Cerpen Daruz Armedian (Suara Merdeka, 11 Desember 2016)
Apa yang membuat lelaki itu selalu memetik anggur yang pohonnya menjalar hampir memenuhi beranda rumahnya?
Pagi sekali, pagi ketika embun masih jatuh di daun-daun yang belum mengenal gaduh, lelaki itu akan keluar rumah. Dengan mata yang kucel, yang menunjukkan baru saja bangun dari tidurnya, ia sudah mengangkat tangan. Buah anggur itu menggantung tidak terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya. Tangan itu memilah-milah anggur mana hari ini yang akan dipetik untuk kemudian dimakan di tempat.
Ketika hal itu selesai dilakukan ia akan duduk di bangku kecil di depan rumahnya. Menikmati pemandangan yang indah. Gadis-gadis SMA berangkat sekolah. Ia kadang-kadang tersenyum-senyum sendiri jika melihat mereka bahagia. Mereka yang jalan kaki, karena letak sekolahannya tidak jauh dari sini, seperti hiburan baginya. Suara langkah sepatu seperti mengetuki jalanan, seperti irama musik yang menenangkan. Seragam mereka indah, rapi, dan terawat. Hal semacam itu, ia katakan sebagai cuci mata.
Tetapi, ia akan menjadi sedih seketika, jika melihat laki-laki yang sebaya dengan dia, lewat di depan rumahnya. Laki-laki yang bergerombol dengan laki-laki lain menuju ke sekolahan. Seragam itu, sepatu itu, canda tawa mereka itu, selalu membuatnya semakin berduka.
Sebab, beberapa bulan yang lalu, ia bagian dari mereka. Ia adalah teman mereka. Sebelum sesuatu yang rumit terjadi pada dirinya.
***
Apa yang membuat lelaki itu selalu memetik anggur yang pohonnya menjalar hampir memenuhi beranda rumahnya?
Itu adalah persitiwa di mana ia mengenang ibunya. Sumini, ibu lelaki itu, sering memetik anggur di beranda rumahnya. Ia akan memetik anggur, lalu memakannya di tempat, dan sambil berdiri dengan mata yang memandang ke arah yang jauh. Ke jalanan yang memanjang ke sebuah hutan.
Jika ditanya anaknya, kenapa selalu melakukan hal itu, seolah-olah tidak ada pekerjaan lain, ia hanya akan tersenyum. Entah senyum getir, senyum bahagia, senyum kesedihan, dan senyum-senyum yang lain yang tak bisa dibahasakan dengan kata-kata, si anak itu tak tahu. Yang ia tahu, ibunya tersenyum. Dan senyum biasanya lambang kebahagiaan.
Sumini tidak mau menceritakan apa pun kepada anaknya mengenai kebiasaan itu. Ia tidak mau anaknya bersedih hanya karena sebuah cerita. Ia tidak mau anaknya berduka hanya karena terbebani oleh beratnya peristiwa dalam cerita itu.
Anggur yang ia petik tidak banyak, kadang cuma lima buah, kadang sampai sepuluh buah. Seola-holah hal itu hanya semata-mata hiburan dan kalau misalkan ditinggalkan tidak menjadi masalah apa-apa.
Sumini tidak pernah meninggalkan kebiasaan itu. Setiap hari ia akan terus melakukannya. Seperti melakukan ritual, yang jika ditinggalkan, ia akan tertimpa nasib buruk atau akan selamanya diganggu makhluk halus: setan, dedemit, wewe gombel, dan lain-lain.
Jika selesai memetik anggur, ia akan duduk di bangku kecil di depan rumahnya. Persis dengan apa yang dilakukan anaknya pagi ini. Ia berhenti melakukan pekerjaan itu setelah kematian merenggut nyawanya. Penyakit jantung telah membuatnya tutup usia.
Oleh karena itulah, sepagi ini lelaki itu hanya duduk di bangku kecil di depan rumahnya. Ia tidak ikut berangkat sekolah bersama teman-temannya. Ibunya adalah tumpuan hidup. Mencari uang dengan berdagang sayuran di pasar. Dan dengan uang itu, ia punya biaya untuk masuk sekolah.
Sekarang, tidak ada lagi yang membiayainya. Ia memutuskan tidak lagi bersekolah. Sekolah, meski digembar-gemborkan gratis tanpa biaya oleh pemerintah kabupaten, tetap membutuhkan biaya. Dan ia tidak sanggup untuk itu. Sebab, satu jam ke depan, ia musti berangkat ke tempat kerjanya. Menjadi kuli di bawah naungan mandor Mat Kurtap.
Sekarang, ia hanya perlu mempertahankan hidup dengan mandiri.
Kembali laki-laki itu memandang anggur-anggur yang bergelantungan. Ia berpikir, kenapa pohon anggur ini tidak pernah berhenti berbuah? Ah, ya. Pohon anggur di beranda rumahnya itu tidak pernah berhenti berbuah.
***
Pohon itu lahir ke dunia sudah bertahun-tahun yang lalu. Tahun di mana siang dan malam tak ada bedanya, sama-sama mencekam. Tahun di mana negara sedang menciptakan perang yang terdiri dari para penduduknya sendiri.
