begitu luas itu. Dengan Akong duduk di belakang mejanya yang besar-panjang, tempat ia menggambar dan menggunting pola-pola pakaian (ah, meja peninggalan kakek buyutku yang usianya sudah puluhan tahun!). Sementara ayahku duduk di balik mesin jahitnya; aku dan Mama duduk di lantai samping pintu depan beralaskan selembar triplek sisa menyekat kamar Bibi Ngiat Ngo di lantai atas. Bibi keduaku itu (yang saat itu masih tinggal bersama) kadangkala ikut nimbrung jika sedang tak ada kesibukan.
Paman tertuaku Ngiu Long (begitulah ia kerap dipanggil orang) lebih suka berdiri di pojok ruangan; di belakang sebuah lemari kaca rendah yang digunakan untuk memajang pakaian-pakaian siap jual. Ia tak pernah beranjak dari sana, kendati sesekali harus membungkuk menggaruk kakinya yang diserbu oleh kawanan nyamuk. Sedangkan Man-Man—paman kecilku yang autis—tidak pernah duduk diam di satu tempat. Terkadang ia duduk di lantai semen di hadapanku, di lain waktu ia berpindah ke samping Akong dan duduk di kursi rotan di sebelah kursi tinggi ayahnya. Tak betah di sana, ia akan berpindah lagi ke dekat ayahku sebelum akhirnya diusir Papa karena mengeluarkan suara kentut nyaring.
Ai, pada malam-malam seperti inilah, sembari mendengarkan Akong berkisah, kami benar-benar merasakan kehangatan sebuah keluarga…
Ya, Akonglah yang lebih sering bercerita ketimbang Papa. Sebelum memulai ia biasanya akan menyulut sebatang rokok terlebih dulu, lalu mengisapnya beberapa kali sembari memperhatikan asap rokok yang meliuk-liuk keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Sehingga membuatku jadi semakin tidak sabaran menunggu cerita apa lagi yang bakal ia bawakan.
Apakah Akong akan menuturkan lagi mitologi-mitologi China seperti cerita Sun Wu Kong mengacau di Istana Langit, Nazha yang mencuci popok di Laut Selatan, kisah Delapan Dewa menyeberang samudera? Atau barangkali cerita-cerita dari jagat persilatan—baik yang populer maupun yang berasal dari sastra klasik—seperti Sin Tiauw Hiap Lu, Sie Jin Kui, Fang Shi Yu, Fa Mu Lan, Sam Kok, dan Sui Hu Chuan? Bisa jadi pula ia bakal kembali mengisahkan kenangan masa kanak-kanak dan remajanya yang acap membuat kami tergelak geli. Ataukah kali ini ia akan menghidupkan beragam peristiwa sejarah yang pernah ia dengar, baca, maupun alami sendiri. Misalnya, betapa heroiknya tentara Rute Kedelapan tatkala mempertahankan Kota Shanghai dari serbuan Jepang, atau perseteruan antara Kuomintang dengan Partai Komunis China yang tak kunjung selesai.
***
“KAKEKMU orang Tong San [1],” kata ibuku, kadang dengan wajah bersungut-sungut. Terutama ketika Akong memintanya memasak masakan ala Jiaying Zhou [2] semacam Ca Nyuk atau Mun Cu Kiok [3] yang kurang cocok dengan lidah peranakannya.
Sebagai generasi entah sudah berapa belas yang lahir dan besar di Bangka, selera Mama memang selera orang Bangka tulen yang lebih menyukai masakan China Peranakan atau pribumi. Tak ada masakan yang membuatnya lebih lahap daripada masakan-masakan Melayu seperti Lempah Darat, Lempah Keladi, Ikan Asam Pedas, atau lalapan pucuk ubi (daun singkong muda rebus) dengan sambal Rusip atau Calok. Karena itu, wajar saja jika kemudian aku pun turut menyukai masakan-masakan lokal itu. Dan kukira begitu pula halnya Papa dan paman-bibiku. Sementara Akong, kurasa ikut memakannya hanya lantaran tak ingin mengecewakan menantunya saja. Toh, ia juga kerap memuji masakan-masakan Jiaying Zhounya Mama.
