Cerpen Raudal Tanjung Banua (Koran Tempo, 04-05 Maret 2017)

Pohon-pohon Tetangga, Ayam-ayam Tetangga ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo
BERDIRI di pinggiran Kampung Sabdodadi menatap ke lembah utara, tak ada yang terlihat kecuali kerimbunan pohon menyerupai hutan lebat. Lembah itu terhubung seutas jalan tanah yang becek saat penghujan dan keras berdengking di hari panas. Malam hari lembah akan gulita sebab tiang listrik tak sampai ke situ, bahkan sore hari saja suasananya sudah suwung, sepi. Jarang orang lewat jika tidak terpaksa benar. Nah, di lembah itu ada sebuah rumah, lokasinya terpencil dekat sungai kecil yang bergemuruh saat hujan dan senyap saat kemarau. Itulah rumah Kakek-Nenek Karimata, sepasang orang tua yang kesehariannya hidup dengan pohon-pohon dan ayam tetangga.
Jarak terdekat ke rumah tetangga hampir 300 meter, terpisah tegalan kosong penuh pohon jati, mahoni, sengon. Tapi jarak tak membuat ayam-ayam tetangga undur mendatangi rumah Kakek-Nenek Karimata. Malahan karena tempatnya sepi dengan pekarangan luas, unggas rumahan itu seolah bersepakat menghabiskan hari di rumah kayu di lembah itu.
Setiap hari, gerombolan ayam datang dan pergi. Kakek-Nenek Karimata sendiri tak punya seekor ayam pun, namun pekarangannya selalu ramai oleh ciap, keok dan kukuk ayam-ayam. Mereka, ayam-ayam itu, datang pagi sekali, seolah tahu Nenek bangun subuh dengan membuang air cucian periuk ke pojok dapur. Meski berebut sisa kerak nasi, jarang di antara ayam-ayam itu berkelahi, seolah satu sama lain tahu cara berbagi.
Agak siang sedikit, Kakek membuang ampas parutan singkong yang tak terpakai ketika membuat kerupuk. Kembali ayam-ayam berebut dan saling bersicepat. Sebentar kemudian ada lagi sisa bahan masak Nenek hari itu. Saat matahari mulai miring, sisa makan Kakek-Nenek tersedia di piring. Mereka sengaja menyisakannya dan dibagikannya dengan suka cita sambil memanggil ayam berkumpul,”Kuur, kuuurr!!”
Tengah hari, ayam-ayam itu enak-enakkan mandi pasir atau tanah rembuk, sebagian naik ke balai-balai di belakang rumah. Kotorannya berserak-serai di lantai. Tugas Neneklah yang membersihkan dengan sabut kelapa atau disiram bergayung air. Enak betul jadi ayam! Mereka gemuk-gemuk, pulang ke rumah di petang hari dengan tembolok yang bengkak.
Untunglah ayam-ayam itu tidak sampai naik ke atap tempat Kakek biasa menjemur kerupuk, sehingga amanlah kerupuk Kakek. Namun begitu, tetap tak mudah bagi Kakek mendapat panas matahari untuk mengeringkan kerupuk buatannya, sekalipun cuaca sedang bagus, sebab pohon-pohon dari tanah tetangga di kiri-kanan rumahnya sangat rimbun, menutupi cahaya dari langit. Daun-daun yang jatuh juga menimpa kerupuk singkong Kakek yang sedang dijemur.
***
KAKEK-Nenek Karimata tampak berdamai dengan sekitar. Bukan hanya daun-daun yang gugur, juga jatuhnya ranting, dahan, buah dan bahkan akar pohon tetangga ikut memenuhi pekarangan mereka. Daun-daun, kecuali menimpa kerupuk yang dijemur, sebagian menumpuk di talang air dan harus dibersihkan setiap saat jika tak mau mampet saat hujan. Ranting yang patah merancap di genteng, begitu pula buah-buah mahoni dan ketapang, berdentam-dentam jatuh di atap. Sementara akar pohonan merambat di tanah, mencukil pondasi rumah mereka, membuat lantai retak-retak dan pecah.
Sungguh pun begitu, tak seorang tetangga yang tahu—atau mau tahu—keseharian Kakek-Nenek Karimata, bahkan sering kali mereka dianggap sebagai sepasang orang tua yang tak peduli pergaulan hidup di desa.
