Cerpen, Ryan Rachman

Cincin Perak Bertulis Namamu dan Namanya

5
(1)
Cincin Perak Bertulis Namamu dan Namanya ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka

Cincin Perak Bertulis Namamu dan Namanya ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka

Tiba-tiba gawaimu menyalak pelan. Sebuah pesan masuk dari perempuan yang kausebut kekasih. Kaubuka pesan itu. Oh tidak, dia menyuruhmu melupakannya sebagai seseorang yang spesial di hatimu. Dia tak ingin kau terus mengejar cintanya. Sebab, harapan itu tidak akan dia berikan padamu. Ia tak memberikan alasan pasti mengapa kau harus melupakannya. Namun, dia bilang, selama ini dia hanya menganggapmu sebagai teman yang sangat akrab. Kedekatannya denganmu bukan lantas sebagai asa bagimu untuk merajut hubungan istimewa sebagai kekasih. Kau malah diminta mencari perempuan lain yang ribuan di luar sana yang bisa menjadi pengisi hari-harimu kelak.

Padahal harapan besar kautanamkan padanya. Kau membayangkan kelak menjadi ayah dari anak-anakmu bersama perempuan itu. Perempuan, yang menurutmu, berparas teduh dan bertutur lembut di telinga. Perempuan yang kaukenal melalui jejaring sosial setahun lalu. Kau sudah terlalu nyaman saat berdekatan dengannya. Hari-hari yang indah bersama di rumah kecil dengan taman sayur dan kolam lele yang kalian bangun di tepi kota selalu membayang di benakmu.

Namun bayangan indah itu seketika menjadi kelabu. Pesan dari dia yang masuk ke gawaimu bagai angin yang menyeret mendung dari laut menutup langit di atas rumahmu. Angin yang menjerat malaikat melecutkan petir yang menyalak bergemuruh.

Kau hanya diam seperti patung fiber di sebuah pameran. Kau tak mengira akan mendapat pesan yang menjelma pisau bayonet yang menguliti hatimu. Sakit dan perih minta ampun. Begitulah yang kaurasa saat kali pertama terluka hati. Kau laki-laki yang sangat sulit jatuh cinta. Sekali jatuh cinta pada perempuan yang kausebut kekasih, tetapi kau akan kehilangan dia.

Baca juga  Pohon Belimbing Bapak dan Cerita-cerita Ibu

Sebenarnya kau akan memberikan kejutan pada perempuan itu. Seminggu lalu kau baru membeli sebuah cincin perak dengan mata berbentuk hati yang di baliknya tertulis namamu dan namanya. Cincin yang kaubeli di luar kota beberapa hari sebelum kau pulang ke rumah usai merampungkan pekerjaan sebagai buruh pabrik garmen. Cincin itu juga jadi hadiah ulang tahun dia yang sudah lewat. Kau ingin lebih mendalam dan mengikat asmara dengan dia. Namun siapa mengira cincin itu tidak jadi melingkar di jari manis tangan kirinya.

“Aku harus menemuimu sekarang juga!” teriakmu dalam hati.

Kau lalu berkemas. Kaumasukkan cincin perak itu ke saku baju, lalu kaukenakan jaket. Setelah pintu terkunci, kau lalu melesat dengan sepeda motor gagah yang baru kaubayar cicilan kelima baru-baru ini. Melesat seperti pembalap di sirkuit yang sering kautonton di layar televisi. Jalan antarkecamatan yang sempit itu kauanggap jalan tol yang lebar dan bebas hambatan.  Tak perlu waktu lama, dua puluh menit cukup untuk sampai ke rumahnya.

Matahari hampir sepenggalah. Udara yang minim angin membuatmu berkeringat, kegerahan. Kauketuk pintu rumahnya beberapa kali. Dari dalam terdengar suaranya yang keras, tetapi lembut di telinga. Tak lama kemudian, ia membuka pintu dan tersenyum padamu. Kau menatapnya tajam. Ia menyuruhmu duduk di kursi teras.

“Duduk dulu, aku ambilkan minum sebentar,” katanya, lalu berbalik masuk ke dapur.

Kau duduk di kursi rotan. Dari dalam terdengar suara adukan sendok membentur gelas. Tak lama kemudian dia datang membawa secangkir teh dengan nampan. Cangkir itu dia letakkan di meja sampingmu.

“Minum tehnya, mumpung masih hangat,” katanya sambil duduk di kursi lain. Kau dan dia terpisah meja kaca.

Baca juga  Bulan Memancar

Setelah menyeruput teh manis hangat itu, kau menatap matanya. Dia tersenyum. Kaubuka jaket dan mengambil cincin dari saku baju.

