Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 11-12 Februari 2017)
AKU pembunuh bayaran pemula. Aku baru bisa membunuh dua orang. Kini aku tengah bersiap untuk membunuh seorang jenderal. Agar bisa melepaskan diri dari kejaran militer atau polisi, aku perlu meniru bunglon. Aku perlu bermimikri menjadi siapa pun.
Tak sulit mengubah wajah dan nama di Bangkok. Pichet Rodchareon, temanku, bisa menyulap parasku menjadi raut siapa pun. Bisa saja dokter bedah plastik itu membongkar-pasang wajahku menjadi serupa muka badak, celeng, atau anjing dengan moncong berlendir. Bisa. Namun, atas permintaanku, kini dia sedang berusaha menjadikan aku sebagai Sirikit. Tentu bukan Sirikit si ratu tua yang tambun, melainkan putri langsing berusia 20-an dengan wajah Asia beralis setengah tebal dan rambut hitam sebahu.
Semua detail tubuh Sirikit—termasuk telinga lancip yang mengacung ke langit—begitu cepat berpindah ke tubuhku. Bahkan hidung tidak terlalu mancung khas Thailand milik sang ratu yang sangat disukai oleh Raja Bhumibol Adulyadej itu kini juga menjadi aksesori paling indah di wajahku.
“Aku masih bisa memermak wajahmu sembilan kali lagi. Kau suka Marilyn Monroe?” Pichet bertanya serius.
“Bagaimana kalau Muhammad Ali saja?” aku bercanda.
“Aku bahkan bisa mengubahmu menjadi Siddhartha Gautama kalau kau mau.”
Tentu manusia busuk yang tak mungkin mencapai kebijaksanaan tertinggi dan nirwana sepertiku tak pantas mengenakan tubuh sang Buddha. Lalu, karena aku juga tak mampu menggumamkan Om serupa nyanyian suci, serupa kercik sungai agung, serupa kicau burung-burung yang terus membubung ke langit, kuputuskan: jika punya kesempatan mengubah wajah lagi, aku lebih ingin tampak sebagai Raja Taksin saja. Ya, Raja Taksin. Bukan Thaksin Shinawatra muda.
“Apakah kau masih ingin memakai nama aslimu?”
Aku menggeleng. Namaku Saai Daeng atau Kiri Merah. Begitu wajahku berubah, aku hanya ingin bernama Trat-seru Taksin. Trat-seru adalah kata bahasa Thailand untuk menyebut pencerahan sempurna, sedangkan Taksin mengacu pada kesatria pengusir pasukan Burma yang kemudian mendirikan Kota Thonburi di sisi barat Sungai Chaopraya.
Terlalu jantan untuk penampilanku yang feminin? Biar saja. Toh, seandainya aku bisa mengubah wajah beribu kali hingga mati, yang tercantum di kartu identitasku tetap saja jenis kelamin laki-laki.
Jadi, aku tidak mau menggunakan nama Mom Rajawongse Sirikit Kitiyakara, sekalipun seluruh bagian tubuhku, kecuali alat kelamin, benar-benar mirip dengan bodi putri diplomat Thailand di Prancis itu.
***
PICHET menyangka aku mengubah penampilanku demi seks. Pichet keliru. Seks penting, tapi bukan segala-galanya. Meskipun berpenampilan perempuan, aku bukan pemuja laki-laki. Sekali waktu aku memang berkencan dengan mereka, tapi aku juga suka bercumbu dengan pria cantik dan perempuan.
Semua tindakanku berujung pada kepraktisan. Keputusan mengubah tubuh dan wajah juga demi kepraktisan, demi penyamaran. Aku tidak pernah menganggap tubuhku sebagai wihara suci yang tak bisa dirombak.
