Cerpen Ida Fitri (Republika, 19 Maret 2017)
Sekali lagi Tengku Noh memperhatikan hasil pahatan kayu ceuradih di depannya, memastikan bulatan baloh itu benar- benar simetris. Gilingan inai sudah dipersiapkan Cut Mala, teknik pewarnaan kayu warisan leluhur menghasilkan permukaan licin dan mengilat.
Dahi lelaki yang beranjak lima puluh itu sedikit berkerut, ketika matanya menangkap guratan melengkung bewarna lebih gelap di sisi dalam kayu ceuradih itu. Ia letakkan kembali inai yang seyogianya dilumuri baloh. Tidak boleh ada hal semacam itu dalam proses pembuatan rapai.
“Pon Lah! Dari mana kau mendapatkan kayu ceuradih ini? tanya Tengku Noh pada putra sulungnya yang baru pulang dari mengatur aliran air ke sawah mereka.
“Saya menebangnya di balik bukit, di mana pohon pohon masih bersahabat dengan awan, Abu.”
Jemari Tengku Noh kembali meneliti guratan melengkung di baloh rapai, kemudian telinganya ia dekatkan ke guratan itu. Wajahnya menjadi lebih tegang, “Ini tak mungkin terjadi.”
Lelaki itu menatap putra sulungnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hati sang pembuat rapai itu.
***
Langit hitam, pohon hitam, bintang dan rembulan hangus terbakar dan menghitam. Kicau burung Bajo Weu laksana mantra yang dibacakan seorang penyihir sambil meniupkan buhul-buhul untuk seorang perempuan muda yang berparas seperti buah mangga ranum. Jangkrik menangis menyayat-nyayat kulit alam. Sesosok kepala yang tumbuh di dekat pohon ceuradih mengerjap-ngerjap, tapi yang terlihat tetap hitam. Telinganya kembali mendengar suara-suara sepatu yang menghantam bumi.
“Katakan! Kau sembunyikan di mana ketua gerombolan pemberontak itu?” orang-orang berbaju loreng datang ke rumahnya tanpa salam. Mulut lelaki yang meletakkan asap dapurnya pada pohon-pohon hutan itu terkunci seperti disengat ratu lebah. Apakah mereka sedang mencari ketua dari gerombolan lebah?
Ah, ia tak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dibicarakan orang-orang berbaju loreng? Bahasa lebah lebih mudah dicerna. Pernah suatu kali, ketika ia sudah berada di dahan pohon yang batangnya dua kali pelukan orang dewasa, lelaki berkumis itu membatalkan niatnya mengambil madu dari sarang lebah yang sudah sebesar goni. Masalahnya, hanya karena ratu lebah memohon belas kasihan, ada benih-benih yang sudah diletakkan sehari sebelumnya di dalam sarang.
Badan lelaki itu tertanam dalam tanah, seluruh tubuhnya seperti lumpuh, kecuali mulut mengecap empedu. Orang- orang berbaju loreng tetap berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti, sementara telinganya terus mendengarkan derap sepatu-sepatu.
***
Kulit kambing betina muda masih bertengger di langit-langit kandang lembu. Sudah tiga purnama diasapi pada nyala bara untuk menghangatkan lembu-lembu di malam hari. Ia membisu, menunggu Tengku Noh memasangkan pada baloh rapai, menunggu takdir tangan-tangan yang akan menabuhnya, tapi hari itu tidak kunjung datang jua.
Bukannya memasangkan kulit kambing betina muda itu ke kayu yang dipahat melingkar, lelaki tua itu malah mengajak anak sulungnya ke hutan, lengkap dengan klewang dan bekal makan siang. Mungkin mereka akan mencari ceuradih atau damar laut. Hanya, sudah sekian lama Tengku Noh memercayai hal itu pada Pon Lah. Dan mereka juga tidak terlihat membawa kapak untuk menebang pohon.
“Abu, bagaimana kalau hutan tidak bersahabat denganmu lagi?”
“Anakku, yang kau harus lakukan adalah menatap tujuanmu.”
Pembicaraan kedua orang itu tertelan suara angin yang mempermainkan daun-daun ke sana kemari, juga suara burung-burung yang berlomba untuk menemukan serangga. Lelaki yang masih terlihat gagah di usia tuanya itu memangkas daun pisang yang menghalangi jalan setapak yang mereka lalui. Mata klewang-nya terlihat berkilat-kilat di bawah cahaya pagi.
“Apa yang sebenarnya diberitakan lengkungan hitam di ceuradih itu? Mengapa aku tidak mendengarkan apa-apa, Abu?” Pon Lah masih belum bisa menerima keputusan ayahnya yang tiba-tiba ingin masuk hutan kembali.
Tengku Noh berhenti, kemudian berbalik menghadap sang anak, “Masih banyak yang harus kau pelajari, anakku. Asah lagi kepekaan diri, lingkungan adalah guru paling bijak,” Lelaki itu kembali melanjutkan perjalanan, “Kau hanya harus menemukan rahasia-rahasia itu.”
