Cerpen Dadang Ari Murtono (Suara Merdeka, 19 Februari 2017)

Meninggalkan Semut di Masjid ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Hujan turun. Butiran-butiran air sebesar biji jagung menghajar genting dan ranting, pohon dan kebun, dan memaksa orang-orang menyembunyikan diri dalam rumah masing-masing. Angin buruk berembus. Tiang listrik di ujung gang bergoyang-goyang. Tiga dahan besar pohon trembesi di pinggir jalan patah dan melintang dari tepi ke tepi yang lain. Itulah salah satu sore terburuk sepanjang 1987.
Di antara guyuran hujan dan deru angin menggila, samar-samar terdengar entakan kaki yang diayunkan dengan berat. Langkah seorang lelaki berjaket tebal usang. Ia mengenakan fedora dengan tiga tambalan dan kacamata hitam. Tak ada tempat berteduh, ia menggumam. Dan ia terus berjalan. Seperti juga tak ada tempat sembunyi dari maut jika waktunya sudah tiba, ia kembali menggumam, kali ini sambil mengetatkan jaket. Di balik jaket itu, seekor semut diam dalam saku baju, basah tapi aman. Seekor semut yang ia pungut dari jatuhan dahan trembesi. Tapi waktunya belum tiba bagimu.
***
Empat puluh hari setelah Kiai Haji Alim Alimin wafat dalam damai pada usia 91, Ali si bilal bersumpah melihat sesosok makhluk aneh duduk dekat pengimaman masjid wakaf yang ditinggalkan Kiai Haji Alim Alimin. Tapi ia bukan manusia, ujar Ali si bilal dengan napas tersengal. Sungguh, demi Allah, lanjutnya.
Mak Ijah si pemilik warung mengangsurkan gelas berisi air putih yang segera ditandaskan Ali. Ia tampak masih kesusahan mendapatkan kendali penuh atas diri sendiri. Hari itu Jumat. Dan tak satu pun penduduk di sana yang ingat menunaikan shalat jumat.
Seperti kalian tahu, aku datang pukul 10.30 seperti biasa untuk menyiapkan segala keperluan shalat jumat. Tidak ada yang aneh. Pintu depan masih terkunci. Pagar tertutup tapi tidak dikunci. Semua seperti biasa. Aku masuk seperti biasa. Aku membuka pintu depan seperti biasa. Dan aku melihat makhluk itu. Aku melihat makhluk itu.
Seperti apa makhluk itu? Seseorang bertanya.
Penuh bulu. Besar. Kakinya banyak. Aku tak tahu jumlah pastinya. Tapi banyak. Dan ia sangat hitam.
Apa kau tidak bermimpi?
Aku bersumpah. Demi Allah.
Beberapa orang kemudian memeriksa masjid itu. Mereka kembali ke warung Mak Ijah beberapa saat kemudian dan mengatakan tak melihat makhluk seperti diceritakan Ali si bilal. Tapi bagaimanapun, Ali si bilal adalah satu dari sedikit orang yang tak memiliki riwayat suka membual. Maka sesuatu yang tidak beres pasti sedang terjadi. Kerumunan orang makin banyak. Mereka yang hendak ke masjid berhenti di warung Mak Ijah dan melibatkan diri dalam kerumunan. Sebagian di antara mereka heran kenapa tidak ada azan siang itu segera mendapatkan jawaban. Namun ingatan mereka tentang kewajiban menunaikan shalat jumat benar-benar muksa. Apa yang terjadi dengan Ali si bilal ternyata lebih menarik dari sekadar ancaman dosa dan neraka.
***
Kiai Haji Alim Alimin tak pernah terdaftar sebagai calon haji. Namun tak seorang pun meragukan orang suci itu setiap tahun, pada musim haji, berziarah ke Tanah Suci dan menunaikan semua rukun haji. Banyak orang, bukan satu-dua, bersaksi bertemu Kiai Haji Alim Alimin di sana. Meski pada waktu bersamaan, orang-orang di sekitar tempat tinggal Kiai Haji Alim Alimin juga bersumpah sang kiai tidak pergi ke mana-mana. Itulah yang membuat orang-orang yakin Kiai Haji Alim Alimin memiliki karomah yang membuatnya bisa berada di banyak tempat pada waktu berbarengan. Beliau hanya perlu membatin ingin pergi ke mana dan hanya sekedipan mata, beliau sudah berada di tempat itu.
Begitulah kabar beredar. Begitulah ia mendapatkan gelar kiai haji, meski tak menyukai orang-orang memanggil begitu.
Itu bukan cerita satu-satunya tentang kehebatan Kiai Haji Alim Alimin. Pada 1984, yang dikenal dengan tahun kesuraman lantaran wabah tikus menghancurkan lahan pertanian dan menjarah isi dapur orang-orang dan pemerintah kabupaten menyerah lantaran segala upaya untuk membasmi hama itu tak membuahkan hasil, Kiai Haji Alim Alimin konon berbicara dengan seekor tikus. Kemudian, bersama tikus itu, Kiai Haji Alim Alimin pergi ke sebuah gorong-gorong. Di situlah kabarnya raja tikus tinggal. Kiai Haji Alim Alimin, dengan karomahnya, berunding dengan si raja tikus. Keesokan harinya, tak ada lagi tikus berkeliaran.
Beliau tidak hanya bisa berbicara dengan binatang, tetapi dengan tumbuhan dan jin, juga angin.
Seperti Kanjeng Nabi Sulaiman.
Benar-benar beliau orang suci.