Akong datang ke Bangka lewat Swatow. Ketika kapal uap Jerman yang membawa ia dan kakek buyutku merapat di Pelabuhan Muntok setelah sempat singgah tiga hari di Singapura, umurnya baru sembilan tahun. Dalam foto hitam-putih di dokumen imigrasinya ia mengenakan kemeja China berkancing besar. Tampak culun dengan kepala yang dicukur nyaris gundul. Aku sudah lupa kapan pertama kali dokumen berbahasa Belanda (yang berhasil aku amankan di kemudian hari) ini diperlihatkannya kepadaku.
Aku jelas tidak paham bahasa Belanda. Namun kuat dugaanku dokumen yang ditandatangani di Sungailiat, 9 Agustus 1926, itu adalah semacam visa. Menurut yang aku baca belakangan, pada masa itu memang tidaklah terlampau sulit memasuki wilayah Hindia Belanda. Aku tak pernah menemukan buku paspor Akong sebagaimana yang dimiliki oleh istrinya.
Buku paspor nenekku dikeluarkan oleh Pemerintah Republik China, bersampul hitam dengan lambang negara matahari bersudut dua belas seperti paspor Taiwan masa kini. Hanya saja tulisan Hàny_, “Zh_nghuá Mínguó”-nya menurun ke bawah. Kata Akong, paspor itu dibuat usai mereka menikah di China Daratan. Tertera dalam dua bahasa, Mandarin dan Inggris. Pada halaman ketiga ada stempel dan tanda tangan Konsulat Jenderal Belanda di Hongkong. Ya, izin masuk ke Hindia Belanda! Masih tertera jelas titimangsanya: 16 November 1936.
Ah, Akong konon pulang mencari istri ke China Daratan lan taran kakek buyutku kurang berkenan dengan gadis peranakan yang dinilainya kasar dan tak lagi teguh berpegang pada adat-tradisi.
“Tapi kalian tahu, jauh-jauh aku pulang ke China dengan niat mencari gadis sekampung, eh, dapatnya malah yang kelahiran sini juga!” demikian kata Akong lalu terkekeh. Kami semua ikut tertawa mendengar bagaimana ia begitu ketakutan harus meniti dua bilah papan di atas bentangan sungai berarus kencang saat menuju ke rumah Apho untuk melamar.
“Habislah diriku waktu itu jadi bahan olokan orang sekampung,” ujarnya dengan wajah agak memerah.
Benar, nenekku juga perempuan kelahiran Belinyu. Hanya saja ia dibawa orang tuanya pulang ke China Daratan semasa kanak-kanak. Aku tidak tahu banyak mengenai keluarga Apho. Ayahku bilang bahwa keluarga itu dulu tinggal di Kampung Lumut. Apho menikah pada umur 16 tahun, dan umur Akong ketika itu sekitar tujuh belas. Aku hanya mengenal Apho dari foto-foto hitam putih dalam album keluarga kami. Ia sudah lama berpulang sebelum aku lahir. Meninggal muda karena sakit, kata Papa.
Aku juga tidak tahu kenapa Akong jarang bercerita tentang Apho. Namun kukira ia sangat mencintai istrinya itu. Kerap aku pergoki sepasang matanya tampak berkaca-kaca setiap kali memandangi foto-foto Apho.
Keluarga kami memiliki sejumlah album keluarga berisi foto-foto tua. Album-album itu—seperti halnya paspor nenekku—juga bersampul hitam dari kertas karton. Demikian pula warna halaman di dalamnya yang ditempeli foto beragam ukuran. Tak ada plastik pelindung, foto-foto itu hanya dilekatkan begitu saja di atas halaman dengan lem. Kebanyakan sudah menguning, tetapi umumnya masih dalam kondisi cukup baik. Hanya sebagian kecil foto yang rusak atau memudar. Ada yang terlepas dan dilem kembali, namun ada yang dibiarkan dan hanya diselipkan di tengah album. Semua album foto lama itu ditempatkan Akong di bagian teratas salah satu lemari rak dalam toko bersama buku-buku dan Alkitab berbahasa Mandarin. Sehingga setiap kali ingin melihat foto-foto tersebut, aku mesti menarik sebuah kursi dan naik ke atasnya agar dapat menjangkaukan tanganku ke rak teratas.