“Selamat ulang tahun. Maaf, telat memberikan. Aku ingin melihat cincin ini melingkar di jari manismu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin kau menjadi bagian hidupku yang tak terpisahkan,” ucapmu sembari meletakkan cincin perak ke telapak tangannya.

Dia melihat cincin perak itu. Dia membaca namamu dan namanya di baliknya. Dia tersenyum dan terharu, merasa tak enak hati.

“Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima cintamu,” jawabnya sembari meletakkan cincin ke atas meja di dekat cangkir teh.

“Kenapa?”

“Maaf, sudah ada yang memiliki hatiku.”

“Siapa laki-laki itu?!” katamu menyelidik dengan nada agak tinggi.

“Dia dipilih oleh Ibu-Bapak untukku beberapa tahun lalu, sebelum kau mengenalku. Anak teman Ibu-Bapak yang baru pulang bertugas dari pulau seberang. Sejak dulu aku juga menganggapmu sama seperti teman-teman lelakiku yang lain. Tidak ada spesial. Karena aku memang sudah milik orang,” katanya.

“Kenapa kau tak pernah bilang padaku?” katamu dengan hati terpukul.

“Tak perlu aku bercerita apa pun tentang kekasihku itu padamu kan?” sahutnya.

Sebenarnya ada rasa penyesalan di hatinya. Mengapa dia tak menceritakan kisah asmaranya dengan sang kekasih padamu sejak dulu. Dia berpikir tak akan terjadi apa-apa jika kau tak tahu tentang kekasihnya. Namun mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur dan kau sudah terlalu jauh mencintainya.

Kau terdiam. Matamu nanar. Ada gerimis jatuh.

“Sudahlah, Mas. Sebaiknya Mas pulang. Jangan berharap padaku. Aku milik orang. Cari perempuan lain. Banyak kok yang melebihi aku. Mas tampan dan keren. Pasti bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku,” katanya. Ia lalu bangkit dan masuk ke rumah.

Baca juga  Mencuri Matahari

Kau lihat punggungya menjauh. Hatimu makin remuk. Ada rasa tidak terima. Kauanggap telah dia permainkan selama ini. Padahal, kau sudah menaruh harapan dengan cinta sangat luas. Marah dan benci membakar hatimu. Sengat matahari tak terasa di kulitmu sebab jiwamu sudah menyala penuh amarah. Rahangmu mengeras, menarik barisan gigimu gemeretak. Otot lenganmu mengeras seperti kayu.

Kau bangkit. Langkahmu cepat mengejar dia. Kaudorong dia hingga terjerembap ke lantai keramik. Kaujambak rambutnya dan kaubenturkan kepalanya hingga darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Matanya melotot. Dia mati seketika.

“Kalau aku tak dapat memilikimu, orang lain pun tak akan pernah dapat memilikmu!” teriakmu.

Kau bergegas keluar rumah dan pergi secepat kilat dengan sepeda motormu. Meninggalkan dia yang telungkup di lantai, tak bernyawa. Meninggalkan cincin perak bertuliskan namamu dan namanya. Sementara teh yang baru sedikit kauminum pun mendingin.(44)

 

 

Purbalingga, 2017

Ryan Rachman lahir di Kebumen dan kini tinggal di kaki Gunung Slamet, Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Purbalingga. Bergiat di Komunitas Teater dan Sastra Perwira (Katasapa)

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. ega

    dangkal…

  2. Ari Hasan

    Aduh sadisss…

  3. Pembenci Cerpen Buruk

    Aduuuh cerpennya. Ini tak biasa banget cerpen SM menghadirkan cerpen dangkal seperti ini. Cerita dan premisnya sudah biasa. Kemudian gaya bahasa juga biasa. Simbolisasi bahkan tidak ada. Hanya ada kejutan di akhir. Bahkan tanpa perlu membaca narasi melelahkan di awal, kita sudah bisa tahu pokok cerita dengan membaca satu pragraf akhir. KArena di sanalah tikungan kejam yang hendak dihadirkan untuk menyentak. Tapi selebihnya biasa saja…

    Bahkan, gaya narator menyebut ‘kau’-pun mengalami kerancuan di kalimat yang ini.
    “Aku harus menemuimu sekarang juga!” teriakmu dalam hati.

    mu di kalimat ini rancu sekali, kakak….

    Saya berharap cerita sederhana ini punya nilai lebih dengan metafora, gaya bahasa, atau sudut penceritaan yang berbeda dan segar. Tapi sepertinya saya harus menelan ludah kecewa.

Leave a Reply

error: Content is protected !!