Cerpen Nastiti Denny (Media Indonesia, 05 Februari 2017)
TEPAT di malam ketiga kami menyandang gelar suami-istri, aku menyadari pernikahanku tak akan berumur panjang. Tapi siapa yang sanggup mengakhiri janji hidup bersama di usia pernikahan yang baru tiga hari?
Sebulan setelah perayaan dan segala rupa ramah-tamah keluarga usai, aku memberanikan diri untuk berbagi cerita ini pada teman dekatku. Kubilang padanya kalau suamiku menyerahkan beberapa lembar seratus ribuan sebagai uang belanja bulanan pertama kami, dengan meletakkannya di tempat tidur, tepat setelah kami melakukan hubungan suami-istri. Sebelum teman dekat itu sempat berkomentar apa salahnya, segera kuluruskan gambaran yang mungkin keliru. “Bukan diletakkan, tapi dilemparkan…”
Sahabatku sejak SD itu mendehem, lalu menanggapi,
“Seminggu lalu kaca jendela rumah tetanggaku pecah berantakan.” Ia memberi jeda pada kalimatnya, lalu menyandarkan punggungnya pada kursi plastik yang ia duduki.
Aku sengaja mengajaknya ke salah satu warung di mana kami sering melewatkan waktu istirahat semasa kuliah dengan alasan bernostalgia.
“Sebabnya adalah salah paham. Sori, jangan berprasangka dulu. Aku belum selesai.” Ia mengangkat tangannya agar aku tak menyela ucapannya.
“Beberapa minggu sebelum kejadian, konon tetanggaku itu berupaya mendapatkan tukang jahit yang mampu menjahit kain celana panjang, sesuai keinginan suaminya. Kau tahu, beberapa orang punya selera yang sulit. Ia bekerja pagi hingga malam sebagai marketing di perusahaan swasta. Usahanya mencari tukang jahit dilakukannya sepulang bekerja kira-kira jam 8 hingga 10 malam. Kau tahu apa yang terjadi saat ia memberikan celana panjang itu pada suaminya?”
Aku mengedikkan bahu. “Melayang, Sus. Lima buah celana panjang melayang mengenai wajah istrinya. Tanpa babibu, dalam keadaan lelah ia meraih benda terdekat yang kebetulan adalah vas keramik untuk dilemparkan ke wajah suaminya sebagai balasan.”
“Wow!” ujarku kagum.
“Masalahnya adalah, itu salah paham. Suaminya tak berniat melemparkan barang yang telah susah payah diupayakan istrinya itu. Ia hanya kaget karena ada tokek yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia phobia binatang melata.”
***
Sejak saat itu, aku tak berbagi lagi dengan siapa pun. Teman karibku dan semua orang tentu menginginkan pernikahanku langgeng sampai kakek-nenek. Sayangnya, aku tak bisa!
Bila nampaknya aku berupaya mempertahankan pernikahanku sebisa mungkin hingga akhirnya kami memiliki anak, itu tak sepenuhnya benar. Aku mengandung Saskia saat pernikahan kami berusia 4 bulan. Tapi, keputusanku untuk mengakhiri pernikahan dengan Seto tak berubah. Aku hanya tak mampu menghempaskan kebahagiaan sanak-saudara yang senantiasa berdoa untuk kehamilanku. Jangan lakukan sesuatu yang kita tak ingin hal itu menimpa kita nanti. Begitu pesan ibuku, yang selalu kuingat. Meski kebahagiaan dan harapanku telah terhempas di malam ketiga, aku tak ingin membalaskannya ke orang lain. Aku hanya ingin menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan. Semudah itu.
Aku menghitung penantianku untuk berterus terang pada Seto dengan membuat diagram di sebuah buku catatan. Garis horisontal pada diagram adalah umur pernikahan kami. Aku membaginya dalam hari. Garis vertikal adalah sikap Seto padaku, yang diukur dari seberapa sering ia menyerahkan benda-benda padaku dengan cara melempar, setengah melempar, atau dengan cepat tanpa memandang apakah benda itu akan mendarat dengan mulus di tanganku atau di lantai. Melempar dengan cepat menempati posisi tertinggi.
Aktivitas melempar kutandai dengan tinta merah tua. Cokelat tua untuk setengah melempar, dan hijau tua untuk kategori terakhir. Aku tak berpegang pada filosofi apa pun dalam memilih tiga warna tersebut. Aku hanya pernah bermimpi dikejar pria bergolok yang menutup mimpiku dengan warna merah tua. Warna yang kemudian paling sering mendatangiku saat sendirian. Sementara cokelat tua adalah warna tanah basah yang kusukai. Lalu hijau tua, adalah satu-satunya spidol yang tersisa di laci kerja Seto setelah warna lain dilemparkannya ke lantai karena kehabisan tinta. Saat memunguti ceceran spidol tersebut, aku membubuhkan tanda berwarna cokelat tua pada diagram. Demikian upayaku merawat ingatan.
Membesarkan Saskia tanpa Seto bukan hal yang tak sanggup kulakukan. Tapi memandang nyala di kedua mata buah hatiku surut karena pertikaian panjang ayah- ibunya sama dengan mematikan harapan hidupku sendiri. Maka, kutempa diriku untuk penantian lebih panjang lagi. Sengaja kubeli beberapa pak buku tulis untuk diagramku, saat mengantar Saskia berbelanja buku di tahun ajaran baru. Kuperbaharui pulpen dan spidol yang mulai memudar warnanya. Aku beralibi hendak menyumbang ke Panti Asuhan, saat Saskia dan Seto melihat tumpukan buku tulis yang kubeli. Aku mengisi waktu dengan berjualan kue dan puding buatan sendiri saat Saskia mulai lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya.
