Cerpen Yetti A.KA (Koran Tempo, 25-26 Februari 2017)
Pada usiaku yang ke-14 tahun, sepupu yang paling kusayangi memutuskan pindah agama dan menjadi seorang pembaca kitab yang taat. Sebelumnya, di mataku, dia seorang pelari yang hebat dan aku selalu senang melihatnya mengenakan kaus kaki panjang garis-garis hitam-putih dalam berbagai perlombaan yang diikutinya dan menunggu satu hari ia melempar kaus kaki itu ke dalam keranjang khusus barang-barang yang tak berguna lagi, dan aku segera memungutnya untuk kusimpan diam-diam dalam lemariku. Ketika sepupuku memutuskan pindah agama, aku sama sekali tidak merasa kehilangan dia, tapi di rumah bibiku seolah telah terjadi sebuah kematian yang mengerikan dan mereka berkabung hingga bertahun-tahun lamanya. Mereka memutuskan tidak berhubungan lagi dengan sepupuku dan semua orang dilarang bertemu dengannya dan aku merasa beruntung sekali telah menyimpan kaus kaki bekas itu. Paling tidak, dengan memiliki kaus kaki itu, aku merasa sepupuku tidak pergi ke mana-mana. Dia masih duduk di depanku, bercerita dengan mulutnya yang cenderung kecil dan sepasang matanya yang pemarah tentang seekor lutung yang tampak merana dalam kandang di kebun binatang, dan sepupuku terus bertanya-tanya kenapa manusia sering tega kepada makhluk lain. Itu tindakan brutal, kata sepupuku. Aku tidak punya pandangan sejauh itu. Fakta bahwa bibiku sangat menyukai dan mendukung adanya kebun binatang dan sering mengajakku ke sana di akhir pekan atau musim liburan membuatku harus hati-hati dalam mengeluarkan pendapat.
Aku sangat mencintai bibiku. Ia menjadi pengganti orang tuaku setelah mereka tidak kembali dari sebuah ekspedisi ke pedalaman lewat perjalanan laut—sayangnya bibiku tidak pernah mau menceritakan kehidupan orang tuaku secara detail sehingga aku sama sekali tidak punya bayangan tentang mereka karena waktu itu aku masih sangat kecil. Bibiku bilang, jangan memaksaku harus menangisi berulang kali orang-orang yang sudah memilih sendiri cara kematiannya. Aku berhenti bertanya dan Bibi menghiburku dengan pernyataan, “Percayalah, ibumu yang tercantik di antara kami semua dan ayahmu lelaki paling gila yang pernah kutemui di dunia ini dan mereka sangat menyayangimu.” Bibi mengambil alih tugas mereka sebagai orang tuaku dengan sebaik-baiknya. Bibiku bangun lebih awal setiap pagi dan berbisik di telingaku, Ayo, segera buka matamu dan aku merasa itu suara ibuku; Bibi mengantarku pergi ke sekolah sejak aku duduk di bangku TK hingga kelas 3 SD; Bibi menemaniku membuat PR sampai tugas itu digantikan oleh sepupuku; Bibi membelikan aku berpasang-pasang sepatu karena kakiku cepat sekali berubah besar. Dengan semua yang Bibi lakukan untukku itu—menurut versi bibiku, yang dia lakukan jauh lebih banyak dari yang kusebutkan—maka bisakah aku menganggapnya sebagai bagian dari manusia yang brutal?
Sepupuku masih menyatakan perasaan-perasaanya terhadap lutung yang malang, juga banyak hewan lain dalam kebun binatang, ketika bibiku berdiri di pintu kamar dan mengingatkan agar aku segera kembali ke kamar tidurku sendiri dan ia memberikan ciuman di kening kami, masing-masing satu—tapi kemudian aku selalu meminta satu lagi. Sebenarnya aku tidak terlalu suka bibir bibiku yang tidak pernah bersih dari lipstik dan bekasnya menempel di kulit keningku. Tapi, lebih dari apa pun, aku suka aroma lipstik bibiku yang mirip permen.
Kenyataannya, kini, semua itu sudah berlalu.
