Cerpen Adhitia Armitrianto (Suara Merdeka, 04 Desember 2016)
Hari itu dimulai dengan pagi seperti biasa. Siang lantas datang seperti biasa. Begitu juga sore. Malam sepertinya juga bakal biasa. Sampai seorang pria berseragam mengendarai sepeda motor berwarna hijau datang di depan gang. Dia berhenti di dekat gapura.
Kampung kami memiliki satu jalan yang tak begitu lebar sehingga hanya bisa dilalui sepeda motor. Mobil tak bisa masuk. Kalaupun ada yang datang menggunakan mobil, dia harus parkir di depan gang, dekat gapura tempat pria berseragam tadi datang. Rumah-rumah berderet sepanjang gang itu. Di antara rumah-rumah, ada beberapa gang kecil yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki.
Jalan menuju gapura sedikit naik. Atap rumah terdekat dengan gapura mungkin separo dari tinggi gapura bertuliskan tanggal, bulan, tahun kemerdekaan negara. Karena itu, siapa saja yang berada di depan gang pasti terlihat dari bawah.
Sebelum aparat itu datang, kami di kampung tengah berbincang tentang apa yang tengah ramai dibicarakan, temuan mayat-mayat bertato di tepi jalan. Koran yang dibeli Pak Pani, guru di kampung, sering berpindah tangan karena banyak yang ingin membaca berita tentang itu. Warung Lik Sardi semakin riuh oleh perbincangan dari Karyo yang sok tahu, Pardi yang terus bertanya, dan Parman yang kerap menimpali.
Kejadian itu mulai ramai diberitakan sekitar dua atau tiga bulan terakhir. Mayat-mayat bertato, sebagian besar lelaki, tiba-tiba ditemukan begitu saja di jalanan. Sebagian besar mayat itu diceritakan memiliki luka lubang akibat peluru.
“Pasti mati ditembak,” kata Karyo.
“Belum tentu, siapa tahu mati dulu terus ditembak,” timpal Parman.
Sebenarnya kami sama-sama tidak tahu. Misteri itu menjadi bahan perbincangan berulang sampai pria itu datang mengendarai sepeda motor berwarna hijau.
Pria berseragam tersebut berhenti di dekat gapura, tepat di bawah satu -satunya lampu di sana. Dia tidak turun dari motor dan tidak turun pula ke kampung. Dia tetap duduk di atas motor.
Kami: aku, Karyo, Pak Pani, Lik Sardi, dan yang lain yang kebetulan tengah berkumpul, melihatnya waktu dia kali pertama datang. Dia kemudian melambaikan tangan pada Toni, bocah cilik anak Yu Pari.
Toni segera berlari dan setelah sampai di dekat gapura, dia menerima selembar kertas darinya. Tak lama kemudian, pria berseragam itu menyalakan sepeda motornya yang berwarna hijau dan pergi.
Sejak itu, kampung kami tak biasa lagi. Hari selalu dimulai dengan pagi yang berbeda. Dilanjutkan dengan siang yang beda pula. Dan sore serta malam yang tak pernah sama.
Satu-satunya yang sama adalah kedatangan pria berseragam dengan sepeda motor hijau. Bahkan kehadirannya semakin sering. Dia selalu berhenti di dekat gapura, tepat di bawah lampu. Satu-satunya lampu di mulut gang kampung kami.
Pria berseragam itu juga tak pernah turun dari sepeda motornya yang berwarna hijau. Dia berhenti di sana, mematikan mesin, lalu memanggil bocah, siapa saja, yang mau dipanggil. Setelah menyerahkan kertas, pria berseragam tersebut lantas menyalakan lagi sepeda motornya yang berwarna hijau dan pergi.
Ingin sebetulnya kami bertanya siapa dia dan apa maksudnya datang ke kampung kami, tepatnya ke muka gang kampung kami. Tapi kedatangannya tak pernah bisa ditebak kapan. Yang pasti selalu malam.
Pernah kami bersepakat untuk menunggu dia datang. Hingga bermalam-malam berjaga, ternyata pria tersebut tak datang-datang. Setelah menyerah dan memutuskan tak berjaga lagi, dia justru muncul. Sama seperti sebelumnya, mengendarai sepeda motor hijau, berhenti di depan gang dekat gapura di bawah lampu, dan memanggil seorang bocah untuk dititipi kertas.
