Cerpen Indah Darmastuti (Media Indonesia, 26 Februari 2017)
BELUM habis setengah gelas kopi ketika polisi bermuka lonjong itu kembali memakai arloji setelah dia gosok-gosok hingga mengkilap dengan lap khusus milik polisi bermuka bulat yang duduk di sebelahnya. Postur tubuh keduanya nyaris serupa. Sama-sama muda, kulit terang, dan badan tegap. Potongan rambutnya juga sama dengan kebanyakan taruna yang baru lulus dari akademi.
Sudah lebih dari empat kali mereka menghabiskan sore persis di bangku itu, menghadap ke bahu jalan yang tak terlalu lebar, seperti sedang melakukan pengintaian tanpa penyamaran. Selalu ada percakapan berimbang di antara keduanya, seperti saat ini. Polisi berwajah bulat bertanya kepada polisi berwajah lonjong saat kopi dihidangkan.
“Kau tak lagi memakai cincin tunangan?”
“Entahlah. Aku baru menyadari kalau cincin itu sudah tidak ada di jariku usai penggerebekan penadah barang pencurian kemarin itu. Mungkin jatuh.”
“Apa kata tunanganmu nanti?”
“Sudah kuberitahu. Aku pesan lagi, dan sudah beres. Lusa cincin itu sudah jadi.”
“Kau selalu menyelesaikan persoalan dengan cepat dan praktis.”
“Polisi harus begitu, kurasa.” Polisi berwajah bulat mengangguk setuju disertai senyum.
Lalu keduanya diam. Tatapan mereka tertuju pada satu objek: kawanan burung berkaki kecil yang bertengger di kabel listrik, yang terentang sepanjang jalan. Hanya sesekali secara bergantian mereka menyeruput kopi dari gelas masing-masing.
Minum kopi di dekat pos perbatasan kota itu sudah biasa bagi polisi. Kecuali saat genting, misalnya saat mereka sedang dalam operasi pembekukan geng motor atau penggerebekan para bromocorah, juga pecandu judi receh yang dianggap mengumuhkan sudut-sudut kota.
Seperti beberapa minggu lalu, tak ada satu polisi pun yang tahan duduk lebih lama di warung itu. Mereka hanya mampir untuk makan siang, lalu cabut tergesa-gesa. Ada kode-kode yang tak terbaca mata awam, namun akhirnya masyarakat tahu kalau saat itu mereka sedang bertugas dalam operasi penggerebekan rumah yang diduga menyimpan narkoba. Tetapi konon katanya gagal dan berantakan, entah kenapa.
Beberapa polisi lain juga suka nongkrong di situ. Mereka mengobrol santai dan kadang terdengar ramai oleh kelakar. Tetapi khusus dua polisi itu, tampak serius saat terlibat dalam percakapan yang rasanya begitu alot, tajam, dan awet. Padahal yang mereka bincangkan justru lebih sering soal-soal yang sepertinya tak dipikirkan oleh kebanyakan polisi.
Saat mereka masih menatap burung-burung yang bertengger di kabel listrik, polisi berwajah bulat berkata, “Apakah burung-burung itu juga merasakan jatuh cinta?”
“Mereka hanya butuh bercinta lalu bertelur. Mereka tak paham kebahagiaan atau kesedihan karena kehilangan,” kata polisi berwajah lonjong sambil menyeruput kopi. Tetapi polisi berwajah bulat mengerutkan keningnya, seperti tak yakin soal kebahagiaan itu.
“Ya, setidaknya mereka tak perlu merasa kehilangan cincin tunangan,” keduanya terkekeh. “Apalagi memikirkan repotnya urusan pesta perkawinan,” lanjut polisi berwajah bulat.
Dua ekor burung kecil terbang meninggalkan kawanan yang bertengger di kabel listrik, tetapi kemudian datang lagi empat ekor bergabung hinggap di rentang kabel. Sangat tenang dan anggun. Sepertinya burung-burung itu mengamati karut-marut kehidupan dari ketinggian, atau sekadar menikmati angin sore sambil tetap waspada barangkali ada alap-alap yang akan menyambar tubuh kecil mereka.
“Mengapa burung-burung itu tidak tersengat listrik, ya?”