Ia lahir atas nama cinta. Oleh karena itulah ia tak berhenti berbuah. Meski musim berganti musim, angin berganti angin yang lain. Ia tetap berbuah. Ia tidak seperti pohon-pohon anggur yang lain. Pohon-pohon anggur yang ditanam atas nama uang. Sebagai pohon anggur, ia tahu harus bagaimana hidup di dunia. Ia cukup tenang, menanti angin membelai daun-daunnya, air hujan jatuh dan menembus bumi, lalu menyentuh akar-akarnya. Ia cukup tenang, menunggu tangan-tangan memetik buah-buahnya. Ya, untuk apa lagi kalau hidup di dunia yang fana ini kalau tidak untuk memberi? Ia tahu, setiap pagi akan ada anak lelaki yang memetik buah-buahnya. Ia senang atas perlakuan itu. Dibayangkannya, anak laki-laki itu adalah seseorang yang menanamnya. Dibayangkannya, anak lelaki itu adalah seorang pemuda yang membuatnya rindu setengah mati.
Ya, ia lahir di dunia berkat pemuda. Pemuda yang saat itu jatuh cinta. Tetapi sayang, tidak lama sebelum ia berbuah, pemuda itu sudah pergi. Sudah meninggalkannya dan sampai saat ini belum kembali. Ia rindu pemuda itu.
***
Pemuda dengan tubuh kekar dan bertato yang sering dipanggil Dul Golok, karena ke mana-mana sering bawa golok, jatuh cinta pada gadis cantik pecinta anggur. Entah kenapa gadis itu membuatnya tergila-gila.
Atas nama cinta, ia menanam pohon anggur di beranda rumahnya (yang itu pada suatu hari jadi rumah istrinya juga). “Aku mencintaimu, Sumini. Lihatlah, aku menanam anggur kesukaanmu. Nanti, ia tak akan pernah berhenti berbuah. Seperti aku yang tidak akan berhenti mencintaimu.” Katanya suatu waktu setelah menanam anggur.
Lalu, tepat ketika anggur itu berbuah, mereka memutuskan untuk menikah. Pohon anggur itu, ia jadikan mahar. Mereka hidup bahagia. Ya, begitu mudah dalam cerita, orang-orang berbahagia, sebagaimana secepat mereka bersedih.
Waktu berjalan lebih cepat ketika mereka berbahagia. Mereka mempunyai anak laki-laki yang lucu dan menggemaskan. Sementara itu, pada saat anaknya berumur enam bulan, ia diciduk oleh orang-orang yang berseragam. Ia dibawa ke hutan yang di tengahnya ada jurang.
Setelah itu, ia tak pernah kembali, sampai pohon anggur semakin tua, sampai Sumini meninggal dunia, sampai anaknya sudah hampir dewasa.
***
Laki-laki itu, laki-laki yang saat ini sedang duduk di bangku kecil di depan rumahnya itu, kini ingin kembali memetik anggur. Entah kenapa, setiap memetik anggur, ia merasa bahagia untuk kemudian merasakan kesedihan. Perasaan yang sama secara berulang-ulang.
Ia bangkit dari tempat duduknya. Kemudian memetik anggur. Ia merasakan kebahagiaan. Entah kenapa. Lalu, sejenak lagi, ia merasakan kesedihan, yang juga entah kenapa. Ada yang aneh dengan anggur ini, pikirnya.
Ia memetik anggur lagi. Lagi dan lagi. Ia baru melakukan hal itu ketika ada suara dari arah jalan raya.
“Cuk, ayo berangkat.”
Itu adalah suara Menthok. Teman sebayanya yang juga bekerja sebagai kuli di tempat yang sama. Ia dipanggil Menthok karena cara jalannya seperti menthok. Megal-megol. Laki-laki—yang dipanggil Cuk itu, masuk rumah. Memakai seragam kulinya. Sebenarnya bukan seragam, hanya saja ia selalu memakai baju dan celana itu setiap kali berangkat kerja. Sehingga ia mengatakannya sebagai seragam kuli.
Ia keluar rumah, menemui Menthok. Mereka kemudian berjalan bersama menuju ke tempat kerja.
Dua lelaki sebaya berjalan beriringan. Apa yang mereka rasakan, kami tidak tahu. Yang kami tahu hanyalah, mereka sama-sama memasang wajah bahagia. Sebahagia gadis-gadis dan laki-laki bergerombol menuju ke sekolahan.
Mereka memang menuju ke sekolahan. Tetapi sebagai kuli. Membangun gedung-gedung sekolahan yang baru. Mereka tidak tahu, semakin mereka membangun sekolahan, semakin mereka mendukung lahirnya kuli-kuli yang lain.
“Nanti malam kita minum anggur, gimana? Merayakan gajian yang turun.” Kata Menthok, sebelum menyulut sebatang rokok yang sedari tadi dijepit jarinya.
Si lelaki—yang dipanggil Cuk—tersenyum. Dasar, kuli, sukanya mabuk, pikirnya. Di samping itu, ia mengiyakan sambil membayangkan anggur yang akan diminum nanti malam lebih dari sekadar memabukkan. Tetapi mematikan. Hidup sudah sedemikian susah. (92)
November 2016
Daruz Armedian, lahir di Tuban. Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga ini bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Mengikuti Kelas Menulis Balai Bahasa DIY. Tulisannya pernah di berbagai media. Ia pernah memenangi lomba cerpen se-DIY yang dilaksanakan Balai Bahasa DIY tahun 2016.
diqsi la firsa
sederhana,, tapi manis! (y)