Dulu, Kakek-Nenek Karimata pernah melatih anak-anak remaja bermain karawitan dan gamelan (karena itu mereka dipanggil Kakek-Nenek Pangrawit). Waktu itu mereka baru datang dari Selatan. Mereka memang warga pindahan, namun jelas bukan orang baru sebab leluhur mereka aslinya dari kampung Sabdodadi juga. Ketika baru pindah itu, kaki Kakek Karimata masih tegap berjalan ke balai desa bersama Nenek
Namun belakangan tidak lagi. Sebenarnya tentu saja faktor usia yang membuatnya tak bisa pergi-pulang ke balai desa yang jaraknya lumayan jauh, dan orang kampung juga sudah dimanjakan keadaan. Padahal bisa saja warga atau anak-anak muda yang berminat ganti mendatangi rumah mereka di lembah, namun itu tak dilakukan. Cara belajar sekarang memang beda dengan zaman lampau yang memiliki keikhlasan untuk nyantrik.
Warga malah menyoal kenapa Kakek-Nenek Karimata tidak terlibat kegiatan kampung. Ada anggapan Kakek-Nenek sengaja memencilkan diri. Sudahlah tinggal di tempat terpencil, tak mau bergaul pula. Sebagian menganggap prilaku itu ganjil. Padahal seharusnya mereka paham bahwa selain faktor usia, Kakek-Nenek tak lagi aktif lantaran sebuah peristiwa yang membuat anak semata wayangnya, Wiji, terluka. Ya, terluka lahir-batin. Akibatnya, Wiji membangun rumah di kampung lain. Mestinya ia membangun rumah di lembah, atau memperbaiki rumah yang ada, namun ia merasa sudah tak nyaman.
Kenapa? Dulu Wiji sering diejek sekelompok pemuda sebagai anak orang yang punya ilmu penglaris, sebab kerupuk ayah-ibunya termasuk laku keras di pasar dan warung-warung sekitar kecamatan. Nyatalah yang mengejek itu anak-anak pembuat kerupuk juga. Di Sabdodadi, membuat kerupuk jadi mata pencarian sejumlah keluarga. Tanah pertanian yang luas cocok ditanami singkong atau ketela. Warga mengolah tanaman umbi itu menjadi kerupuk sehingga kampung Sabdodadi dikenal sebagai kampung kerupuk. Warga juga membuat kerupuk garut, sejenis tanaman umbi yang subur di musim hujan. Nah, yang sering mencegat dan mengejek Wiji adalah sebagian dari anak-anak pembuat kerupuk yang kebetulan kerupuk mereka sering menumpuk, lebih lama lakunya.
Lama-lama Wiji tak tahan juga mendengar ayah-ibunya dituduh pakai penglaris, dan mereka berkelahi, mula-mula satu banding dua. Wiji menang telak dan wajah dua anak itu bengkak-bengkak. Di lain kesempatan, Wiji dikroyok, satu banding tujuh. Maka bonyoklah ia pulang ke rumah. Wiji mengira ia akan diminta membalas, tapi ia malah disuruh ayahnya mengalah. “Kemarin itu kamu tidak menang, sekarang juga tidak kalah. Soal kelahi sulit dicari dalilnya,” kata sang ayah sambil mengobati lukanya dengan ramuan daun yang dipetik di pekarangan mereka.
Kebetulan tak lama setelah itu Wiji menikah, jadi percuma meladeni anak-anak muda yang belum menikah. Kita tahulah, orang yang sudah menikah lebih hati-hati, tak mau semborno sebab yang ia pikirkan bukan dirinya sendiri melainkan juga pasangan hidup dan buah hatinya. Pernikahan Wiji dengan Wartini, gadis pilihannya, sengaja tak dirayakan (untung keluarga perempuan paham) sebab Wiji malas berurusan dengan tetek-bengek kampung. Setahun kemudian, Wiji punya momongan. Karena ia pengagum pesepakbola Andik Virmansyah, dan di sekolah ia amat terkesan dengan cerita gurunya tentang Selat Karimata, maka si anak ia beri nama Andik Karimata. Sekaligus dengan itu, sepasang orang tua di lembah dipanggil Kakek-Nenek Karimata dari yang semula Kakek-Nenek Pangrawit.
***
SEJAK Wiji menikah, terutama sejak punya cucu, Kakek-Nenek Karimata menarik diri dari gelanggang. Kakek bilang sudah tak kuat kena angin malam bila ke balai desa, dan alasan-alasan lain yang masuk akal. Namun di satu sisi, Kakek merasa tak mendapat pembelaan dari warga, ketika anaknya diejek dan dikeroyok oleh berandalan kampung.