Keputusan itu muncul saat seseorang berwajah mirip Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva (tetapi mungkin berusia lima tahun lebih muda) memintaku membunuh Seh Daeng, jenderal angkatan darat yang terang-terangan memihak kepada demonstran berkaus merah, kepada pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
“Memasuki lingkaran Seh Daeng sangat sulit. Kau harus berubah jadi hantu dulu agar bisa menyusup ke kamar Panglima Merah itu,” kata pria berjubah biksu yang kuyakini sebagai perwira di Wat Bowon Nivet.
“Menjadi hantu?” tanyaku memancing.
Dia tidak segera menjawab. Pria yang mungkin meniru Jenderal Chalard Hiranyasiri dan mantan Perdana Menteri Thanom Kittikachorn—bersembunyi dan merancang strategi menghadapi musuh di wihara tua Distrik Banglampu, kawasan kota lama Bangkok—itu justru menyeringai. Dia tidak senang pada pertanyaanku.
“Mengapa harus menjadi hantu?” aku bertanya lagi.
“Tentu saja hantu hanyalah sebuah perumpamaan. Untuk bisa membunuh Seh Daeng, kau tak cukup hanya mengenakan kaus merah dan menyusup ke kerumunan para demonstran. Kau harus menjadi orang kepercayaan jenderal bodoh itu. Kau harus tak terlihat sebagai musuh. Kau harus bisa menyusup ke kamarnya dan menjadi pasangan Seh Daeng di ranjang.”
“Aku harus berubah jadi perempuan?”
“Kau hanya perlu berpenampilan sebagai perempuan. Seh Daeng, menurut informasi intelijen, suka pada apa pun yang berkaitan dengan Sirikit. Kau sanggup jadi Sirikit? Jika sanggup, kami akan mengontrakmu. Oh ya, kau tak perlu merisaukan tindakanmu benar atau salah. Berada di pihak kerajaan, kau tak akan pernah dianggap salah.”
Aku tak peduli berada di pihak kerajaan atau Thaksin. Toh banyak orang tak peduli pada nasib negeri ini. Jika peduli, siapa pun tak akan membiarkan para jenderal yang rakus akan kekuasaan melakukan kudeta hingga 19 kali sejak 1932 hingga 2006. Aku hanya peduli pada bayaran.
Masih ragu aku bakal melakukan perintah, sebelum meninggalkan aku dan berkerumun dengan para biksu, dia berbisik kepadaku, “Aku tak percaya kepada militer. Aku tak percaya kepada polisi. Aku dan pemilik negeri ini hanya percaya kepadamu. Rahasiakan semua tindakanmu untukku.”
Aku mengangguk. Anggukanku membuat perwira ganteng itu tidak lagi menyeringai.
***
AKU sudah bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkaran Seh Daeng ketika Ratu Sirikit dan Pangeran Vajiralongkorn menghadiri upacara kremasi Kolonel Romklao, tentara yang terbunuh dalam bentrokan berdarah di kawasan Phan Fah, 10 April 2010.
“Ratu tak di pihak Seh Daeng, tetapi aku juga tak di pihak Ratu,” aku membatin ketika pada hari lain Ratu Sirikit mengunjungi beberapa tentara di Rumah Sakit Phra Mongkut Klao.
Aku masih belum bisa mengajak kencan Seh Daeng, yang pada usia 58 masih tampak gagah, ketika para para demonstran mengarak peti-peti mati dengan mobil pikap keliling Bangkok, ketika 20 orang telah mati, ketika 825 demonstran luka-luka, dan lima tentara tewas.
Aku mulai ragu apakah Seh Daeng benar-benar menyukai apa pun yang berkaitan dengan Sirikit. Jenderal bernama Khattiya Sawasdipol ini memang pernah memandangku dengan takjub dan menyatakan kepadaku, “Wah, andai saat ini usiaku 20 tahunan.” Tetapi ia sedikit pun tak menyeretku ke ranjang.
Aku harus lebih aktif menunjukkan pesona. Saat berdekatan dengan Seh Daeng, misalnya, aku mencoba membuka dua kancing blus merahku. Sayang sekali, dia tetap saja dingin. Seh Daeng terkesan bisa mengendalikan apa pun yang diinginkan dan tak diinginkan. Dia melirik ke arahku dengan kegairahan luar biasa, tetapi pada saat yang sama bisa memalingkan wajah dengan kekuatan super.
