Cerpen Kristin Fourina (Republika, 05 Februari 2017)
Setiap melintasi pertigaan yang menuju ke arah Bukit Juring, aku terserang sakit kepala. Andai kata perempuan gila itu tidak berada di bawah pohon randu yang berada di pinggir jalan. Ya, jika saja ia tidak menyandarkan tubuhnya yang kumal di batang pohon randu itu, aku tak akan terserang sakit kepala sedahsyat ini. Beberapa hari lalu aku baru saja pulang dari luar kota. Dan aku menginap di rumah Mbakyu (kakak perempuan) yang berada agak jauh dari Bukit Juring. Kadang-kadang aku masih menyayangkan bencana tanah longsor yang secara tiba-tiba melahap rumah ibu kami.
Seperti puluhan banteng yang sedang adu lari, tiba-tiba saja Bukit Juring yang berada di belakang rumah ibu berlarian ke bawah dan terus menanduk rumah-rumah yang berada di bawahnya. Ya. Mengapa pohon-pohon randu itu membiarkan tanah yang menimbunnya longsor dan mengeluarkan suara gemuruh yang mengoyak? Mengapa pohon-pohon randu itu tak berusaha menyelamatkan satu saja rumah yang dinaunginya, yakni rumah ibu?
Jika aku berlari di atas timbunan tanah Bukit Juring yang mengoyak rumah ibu, tanpa sengaja bibirku selalu memanggil ibu. Dan wajah ibu akan muncul setiap kali aku memanggilnya. Setelah semua perkataan kasar yang kuucapkan kepada ibu. Hampir setiap hari selama sepekan, sebelum akhirnya aku memutuskan pergi kembali ke luar kota, ibu menerima seluruh perkataan kasarku. Ketika pagi itu aku pergi, meninggalkan ibu dan hujan deras yang mengembus dedaunan jati.
Ya. Hujan yang kini terus mengingatkan aku pada ibu. Dan rupanya hujan itu telah mengambil ibu dengan kasar pula.
Kembali mengingat ibu, kembali mengingatkanku pada kebodohanku. Akulah anak yang tidak berguna. Dengan jijik aku menghardik ibu atas penyakitnya yang kambuhan. Mengapa aku bisa sebodoh itu pergi meninggalkan ibu hanya karena ibu berpenyakit yang membuat calon istri dan mertuaku risih. Kami pulang setelah kami gagal meminang calon istriku karena tiba-tiba saja penyakit ibuku kambuh. Aku tak tahu, tiba-tiba saja ibu jatuh dari kursi, menggelepar-gelepar di lantai dan mulutnya mengeluarkan busa.
Paling tidak, setelah keadaan ibu bisa diatasi, sebuah langkah mundur telah diambil oleh keluarga calon istriku. Telingaku hampir patah mendengar keputusan keluarga calon istriku saat itu.
Apakah aku telah kehilangan akal sehat? Ketika hujan telah dengan tiba-tiba mengambil ibu, barulah aku yakin aku telah menjadi setan kecil yang durhaka pada ibu.
Hujan telah mencuri ibu dariku. Saat aku kembali ke rumah ibu dan mencarinya, kulihat Mbakyu sedang menangis histeris di tengah hujan deras, air matanya bercampur dengan air hujan yang melongsorkan bukit Juring dan menimbun rumah ibu. Cerita-cerita kemudian berkembang, namun kami tetap belum menemukan ibu dalam timbunan tanah berlumpur itu. Aku bahkan selama beberapa saat hanya berdiri mematung menatap rumah ibu yang hilang.
***
Sesosok tubuh kelihatan dari balik timbunan tanah keesokan paginya ketika kami berusaha mencari ibu. Mbakyu terduduk dalam diam memandang sesosok tubuh tanpa kepala yang kami temukan. Akhirnya, kami memutuskan bahwa itulah ibu, orang satu-satunya yang tinggal di rumah itu dan jasad satu-satunya yang kami temukan.
Aku pergi kembali ke luar kota, meninggalkan rumah ibu yang hilang, cepat- cepat pula meninggalkan rumah ibu yang baru yang telah diberi nisan. Hatiku menyuruhku segera pergi meninggalkan ingatan-ingatanku tentang rasa bersalah yang telah kuperbuat pada ibu.
