Khoimatun Nikmah

Piring Cuil

0
(0)

Cerpen Khoimatun Nikmah (Republika, 19 Februari 2017)

piring-cuil-ilustrasi-rendra-purnama-republika

Piring Cuil ilustrasi Rendra Purnama/Republika

Pagi tadi, kamu menyisakan setengah sandwich. Kamu hanya menggigit dua kali. Padahal, setangkup roti tawar isi selai kacang itu sudah kubakar sesuai seleramu, sedikit gosong. Seolah kurang suka, kamu perlu mendorongnya dengan seteguk jus jeruk. Sebelum gigitan kedua terkunyah sempurna, kamu berdiri terburu-buru meninggalkan meja makan.

Potongan sandwich teronggok diam. Kamu mengatakan bakal lembur di kantor. Kubalas dengan senyuman. Andai kamu sempat meneliti, kamu akan menemukan keganjilan pada senyumku. Sumbang dan ganjil. Jujur, pagi tadi aku tak ikhlas melepasmu pergi. Ada pojok hati yang terus memberontak.

Setelah deru mobilmu tak lagi terdengar, rumah semakin sepi yang mengebiri. Detak jam mempermainkan kegalauan. Perasaan aneh mulai menjangkiti. Apa aku sudah bukan lagi istri yang berbakti hingga boleh kamu cuekan begitu saja? Aku menangis. Dadaku sesak. Aku tak tahu mengapa kamu berubah sedemikian cepat. Sedang menunggumu menjelaskan alasan perubahan itu semustahil menunggu Jakarta bebas macet.

Belakangan, kamu pulang terlambat dengan alasan klise; lembur dan macet. Makanan di piring tak kamu habiskan dengan dalih makan di kantor, ditraktir teman, ada syukuran, dan seterusnya. Katamu istri semakin seksi bukan saat memakai setelan kerja rok mini, melainkan saat dibungkus celemek dapur belepot bumbu dan terasi. Apa itu sekadar rayuan sebelum mencumbu?

Saat buku nikah kita miliki, aku melepas semua pekerjaan dan 100 persen menjadi istrimu. Tetapi sekarang? Semua terasa salah. Di saat kosong seperti ini, kadang muncul hasrat kembali menjadi wanita karier dengan segudang aktivitas. Aku merasa seperti disekap di kamar sedang kamu membuang kuncinya entah kemana.

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku duduk mengelap peluh. Kukirim pesan singkat mengingatkanmu agar tidak terlambat makan. Kutekan ‘send’ sambil mengelap kuncup air mata yang berbunga lebat.

***

Aku pergi ke rumah Ambar, karib lamaku. Kamu pasti mengetahuinya. Kesanalah aku bisa menemukan pundak yang bisa ditumpangi untuk merebah, atau telinga yang begitu sabar mendengar semua curahan gundah. Aku sering berkeluh kesah dengan Ambar. Siang ini Ambar seharian akan di rumah.

Baca juga  Ramalan Kematian

Ambar menjadi ibu rumah tangga tanpa embel-embel wanita karier dan dia bahagia. Aku ingin meniru resep bagai mana Ambar terus bertahan dengan rutinitasnya. Setelah menjadi istri, Ambar melepas kariernya sebagai desainer interior. Ambar seperti terkena sihir. Ambar menemukan labuhan baru yang lebih indah ketimbang menuruti passion-nya.

Suamiku tidak melarangku bekerja, Mila. Tetapi, kurasa menjadi ibu dan istri itu adalah pekerjaan paling mulia, Ambar berkata sambil menempeli hiasan Spongebob pada rak buku di kamar Nicola, anaknya. Aku tetap bisa menjadi ahli interior di rumahku sendiri. Suami dan anakku adalah pelanggan nomor satuku.

***

Ketika aku datang, Ambar di dapur. Badannya ditutupi celemek krem penuh bercak adonan. Rambutnya sebahu ditutup kain merah dadu. Nicola berlarian sambil mengunyah batang cokelat.

“Kalian seru sekali,” aku memuji Ambar dan Nicola.

Aku lepas cardigan dan meletakkan di kursi. Dengan sinar matahari yang lolos dari jendela tinggi besar, tampak peranti memasak berserakan di meja. Mixer, mangkok-mangkok kaca dipenuhi adonan, bahan-bahan mentah, loyang, dan tentu ceceran tepung dan telur di mana-mana. Berantakan, tapi Ambar tampak bahagia.

Lama sekali aku tidak berlaku bebas, seperti yang Ambar dan anaknya lakukan siang ini. Mereka memasak menu yang terlihat aduhai di majalah. Memasak tanpa beban. Tanpa harus memedulikan komentar orang lain. Apa boleh menyebut kamu, yang masih sah suamiku sebagai orang lain?

Kegembiraan itu menular. Hatiku yang sedari tadi kisut mengembang seperti adonan kue terkena gist. Mataku tidak lagi kuyu. Ocehan Nicola seperti melunturkan lebam-lebam kecil karena kebekuanmu selama ini. Mungkin ini yang membuat Ambar bahagia menjadi ibu rumah tangga karena ada Nicola yang seperti tak mengenal rasa duka. Apa karena rahimku belum berisi hingga kamu mendinginkanku?

Nicola tak berhenti merecoki Ambar. Gula yang seharusnya dua cup, dengan enteng Nicola menambahkan segenggam tangan. Ada ceceran adonan di meja, di pakaian, beberapa menggaris di muka. Akhirnya adonan kalis dan mengembang. Ambar memasukkannya ke dalam oven dan menyetel timer selama 30 menit.