Aku paling menyukai selembar foto di mana Akong berpose bersama seluruh anggota keluarganya. Dalam foto berukuran kartu pos itu, Akong duduk di sebelah kiri, sementara Apho duduk di kanan menggendong pamanku Man-Man yang masih bayi. Keduanya mengapit Papa dan Paman Ngiu Long yang duduk di tengah, sedangkan kedua bibiku berdiri di belakang mereka. Papa masih tampak begitu muda dan ganteng, pandangan matanya yang lurus menatap kamera terkesan optimistis, penuh rasa percaya diri.
“Hahaha, itu kan karena aku tegang! Aku jarang berfoto,” kilah ayahku ketika Mama mengolok-oloknya. Ah, foto keluarga yang sama pulalah, tertempel pada “Sertifikat Pulang” [4] mereka yang dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal Republik Rakyat China di Jakarta. Sertifi kat itu kendati tak pernah—atau lebih tepatnya, tak jadi—dipakai, namun tetap diperlakukan sebagai selembar dokumen penting oleh Akong.
Hm, entah kenapa aku begitu suka melihat foto-foto tua itu. Terkadang aku betah berjam-jam mempelototinya selembar demi selembar, mengamati setiap detail: ekspresi orang-orang, pakaian-sepatu-sandal yang mereka kenakan, pemandangan yang menjadi latar, dinding-dinding ruangan, perabot-perabot yang tertangkap oleh kamera, bentuk-bentuk bangunan. Ada semacam aroma ganjil, terasa asing namun akrab, yang menguar dari dalam foto-foto itu. Ya, aroma China!
Hanya saja aroma itu tidaklah sekuat aroma yang keluar dari kopor-kopor tua Akong—tepatnya tiga buah kopor yang tergeletak di bawah ranjangnya di kamar lantai atas. Dua diantara kopor itu terbuat dari besi yang sudah berkarat oleh usia. Sedangkan satu lagi adalah kopor kulit. Tak ada barang menarik disimpan dalam kopor-kopor yang cukup besar dan berat itu selain pakaian-pakaian tua yang tak lagi layak dipakai. Namun demikian, tetap saja aku acap tergoda untuk membukanya. Dan setiap kali penutup kopor-kopor berdebu itu terpentang lebar, keluarlah aroma Tong San yang begitu menggairahkan, bercampur aduk dengan bau apak dan aroma kapur barus.
Aroma serupa juga tercium santer pada salah satu dari dua buah laci meja kerja Akong, di mana ia menyimpan dokumen-dokumen penting dan surat adik-adiknya dari Taiwan dan China Daratan…
***
AKONG, dalam kenanganku adalah seorang pencerita yang piawai. Begitu mahirnya ia membawakan jalan cerita; membangun suasana, menunda klimaks, menyimpan teka-teki atau memberi kejutan di akhir kisah, sehingga membuatku sering kali terperangah takjub atau diselimuti rasa haru, bahkan terhenyak kaget dan bergegas merapat ke samping Mama dengan bulu kuduk terasa merinding.
Meski, kalian tahu, sesekali Papa akan menyela; sekadar membetulkan kronologi cerita, nama tokoh atau kekeliruan Akong menempatkan peristiwa. Dan hal ini sering membuat Akong gusar karena tidak senang dipotong. Akibatnya, kadangkala terjadi keributan kecil di antara keduanya. Ayahku sebetulnya juga cukup pintar berkisah. Hanya, ia ti ak sesabar Akong. Lagipula, ia punya kebiasaan berhenti seenaknya di tengah jalan dengan beragam alasan. Padahal sebagai lulusan Tiong Hoa Hwee Koan yang suka membaca, Papa tidaklah pernah kekurangan bahan cerita.
Aku masih ingat pada berkardus-kardus buku miliknya yang tersimpan di loteng; sebagian adalah buku-buku sekolahnya dan sebagian lagi berupa buku-buku sejarah, politik, novel, dan kumpulan puisi. Hampir semuanya dalam bahasa Mandarin, walaupun ada beberapa dalam bahasa Inggris. Dulu aku suka membolak-balik buku-buku tua itu, terutama buku-buku yang bergambar.