Bibiku berhenti menyiram tanaman di hari pertama kepergian sepupuku setelah dia memutuskan pindah agama. Aku berhenti makan di hari itu—dan menyerah di hari kedua—begitu melihat kamar sepupuku kosong pada jam seharusnya aku menemukan dia siap-siap berlatih dengan seragam olahraga biru dan dia mengingatkan agar aku tidak lupa membawa buku PR-ku. Paman mungkin juga berhenti tersenyum di surga dan para bidadari begitu sibuk menghiburnya, tentu saja bukan karena keputusan sepupuku yang kelewat berani dan baru pertama kali dilakukan dalam sejarah keluarga besar kami, melainkan ia tak bisa melihat hati bibiku bersedih. Kakek dan Nenek mengunjungi bibiku pagi-pagi sekali hanya untuk menumpahkan tangisan paling basah sepanjang yang pernah kulihat tentang kesedihan. Aku tidak terlalu ingat apa yang dilakukan anggota keluarga besarku yang lain. Namun, kukira, mereka sama saja dengan bibiku atau aku atau Paman atau Kakek dan Nenek. Keluarga kami memiliki karakter yang ekspresif dan emosional dalam menyikapi sesuatu. Itu tidak buruk, tapi terkadang memang agak berlebihan jika kuingat-ingat sekarang.
Sebelas tahun setelah sepupuku berbicara serius selama satu jam kepada bibiku dan berakhir dengan tangisan tersedu, di tempat yang sama aku menggenggam tangan perempuan yang mulai tua itu dan berkata pelan, Aku bahkan tidak bisa percaya lagi kepada agama apa pun, Bibiku Sayang. Bibiku tetap membiarkan tangannya dalam genggaman tanganku. Ia tidak berkata apa-apa, tidak tersedu, tidak marah. Ia bahkan masih mau menempelkan bibirnya lama-lama ke keningku dan aku menghirup bau permen dari lipstiknya sambil memejamkan mata seolah aku berada dalam sebuah mimpi dan aku enggan untuk segera terbangun.
Besoknya aku keluar dari rumah bibiku dan aku dilepas dengan pelukan hangat yang lebih terasa sebagai perpisahan antara anak yang sudah dewasa dan ingin hidup sendiri ketimbang kenyataan bahwa aku sedang menuju dunia baru sebagaimana dulu sepupuku melakukan hal sama. Bibiku sama sekali tidak mempertanyakan apa-apa kepadaku. Ia tak ingin tahu alasan-alasanku, padahal aku sudah menyiapkan semuanya dalam bentuk pleidoi yang panjang bila diperlukan. Mungkin saja, bagi bibiku, akan lebih mudah melihatku tidak beragama sama sekali—dan satu hari ia bisa datang untuk meraih jiwa mudaku yang sedang tersesat ini sambil berkata, “Di zaman berat ini, banyak orang mengalaminya Tapi bedanya, kau berani melakukannya, menanggung dosa, dan mereka tidak.”
Bibiku sudah berkunjung ke flat-ku pada bulan kedua kepindahanku dan kami memasak bersama di dapur dan aku menemukan tawa bibiku yang lama sekali hilang saat saus tomat mengenai hidungnya dan ia berkata, Sain sangat menyukai saus tomat. Aku menatap lekat-lekat kepadanya. Lama sekali kami tidak menyebut nama Sain—sepupuku itu—di meja makan, dapur, atau tempat yang berhubungan dengan kegiatan makan, di mana, menurut bibiku, itu saat-saat kami tidak boleh melupakan orang-orang yang tersayang.
Aku mengelus bahu bibiku dengan sebelah tanganku. Bibiku meletakkan telapak tangannya di atas jemariku. “Kau pasti tahu keadaannya,” kata Bibi kemudian.
Aku berusaha untuk tidak tampak terkejut. Meski selama ini aku sedikit curiga bahwa bibiku mengetahui apa yang kulakukan di belakangnya, aku tetap saja berharap lebih baik ia tidak tahu.
“Aku tahu kau sering menemui Sain,” kata bibiku, dan suaranya sedikit bergetar.
“Sejak kapan Bibi tahu?” tanyaku, setenang mungkin.
“Sejak pertama kali kau menemuinya,” kata bibiku.
