DAHI Tuan Aldemaar Grijzepen bekernyit. Matanya terpaku pada beberapa lembar foto dalam genggaman. Semakin banyak foto ia amati, kerenyit dahinya semakin dalam. Hingga pada suatu titik, tekanan pada lipatan dahi itu mengendur seiring helaan napas berat.
“Bukan rekayasa?” ia menoleh kepadaku. “Aku pernah melihat cara kerjanya. Dua lembar foto berbeda, dicetak sebesar tiga kali ukuran folio. Setelah itu, kepala manusia di salah satu foto ditempelkan ke foto yang lain, kemudian dipotret. Cetak kembali fotonya sebesar tadi, lantas ditusir untuk menyamarkan jejak lem dan sambungan gambar, lalu dipotret sekali lagi, dan dicetak seukuran kartu pos. Banyak tempat di Batavia bisa melakukannya, meski menurutku studio Thilly Weissenborn di Garut tetap yang terbaik. ”
“Lux Studio Garoet? Tahun lalu aku berfoto di sana. Mahal tapi bagus. Sepadan untuk derita duduk tegang dalam pakaian resmi selama 4 jam,” aku tergelak.
Tuan Grijzepen tidak ikut tertawa.
“Bingkisan berisi dua helai surat mesum kuterima pekan lalu,” aku mendeham, menutupi rasa tak enak tertawa seorang diri. “Tak lama kemudian, seseorang bernama De Patriot meneleponku. Katanya ada tambahan bukti dari penggerebekan rumah mewah Nieke de Flinder di Pintu Air. Pesta tahun baru yang berakhir dengan duel anak pejabat. Anda ingat?”
“Kami menurunkan dua tulisan tentang peristiwa bodoh itu,” sahut Tuan Grijzepen. “Tapi siapa De Patriot? Mengapa ia mengirim barang ini?”
“Aku tak tahu siapa sesungguhnya orang itu. Namun ia terbukti bisa dipercaya. Di kantorku dulu, kami kerap mendapat pasokan data darinya. Sejauh ini semuanya sahih. Kebanyakan tentang skandal petinggi pemerintah. Dan ia tak pernah minta imbalan.”
Tuan Grijzepen menggeleng. “Bram, awal bulan kemarin kau datang ke sini, mengisi kekosongan Redaktur Pelaksana. Aku tak akan menguliahimu tetek-bengek jurnalisme. Engkau lama di Bataviaasch Nieuwsblad, tentu paham mana berita dan mana sampah. Reputasimu gemilang. Tetapi karena aku Pemimpin Redaksi di sini, mari kita bahas dengan teliti, sebelum nanti kuminta kau tidak memuat beritanya,” Tuan Grijzepen menyulut rokoknya yang kedua.
“Membahas sesuatu yang tidak akan dimuat?”
“Mau dengar tidak?” suara Tuan Grijzepen berubah serius.
Aku memperbaiki letak duduk, berusaha menunjukkan kepatuhan. Mendadak aku merasa tempat kerjaku sebelumnya jauh lebih nyaman. Tetapi tentu tak ada guna menyesali keputusan pindah yang kubuat sendiri.
“Begini,” kata Tuan Grijzepen. “Mengapa kita harus percaya skandal ini terjadi? Karena foto-foto telanjang ini? Surat-surat ini? Soal foto, tadi sudah kita bahas. Sekarang lihat tulisan ini. Siapa pun bisa menirunya,” Tuan Grijzepen berhenti sebentar. “Kita tahu siapa Alfons Rijkeman. Tapi, De Patriot? Bagaimana kita bisa membangun berita dari sumber tak jelas? Dan Bataviaasch Nieuwsblad percaya kepadanya hanya karena ia tidak minta imbalan? Begitukah para tokoh Indo di sana mengelola koran? Coba ceritakan semua yang kau tahu tentang orang ini.”
Aku tak segera menanggapi. Ya, siapa tak kenal Alfons Rijkeman? Pemilik sejumlah saham di Bataafsche Petroleum Maatschappij, serta dua perusahaan kargo lintas benua. Sosok penting di berbagai perkumpulan elit. Uangnya mengalir ke segala jurusan. Ia juga penyumbang tetap untuk tiga gereja dan beberapa panti asuhan. Anak-anak kecil menganggapnya Sinterklas.