“Itu buku-buku yang selamat,” kata Papa dengan raut wajah sedih. Di kemudian hari, barulah aku memahami maksudnya. Konon, ketika tentara dan polisi beramai-ramai melakukan sweeping buku kiri ke rumah orang China selepas peristiwa 65, banyak yang terpaksa membakar buku-buku mereka lantaran ketakutan. Ya, kendati buku-buku tersebut sama sekali tak mengandung ajaran komunisme.
“Siapa yang berani mengambil resiko kala itu? Setan-setan busuk itu kan tidak bisa membaca huruf Hàny_? Dan mereka bisanya main tuduh saja!” gerutu Leu Sukkong—salah seorang teman lama Akong yang sering bertandang ke rumah—suatu hari. Waktu itu aku sudah duduk di bangku SMA.
Menurut ayahku, ia berhasil menyembunyikan buku-buku itu di toilet yang sedikit jauh di belakang rumah. Namun, sebagian buku lainnya, terbitan Republik Rakyat China, terpaksa dimusnahkan karena risikonya terlalu besar kalau ditemukan…
Berbeda dengan anak-anaknya, Akong hanyalah menempuh pendidikan formal sampai setingkat kelas tiga entah empat SD (aku lupa persisnya). Syahdan, ia dikeluarkan dari sekolah karena meninju hidung seorang murid lain sampai berdarah.
“Anak itu setiap hari meneriakkan nama ayahku di depan mukaku. Aku tidak tahan lagi, kuhampiri ia dan kupukul tepat di batang hidungnya!” kenang Akong sambil mengulum senyum.
Ai, lantaran pada masa itu kakek buyutku seorang pedagang yang cukup sukses, tidaklah sulit baginya mendatangkan guru-guru privat untuk mengajari Akong di rumah. Dari guru-guru inilah, selain pelajaran Bahasa Mandarin dan berhitung, Akong belajar Bahasa Melayu dan menulis huruf latin. Jelas, dengan menitikberatkan pelajaran-pelajaran itu, kakek buyutku (Kong Th ai, demikian kami menyebutnya) ingin Akong membantunya mengurus toko. Karena itu, tak heran jika Kong Thai tegas menolak tatkala seorang temannya menyarankan agar ia menyekolahkan Akong ke China.
Namun bertahun-tahun kemudian setelah ia meninggal, Akong mengirim kedua adiknya, A Ng dan A Liuk, kembali ke China untuk melanjutkan sekolah. Si bungsu nomor enam akhirnya menjadi dosen pertaniann—kalau tak salah ingat—di Nanjing. Sementara adik kelimanya, ketika perang saudara memuncak, memilih meninggalkan bangku kuliah dan bergabung dengan tentara Kuomintang. Bersama ribuan warga sipil dan tentara lainnya, ia pun ikut Chiang Kai-sek menyingkir ke Taiwan saat mereka kalah perang.
Adik nomor tiganya—kurang-lebih tiga belas tahun kemudian—juga memutuskan meninggalkan Indonesia dan pergi ke Taiwan. Yang keempat membuka usaha di Pasar 13 Ilir Palembang dan sering mengunjungi Akong saat aku masih SD. Namun pasca-reformasi ia pun mengikuti jejak kedua saudaranya; memboyong seluruh keluarganya pindah ke Taiwan dan menjadi warga negara Republik China.
Ah, kalau saja Akong dulu disekolahkan buyutku ke China, tentu cerita ini bakal berbeda. Ia sebetulnya tidaklah berbakat dagang. Semasa muda, Akong—kata Papa dengan nada jengkel—lebih senang keluyuran daripada berada di toko dan terlalu banyak terlibat dalam kegiatan sosial. Aktivitasnya di gereja, kemudian perselisihan kecil dengan adik keduanya yang baru datang dari China Daratan, perlahan membuat toko peninggalan buyutku terancam bangkrut. Perselisihan itulah yang membuat mereka kemudian memutuskan pisah usaha dan memilih jalan masing-masing.