Tapi dalam situasi menyepi, usaha kerupuk Kakek-Nenek Karimata malah tambah dikenal-kebalikan dengan nama awalnya yang sudah tak dikenal.
Begitulah, Kakek terus mengolah kebun, menanam singkong terbaik, tentu sambil ditemani ayam-ayam tetangga yang berburu cacing dan rayap tanah. Kakek membagi beberapa petak kebunnya yang terletak di sisi utara arah ke sungai; saat petak pertama merimbun, petak kedua mulai ditanami dan petak ketiga dicangkul. Lewat cara itu, ia panen tak putus, sehingga kerupuknya tersedia sepanjang waktu meskipun produksinya juga secukupnya. Singkongnya empuk dan getas sebab tumbuh di tanah lembah berkapur, cocok dibuat kerupuk. Bertanam di tanah kapur bukan persoalan bagi Kakek-Nenek Karimata, bahkan dulu waktu di daerah Selatan mereka mengolah tanah berlapis padas.
Setiap pekan kerupuk buatan Kakek-Nenek Karimata disetorkan kepada Paryono, si pengumpul, yang rutin datang menjemput. Paryono akan tampak riang bersiul-siul setiap datang ke lembah, mungkin karena ia mendapat kerupuk yang laku atau, entahlah.
Sementara ketakhadiran Kakek-Nenek di kegiatan kampung, mengundang sejumlah orang untuk mengingat lagi perannya yang lama alpa. Warga berpendapat itu bukan karena usia, tapi cara menghindar demi keperluan usaha sendiri. Kalau alasannya tak kuat, kenapa menanam singkong dan mengolahnya kok kuat?
Sebagian warga-anak muda yang dulu berkelahi dengan Wiji dan sekarang sudah pula berkeluarga-berniat mengusulkan ke pihak RT supaya Kakek diberi teguran.
“Apa ia kira ia bisa diurus oleh seorang anaknya saja? Si Wiji itu jarang ke lembah.”
“Ah, dia lebih sayang istri ketimbang orang tua!”
“Apalagi kerjanya bawa truk ke Jakarta, ya, lembah istri pun pasti jarang ia jenguk!”
“Bajinguk!”
“Hahahahaha…”
Mereka tertawa. Di lain waktu, mereka mulai lagi, kali ini dalam pertemuan rutin.
“Jadi begitulah soal Kakek. Anaknya jarang pulang. Karimata, cucu kebanggannya juga jarang datang menengok.”
“Dasar anak sekarang, masih SMP sudah sok sibuk!” seorang nyelutuk.
“Sibuk main hp!” sambut seseorang dan yang lain tertawa.
“Kalau kakeknya mati di lembah singup itu, siapa yang akan tahu lebih dulu jika bukan kita-kita tetangga jauhnya ini?”
“Betul itu!”
“Nah, tunggu apalagi. Berilah mereka peringatan, Pak RT, supaya lekas tahu diri!”
Pak RT Sudiono, seorang tukang kayu, manggut-manggut. Ia menunggu reaksi peserta pertemuan yang hadir di rumahnya malam itu. Pada intinya, semua hadirin sepakat. Tapi sebelum teguran disampaikan, baik diketahui apa alasan mereka. Itu kata Pak Karep, tokoh RT yang pengusaha alumunium-kaca alias Alka.
Maka diutuslah beberapa orang untuk melihat langsung keadaan Kakek-Nenek Karimata. Utusan menyamar sebagai anak-anak yang memancing di sungai, dan seorang lagi anak muda yang berkeliling menembak burung.
***
INILAH cerita si penembak burung dan anak-anak yang memancing, selang-seling, bersahutan, di hadapan warga yang berkumpul dua minggu kemudian.
Ketika kami lewat, kami dengar Kakek berkata kepada burung-burung, seperti orang menembang, “O, burung yang terbang dan hinggap, ada sebatang pisang kulo sisakan, tidak ditebang. Setandan pisang masak kulo biarkan, buat sampeyan, burung-burung yang mau mencicipi pisang masak di batang, monggo, silahkan.”
Aku juga dengar Nenek berkata kepada ayam-ayam, seolah bernyanyi, “O, ayam-ayam, makanlah apa yang bisa dimakan, ini kulo limbur air cucian periuk, sisa nasinya masih ada. Dan ini cucian beras, sisa berasnya juga masih ada, makanlah, kuurrr, kuuurr!”
