Oleh Faza Farhana
SUAMIKU menyuruhku menulis.
Aku bingung mau menulis apa. Ini adalah kali pertama aku mencoba menulis. Entah seperti apa jadinya, aku sendiri tidak tahu. Mungkin dimulai dari seperti menulis buku harian saja ya? Tidak ada salahnya kan? Yang penting mencoba. Aku sudah berjanji pada suamiku tercinta untuk belajar menulis.
Baiklah, mari kita coba. Bismillah….
Ini bermula dari percakapan kami sebagai sepasang suami istri yang baru saja menikah, yang bingung menentukan apakah aku sebagai seorang istri harus bekerja atau tidak. Suamiku bekerja di sebuah kementerian pemerintah kantor pusat yang menuntutnya untuk sering dinas ke luar kota. Hal ini otomatis membuatku sering ditinggal sendiri di rumah.
Di tempat perantauan yang jauh dari keluarga dan teman, membuatku sering dilanda rasa bosan. Meskipun sudah sekuat tenaga kuperangi rasa bosan itu dengan kegiatan yang positif, seperti membaca, tilawah atau mengerjakan pekerjaan rumah, tapi rasa itu tetap saja kerap kali datang. Maklum, selama ini, sebelum aku menikah, aku terkenal super sibuk. Sejak pagi hingga malam, dari hari Senin hingga Minggu. Mulai dari mengajar di beberapa sekolah, kampus, mengisi les privat, menghadiri kajian/majelis ta’lim, dan seabreg kegiatan lainnya. Namun setelah menikah, semua berubah drastis. Aku harus stand by di rumah. Tentu saja wajar jika aku dihinggapi rasa jenuh.
Suatu siang terjadi percakapan antara aku dan murobbiyah—sebutan untuk pembimbing wanita di lingkungan sebuah gerakan dakwah. Beliau memberi masukan kurang lebih begini, “Ibu kurang setuju kalau wanita yang sudah menikah bekerja. Wanita yang sudah menikah sebaiknya fokus mengurus suami dan rumah tangganya. Jangan sampai karena kita para istri lelah bekerja, lalu untuk mengurus suami dan anak-anak hanya tinggal energi sisa. Padahal berjuang di rumah juga termasuk jihad. Kalaupun terpaksa harus bekerja, cari pekerjaan yang waktunya fleksibel dan tidak mengikat. Bila perlu cari pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah agar tetap bisa mengurus anak dan suami dengan maksimal. Jangan sampai demi pekerjaan lalu hubungan dengan suami jadi tidak harmonis. Banyak kasus yang terjadi, istri bekerja, hubungan dengan suami jadi berantakan, bahkan berujung pada perceraian. Kalau sudah menikah, salah satu harus mengalah, dan sebaiknya istri yang mengalah, karena tugas mencari nafkah bukan tugas istri, tapi suami.”
Karena mendengar nasihat murobbiyah di atas dan mendengar banyaknya kasus perceraian dan perselingkuhan akibat istri bekerja, aku yang sebelumnya sangat ingin bekerja jadi mulai ragu. Ingin bekerja, tapi juga tidak ingin bekerja. Ingin bekerja, tapi takut suami selingkuh. Godaan suami di luar kan sangat besar. Bagaimana jika suami selingkuh karena istri sibuk bekerja, waktu berjumpa dengan istri jadi berkurang? Membayangkan itu semua, timbul ketakutan yang luar biasa.
Tanpa membuang waktu, aku langsung menghubungi suamiku yang saat itu sedang dinas ke Bandung selama dua hari. Kuceritakan semua padanya percakapan kami tersebut. Mendengar penuturanku, suamiku lalu menyarankan agar aku jadi penulis saja. Menjadi penulis bisa dilakukan di rumah dengan tetap bisa fokus memantau suami dan anak-anak nantinya. Maklum, itu karena dia juga seorang penulis. Dia mempunyai impian kelak bisa duet menulis dengan istri tercinta. Suit-suit…. 😀
Dengan berat hati, aku pun menyetujui saran suami. Bukan berat hati karena tidak suka dengan keputusan suami, tapi berat hati karena jujur saja sejauh ini aku belum pernah menulis sama sekali. Aku takut tidak bisa. Bahkan membaca buku/majalah fiksi pun aku paling benci. Daripada membaca buku/majalah fiksi, lebih baik aku membaca buku-buku non fiksi ‘berat’ seperti “Benturan Peradaban” karya Samuel P. Huntington, “Bayang Gurita, Mengungkap Pergerakan Freemanson dan Organisasi Anti Islam Dunia” Jerry D. Gray, “Dokumen CIA” Tim Weiner, dan semisalnya.
Tapi, bukan suamiku kalau tidak berbakat memotivasi. Dia langsung menyemangati dan meyakinkanku bahwa aku pasti bisa. Hampir tiap hari dia selalu menyemangatiku untuk menulis. Bahkan meski sedang tugas keluar kota sekali pun, dia masih saja sempat menyemangatiku lewat sms-smsnya yang rajin mampir ke ponselku. Mau tidak mau, aku pun mulai tergerak untuk mengambil laptopku dan mulai mengetik sebisaku.
Ah, suamiku memang luar biasa. Ya Allah, kekalkan kami hingga ke surga-Mu kelak. Amiin….
Mmm, maka jadilah tulisan ini karya pertamaku. 🙂 (*)
.
.
Jakarta Selatan, 29 Juli 2011 23:46 WIB
.
Ronnie
🙂 aq ingin awal yang seperti anda
Abdul Hadi
Hei. Mbak Faza. Kan nulis bukan cuma nulis fiksi. Bisa juga nulis nonfiksi. Kenapa harus terpaksa?
Fiyan Arjun
salam kenal untuk bidadari Kak Setta…hehe
eviandriani
Assalamu’alaikum mba Faza,
Semangat ya mba…
Kita sama mba..
Awalnya Evi pun kurang suka, malah bisa di bilang benci membaca karya-karya novel, cerpen dankarya fiksi lainnya. Lebih asyik baca yang non fiksi atau buku-buku teknik atau kedokteran..
Namun perlahan-lahan, walaupun agak lama prosesnya, bisa juga menulis mba.
Tidak pun hrs sastra tapi tulisan inspiratif yang mencerahkan umat, sangat luar biasa.
Salam santun dr Medan ya mba
~Evi A.~