Yang justru terjadi, kian dia membakar semangat para demonstran agar jika perlu memenggal leher musuh, aku justru makin berhasrat merengkuh pria perkasa itu ke dalam pelukanku. Dia memiliki pesona. Dia seperti memiliki sihir. Tubuh kekar, senyum tulus, dan tatapan mata sejuk adalah kombinasi yang membuatku ingin berada dalam pelukannya.
Aku tak menyerah. Aku terus menggoda Seh Daeng. Aku kuntit ke mana pun sang jenderal pergi. Aku penuhi apa yang diinginkannya, hingga akhirnya aku bisa menjadi pelayan tunggal yang paling dipercaya. Kulakukan semua tindakanku dengan wajar sehingga Seh Daeng tak curiga.
Tak perlu menunggu lama untuk berada satu kamar hotel dengan Seh Daeng. Beberapa saat setelah Menteri Pertahanan Prawit Wongsuwan menandatangani pemecatan lelaki yang kuanggap paling indah itu, aku menyajikan gin dan tonik kepada Seh Daeng. Dia menikmati minuman yang cukup memabukkan itu dan akhirnya bisa kuseret ke ranjang.
“Pemimpin-pemimpin Kaus Merah mulai lembek. Mulai mau bekerja sama dengan pemerintah. Mereka itu jelas pemimpin-pemimpin idiot,” kata Seh Daeng, sambil menelungkupkan tubuh.
Tak kurespons pertanyaan itu. Aku justru menawari sesuatu yang memungkinkan dia bisa segera kutaklukkan.
“Sebagaimana Sirikit, aku mahir memijat. Mau kupijat?” kataku, sambil terus berpikir mencari cara terbaik untuk merampas pistol Seh Daeng dan segera memuntahkan peluru ke kepala atau tengkuknya.
Seh Daeng tidak menjawab, tetapi kemudian membuka baju dan kembali menelungkupkan tubuh besar dan kekar itu. Dia juga menyembunyikan pistol di balik bantal.
“Otot-otot Jenderal perlu diregangkan,” aku mulai memijat, “Setelah kupijat otot-otot dan sendi bermasalah, Jenderal akan merasa segar dan merasa lebih muda lagi.”
Aku meremas kuat-kuat bahu, menekan kedua jempol ke sekitar pinggang dan tulang belikat, serta meraba dengan lembut bagian punggung kira-kira setengah jam. Tentu saja selama itu aku menahan hasrat untuk mencumbu lawan sekaligus pujaanku itu.
“Apakah aku perlu telentang?” Seh Daeng mendesis.
“Belum waktunya,” kataku pelan-pelan, sambil mengusap keringat.
Aku gemetar. Aku tegang.
“Aku merasa usiaku berkurang 15 tahun,” desah Seh Daeng juga sambil mengusap keringat, “Siapa tahu kalau aku telentang dan kau pijat, usiaku bisa berkurang 15 tahun lagi, sehingga aku kembali berumur 28 tahun. Jangan-jangan kau memiliki jari-jemari Kamala, jari-jemari yang melenakan Siddharta? Dan karena kau Kamala, guru cinta Siddharta, mari kita bercinta…”
Aku kaget. Pertama aku bukan Kamala, pelacur kelas tinggi yang bisa mengajak Siddharta melakukan 30 hingga 40 permainan cinta. Kedua, aku tidak ingin kedokku sebagai Sirikit palsu terbuka. Ketiga, sangat mungkin dalam situasi yang kecewa, Seh Daeng langsung mengacungkan pistol dan menghancurkan kepalaku tanpa belas kasih, tanpa cinta.
Karena itu, karena aku juga belum bisa merampas pistol Seh Daeng. Aku memilih terus memijat punggung Seh Daeng, mengurut sendi dan otot, dan terakhir memijat bagian belakang tumit kaki dan telapak kaki atas dan jempol agar dia tertidur.