Aku mencari asrama tempat Sain tinggal karena aku ingin menceritakan soal seekor burung merak yang kulihat dalam sangkar di sebuah kebun binatang. Sejujurnya, aku sengaja pergi ke kebun binatang itu untuk mendapatkan topik menarik yang akan kubahas bersama Sain. Hari itu Sabtu, dan aku baru saja naik ke kelas dua SMA. Kupikir itu waktu yang sangat tepat karena bibiku terlihat asyik menemani kakekku minum teh sore dan aku dengan mudah menyelinap keluar. Setelah hari itu, aku dan Sain beberapa kali membuat janji bertemu secara rahasia. Aku nyaris menangis mengingat caraku menyakiti bibiku itu, tapi bibiku berkata, “Jangan merasa bersalah, kau berhak melakukannya.”
Tahun-tahun berlalu cepat dan aku tidak bisa berhenti menyayangi Sain dan berpasang-pasang kaus kaki panjang itu tetap kusimpan dengan baik. Sain tertawa saat aku akhirnya mengakui perbuatanku itu dan dia bilang, “Kamu punya kesukaan yang aneh.” Aku tidak membantahnya. Dia boleh mengatakan apa pun tentangku. Sebab aku menyukai setiap kalimat yang keluar dari mulutnya yang tetap kecil meski dia sudah berusia 40 tahun (waktu SD hingga SMP, aku berpikir, suatu hari mulut Sain dapat membesar kalau dia sudah benar-benar dewasa). Kau harus menjaganya dengan baik, kata Sain setiap kami akan berpisah dan aku tahu siapa yang dia maksudkan. Aku mengangguk sungguh-sungguh—meski kemudian aku pun mengambil jalan yang sama, pergi meninggalkan bibiku. Sebab hanya dengan cara itu kami akan terhindar dari perdebatan hal-hal prinsip masalah keimanan yang, di mata bibiku, bagian yang cukup penting dari sebuah kehidupan.
Satu-satunya yang dia harapkan dariku, “Aku bisa menjaga Bibi,” ujarku pelan dan menekan rasa bersalah.
Bibiku sibuk mengelap hidungnya dengan tisu, padahal sudah tidak ada noda saus tomat di sana, dan ia menimpal, “Kau tahu sekali kalau kau tak perlu merasa terbebani.”
Aku tahu betul bibiku hanya mencoba menganggap ringan apa-apa yang telah terjadi kepadanya. Jika hari ini bibiku bersamaku di dapur, itu bukan karena ia tidak marah kepadaku, tapi bagi orang yang pernah tersakiti, untuk selanjutnya ia akan menghadapinya dengan cara yang berbeda. Itu yang tengah bibiku tunjukkan kepadaku. Itu yang tengah kupahami tentangnya dan karena itu aku berkata, “Bibi boleh marah kepadaku.” Kalimat itu kukatakan dengan tulus karena aku memang menginginkan bibiku yang biasa memarahiku. Bibi yang sering berkata, “Dasar anak nakal!”—dan aku akan mengulangi kenakalan-kenakalan lain di hari berikutnya setiap kali aku habis mengakui kesalahan.
Pukul tiga, bibiku pulang dan aku mengantarnya ke pinggir jalan sampai ia mendapatkan sebuah taksi dan ia masih saja mengelap hidungnya dengan tisu dan sebelum ia menutup pintu taksi, kukatakan, “Bibi benar-benar tidak ingin menitipkan pesan untuk Sain?” Bibiku menggeleng. Pintu taksi ditutup.
Cukup lama aku tak bisa melupakan adegan bibiku yang mengelap-ngelap hidungnya dengan tisu. Di mataku, ia seperti sebuah gambar yang seolah hadir secara nyata, begitu dekat denganku, dan aku berlari ke kamar untuk mengambil kaus kaki Sain agar kami benar-benar menjadi lengkap, lalu membawa mereka ke meja makan dan bibiku membicarakan tentang ia yang kembali menyiram tanaman dan antusiasmenya menunggu penghuni baru kebun binatang yang sedang menjadi pembicaraan menarik warga kota, sementara Sain sibuk mengacung-ngacungkan pisau makan di udara, dan aku menjadi penonton setia bagi keduanya. (*)
Rumah Kinoli, 2017
Yetti A.KA, tinggal di kota Padang, Sumatera Barat. Kumpulan cerpen terbarunya, Seharusnya Kami Sudah Tidur Malam Itu (2016).
Leave a Reply