Tatkala matahari tepap berada di atas kepala, kedua orang itu berhenti di dekat perdu sebatang pohon bekas ditebang. Tengku Noh mengamati keadaan sekitar, kemudian mengelilingi perdu pohon bekas ditebang itu. “Kau yakin ini pohonnya?”
“Benar, Abu. Aku sendiri yang menebang pohon itu.”
Mata Tengku Noh tertuju pada sebuah benda yang tertutup plastik kresek hitam dan telah kusam. Langkah lelaki itu perlahan bergerak ke benda tersebut. Pon Lah mengikuti sang ayah. Ketika menebang pohon ceuradih, keresek hitam yang mulutnya ke bawah itu luput dari perhatiannya. Benda apa pun itu seperti sengaja dibungkus sebuah plastik keresek dan diikat di bagian dekat dengan tanah.
Lelaki pembuat rapai itu berjongkok di depan benda itu. Tidak jauh dari situ terlihat selembar kain hitam yang tersangkut di rumpun berbunga ungu. Noda-noda tanah pada plastik pembungkus dan warna hitam yang mulai pudar menun jukkan benda tersebut sudah teronggok lama. Dengan menyebut nama Tuhan, tangan lelaki itu terjulur untuk melepaskan plastik keresek yang menyelubungi misteri di dalamnya.
Semerbak harum kembang tanjung menghambur ke udara. Pon Lah mundur beberapa langkah. Tungku Noh berulang kali menyebut nama Tuhannya.
***
Kali ini derap sepatu datang semakin banyak. Mereka kembali berhikayat dalam bahasa yang sulit dimengerti. Sebenarnya apa yang bisa mereka dapatkan dari lelaki pawang lebah? Mungkin kesalahannya hanya terlalu sering terlihat keluar masuk hutan, di mana ada pohon-pohon besar, di mana lebah-lebah bersarang, dan di sana pasti ada madu. Karena itu pula mereka mendobrak pintu rumahnya. Menggelandang ia dari pelukan sang istri, membuat anak-anaknya menangis ketakutan. Menjambak rambut panjang sang istri, menodongkan senjata ke kepalanya. Kemudian menyeretnya keluar di depan mata anak istri. Si bungsu yang terus menjerit-jeril memanggil ayahnya.
Mereka menaikkannya ke sebuah truk dan menutup matanya dengan selembar kain hitam. Ia tidak tahu truk itu merayap ke arah mana. Ketika penutup matanya dibuka, ia hanya bisa melihat kegelapan malam dan dahan-dahan yang terayun.
Tidak puas dengan menendang, meninju, dan meletakkan rokok menyala di kulit tangannya, mereka mulai menggali lubang dan memasukkan tubuhnya ke dalam lubang tersebut. Kemudian mereka menimbun dengan tanah hingga leher. Ia merasakan kepalanya membesar, mulutnya asin bercampur darah.
Kini derap sepatu itu datang lebih banyak lagi. Mungkinkah malaikat maut juga sedang mengintip di balik pohon? Pawang lebah itu mendoakan kebaikan untuk keluarganya, ia sudah sangat lelah dan rindu pulang. Mulutnya terus saja mendendangkan tauhid.
Orang-orang itu menjadi sangat marah. Salah satu dari mereka menyarungkan plastik keresek ke kepala pawang lebah, kemudian mengikatnya erat di bagian leher. Dan suara-suara sepatu itu pun menghilang untuk selamanya.
***
Sebuah tengkorak di balik plastik hitam itu telah menciut. Tidak ada tanda-tanda pembusukan di sana. Pon Lah menatap ke sekeliling, tetapi tidak berhasil menemukan pohon tanjung atau sumber keharuman lainnya. Tengku Noh bersimpuh, dari sudut matanya menetes air bening, “Ia telah mati, korban kepentingan yang mengatasnamakan sebuah bangsa.”
Wajah yang menghitam di depannya tetap bisu. Gurat bibirnya menunjukkan sebuah garis senyuman meski terkesan samar.
Pon Lah mengusap wajahnya, tak ingin percaya dengan apa yang dilihat dan diciumnya. Di depan sana sesosok mayat, tapi sama sekali tak ada aroma bangkai, “Kenapa Abu bisa menduga ada mayat di sini?”
“Aku mendengar noda lengkung hitam di kayu ceradih itu menjerit ingin pulang.”
“Mungkinkah itu suara lelaki yang teraniaya ini?”
Tak ada jawaban, selain keharuman menyerbak dalam rongga hidung.
Catatan
Rapai: Alat musik khas aceh, mirip rebana, tetapi lebih berat.
Baloh: Bulatan kayu yang dipahat untuk membuat rapai
Abu: Ayah
Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi penyuluh kesehatan masyarakat di Aceh Timur. Cerpen- cerpennya pernah terbit di media nasional.
Leave a Reply