Lain waktu, kami dengar Kakek mengelus akar jati, dan bercakap-cakap dengan batangnya. Memang kami tak dengar kata-kata dari mulut keriputnya, tapi Kakek berkomat-kamit, pastilah ia sedang bicara.
“Wah, jangan-jangan baca mantra!”
“Dengar dulu,” Pak RT mengangkat tangan. “Teruskan, Anak-anak. Ya, kamu saja Fawaz, wakili konco-koncomu…”
Bukan hanya pohon jati diajak bicara. Bukan hanya burung-burung. Juga ikan-ikan di sungai. Saat itu kami membawa pancing lebih awal karena hari Minggu. Eh, tidak tahunya di bawah rumpun bambu kami dengar suara orang nembang. Karena kabut masih tebal, kami sempat dibuat takut. Ternyata Kakek. Katanya ia membangunkan ikan-ikan.
“Pasti semalaman ia berendam di tempuran!”
“Dengarlah dulu. Sekarang Mas Badali. Si penembak burung kita ini katanya segar-bugar habis minum air kendi, ya?”
Ya, benar, di hari lain, aku sengaja mampir, pura-pura minta air putih. Aku diberi air yang segar sekali. Sehabis minum dari kendi, sekujur badanku bukan hanya segar-bugar, tapi segar-waras, entah apa rahasia dalam kendi itu.
“Awas, air jampi-jampi!”
“Wah, wah, dengarlah dulu. Terus, Mas.”
Aku lalu disuguhi singkong rebus dan ketela rambat. Kakek menemani dan ikut makan sepotong singkong dengan gigi ompongnya. Itu jadi bahan pengantar cerita Kakek menemaniku leyeh-leyeh di rumahnya.
Kata Kakek, berkat ompongnya ia menyelamatkan pusaka kraton dari pencurian. Bagaimana ceritanya, Kek? Waktu itu ada benda pusaka lenyap dari kraton. Orang pandai dikumpulkan untuk melacak. Jika dicuri, harus tertangkap pencurinya. Jika salah letak, harus jelas siapa memindahkannya. Tapi semua usaha tak berhasil. Akhirnya, pihak kraton memanggil Kakek dan memaksa untuk dapat menangkap pencuri atau mencari orang yang lancang. Kakek tak mengerti mengapa dipanggil, tapi kuduga itu cara Kakek merendah. Pastilah orang kraton punya mata-telinga di mana-mana; siapa Kakek tentu mereka tahu.
Kepalang dipercaya, Kakek minta waktu sehari-dua, dan pihak kraton menyetujui. Padahal Kakek senewen memikirkan cara apa yang akan dilakukan. Malam hari di serambi, Kakek duduk berhadapan dari ujung ke ujung dengan Nenek, masing-masing sambil makan singkong rebus hangat-hangat. Singkong itu liat betul di mulut mereka yang ompong.
Karena itu, sambil berusaha mengunyah, mereka bergumam, “Mau lari ke mana, ha? Sudah masuk perangkap kamu, ha, rasakan, kukunyah-kenyoh sekarang…”
Gumam Kakek disambut gumam serupa oleh Nenek di ujung sana. Berulang-ulang.
Malam itu di kegelapan, pencuri pusaka kraton ternyata sengaja datang mengintip apa gerangan yang akan dilakukan Kakek. Si Pencuri menggigil ketakutan, karena kata-kata Kakek-Nenek seperti ditujukan kepada dirinya. Padahal yang dimaksud Kakek-Nenek adalah singkong rebus yang galir di mulut ompongnya itu! Lhadlallah, si pencuri menyerahkan diri malam itu juga kepada Kakek-Nenek!
“Hahahaha…Silahkan tertawa, Saudara-saudara! Dari tadi kita tegang terus. Hahaha…!!” Pak RT mendadak menjadi derigen tawa.
“Benar kan, mereka bisa ngelmu!” masih ada yang berusaha menahan kuasa tawa.
“Makanya gampang bikin penglaris!”
“Orang kraton saja tahu.”