Baca juga  Cinta di Ujung Senja

Setelah membereskan dapur, Ambar mengajakku berbincang sambil menunggu adonan matang.

Kuseruput teh. “Ambar, aku iri dengan keluargamu.”

Aku tidak berani berterus terang kepada Ambar tentang kegelisahan atas perilakumu. Tapi, Ambar selalu mudah memahami. Memang perempuan kadang lebih peka dan laki-laki kadang terlalu mudah berubah.

“Mereka sekarang adalah harta terbesarku.” Ambar menyaksikan Nicola dengan mata yang berbinar gembira.

“Kamu pernah marah dengan mereka?”

“Tentu pernah. Tapi, aku tidak akan membencinya,” Ambar tersenyum sambil menepuk pundakku.

Kuyakin Ambar dapat merasakan betapa letihnya aku mengurus keluarga kecilku, yang hanya ada aku dan kamu. Aku tidak bisa sehebat dia untuk menjadi ibu rumah tangga.

Nicola berteriak memekak mengingatkan bahwa adonan sudah matang. Suara timer berbentuk kodok memekik. Ambar gegas ke dapur. Nicola melonjak-lonjak tidak sabar.

Loyang dikeluarkan dari oven. Ambar memakai sarung tangan dan berhati-hati agar tidak jatuh mengenai Nicola yang tidak sabar. Aroma harum menggiurkan selera. Perlahan kue berbentuk lingkaran dengan diameter dua puluh sentimeter menampakkan wujudnya di atas piring. Tidak bantat. Kismis dan kacang almond di atas kue terlihat kecokelatan.  Aroma perisa pandan memenuhi ruangan. Sungguh nikmat melihat kue hasil kerja keras jadi dan terlihat lezat.

Nicola kegirangan. Mungkin dalam pikirannya berkecamuk, bagaimana mugkin adonan lengket yang tadi ia mainkan ketika dimasukkan dalam kotak kaca selama 30 menit berubah menjadi sedemikian enak. Nicola semakin tidak sabar.

Saat Nicola melompat-lompat, tangannya menyenggol piring berisi kue.  Terjatuh. Kue porak poranda berceceran di lantai keramik.

Andai Nicola anakku, pasti sudah kujewer telinganya. Kumarahi. Omelanku akan meluncur. Boleh saja gembira, tapi merusak hasil kerja keras itu perbuatan sia-sia.  Memanjakan anak berlebihan tentu berefek tidak baik. Kenakalan harus tetap dihukum agar tidak berulang. Pelajaran baik memang kadang pahit, tetapi manis buahnya.

Wajah Ambar tenang tak marah. Ambar mengelus kepala Nicola dan mencium keningnya. Lalu menggelitiki perut Nicola. Ambar mengingatkan dengan kalimat yang halus agar Nicola tidak ceroboh lain kali.

Baca juga  Seratus Tahun Berlari

“Nicola masih anak-anak. Cara berpikirnya pun anak-anak,” Ambar meraih piring. Piring itu kini cuil di pinggir dan retak di beberapa bagian.

“Tetapi…,” belum kulanjutkan kalimatku, Ambar sudah memotong.

“Hati itu lebih getas dari pada piring ini, Mila. Kalau piring cuil bisa beli lagi, tapi hati cuil tidak bisa dilas. Selamanya luka.”

“Kamu terlalu lembut, Ambar.”

“Atau sifat kerasmu belum juga berubah. Perempuan memang harus tangguh, tetapi ibu adalah muara kelembutan.”

Protesku yang biasa meluncur dengan mudah terhenti di pangkal tenggorokan.

“Piring ini kuibaratkan sebagai keluarga. Keluargaku memang kecil, dan menurut orang itu tidak terlalu penting untuk diprioritaskan. Buktinya banyak orang mencibir pilihanku menjadi ibu rumah tangga fulltime. Tetapi, ini berharga.”

“Aku tidak pernah mencibirmu sebagai ibu rumah tangga, Ambar.”

“Selayaknya keluarga, tidak akan kutelantarkan. Meski cuil akan terus kusimpan. Ambar mengelap sisa kue yang menempel di piring. Sebagai pelajaran bahwa keluarga harus dijaga tidak boleh pecah. Apalagi yang mau dicari, Mila?”

“Itu sebabnya kamu sangat bahagia menjadi ibu rumah tangga dan membesarkan Nicola?”

“Lantas apalagi?”

Lalu, bagaimana piring keluarga kita? Sudah remukkah? Atau sudah lama menghilang? Tanpa dikomandoi air mataku jatuh.

“Kamu tentu mendengar semua cerita Ambar. Kamu sudah tahu apa jawaban masalahmu,” wajah Ambar berseri-seri.

Aku merebahkan kepala di pundak Ambar yang terasa lebih besar dan kokoh.
Apa kamu juga berpikir sama denganku?

 

 

KHOIMATUN NIKMAH lahir 26 Agustus 1998. Menulis resensi buku dan cerpen di Koran Jakarta, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Harian Nasional, dan Tabloid Nova. Masih berstatus sebagai mahasiswa Teknik Sipil di Universitas Semarang.

Catatan: cerpen ini terinspirasi komik karya Kim Dong Hwa. Piring istimewa yang cuil.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!