Cerpen Eka Handriana (Suara Merdeka, 05 Februari 2017)

Pacar Terakhir ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Semua ini berawal dari Wawan. Kekosongan kampung ini dan segala kekacauan yang kemudian mengisi, semua karena Wawan. Aku membencinya. Bukan hanya karena dia telah mencampakkanku, lalu kawin dengan gadis kota yang ia bawa ke kampung setiap lebaran dengan sedan mulus. Lebih dari itu.
Kubenci Wawan karena dialah bibit kehancuran tempat tinggalku ini.
Wawan rupawan dan paling pintar di kelas. Dulu, selalu kuimpikan dia menjadi pacar terakhirku. Saat berpacaran dengan dia, aku bersumpah dalam hati menjadikannya suamiku. Dia lembut. Dia kuasai sejenis kelembutan yang awet. Kelembutan yang tidak mau menyingkir dari kenanganku, sampai kini. Kendati aku sudah mengusir dengan sapu kebencian.
Melihat Wawan berjalan lewat depan rumahku, menggiring bebek-bebek cerewet, batin dan pikirku kompak berkata, “Wan, kelak kita akan saling membahu merawat bebek-bebekmu. Aku akan menjual telur asin, membersihkan kandang, dan meramu pakan. Kita akan membeli tanah untuk membuat kandang lebih besar.”
Sore itu, Wawan memintaku menemani. Menggiring bebek-bebek ke sawah Pakde Darjo yang padinya usai dipanen. Kami duduk bersebelahan di bawah pohon trembesi. Adem. Angin sore terasa ringan, kelihatannya tidak membawa terlalu banyak beban uap air.
Hatiku terenyuh mendengarkan Wawan bicara.
Wawan ingin kuliah. Dia tahu itu sulit, bahkan untuk menjadikannya sekadar kemungkinan pun sulit. Terlalu kecil upah ibunya yang setiap hari membantu mencuci baju-baju keluarga Pak Lurah. Uang tabungan hasil penjualan telur-telur bebek masih jauh dari cukup untuk biaya masuk kuliah. Jika seluruh bebek dijual pun masih kurang. Padahal, masa kelulusan SMA tinggal empat bulan lagi.
“Entahlah, Ni, tidak bakal cukup uangku. Namun aku ingin belajar. Sementara ini yang kulakukan hanya membaca apa saja. Biar kuliah tidak mungkin, paling tidak setelah lulus SMA nanti aku tidak bodoh-bodoh amat,” ujar Wawan di sebelahku, menggenggam buku fisika.
Aku setuju. Aku bangga pada Wawan. Dalam khayalku, kelak aku akan punya anak-anak yang dididik oleh bapak yang pintar dan ulet. Di antara kekecewaan Wawan, aku malah merasakan harapan. Harapan hidup tenteram bersama dia.
Dua bulan berlalu sejak sore itu. Masa ujian akhir segera tiba. Namun kami belajar dengan biasa saja. Tidak seperti pelajar-pelajar kota yang dikabarkan televisi. Kami tidak mengikuti les atau memperoleh pelajaran tambahan dari guru. Tidak meributkan bocoran soal ujian dan tidak sampai menggelar doa bersama agar bisa lulus ujian. Lantaran kami semua tahu, jika lulus pun tak bisa melanjutkan sekolah. Tak satu pun di antara kami sekelas yang punya orang tua berduit banyak.
Hanya anak Pak Lurah yang bisa sekolah terus sampai kuliah. Ya, Pak Lurah yang sejak aku duduk di bangku SD sudah menduduki kursi lurah. Pak Lurah selalu mengirim anak-anaknya ke kota ketika mulai bisa berjalan.
Maka bagi kami, bisa sekolah hingga SMA saja sudah jadi pencapaian di luar batas impian. Beruntung enam tahun lalu didirikan gedung SMP dan SMA dengan bantuan yang entah datang dari mana. Kami tetap menyebutnya gedung, meskipun enam ruang kelas dalam satu tanah lapang itu berdinding papan.
Ibu Surati, guru kami, datang seminggu dua kali. Selebihnya kami belajar sendiri. Saat ujian makin dekat, Ibu Surati tak menambah jadwal kedatangan. Ia hanya berpesan, “Kalian, 11 muridku yang tangguh, akan menjadi lulusan pertama sekolah ini. Buatlah sebuah kebanggaan.”
Selanjutnya Ibu Surati memberikan beberapa pengumuman. Di antaranya kami harus mengikuti ujian akhir di SMA kota. Salah satu pengumuman membuat kami semua bersorak. “Penuhi persyaratannya, siapa tahu kalian bisa mendapat beasiswa untuk kuliah,” ujar Ibu Surati menutup perjumpaan.