***
YA, berbeda dengan sebagian besar orang China di Bangka yang didatangkan oleh Belanda sebagai kuli tambang timah, kakek buyutku adalah bagian dari gelombang migrasi yang tiba belakangan dengan tujuan berdagang.
Ia memutuskan untuk datang mengadu nasib setelah menyirap kabar tentang kondisi Nányáng [5] pada masa itu dari sejumlah kerabat. Mula-mula ia pergi ke Semarang, sempat tinggal dan berdagang di sana selama beberapa waktu, sebelum kemudian pulang ke Guandong untuk menjemput Akong. Dari tiga orang bersaudara, sebagai putra tertua Akonglah yang terpilih untuk dibawa, sementara kakak perempuan dan adik laki-lakinya yang masih kecil ditinggalkan bersama nenek buyutku.
Namun Kong Thai tidaklah kembali ke Semarang, melainkan ke Pulau Bangka. Di mana banyak kerabat dan teman-temannya sudah terlebih dulu bertandang. Kejayaan penambang timah dan banyaknya orang Hakka satu kampungnya di daerah yang pernah dikuasai oleh Kesultanan Palembang Darussalam ini agaknya telah menarik naluri dagangnya. Berbekal sebuah ruko sewaan, ia membuka Toko Serba Ada di kompleks Pasar Belinyu (yang sekarang menjadi terminal bus). Dan dalam waktu relatif singkat, usahanya maju pesat. Bahkan beberapa tahun kemudian, toserbanya itu boleh dikatakan sebagai salah satu toko terbesar di wilayah Kewedanaan Belinyu. Nama tokonya pun harum ke mana-mana.
Di Nányáng, nenek buyutku (Pho Thai, begitulah kami memanggil) yang datang menyusul, kemudian melahirkan anak ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Celakanya, Kong Thai terlampau pelit untuk menggaji pengasuh. Akibatnya, Akong pun acap ketiban tugas tambahan membantu mengasuh adik-adiknya lantaran Pho Th ai kerap sakit-sakitan.
“Sering aku disuruh memasak bubur untuk A Sam dan A Si. Biasanya bubur itu dikasih sepotong daging sapi agar lebih sedap. Dagingnya boleh untukku,” demikian Akong melanjutkan dengan suara lemah.
Oktober 1997, ketika aku belum lama menamatkan SMA, Akong meninggal dalam usia 80 tahun (81 dalam hitungan kalender lunar). Bukan sakit parah, karena beberapa hari sebelumnya ia masih segar bugar dan menjahit. Tubuhnya tiba-tiba saja melemah, cuma sekali sempat ke praktik dokter. Akong meninggal dalam pelukanku; hanya setahun setelah ia mendapatkan KTP Warga Negara Indonesia. [6 ] Ya, setelah hampir seumur hidup ia memegang KTP Warga Negara Asing dengan huruf merah menyala.
Seperti umumnya kaum Huáqiáo [7] generasi pertama, Akong memang memiliki ikatan emosi begitu kuat dengan China. Karena itulah, tak aneh jika ia—sebagaimana banyak orang China segenerasinya—lebih memilih mempertahankan kewarganegaraan China yang mereka miliki daripada beralih menjadi WNI. [8] Hanya saja, selepas Mao memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949, persoalan menjadi sedikit rumit. Karena mereka harus berhadapan dengan dua pilihan lagi, yakni berpihak kepada Republik Rakyat China (Tiongkok) atau Republik China (Taiwan)!
Akong tidak percaya pada komunisme, namun ia melek sejarah dan politik. Baginya, Republik China yang didirikan oleh Dr Sun Yat-sen pada tahun 1911 telah berakhir sejak lama bersamaan dengan wafatnya sang Bapa Bangsa. Di bawah Pemerintah Chiang Kai-sek (dengan Kuomintang), Republik China hampir tak ada bedanya dengan Dinasti Qing; dipenuhi oleh korupsi, penindasan dan kesewenang-wenangan.
“Wajar mereka kalah. Mereka sebetulnya bukan dikalahkan oleh komunis, tetapi oleh rakyat yang marah! Mereka itu boneka Amerika,” tukasnya dengan nada berapi-api suatu ketika.