Kini aku berada di desa kecil kami lagi. Bergegas menuju rumah Mbakyu dan mengeluhkan sakit kepalaku. Mbakyu terkejut menyadari kehadiranku.
“Aku sudah gila, Mbakyu,” kataku setengah berteriak, “Kepalaku sakit.”
Kulemparkan pandanganku ke arah Mbakyu.
“Aku yakin, aku sudah benar-benar gila,” kataku terengah-engah.
“Kapan kau pulang?” tanya Mbakyu tak menghiraukan perkataanku.
Selintas terbayang wajah perempuan gila yang duduk bersandar pada pohon randu di pinggir jalan ke arah bukit Juring. Kuakui kalau wajah perempuan gila itu mirip betul dengan wajah ibu. Dengan hati-hati kukatakan kepada Mbakyu bahwa baru saja aku bertemu dengan ibu. Tatapan mata Mbakyu segera terpaku padaku. Setelah beberapa saat, sambil berbisik Mbakyu berkata, “Apakah kau rindu ibu?”
“Akankah aku berbohong padamu, Mbakyu? Aku berkata sungguh-sungguh, aku baru saja melihat ibu di pinggir jalan arah ke Bukit Juring.”
Kesedihan tiba-tiba terhampar di wajah mbakyu.
“Aku tak yakin kau benar-benar melihat ibu,” kata Mbakyu kemudian.
Ketika aku berkeras bahwa aku memang baru saja melihat ibu, kemudian kami sepakat mencari perempuan yang kusebut sebagai ibu itu.
“Aku tak pernah membayangkan akan menemukan ibu dalam kondisi seperti ini,”
kataku sambil menunjuk perempuan gila yang sedang bersandar pada pohon randu pada Mbakyu.
Dalam jarak yang tak jauh, kami mulai mengamati perempuan gila itu. Kami mendengar perempuan gila itu berujar yang tak jelas. Saat kami mendekatinya untuk sekadar memastikan bahwa itulah ibu, perempuan gila itu terlihat ketakutan. Namun di balik wajah takutnya itu, si perempuan gila tersenyum pada kami.
Kemudian kami berdua sepakat menceritakan hal ini pada kerabat ibu. Sebuah pertengkaran terjadi dan membuat kepalaku semakin terasa sakit.
“Bagaimana mungkin ibu kalian yang sudah dikubur bisa hidup lagi?!” bentak Bude.
“Tapi bisa saja, yang kita makamkan itu memang bukan ibu. Aku saja dari sewaktu mayat itu ditemukan sampai saat ini masih tidak yakin bahwa mayat itu adalah ibu,” kataku berkeras.
Dengan sangat marah, Bude kembali membentakku, “Demi Tuhan, ibumu memang sudah mati, Le!”
Mbakyu tersedu melihat pertengkaran kami. Ia merintih dan menangis sedih.
Bude hendak meninggalkanku ketika kemudian kukatakan bahwa mayat yang dulu ditemukan toh tidak berkepala, jadi masih ada kemungkinan kalau mayat itu memang bukan ibu.
“Mengertilah, Bude, bisa jadi mayat yang ditemukan dulu ialah mayat orang lain yang kebetulan sedang bertamu di rumah ibu. Toh banyak mayat yang tak dikenal ditemukan dalam timbunan tanah berlumpur itu. Juga banyak orang yang kehilangan sanak saudara setelah kejadian tanah longsor itu. Sampai saat ini orang-orang yang dinyatakan hilang itu tidak berhasil ditemukan juga, kataku dengan nada suram.”
Dan Bude kemudian menunjukkan sikap melunak padaku dan Mbakyu. Mungkin saja ia berpikir, seandainya ia berada dalam posisiku dan Mbakyu, mungkin ia juga akan berkeras seperti kami. Dia menggamit lenganku dan Mbakyu lantas membimbing kami memasuki mobilnya.
