Cerpen Ikhsan Hasbi (Republika, 26 Februari 2017)
Sepetang ini Rahmat belum juga kembali. Langit seharian seperti berkabung, awan-awan bagai gelembung yang hendak meledak dan menumpahkan air kehidupan. Seorang perempuan yang mulai renta, duduk sambil memasak keripik pisang. Ia menunggu bocah 10 tahun itu pulang dari pasar. Di bolak-baliknya pisang agar matangnya merata. Minyak mendidih seperti hari-hari yang terlewati, meletup-letup dan menguarkan asap yang hangat.
Di luar, angin menggoyang-goyangkan pohon kelapa, perdu-perdu pisang dan dedaunan yang disanggah rintik air. Desauannya mengangkat-angkat seng yang mengatapi dapur rumah. Sebagai pengganti musik yang sudah lama tidak kita dengar, celutuk Rahmat suatu malam, saat bintang dan bulan takut pada angin perbukitan yang berputar-putar bagai gasing.
Suasana kemudian menjadi hening. Desauan angin hanya datang sekali-kali dan kembali sunyi. Keheningan itu sesekali diisi kilatan petir yang menggelegar. Dentumannya merambat ke bawah tanah. Bahkan, membuat gendang telinga berdengung.
Saat hari mendung, gairah bergerak seakan lumat. Lesu rasanya. Lemah. Waktu yang tepat untuk merenung sambil menyaksikan tetesan hujan menghujam tubuh bumi yang pelan-pelan rontok dari rerimbunan awan.
Di pasar, Rahmat masih menunggu Ma’ali yang begitu lama beradu tawar dengan penjual Ikan. Mahal sekali dihargai ikannya, Rahmat diam tidak ingin mengusik amarah Ma’ali yang sedang gusar. Sedikit saja ia menyulut, amarah itu akan meledak. Jika sudah begitu, segala nama binatang, penyakit dan seluruh keturunannya akan dirapal bagai mantra menjadi sepah serapah yang cukup menjijikkan.
Satu tumpuk, lima belas ribu. Uangku tidak cukup. Terpaksa aku beli separuh.
Itu pun hampir tidak dikasihnya. Di samping lapak bapak itu biasanya sedikit lebih murah.
Dikasih empat belas atau tiga belas ribu. Tapi, abuwa itu sudah sepekan ini tidak berjualan. Mungkin saja lagi kurang beruntung. Mungkin saja tangkapannya kurang atau malah tidak ada sama sekali. Makanya, tidak ada sesuatu yang bisa dijual. Angin lagi galak-galaknya, terutama keadaan sekarang ini di laut. Cerita punya cerita, dua hari yang lalu ditemukan tiga mayat nelayan di pantai. Kemungkinan kapalnya karam dihempas gulungan ombak.
“Kalau kamu masih berlama-lama, nantinya aku yang kena hempas.”
“Siapa?”
“Wa menyuruhku langsung pulang begitu urusan kita selesai di pasar. Nanti aku bisa kena marah. Ayo, cepat! Sekarang giliranmu. Tadi aku yang nyetir.”
“Kamu pikir mobil!” balas Ma’ali memonyongkan mulutnya.
Ma’ali mengayuh sepeda. Rahmat duduk di belakangnya. Dalam pangkuannya, ada ikan yang dibungkus plastik hitam yang terus mengeluarkan bau amis, membuatnya berkali-kali mengap-mengap dan bersin. Dan, tidak lupa minyak lampu pesanan Wa, untuk menghidupi panyet agar malam-malam tetap benderang meski di luar sana, kokangan senjata menghantarkan peluru, melucut api dari moncong, dan rasanya di dalam hati remuk redam.
Cahaya yang terlihat bukanlah lampu-lampu rumah yang menyala. Bukan pula petasan-petasan yang meledak, tetapi kebakaran. Ranjau yang terinjak dan korban-korban berjatuhan.
Semenjak kedua anak laki-lakinya merantau, Rahmat tinggal bersama Wa. Wanita itu merawat dan menjaganya, seperti ia membesarkan buah hatinya sendiri. Anak-anaknya sudah pergi jauh. Katanya ingin merantau ke kota untuk mencari kerja. Selama itu, masing-masing mereka hanya pulang sekali. Setelah itu kembali menghilang bagai ditelan bumi.
Rahmat adalah keponakan Wa. Setelah keributan yang melanda keluarganya, Rahmat tidak terurus layaknya seorang anak. Hari-harinya di rumah, hanya untuk menyaksikan ibu dan ayahnya bertengkar. Wa khawatir dengan kondisi keluarga adiknya. Atas inisiatifnya, Wa kemudian meminta izin kepada adik iparnya, supaya Rahmat lebih baik tinggal bersamanya dan akan dijaga selayak anaknya sendiri.
Sesudah kejadian itu dan hari-hari pun berlalu, Rahmat tak pernah lagi berjumpa dengan kedua orang tuanya. Mereka tak pernah mengunjunginya. Sebaliknya, pernah sekali, saat Wa mengajak Rahmat mengunjungi rumah orang tuanya. Sesampainya di rumah itu, tidak ada seorang pun yang menyambut mereka. Tak ada siapa-siapa di rumah.