“Lho, itu hanya karangan,” Pak RT memotong. “Tak tahu apa karangan Mas Badali, atau khayalan Kakek…”
“Karangan atau bukan, Kakek tampaknya ingin berpesan bahwa kita mesti punya akal. Kalau pun orang kraton tahu Kakek bisa ngelmu, toh dipakai untuk kebaikan…”
Setelah membuat suasana netral, Badali melanjutkan kesaksiannya:
Sama seperti bapak-bapak dan ibu-ibu tadi, aku juga tertawa mendengar cerita itu. Lenyap kantukku seketika. Sebagai gantinya perutku mendadak mules. Dengan minta maaf, aku melepas kentut. Kakek menyuruhku ke belakang. Alangkah lega rasanya sukses menguras perut di kakus. Di belakang kulihat suasana sungguh menakjubkan. Kakek betul-betul memanjakan ayam-ayam yang datang. Ia beri air dalam tempurung dan bungbung bambu. Ada dedak halus padi yang ditarok di ember. Ayam-ayam kusaksikan seperti rakyat sejahtera dan hidup enak. Kakek-Neneklah Raja dan Ratu, pelayan mereka, ayam-ayam itu!
Sama, kami juga mampir, pura-pura minta cacing buat umpan. Saat itu Kakek sedang mengobati seekor ayam. Katanya, ia baru menyelamatkan ayam itu dari sambaran biawak. Lihat, kakinya luka, kata Kakek. Iih, ngeri! Tapi Kakek adem saja. Ayam siapa yang ia rawat, Kakek tak tahu. Yang jelas ayam tetangga, katanya, sambil nunjuk kiri-kanan. Kalau bukan dari selatan, ya, dari barat, kalau ndak ya, tetangga di timur. Dari utara tak mungkin karena ada sungai. Tapi sebentar juga sembuh, katanya meyakinkan. Ya, kami yakin Kakek bisa mengobati gigitan biawak atau bisa ular hanya dengan usapan jempol.
“Ia begitu karena ketangkap basah! Mungkin mau disemblihnya ayam itu.”
Kami percaya ayam itu luka diserang biawak karena memang sering lihat biawak di sungai. Kami juga pernah lihat elang menyambar anak ayam, tapi tiba-tiba sesuatu melayang menimpuk elang, dan anak ayam jatuh selamat. Lalu kami lihat Kakek dengan ketapel muncul dari halaman. Wajahnya puas karena dapat menyelamatkan anak ayam itu.
Soal obat-mengobati, selamat-menyelamatkan, aku jamin bukan karangan anak-anak ini. Aku sendiri melihatnya. Lain waktu, ketika mampir lagi, aku dinasehati Kakek. “Maaf, penjenengan jangan sering-sering bawa bedil. Itu tak adil bagi bajing dan burung-burung.”
“Ya, Kek, hanya iseng. Pas nganggur.”
“Beberapa hari lalu ada bajing yang ketembak, bagian pahanya luka kena senapang angin. Kulo obati, Alhamdulillah sembuh.”
Aku diajak melihat bajing itu, dan aku mengelak, tak tega kalau itu bekas korbanku. Namun Nenek datang dari dalam membawa seekor bajing yang jinak di tangannya.
“Lihat, lukanya sudah kering!”
“Oala, cah bagus, sini! Sampeyan boleh pulang sekarang,” sambut Kakek.
Aku terpana menyaksikan bajing itu dilepas ke atas dahan dan dengan lincah melompat sambil tak lupa berterima kasih dengan decit-decit di mulutnya.
“Hewan punya cara untuk bertahan, apalagi kita,” kata Kakek.
***
DI tengah kesaksian Badali, si penembak burung, dan Fawaz yang mewakili anak-anak sesama pemancing, tiba-tiba pecahlah suara tangis. Suara itu disambut tangisan lain, lalu seolah menjalar ke beberapa orang. Ternyata itu tangisan ibu-ibu tetangga pemilik ayam. Sementara bapak-bapak tetangga menerawang membayangkan pohon-pohon miliknya. Ayam dan pohon-pohon itu telah merepotkan Kakek-Nenek. Bahkan pohon-pohon itu menghalangi mereka mendapat cahaya matahari.
Kesempatan itu digunakan Badali menyampaikan gugatan setimpal-khas keberanian penembak burung.
“Engkau, Ibu Saleha, pernahkah Ibu berpikir telur yang Ibu jual berkat campur-tangan mereka? Sisa makanan, dedak bahkan cacing saat Kakek mencangkul, membuat telur ayam Ibu besar-besar. Engkau Ibu, Laila, apakah pernah bertanya mengapa ayam Ibu tumbuh gemuk dan lekas besar? Dan Ibu Fatma, apakah mengira piaraan bisa dilepas begitu saja tanpa diberi makan? Bukankah ayam yang naik tiap sebentar ke atas rumah itu menjengkelkan, Bu Abidah? Tapi adakah ayam Ibu yang patah karena dilempar atau apa?”