Sejak Volksraad dibentuk, Alfons giat di dalamnya. Ia rajin menyuarakan pengembalian hak kulit putih, dan sangat keberatan dengan perwakilan bumiputera di dalam Volksraad. Apalagi setelah Tuan Jahja Datoek Kajo serta Tuan Mohammad Hoesni Thamrin mengusulkan pemakaian Bahasa Indonesia dalam setiap pertemuan. Bagi Alfons itu sudah melewati batas.
“Bumiputera boleh masuk Dewan Rakyat,” kata Alfons suatu kali. “Tapi tak bisa memaksakan kehendak. Kami sudah sangat toleran. Aku bersyukur warga Belanda di dalam Dewan masih banyak yang waras. Mari kita jaga keutuhan negeri ini. Catat selalu: Indië verloren, rampspoed geboren!”
Ketika koran De Locomotief menyebutnya diskriminatif, Alfons tertawa ringan. “Tengok warna baju dan makanan kita sehari-hari. Bukankah kita juga mengistimewakan satu warna atau cita rasa tertentu dibanding yang lain?”
Simak pula pendapatnya tentang moral: “Buku suci adalah tuntunan menjadi manusia sempurna. Maka sesatlah mereka yang hidup dari kepuasan jasmani tanpa pernikahan. Dan musnahlah dari muka bumi mereka para penyuka sesama jenis!”
Sebagai tokoh publik, Alfons Rijkeman, yang menikah dan memiliki empat anak, sangat berhati-hati menata pergaulan. Ia selalu berusaha hidup di lingkaran orang saleh, setia kepada keluarga. Walau demikian, sering juga ia muncul di beberapa Societeit dan hotel bersama rekan-rekan usahanya. Termasuk di Hotel du Lion d’Or, Noordwijk.
Di hotel itu, Nieke de Flinder kerap tampil menyanyi atau menari. Ya, Nieke de Flinder, alias Nicolina Jacoba Groeneman. Kupu-kupu jelita yang punya banyak penggemar. Bukan semata lantaran suara dan tariannya, melainkan karena konon ia juga menerima panggilan pribadi di kamar.
Tak ada yang berani mengusik gadis itu. Takut terseret. Sebutan “pelacur kelas atas” sekadar berembus lewat bisikan. Beberapa nama pejabat sesekali dikaitkan dengan Nieke. Tetapi Alfons selalu berada di luar pusaran itu. Sampai akhirnya pekan lalu, De Patriot menelponku, minta bertemu.
Kujumpai ia di sebuah kedai Cina di bilangan Menteng. Seperti kataku tadi, ini bukan pertemuan pertama. Aku tak pernah tahu nama aslinya. Panggilannya terus berubah. Si Gagak, si Kancil, Pejuang, dan lain-lain. Sebagian wajahnya selalu tertutup syal. Dan yang paling menjengkelkan, ia betah duduk lama tanpa suara.
“Apakah Spiegel van Insulinde berani bicara kebenaran?” itu kalimat yang akhirnya diucapkan kepadaku setelah kami berhadapan di meja selama 15 menit dalam kesunyian. Hampir bersamaan dengan datangnya pesanan makanan. “Apakah engkau masih Abraham de Withart seperti yang kutemui di Bataviaasch Nieuwsblaad?” sambungnya.
Aku menghela napas. “Spiegel belum segila Bataviaasch Nieuwsblad. Tetapi aku akan berusaha membuatnya demikian.”
De Pariot mengangsurkan amplop besar. “Foto-fotonya kau lihat di rumah saja. Tetapi surat-surat boleh kau buka sekarang. Kedua benda itu bisa menjadi bukti utama bila beritamu dipermasalahkan.”
Kubaca surat-surat itu dengan cepat. Sama seperti surat yang kuterima sebelumnya, semua berisi rayuan dan ungkapan vulgar seorang pria tua, mengajak si penerima surat bergumul dalam petualangan ragawi yang buas. Sisanya adalah balasan dari si penerima surat.