Orang suci yang sederhana.
***
Kiai Haji Alim Alimin hidup selibat sampai malaikat maut menjemput. Orang tuanya juragan tanah dan sang kiai ahli waris tunggal dari kekayaan yang melimpah. Setelah orang tuanya meninggal, Kiai Haji Alim Alimin menyedekahkan kekayaannya untuk panti asuhan, anak-anak yatim di sekitar tempat tinggalnya, pembangunan jalan, perbaikan rumah warga kurang mampu, menyekolahkan anak-anak jalanan, dan hal-hal lain semacamnya. Ia memugar rumah warisan yang ia tempati menjadi masjid dan ia wakafkan. Di samping masjid, dibangun bilik kecil tempat Kiai Haji Alim Alimin tinggal.
Aku hanya meminjam bilik ini saja. Ini bukan milikku, ujar Kiai Haji Alim Alimin berulang kali.
Beliau melakukan semua itu agar perhatiannya sepenuhnya tercurah kepada ibadah, kata orang-orang.
***
Dalam hidup, seseorang hanya perlu berjalan. Kadang berjalan dalam arti kiasan. Kadang berjalan dalam arti harfiah.
Begitulah. Hari itu, ketika langit mendung dan bibit angin mengabarkan badai, Kiai Haji Alim Alimin, tanpa mengerti benar apa alasannya, berjalan ke ujung gang saat orang lain bersiap menyambut hujan dahsyat dengan menutup pintu dan meracik wedang hangat. Ia berjaket tebal usang satu-satunya miliknya, fedora dengan tiga tambalan, dan kacamata hitam. Dari ujung gang, ia berbelok ke arah jalan raya. Ia menunggu sesaat sebelum badai benar-benar tiba. Tak lama kemudian terdengar derak dahan trembesi besar.
Kiai Haji Alim Alimin berjalan ke arah jatuhan dahan itu. Langit makin gelap. Ia membalik dedaunan, menyingkirkan ranting-ranting kecil, menyingkap rerimbunan. Kemarilah, makhluk kecil.
Jangan sentuh aku, makhluk itu menjawab. Suaranya tipis dan tajam. Aku tak tahu lagi apa yang aku cari.
Ya, hampir semua makhluk tak tahu apa yang mereka cari.
Kau tak tahu rasanya menjadi makhluk hina.
Semua makhluk hina. Hanya Allah yang mulia.
Kau makhluk mulia. Manusia makhluk mulia. Kau tak tahu rasanya menjadi aku. Kau tak tahu.
Kau juga tak tahu rasanya menjadi manusia. Kemarilah.
Makhluk itulah yang mendekam dalam saku Kiai Haji Alim Alimin salah satu sore terburuk sepanjang 1987.
***
Tak ada yang tahu bagaimana Kiai Haji Alim Alimin menghadapi malaikat maut. Orang-orang membuka pintu bilik setelah tak mendapati Kiai Haji Alim Alimin keluar dari sana selama tiga hari. Bau harum menyeruak ketika pintu itu dibuka.
Masya Allah.
Innalillahi.
Benar-benar beliau orang suci.
Bagian tak ada yang tahu bagaimana Kiai Haji Alim Alimin menghadapi malaikat maut tak sepenuhnya benar. Si semut, yang semenjak salah satu sore terburuk sepanjang 1987 senantiasa mengikutinya, yang mendengar semua yang dia katakan, mengetahui benar bagaimana si orang suci mengeluh tiga kali ketika nyawanya sampai di tenggorokan, lalu mengucap syahadat dengan payah, lalu terpejam selamanya, dengan sesungging senyum di bibir. Beberapa menit sebelum saat-saat menyedihkan itu, si kiai berkata kepadanya, sering-seringlah ke masjid ini. Tapi, maaf, kau tak bisa tinggal di bilik ini. Aku hanya meminjam, dan karena itu meski aku ingin, aku tak bisa mewariskan kepadamu. Kau tak perlu terus-terusan menyembunyikan diri dalam wujud seekor semut.
***
Ada jin di masjid itu, ada jin. Pasti, ucapan itu keluar setelah 14 orang dalam jangka waktu sebulan setelah Ali si bilal tersengal-sengal di warung Mak Ijah mengutarakan melihat sesosok makhluk aneh tengah duduk dekat pengimaman. Jangan-jangan itu roh Kiai Haji Alim Alimin.
Bisa saja.
Hus, jangan omong sembarangan.
Beliau orang suci.
Lo, bukankah di makam para wali dan kiai juga sering ada penampakan seperti itu? Itu tanda mereka masih bersama kita, menjaga kita. Itu berkah. Kita semestinya melantarkan doa-doa melalui beliau, biar lebih cepat dijawab.
***
Bertahun-tahun kemudian, ketika luas masjid wakaf Kiai Haji Alim Alimin bertambah tiga kali dari ukuran semula dan jamaah yang datang sering meluber hingga trotoar jalan raya dan banyak hotel serta restoran berdiri di sekitarnya, seekor semut merayap di pinggir selokan. Ketika mendengar orang-orang berdoa dan meminta berkah serta dimudahkan hajatnya kepada Hadratus Syekh Kiai Haji Alim Alimin, ia merasa matanya basah. (44)
– Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto. Buku ceritanya yang sudah terbit Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu (2015). Buku puisinya Ludruk Kedua (2016). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.
andika
Sungguh cerita yang menarik. Mengangkat tema sederhana keseharian dg apik dan Islami. Terima kasih Bung Dadang.