Saat mendengar suara itu, polisi bermuka bulat menatap kawannya. Dia heran bagaimana mungkin seorang polisi tidak tahu hal seperti itu. Oleh karena kawannya tidak menanggapi, ia kembali berkata:
“Kira-kira kawanan burung yang bertengger di kawat listrik itu punya rumah bordil nggak ya?”
“Kalaupun mereka punya, apa urusan kita?” polisi berwajah bulat berkata dingin.
“Betul! Burung-burung itu juga tak peduli apakah kelak mereka masuk surga atau tidak.”
“Enak kan? Tak perlu memikirkan moral segala.”
“Di sorga tak ada tempat bagi burung-burung. Jadi, mereka tidak akan meributkan soal agama.”
“Tetapi setidaknya di dunia ini mereka tahu bagaimana meletakkan kaki kecilnya agar tidak tersengat listrik, sementara kau tidak tahu.”
“Tak perlu tahu mengapa kaki kecil burung-burung itu tak tersengat listrik.”
“Bila kau tidak tahu hal kecil seperti itu, kau bisa mampus.”
“Kau dan burung-burung itu yang mampus. Yang kita hadapi persoalan-persoalan besar, mengapa harus mengurus hal kecil semacam itu, ha?”
“Bagaimana bisa kau mengurus hal besar jika hal kecil saja kau tak tahu?” Polisi berwajah bulat mencibir, matanya menyipit, meremehkan kawannya yang tampak semakin marah.
Tiga ekor burung datang bergabung dengan kawanan yang sudah berjajar seperti potongan-potongan daging dalam tusuk sate. Burung-burung itu tak mendengar perdebatan sengit yang berlangsung sejak tadi. Mereka tetap bertengger merapatkan sayap dan menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri.
“Kurasa aku harus menembak kepalamu karena itu tak berguna untukmu!” katanya sambil mencabut pistol yang tersarung di pinggang kanan, kemudian menimang-nimang benda itu.
“Dan harusnya aku menembak dadamu, tepat di hati dan jantungmu, karena di situlah letak cinta tunanganmu, yang membuatmu kadang bertindak tanpa logika,” balasnya, juga sambil mencabut pistol dari sarungnya.
Polisi berwajah lonjong tersenyum sinis. Polisi berwajah bulat menatapnya dengan pandangan yang semakin merendahkan. Itu membuat polisi berwajah lonjong melancarkan kalimat yang berpotensi membuat jantung dan hati kawannya berdarah.
“Kalau kau mati setidaknya hanya sedikit yang kau tinggalkan. Kau tak punya tunangan, tak punya kekasih. Jika melihat caramu berpikir, mungkin benar kalau kau adalah hasil hubungan gelap dari perempuan tak bertuhan,” kata polisi berwajah lonjong itu dengan mata yang menyala.
“Jangan bawa-bawa perempuan yang aku junjung tinggi.”
“Tentu saja, karena tak ada yang mengagungkannya selain dirimu!”
“Aku akan membungkam logika rongsokmu itu, kawan!” katanya sambil mengarahkan pistol ke dada kawannya, persis ketika kawannya itu sudah membidik kepalanya lebih dahulu.
Dooorr!!
Dooorr!!
Kawanan burung yang bertengger di kabel listrik terkejut, lalu terbang berhamburan. Meninggalkan dua letusan senjata api dan dua polisi berseragam lengkap yang terkapar bersimbah darah. Kawanan burung terbang semakin meninggi, mengabaikan raungan sirene yang mengentak di ruas-ruas jalan kota.
Senja belum sepenuhnya lindap saat polisi memasang garis kuning di sekeliling warung kopi di tepi jalan yang tak terlalu besar itu. Di bawah rentang kabel listrik, lelaki tua pemilik warung masih gemetar. Ia duduk dalam penjagaan polisi sambil menatap warungnya dengan wajah penasaran dan mengabaikan hardikan. Dua polisi terkapar di dekat meja tempat dua gelas kopi yang hanya menyisakan ampas hitam. Salah satu pergelangan tangan polisi itu memendarkan sinar kemilau dari arloji yang tertimpa cahaya lampu merkuri.
Indah Darmastuti, tinggal di Solo. Menulis cerpen, esai, dan novelet. Buku terkininya Makan Malam Bersama Dewi Gandari (2016). Ia aktif di komunitas Sastra Pawon.
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]
jasminehandayani
Reblogged this on hanihandayani779.