Akhirnya, Seh Daeng tertidur. Tangan kanannya menyusup ke bantal, menggenggam pistol. Aku segera meninggalkan hotel dan segera mencari taktik baru untuk membunuh Jenderal Merah.
“Ternyata ganti tubuh dan wajah bukan cara yang praktis. Tapi aku tak menyesal. Aku harus mencari cara membunuh yang lebih praktis,” aku membatin.
***
KUPUTUSKAN aku akan menembak Seh Daeng. Aku sudah mempelajari tempat-tempat mana saja yang kerap digunakan Jenderal Merah melayani wawancara oleh wartawan. Bisa di dekat panggung para demonstran Kaus Merah, kawasan Ratchaprasong, bisa juga di gerai McDonalds’s Amarin Plaza. Namun aku akan membunuh Seh Daeng di perempatan Jalan Silom dan Jalan Rama IV.
Aku memilih menembak dari Hotel Dusit Thani. Dari jendela, kulihat Seh Daeng sedang bercakap-cakap dengan wartawan. Mungkin dia sedang bilang, “Tak akan ada militer yang menyusup ke Ratchaprasong. Tak akan ada yang bisa membunuhku di jalan-jalan.”
“Kau tidak bisa memilih di mana harus mati, Jenderal. Kau tidak bisa memilih mati secara indah di ranjang,” aku mendesis sambil mempersiapkan senapan.
Mendadak telepon genggamku berbunyi. Aku tidak mengenal nomor yang muncul di layar.
“Halo…”
Tak ada jawaban.
“Halo…,” aku menyapa lagi.
“Ya, halo, kau sudah siap? Kau tetap akan menembak Seh Daeng?” suara yang kukenali sebagai suara perwira di Wat Bowon Nivet itu bertanya pelan.
“Ya. Tak ada cara lain. Aku harus menggunakan taktik ini.”
“Tak ingin mencoba taktik baru? Dengan memberi arsenik di teh atau sianida di kopi?”
Aku menggeleng. Aku memutuskan hubungan telepon. Aku tak ingin diatur. Aku lalu membidik kepala sang jenderal. Aku melesatkan peluru. Aku mendengar letusan.
Aneh, pada saat yang sama, bahu sebelah kananku seperti dihantam gada dari belakang. Aku masih sempat meraba dengan tangan kiri sebelum pada akhirnya pingsan. Ada darah yang mengucur. Ada daging yang memburai. Seseorang, mungkin penembak jitu lain, telah menembakku dari belakang. Dia telah menyusup ke kamarku sebelum aku menembak Seh Daeng.
“Apakah aku sudah menembak Seh Daeng?” aku membatin.
Pada akhirnya aku memang tahu Seh Daeng telah mati. Namun aku ragu apakah dia mati oleh peluruku atau penembak jitu lain. Pada akhirnya, suara perwira menghardikku, “Kau pembunuh yang lemah. Bagaimana mungkin kau bisa kuminta membunuh raja jika menghabisi jenderal bodoh saja kau tak mampu!”
Tak kujawab hardikan itu. Aku merasa dikhianati. Aku merasa akan dilenyapkan setelah membunuh Panglima Merah. Aku hanya ingin meneriakkan, “Ommmmmmmmmmm!” sekeras mungkin agar segalanya menjadi sunyi, diam, tak meledek kekerdilanku.
2017
Triyanto Triwikromo adalah penerima anugerah Tokoh Seni Pilihan Tempo 2015 (bidang puisi) untuk buku Kematian Kecil Kartosoewirjo. Ia juga menerima Penghargaan Sastra 2009 dari Pusat Bahasa untuk antologi cerpen Ular di Mangkuk Nabi.
Untuk artikel Sastra dan Puisi Koran Tempo Akhir Pekan bisa dikirim ke email: sastra@tempo.co.id
Leave a Reply