Rumah digembok. Wa kemudian mencari tahu ke rumah tetangga. Mereka bilang orang tua Rahmat sudah lama tidak tinggal di sana. Itu sekitar empat tahun yang lalu. Terakhir kabarnya mereka bercerai. Sejak itulah tak ada kabar apa pun dari mereka.
Wa pasrah dan Rahmat terpaksa menerima keadaan itu. Mau tak mau, ia akan tetap tinggal bersama Wa. Walaupun begitu, tak tebersit pikiran untuk lari dari kenyataan. Rahmat merasa nyaman tinggal bersama Wa. Dalam lubuk hatinya, ia tetap menyayangi perempuan yang telah merawatnya itu. Kini, Wa, satu-satunya anggota keluarga dan orang tua yang akan membimbing serta menjaganya.
Perempuan itu juga merangkap sebagai gurunya. Wa memiliki pengetahuan agama yang diwarisi dari ayahnya. Ia mengajar dan membimbing Rahmat beserta kawan-kawannya agar mampu membaca Alquran dengan benar. Anak-anak sangat antusias saat mendengarnya bercerita. Mereka dibawa ke alam imajinasi seolah tubuh bocah-bocah itu ada dalam setiap lekuk cerita. Setelah itu, semakin banyak anak-anak yang datang mengaji.
Balai pun penuh bersesak. Kemudian, Wa membagi waktu mengajar. Sebagian datang siang dan sebagian lagi malam. Namun, akhir-akhir ini, sejak kontak senjata semakin sengit, anak-anak yang datang semakin sedikit. Menyusut seiring zaman, saat manusia tiada henti- hentinya mencari kekuasaan dengan melibas saudara, teman, dan rakyat. Kontak senjata di mana-mana. Orang tua melarang anaknya keluar, terutama saat malam tiba. Bila pun ada, dari sekian banyak teman Rahmat, hanya Ma’ali yang paling rutin.
***
Kacamata berlensa ganda itu disangkut antara dua lekuk telinganya. Sesekali Wa mengangkat untuk membenar kan pandangannya. Terlihat butiran tasbih memanjang melilit di tangan kanannya.
“Wa, lagi baca apa?” tanya Rahmat suatu waktu.
“Wa baca hikayat, Neuk.”
Pandangan Rahmat bulat menatap huruf-huruf yang putus menyambung itu. Serasa bergerak-gerak di matanya. Ia memperhatikan tulisan itu lebih dekat. Ia sedikit kaget.
“Wa, ini bukan bahasa, seperti di kitab Masailal ya?”
“Sama-sama bahasa Melayu. Bahasa Aceh juga bahasa Melayu. Kitab ini bukan bahasa yang persis seperti bahasa Melayu di kitab Masailal yang kamu baca. Ini bahasa Aceh, tulisan Arab Melayu,” Wa membenarkan duduknya sebelum melanjutkan penjelasannya.
“Sebenarnya ini tulisan Kakekmu. Ia seorang teungku yang gemar menulis hikayat. Bahasa yang digunakan dalam tulisannya adalah bahasa melayu Aceh dengan tulisan Arab.”
Goresan-goresan kecil itu sering dilihatnya, tetapi tak sedikit pun Rahmat mampu membacanya. Bahkan, dari semua keturunan kakek, hanya Wa yang paling mengerti dan mampu membacanya dengan benar. Anak-anaknya yang lain pernah belajar dan diajarkan membaca, tetapi karena tidak pernah mengulang-ulang membuat mereka lupa cara membaca dan cara mengamalkannya.
Wa sering membaca tulisan nazam itu selepas shalat Maghrib, terutama bila tidak seorang pun datang mengaji. Rahmat menyimak dengan seksama, ia menjadi pendengar budiman. Sambil ditemani panyet cilet dengan semangat benderang cahaya kecil yang kalah berbinar menyerubak gelapnya malam, tak menyurutkan niat Wa dengan segala keterbatasan untuk menyemangatkan diri.
“Hikayat bagi orang Aceh yang masih mewarisi budaya endatunya adalah penyemangat, sekaligus motivasi agar perjuangan hidup ini tak pernah berhenti,” kata Wa. Hikayat Prang Sabi karya Teungku Chik Di Pante Kulu adalah salah satu karya yang mampu menyulut api perjuangan kaum muslimin dan membakar semangat untuk mengusir penjajah dari bumi Aceh. Tulisan-tulisan ulama dahulu pun tidak hanya bertujuan memompa semangat untuk mengusir penjajah dari tanah yang mereka kuasai. Penjajahan yang sebenarnya adalah ketika hati manusia dikuasai nafsu. Makanya, ada syair berupa tamsilan tentang kehidupan manusia. Perahu karya Hamzah Fansuri adalah salah satunya.
Wa akan bacakan untukmu, begini bunyi penggalannya:
Inilah gerangan suatu madah, mengarangkan syair terlalu indah, membetuli jalan tempat berpindah, di sanalah i’tikad diperbetuli sudah.