Ah, kukira itu pula sebabnya ketika pada tahun 1960 terjadi pengusiran terhadap para pedagang China yang “asing” dari seluruh daerah tingkat II ke bawah, Akong memutuskan hendak memboyong keluarganya pulang ke China Daratan, tanah kelahirannya. Bukan ke Taiwan seperti adik nomor tiganya yang bersetia kepada Kuomintang…
Dalam kenangan Papa, dulu setiap kali hari besar nasional seperti 17 Agustus, mereka mesti mengibarkan dua lembar bendera di depan ruko: Merah Putih dan bendera merah lima bintang. Ya, bendera RRC. Bendera yang kemudian disembunyikan di loteng bersama berkardus-kardus buku, dibiarkan perlahan merapuh, dan akhirnya ludes bersama begitu banyak kenangan saat kebakaran hebat melahap deretan ruko kami pada tahun 1993. ***
Taipei, April-September 2016
Jogjakarta, Desember 2016
CATATAN
Cerita ini merupakan bagian pertama dari himpunan cerita “Memoar Pulau Timah”.
[1] Tong San (Bahasa Hakka). Dalam Bahasa Mandarin dieja Táng Shān (唐山) yang berarti Negeri Tang (China). Orang Tionghoa di Bangka-Belitung sampai kini masih sering menyebut diri mereka sebagai keturunan Dinasti Tang: Thong Ngin (Táng Ren). Kendati umumnya mereka–seperti orang China di seluruh dunia—juga mengakui diri mereka sebagai orang Han (漢) yang berarti keturunan Dinasti Han.
[2] Jiāyīng Zhōu (嘉應州), sebuah wilayah di Provinsi Guandong, Republik Rakyat China yang diakui sebagai kampung halaman orang Hakka. Sekarang namanya adalah Méizhōu (梅州).
[3] Ca Nyuk: Daging babi digoreng tepung, Mun Cu Kiok: Kaki babi direbus kecap (Bahasa Hakka).
[4] Guī Guó Zhèngmíng Shū (歸國證明) atau Certifi cate of Return. Latar belakang dikeluarkannya sertifikat ini adalah peristiwa pemberlakuan PP No. 10/1959 yang mengakibatkan jutaan warga Tionghoa dilarang berdagang di wilayah tingkat II ke bawah. Desakan Peking (Beijing) agar peraturan ini ditinjau ulang ditolak, sehingga Pemerintah RRC berang dan mengumumkan ajakan kepada warga China Perantauan (Huáqiáo) untuk kembali ke “Kehangatan Ibu Pertiwi” lewat Radio Peking, 10 Desember 1959. Kedubes RRC di Jakarta pun segera mendaftar orang-orang Tionghoa yang tertarik ajakan tersebut. Langkah serupa juga ditempuh oleh Pemerintah Republik China (ROC) di Taipei.
[5] Nányáng (南陽) secara harfiah berarti Lautan Selatan, sebutan untuk Nusantara.
[6] Pada tahun 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No.56/1996 yang menginstruksikan penyelesaian masalah kewarganegaraan orang Tionghoa yang masih tercatat sebagai WNA sekaligus penghapusan fungsi Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) yang selama puluhan tahun menjadi momok bagi WNI Keturunan Tionghoa.
[7] Huáqiáo (華僑): China Perantauan/ Chinese Overseas.
[8] Dalam bukunya Hoakiau di Indonesia (Garba Budaya, Jakarta, Cet. II, 1998), Pramoedya Ananta Toer mengajukan pertanyaan menantang, “Apa salahnya memilih kewarganegaraan RRC?” Menurut Pram, Hoakiau (Huáqiáo) adalah kesalahan sejarah. Sepanjang sejarah Indonesia sejak zaman Hindia-Belanda, persoalan Hoakiau tak pernah tersentuh secara proporsional, sehingga ketidakjelasan kedudukannya dalam sejarah ini membuat mereka dengan mudah menjadi kambing hitam siapa saja yang boleh seenaknya mencabuti bulunya. Adalah hak bagi mereka untuk memiliki kewarganegaraan RRC, dan itu bukanlah suatu kejahatan. Akibat pembelaannya ini, Pram dituduh hendak menjual Indonesia kepada RRC.
Leave a Reply