Ah ya, kertas. Kertas-kertas yang diberikannya pada bocah-bocah ternyata hanya kertas. Tak ada tulisan, goresan, atau gambar di sana. Tak juga angka-angka yang mungkin bisa memberi pencerahan bagi sebagain warga kampung yang pecandu togel.
Kertas putih polos tanpa pesan. Awalnya kami menduga dia sedang berlagak menjadi nabi yang menyampaikan ayat-ayat. Tapi tak ada apa-apa yang bisa dibaca. Lagi pula, sejak kapan dia menganggap kami umatnya sementara berbicara saja tidak.
Yu Pari dan juga ibu bocah-bocah yang pernah dipanggil pria berseragam itu pernah bertanya pada mereka.
“Waktu kau menerima kertas, apa pria berseragam yang mengendarai sepeda motor berwarna hijau itu berbicara sesuatu. Sebuah pesan mungkin?”
Toni dan para bocah menjawab tidak. Menurut mereka, pria itu hanya bilang, “Nyoh.”
Kertas-kertas itu dikumpulkan Warno, pimpinan kampung kami. Dia yang mengaku dekat dengan aparat berkata akan melaporkan kejadian ini.
Menurutnya, kedatangan pria berseragam di depan gang pada malam-malam tertentu telah membuat resah.
Ada yang khawatir anak-anaknya yang dipanggil untuk menerima kertas kosong itu nanti akan jatuh sakit.
Ada pula yang risau kertas-kertas itu nanti ternyata sudah digunaguna. Tapi tak sedikit pula yang berharap kertas itu berubah menjadi uang sehingga bisa dibagikan untuk menutup utang.
Warno kemudian membuat undangan untuk warga kampung berkumpul. Kami semua datang di halaman rumahnya yang paling luas dibanding yang lain. Bahkan sebenarnya hanya rumahnya yang memiliki halaman.
Malam itu Warno mengumumkan telah bertemu dengan aparat yang dekat dengannya. Dia telah melaporkan kejadian datangnya pria berseragam yang mengendarai sepeda motor hijau pada malam-malam tertentu. Saat kami menunggu apa jawaban aparat yang dekat dengan pimpinan kampung, tiba-tiba dari arah gapura seorang berlari kencang sambil berteriak, “Pak Imam mati. Pak Imam mati!”
Sontak kami bubar dan menghampiri Joko, lelaki yang berlari itu. Dia mengaku melihat mayat Pak Imam tergeletak di gapura. Benar saja, begitu kami semua berlari ke gapura, sosok Pak Imam tampak duduk bersandar di gapura. Kami semua terkejut. Ibu-ibu menangis. Bocah-bocah termangu.
Pak Imam adalah anutan bagi kami. Warga kampung memanggilnya Imam atau Pak Imam karena dia kerap kami pilih untuk memimpin doa. Kami bahkan sudah melupakan nama aslinya. Dia tinggal sendiri di sebuah rumah mungil tengah kampung.
Kami langsung memakamkannya malam itu juga. Setelah itu, kampung menjadi sunyi. Semua masuk ke dalam rumah masing-masing.
Mungkin kami sama-sama berharap pagi segera datang menggantikan malam. Bahkan, bila pria berseragam itu datang, barangkali tak ada bocah yang bisa dipanggil karena memang tak ada yang tampak di jalan.
Keesokannya, kami masih membicarakan kejadian semalam. Kami coba menerka mengapa imam kami mati. Kenapa dia tergeletak di gapura? Di Warung Lik Sardi semua menumpahkan pertanyaan-pertanyaan itu ditemani kopi dan ketela goreng. Kami kadang mengiyakan tapi tak jarang pula saling membantah.
Setengah berlari, Karyo yang kali itu terlambat bergabung di warung, datang menghampiri dan langsung bertanya pada kami.
“Apa semalam ada yang tahu, tato Pak Imam bergambar apa?” (92)
Desember 2016
Catatan: Cerpen ini terinspirasi oleh cerita dan karya Konde, perupa asal Kota Semarang yang tengah melangsungkan pameran tunggal bertajuk “Petrus” di Pojok Kreatif Merak, Kantor Suara Merdeka, Kota Lama Semarang, 1-9 Desember 2016.
Adhitia Armitrianto, penulis kelahiran Kota Semarang, bergabung dengan Mangga Pisang Jambu Project dan komunitas halah.co.
Leave a Reply