Badali membayangkan bahwa sebentar lagi airmata akan menggenangi ruangan tempat mereka berkumpul. Maka gugatan demi gugatan ia layangkan lagi:
“Bapak Ridwan, kapan terakhir menjenguk jati dan mahoni Bapak? Tahukah Bapak dahan mahoni Bapak menutupi hampir separoh atap rumah Kakek? Buahnya memecahkan gentengnya berkali-kali sehingga saat hujan begini semua ruangannya tergenang air. Bapak Soleh yang terhormat, apakah pernah membersihkan pagar beluntas di tanah kosong milik Bapak? Pagar belukar itu menyebabkan ulat, semut rangrang bahkan ular bersarang dan naik ke rumah mereka! Mengapa Pak Pardi tak mau menebang pohon jati yang sudah miring ke arah sumur Kakek?” Badali mengatur nafas.
“Kesibukan mengurus tetek-bengek ayam dan pohonan milik Kalian telah menguras tenaga Kakek-Nenek Karimata. Mengapa masih ditanyakan kegiatannya di kampung?!”
Badali berhenti. Anak-anak pemancing terdiam. Sebenarnya anak-anak itu mulai diserang kantuk, tapi mendengar kata-kata Badali mata mereka terbuka lagi. Hanya, Pak RT segera menepuk pundak mereka, “Stt, pulanglah, Anak-anak, besok sekolah!”
Setelah anak-anak pemancing bubar, tampillah Paryono di sudut ruangan. Laki-laki pengumpul kerupuk itu jarang bicara, tapi sekali ini ia buka sebuah rahasia.
“Dan soal kerupuk, Bapak-Ibu semua. Jika Kalian cermat akan tampak bahwa di kerupuk singkong Kakek-Nenek Karimata biasa terdapat bekas sirip daun. Itu hikmah yang membuat kerupuknya laku.” Paryono berhenti sebentar, ia melirik para pembuat kerupuk dan mata mereka tampak melotot.
“Bekas sirip daun itu semacam cap yang tak bisa ditiru. Ya, percayalah, tak bisa ditiru! Saya pernah memberi tahu salah seorang pembuat kerupuk tentang ini, namanya tak usah saya sebut, dan ia mencoba meniru dengan sengaja menempelkan daun di kerupuknya yang masih basah. Namun bekasnya tetap beda, lebih kasar kayak cetakan. Bekas daun di kerupuk Kakek antara terlihat dan tidak, hanya tampak lewat amatan khusus. Tentu saja. Karena daun di kerupuk Kakek jatuh sendiri, dan kerupuk-kerupuk itu sabar menanti. Meski Kakek-Nenek tak pernah memikirkan itu.”
Semua saling pandang, tak menduga. Selama ini mereka abai memperhatikannya.
Suasana hening cukup lama. Lalu tanpa berkata-kata lagi, orang-orang membubarkan diri. Meski ibu-ibu pemilik ayam masih tergugu dan bapak-bapak pemilik pohon masih setengah menerawang. Dan para pembuat kerupuk ikut menerawang sekarang.
JEC-Rumahlebah, Februari 2017
(Tribute to Kuntowojoyo)
Raudal Tanjung Banua, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, 19 Januari 1975. Mukim di Yogyakarta, mengurus Akar Indonesia dan Komunitas Rumahlebah. Buku cerpennya antara lain, Parang tak Berulu (2005), dan buku terbarunya kumpulan puisi Api Bawah Tanah (2013).
Pembenci Cerpen Buruk
kalau di sini saya terganggu dengan penulisan judul, entah yang salah siapa dalam penanyangan cerpen ini…
kalau dalam judul, seingat saya kata ulang yang bukan kata ulang semu, misal kupu-kupu, biri-biri, beri-beri, dsb harusnya dua-duanya ditulis dengan huruf kapital sebagai judul…
Setahu saya harusnya Pohon-Pohon Ayam-Ayam
lakonhidup
Versi di “Koran Tempo” judulnya tertulis seperti judul pada posting ini.
Pembenci Cerpen Buruk
Sama kak admin, saya juga membaca judul yang demikian di versi cetaknya. Maka di sini saya bingung, siapakah yang kurang cermat memerhatikan yang demikian.Penulis? Redaktur? Atau setter di koran hingga mengacak demikian?