Aku tak bisa melupakan senyum lebar Wawan saat itu. Setetes resah menyusup di benakku. Senyum Wawan dibingkai keyakinan yang jelas kulihat. Ya, aku dan Wawan akan terpisah tak lama sejak detik itu.
Benarlah adanya. Setelah pengumuman kelulusan, Wawan datang ke rumahku. Ia berpamitan akan kuliah di Bandung. Hanya Wawan satu-satunya di antara kami yang berhasil meraih mimpi untuk terus sekolah. Sekali lagi, Wawan memang paling pintar.
Niscaya Wawan menjadi buah bibir di kampung. Tak hanya ibu Wawan dan aku yang bangga. Seluruh warga kampung acung jempol. Wawan menjadi anutan. Para orang tua berpesan pada anak-anak, sebelum tidur dan sebelum makan.
“Jadilah kamu seperti Mas Wawan, anak Bulik Warti. Kebanggaan orang tua.” Ibu-ibu hamil mengembuskan doa sambil mengelus perut agar anaknya kelak seperti Wawan.
Setahun sekali setiap lebaran, Wawan pulang menjumpai ibunya. Setahun sekali pula satu demi satu pemuda-pemudi dari kampung kami berpamitan untuk kuliah di kota, mengikuti jejak Wawan meraih beasiswa. Namun tak satu pun di antara mereka kembali tinggal di kampung kami.
Seperti Wawan, mereka hanya sejenak menginap di rumah kampung saat lebaran tiba. Paling lama satu minggu, lalu mereka kembali ke kota. Seperti Wawan, mereka sudah menemukan rumah baru di kota. Seperti Wawan pula, mereka bekerja di kota. Dibayar para majikan dari negeri-negeri yang tak kuketahui letaknya di dunia.
Mereka sudah lupa takaran dedak untuk ramuan pakan bebek. Mereka tak lagi ingat cara memotong dan menyimpan rumput agar tetap segar dan gurih dikunyah kambing. Dulu mereka begadang, membagi aliran parit untuk mengairi petak-petak sawah. Kini mereka bedagang untuk mengerjakan tugas dari bangku kuliah atau bekerja lembur untuk majikan.
Mereka tak lagi ada di kampung ini. Kampung ini menyisakan orang-orang tua dan sedikit pemuda-pemudi sepertiku. Yang tak hafal rumus fisika dan bodoh soal hitungan dagang. Yang ditinggalkan pacar terakhir.
Kampung ini kosong. Seperti aku yang sudah tak memiliki Wawan.
Dalam kekosongan, kampung ini seperti nenek yang makin hari kian renta. Saat berada di puncak kelelahan, kampung ini lengah tertidur. Maling-maling pun masuk dan mencuri apa saja yang bisa dicuri.
Dua hari lalu, aku dipanggil Pak Lurah untuk menandatangani lembar persetujuan yang sama sekali tak kumengerti isinya. Hal yang kupahami setelah membaca berulang-ulang lembaran itu, jika aku membubuhkan tanda tanganku, atau mencoret sedikit saja meterai tempel berkilau di atas namaku, kebun warisan bapak-ibuku akan dikeruk. Dikeruk bersama kebun para tetanggaku.
Di sudut ruang kantor kelurahan, kudengar Pak Lurah bicara soal pembangunan jalan. Jalan yang mulus diperlukan orang-orang kota untuk mencapai vila-vila yang menancap di sawah Pakde Darjo dan sekelilingnya. Kata Pak Lurah, kampung kami amat butuh jalan yang bagus.
“Putra-putri desa ini sudah banyak yang sukses di kota. Pekerjaan dan jabatan mereka di sana tidak main-main lo. Kalau lebaran, pastilah mereka akan pulang ke kampung, dan pasti mereka membawa mobil ta. Mereka sudah membanggakan kita semua, kampung ini harus membalas perjuangan mereka,” Pak Lurah terus berkata-kata. Namun nalarku yang bodoh ini tak kunjung bisa memahami.
Wajah Wawan terus menerus berkelebat di kepalaku. Di manakah dia saat aku merana di hadapan lembaran sialan ini? Kalau saja Wawan tidak pergi untuk kuliah di kota. Kalau saja Wawan setidaknya mau kembali tinggal di kampung ini. Semua yang menjadikan dia anutan tentu juga akan berlaku sama. Lalu maling-maling itu tidak akan masuk dan menjarah harta kami. Nalar bodohku berkata, semua ini memang berawal dari Wawan. (44)
Sadeng, 29 April 2016
– Eka Handriana, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, penulis lepas, tinggal di Semarang
Leave a Reply