***
Tanganku menunjuk perempuan gila yang masih duduk bersandar pada pohon randu. Tanpa sadar tangan Bude juga ikut menunjuk pada perempuan gila itu. Bude kemudian mengerti mengapa kami berkeras bahwa itu ibu, karena setelah didekati, perempuan gila itu benar-benar mirip ibu.
“Nah, lalu akan berbuat apa kita?” tanya Bude.
Ternyata ditanya seperti itu, aku juga merasa kebingungan.
“Apakah nanti kau akan terbiasa punya ibu seorang yang betul-betul gila? Sejak kecil, ibumu memang telah memiliki penyakit kambuhan, entah ayan entah bukan, namun memang seperti itulah keadaannya. Kau sendiri tidak begitu saja bisa menerima kondisi ibumu, apalagi setelah calon keluargamu membatalkan pinanganmu. Sementara sekarang kita menemukan ibumu dalam kondisi yang lain. Semakin menyedihkan dan menakutkan,” kata Bude sambil terus menatap perempuan gila yang mirip ibu.
Mata perempuan gila itu tak memancarkan kehidupan. Hal itu membuatku semakin sedih.
“Perempuan gila yang kumuh, apakah kalian sanggup menerimanya dan bahkan merawatnya?” tanya Bude sekali lagi, “Atau seharusnya kita anggap saja bahwa mayat yang ditemukan dan dikuburkan tempo lalu itu benar-benar ibumu dan perempuan gila ini memang hanyalah seorang perempuan gila?”
Mbakyu dengan tiba-tiba mengatakan bahwa ia memilih mengakui perempuan gila itu sebagai ibu. Bagaimana pun juga, tinggal aku sendiri yang belum menetapkan pilihan. Tuhan telah mengembalikan ibu padaku, batinku kemudian.
Seorang perempuan gila yang kumuh dan tak terurus itu akhirnya kami bawa pulang. Lalu perempuan gila itu kami bersihkan tubuhnya di bawah guyuran air kran.
Ketika kami telah selesai, di depan mata kami tampak seorang perempuan yang benar-benar mirip dengan ibu.
Pada malam berikutnya, tiba-tiba mantan calon istriku datang ke rumah Mbakyu karena diberitahu oleh kawan kami bahwa aku sudah pulang dari luar kota.
“Oh, siapa perempuan itu?” tanyanya terkejut karena tanpa sengaja melihat perempuan gila mirip ibu ada di rumah Mbakyu.
Tampaknya ia tak menyangka bahwa ibu kami masih hidup.
“Apa yang sudah terjadi?” tanyanya lagi.
Kuhirup nafas dalam-dalam sambil berkata, Ibuku sudah kembali dan tinggal bersama kami.
“Tapi jasad siapa yang dimakamkan tempo dulu?” tanyanya.
“Kita lupakan saja jasad dan kuburnya itu,” kataku kemudian.
Ia kemudian pasti teringat pada malam di mana keluarganya menolak pinanganku karena tiba-tiba penyakit ibuku kambuh, karena kemudian ia meminta maaf padaku atas kejadian dulu itu. Mbakyu menangis mendengar mantan calon istriku meminta maaf.
Sekali lagi, mantan calon istriku ingin menjalin hubungan silaturahim denganku dan dengan keluargaku.
Dan tiba-tiba saja hujan turun deras hingga suaranya memenuhi seluruh rumah.
Perempuan gila yang mirip ibu memang sedari tadi duduk terdiam. Tapi tiba-tiba perempuan gila itu keluar dari sikap diamnya.
Jantungku berdegup kencang ketika tiba-tiba perempuan gila itu berlari ke luar rumah meninggalkan kami. Jalanan tampak gelap, tak ada apa pun tampak kecuali langit yang memancarkan hujan deras. Akhirnya perempuan gila itu kembali ke jalan, sebaliknya kami hanya melihatnya tanpa berniat mengejarnya.
“Apa itu benar-benar ibumu?” tanya mantan calon istriku.
“Aku masih tidak yakin,” jawabku bimbang.
Kulon Progo, 2016
KRISTIN FOURINA, lahir di Yogyakarta 13 November 1987. Alumnus Sastra Indonesia UNY. Beberapa kali memenangi lomba menulis cerpen. Beberapa cerpennya dimuat di media massa.
Leave a Reply