Awalnya aku tak pernah alpa mengisi diagram. Namun, lambat laun malas menggelayutiku. Penyebabnya adalah bentuk diagram yang hampir sama dari tahun ke tahun. April hingga September kegiatan melempar menempati puncaknya. Sementara Desember hingga Februari ada di posisi terendah. Dari aktivitas harian, kegiatan mengisi diagram berubah menjadi aktivitas bulanan. Aku mulai khawatir dengan diriku sendiri. Waktu yang seharusnya kugunakan untuk mengingat-ingat detail penting demi mengisi diagram berubah menjadi keraguan tak berujung.
Aku menambah variabel diagramku dengan detail yang semula tak ada. Spidol merah tua kini tak hanya bertugas membubuhkan tanda titik tebal, tapi juga bentuk-bentuk yang mewakili jenis benda yang dilemparkan. Segitiga untuk jenis benda padat, segiempat untuk jenis makanan, dan titik tebal yang semula berlaku umum, kini mewakili benda di luar kategori segitiga dan segiempat. Aku menutup buku tulis bergambar kelinci, dan membuka lembaran baru diagramku. Buku yang seminggu kemudian saat kubuka lagi memberi gambaran serupa langit bertabur bintang. Sebentuk diorama yang mampu membuatku tersenyum sesaat, meski kemudian pandanganku kabur oleh tirai tipis yang jatuh sebagai butiran air saat kukatupkan pelupuk mataku.
Aku merasa membuat kekeliruan dengan menambah variabel itu. Bukan karena waktuku untuk Seto dan Saskia yang berkurang sehingga menyebabkan Seto terganggu dan makin sering menghakimiku dengan pertunjukan melemparnya. Bukan pula oleh belas kasihan Saskia padaku, yang kerap disalahartikan sebagai hasutan untuk memusuhi ayahnya sendiri oleh Seto. Tapi lebih pada keputusan yang tak mengarah pada penyelesaian. Aku tak membutuhkan mimpi untuk mengetahui rasanya jatuh ke lubang gelap tanpa dasar.
***
Dua hari sebelum ulang tahun Saskia yang ke-15, Seto mengajak aku dan Saskia berlibur di vila. “Hanya empat hari tiga malam. Berangkat Kamis, kembali Minggu. Lagipula vilanya tak jauh dari sini. Hanya 100 kilometer,” ujarnya. Saskia menyambut gembira, tapi aku langsung keberatan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, tentang kebiasaan Saskia merayakan ulang tahunnya bersama teman-temannya. Saskia sempat terdiam sesaat. “Kecuali kalau kita mengajak mereka sekalian,” lanjutku. “Jangan bodoh, itu tak mungkin,” timpal Seto seketika. Kedua, berhubungan dengan sisa cuti Seto yang sayang bila tak baik-baik dihemat. “Itu urusanku dengan kantor,” katanya. Sesungguhnya aku tak pernah ingin Seto cuti.
Sebelum tampak rimbunan pohon yang menyerupai hutan dari kejauhan, aku enggan mengikuti keinginan Saskia dan Seto untuk melintasi persawahan di sekitar vila yang kami kunjungi. Aku beralasan tak enak badan dan ingin bersantai sambil menghirup udara segar. Namun, saat penjaga vila membenarkan bahwa memang ada hutan di arah yang kumaksud, segera kuisi tas ranselku dengan bekal makanan secukupnya, dan satu stel pakaian. Sebuah buku tulis berisi diagram meluncur dari kemeja ganti yang akan kulesakkan ke dalam tas ransel. Dengan gerak cepat kuselipkan lagi ke dalam kemejaku yang terlipat rapi di dalam ransel.
Berjalan di urutan paling belakang memberiku keleluasaan untuk menikmati keheningan alam pegunungan. Aku mengikuti langkah Seto, Saskia dan pemandu kami, menyusuri pematang sawah. Saat tiba di persimpangan, kubuka telapak tanganku. Kompas di genggaman basah oleh keringat. Aku ingat betul ucapan penjaga vila tentang arah ke hutan yang kumaksud. Ia berlawanan dengan rencana perjalanan Seto. Kulambatkan langkahku sebisanya hingga membuat jarak yang makin jauh dari Seto dan Saskia. Setiap Saskia menegok ke belakang, aku berjongkok seperti mengamati tanaman di kanan-kiriku. Atau mengarahkan kameraku ke sebuah objek. Saskia, Seto dan pemandu, kian menjauh. Langkah dan suaranya tak lagi terdengar.
Segera aku berbalik. Berlari ke arah hutan. Tak kuhiraukan lagi jarak dan kapan aku akan mencapai hutan yang kutuju. Saat langit mulai gelap, kuturunkan ransel di pundakku. Kerongkonganku kering. Namun yang kulakukan pertama kali adalah mengeluarkan buku tulis diagramku. Melenyapkannya dari pandanganku dengan sekali lempar. Aku tak akan membutuhkannya di hutan nanti…
2017
Nastiti Denny, novelis dan penggerak dunia membaca, bermukim di Jakarta. Novel terkininya (Bukan) Salah Waktu (2013).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]
Leave a Reply