Wahai muda, kenali dirimu, ialah perahu tamsil tubuhmu, tiadalah berapa lama hidupmu, ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman, hasilkan kemudi dengan pedoman, alat perahumu jua kerjakan, itulah jalan membetuli insan.
“Manusia, dalam menjalani hidup ini harus memperbaiki i’tikadnya, niatnya, agar tidak terjerumus ke dalam dosa. Niat baik akan mendatangkan hasil yang baik, niat buruk tentu hasilnya buruk. Perahu itu ibarat tubuh manusia, kemana akan kita bawa dalam kehidupan ini. Untuk berbuat baikkah atau berbuat jahat. Semua ada aturan. Makanya, sebaik-baiknya pedoman adalah Alquran dan sunah.Kalau kamu mengikuti keduanya, perahumu yaitu tubuhmu, akan berlayar ke tempat yang dijanjikan Allah, yaitu surga.
“Zaman sekarang, tidak banyak lagi orang yang tertarik membaca hikayat dan syair-syair semacam itu. Orang-orang tidak lagi menjadikan hikayat dan syair-syair nasihat sebagai bacaan untuk menambah pemahaman tentang agama. Walaupun isinya tentang perjuangan, perjuangan yang dimaksud tidak hanya perang senjata, adu otot dan nyali.
Perang yang paling berat itu adalah perang melawan hawa nafsu. Perang di negeri kita ini adalah perang yang tidak penting. Orang di negeri kita masih kalah melawan api peperangan dalam dirinya sendiri. Bagaimana peperangan dapat menyelesaikan masalah, bila pelakunya masih terjebak dengan perangnya sendiri,” cerita Wa suatu malam saat hujan deras.
“Wa! Rahmat menginterupsi, saya tidak mengerti.” Wa menatap Rahmat sejenak.
Ia sadar Rahmat masih anak-anak. Logikanya belum sampai. Wa mendesah dan tersenyum.
“Ah, nanti kamu akan mengerti!” ujarnya.
***
Pemugaran terhadap naskah-naskah karya penulis zaman dahulu, baik itu karya para ulama maupun seniman banyak yang tidak terekspos. Banyak yang hilang dan rusak karena tidak ada perawatan terhadap manuskrip-manuskrip yang berharga dan bernilai sejarah itu. Padahal, itu merupakan identitas kita, kekayaan intelektual masa lalu kita. Saya berusaha sebisa mungkin, agar naskah-naskah yang masih tersisa itu disalin kembali. Bila pun naskah aslinya terbakar atau hilang dalam musibah yang tidak diduga, setidaknya ada pertinggal untuk dibaca dan dikaji oleh generasi selanjutnya.”
Mendengar penjelasan dari dosen di kampusnya, Rahmat menemukan ide mengumpulkan naskah-naskah milik kakeknya, ia yakin naskah itu akan bermanfaat dan bernilai sejarah seandainya dapat dipublikasi. Royalti juga akan dapat diperoleh, bila diterjemahkan dan ditulis ulang.
Sepekan lagi liburan akhir semester, Rahmat ingin melancarkan rencananya. Ia beruntung, tidak mendapatkan kesulitan meneruskan pendidikannya di bangku kuliah setelah beasiswa di sekolah diperoleh.
Wa sudah sepuh, tidak mampu melihat lagi. Untung anaknya yang nomor dua, empat tahun lalu pulang dan membawa serta istrinya. Ia membuka usaha di kampung dan tidak pergi lagi setelah itu. Ia ingin merawat ibunya hingga akhir hayatnya.
Sesampainya di rumah, Rahmat menyampaikan gagasannya. Wa hanya tersenyum, paham betul maksud Rahmat.
“Buku karangan kakekmu tidak semuanya ada di sini. Kepada setiap anaknya kakekmu memberikan buku itu. Ia ingin supaya semua keturunannya mendapatkan warisan yang selayaknya. Wa cuma punya tiga. Semuanya ada dalam lemari.”
Rahmat bergegas mengambilnya. Betapa terkejutnya, ketika ia menemukan halaman demi halaman yang dibuka. Isi dari halaman-halaman itu sudah tidak lagi jelas. Tulisan itu telah luntur bersemu bagai gambar awan dalam buku. Hujan dari atap yang bocor melumatkan tulisan-tulisan itu menjadi abstrak.
“Bagaimana Rahmat? Sudah dapat bukunya?”
“Tulisannya sudah tidak jelas lagi Wa. Tidak bisa lagi dibaca.”
Wa diam. Dalam diamnya, ia berpikir.
“Waktu kamu kecil, Wa pernah membacakan syair perahu buatmu. Apa kamu masih ingat? Apa iktikadmu itu sudah benar?”
Rahmat merenung, mengingat-ingat kembali. Bagian mana dari iktikadnya yang salah. Dilihatnya atap rumbia, seakan sesuatu yang dicarinya ada di sana. Rahmat menguras pikiran, apakah memang ada iktikad dalam dirinya yang salah.
Sementara itu di luar sana, hujan begitu deras, petir masih menggelegar bagai tawa yang keras.
Lamlagang, 2014
IKHSAN HASBI, Berdomisili di Banda Aceh
Leave a Reply