“Bagaimana surat untuk Alfons bisa ditemukan di rumah Nieke?” tanyaku.
“Bedebah itu tak ingin keluarganya menemukan surat Nieke. Ia mengembalikannya.”
“Ini gaya bahasa Alfons?” tanyaku. “Seingatku, cara beliau bicara tidak seperti ini. Tentu saja kita tidak menafikan fakta bahwa di luar sana banyak orator ulung yang ternyata tak pandai menyusun bahasa tulisan.”
“Ya. Hal lain lagi: orang bisa berkedok apa pun. Tetapi jejak asusila mudah tercium. Mulai dari Asisten Residen Muller de Montigny, Si Raja Gundik Rangkasbitung, hingga Gemser de Brinkman, pembantai Fientje de Feniks, pelacur elit itu,” De Patriot mendorong mangkoknya yang telah kosong.
“Semua baik-baik saja, sampai si wanita merasa diperlakukan tidak adil. Itu motif yang selalu berulang,” kataku. “Surat terakhir Nieke tampaknya juga ditulis dalam nada penuh kekecewaan. Tetapi kita tak tahu niat Alfons. Mungkin ia benar-benar ingin bercerai dan menikahi Nieke?”
“Tak bakal!” untuk pertama kali De Patriot terpingkal. “Hewan macam Alfons banyak berkeliaran di pemerintahan. Mereka membuat peraturan, memaksa warga hidup seturut Alkitab, menjaring mereka dengan hukuman. Tetapi di belakang?” De Patriot meludah. “Kau mau diatur para munafi k itu?”
“Itukah tugas polisi? Memata-matai moral?” aku balas bertanya.
“Aku bukan polisi,” De Patriot mendengus. “Aku tangan kotor polisi. Lagi pula Nieke dalam bahaya. Hidupnya bisa berakhir seperti Fientje de Feniks. Sementara Alfons tak tersentuh.”
***
“Bagaimana, Bram?” suara Tuan Grijzepen mengembalikanku ke dalam kegerahan Kantor Pemimpin Redaksi Spiegel van Insulinde.
Kuceritakan pembicaraanku dengan De Patriot. Tuan Grijzepen tak menunjukkan perubahan raut muka.
“Kita tak bisa memuatnya. Bukan karena foto atau surat yang belum tentu asli itu,” ujarnya di akhir ceritaku.
“Jadi karena apa?” desakku.
“Pertama, ia anggota dewan. Beritanya akan menyebar di kalangan pribumi, merusak kepercayaan kepada pemerintah. Kedua, Alfons baru saja mengambil alih 35,7% kepemilikan saham Spiegel. Membuatnya menjadi pemilik suara terbesar di sini. Semoga kini engkau paham,” Tuan Grijzepen bangkit dari kursi, mengenakan jasnya. Sebelum melewati pintu, ia menatapku sekali lagi. “Pemberontakan di Rancaekek dan bahaya partai pribumi lebih cocok untuk halaman depan.”
“Baik, Tuan,” jawabku lirih.
Kubiarkan pria itu lenyap dari pandangan. Lalu kuambil dua lembar kertas kosong. Kumasukkan ke dalam mesin ketik. Siang itu aku menulis dua buah surat. Surat pertama, adalah permohonan pengunduran diriku dari Spiegel van Insulinde. Surat kedua, kualamatkan kepada Karel Zaalberg, Pemimpin Redaksi Bataviaasch Nieuwsblad.
Kukatakan kepada Zaalberg, aku minta maaf atas keputusan pengunduran diri beberapa waktu lalu. Aku ingin kembali bekerja bersamanya. Tak masalah bila harus kembali ke jabatan semula sebagai Penanggung Jawab Rubrik. Aku sudah siap dengan satu berita yang akan mengguncang Batavia.
*) Indië verloren, rampspoed geboren: Hindia hilang, bencana datang.
Jakarta, 2017
Iksaka Banu, cerpenis dan praktisi periklanan. Buku cerpennya, Semua untuk Hindia, memenangi anugerah KSA 2014.
Leave a Reply