Cerpen, Ilham Q Moehiddin

Teror

0
(0)
Teror ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos

Teror ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos

AKU seseorang dalam penerbangan ini dan sedang berada dalam antrean boarding di loket sebuah maskapai di Kuala Lumpur International Airport. Sambil menunggu layanan, aku berbincang ringan dengan beberapa calon penumpang. Kami sesekali menertawakan sesuatu atau menyinggung sedikit urusan yang akan kami lakukan selama di Beijing nanti.

Tengkuk dan wajahku terpapar dinginnya penyejuk udara yang melingkungi geladari. Tigapuluh menit berikutnya aku sudah berada dalam garbarata, seperti belalai besar yang langsung mengakses pintu pesawat. Bersikap tenang saat aku disapa seorang pramugari cantik di depan pintu masuk pesawat, lalu bersabar dalam antrean penumpang yang sedang mencari tempat duduknya masing-masing. Antrean kerap tersendat setiap kali ada penumpang menaikkan tas ke bagasi kabin di atas kursinya. Para penumpang yang siap mengendarai pikirannya masing-masing.

Pikiranku disibukkan beberapa detil yang harus aku lakukan sesampainya di Beijing nanti dan itu harus kulakukan lebih dulu sebelum mengurus hal lainnya. Butuh waktu semenit untuk bisa mencapai kursiku. Satu tas besar sudah aku serahkan ke bagian CIQ untuk didrop ke bagasi pesawat. Sedangkan satu tas lainnya baru saja aku naikkan ke bagasi kabin.

***

SEPERTI para penumpang lainnya, aku duduk tenang mempersiapkan diri untuk perjalanan ini. Dari saku kursi depan, aku raih sebuah majalah perjalanan dan berusaha mengisi waktu tunggu serta mengalihkan perhatian dari sedikit kebisingan oleh kesibukan penumpang lain. Aku melongok suasana bandara lewat jendela. Baguslah, cuaca di atas Kuala Lumpur cerah sekali.

Semua kesibukan dalam kabin reda 11 menit berikutnya. Pesawat dipandu mundur dan bersiap take-off . Tiga perempuan cantik memeragakan berbagai prosedur keselamatan sebagai bagian instruksi penerbangan sipil internasional. Wajah mereka semringah, merah jambu dengan maskara tipis. Manis sekali.

Pesawat menikung sebentar, lalu roda-rodanya menggelinding perlahan ke ujung jalur pacu untuk mendapatkan haluan sebelum bersiap tinggal landas. Mesin Boeing 777-200ER di dua sisi pesawat mendesing hebat memenuhi liang telinga, bersamaan gerak maju pesawat yang perlahan kian cepat. Saat hidungnya naik, pesawat ini pun mengangkat tubuhnya. Ia mengangkasa dan bermanuver sedikit ke utara timur laut, ke arah Laut China Selatan dan sebentar lagi akan menampakkan sisi terluar garis pantai timur Kamboja.

Suara kapten dari kokpit sudah mempersilahkan penumpang melepaskan sabuk pengaman. Para pramugari juga bangkit dan siap melayani penumpang. Mereka menyapa dengan manis dan santun, bertanya apakah ada yang kami butuhkan. Dua orang di depan saya meminta kopi latte dan jus jeruk. Saya pun memesan kopi hitam yang mereka suguhkan dalam cangkir kecil. Saya sesap kopi yang tak bergula itu sembari bersiap meneruskan bacaan yang tertunda akibat take-off .

Dua puluh menit melayang di atas Laut China Selatan, pesawat tiba-tiba miring ke kiri. Sepertinya ia bersiap untuk menuver baru. Seharusnya, kurang lebih 10 menit ke depan, kami sudah mencapai sisi terluar garis pantai timur Kamboja. Buyar rencana kami melihat pesisir itu dari atas, saat sayap kiri pesawat ini turun dengan cepat dan pesawat bermanuver tajam 45 derajat ke arah barat. Kami semua bertanya-tanya; mengapa pesawat ini mengubah haluan begitu drastis? Aku melongok ke luar jendela dan masih tampak wilayah terluar Malaysia di bawah sana.

“Kenapa kami kembali? Apakah penerbangan ke Beijing dibatalkan?” Perempuan di kursi sebelahku bertanya dalam bahasa Tiongkok berdialek Hainan. Aku tak menjawabnya, karena aku tak punya jawaban terbaik yang bisa memuaskannya.

Dari arah terbangnya, pesawat ini seolah sedang lurus menuju Sabang, di ujung barat Indonesia. Adakah sesuatu yang darurat sehingga pesawat ini hendak mendarat di sana? Tidak. Ia tak tampak hendak mendarat, sebab kapten tak menurunkan ketinggian terbang pesawat. Perempuan di sebelahku ikut melongok ke luar jendela. Saat itu ia belum cemas. Belum.

Baca juga  Bayangan Bahtera Nuh

“Apa ini benar H370?” Perempuan itu bertanya lagi. Ia merogoh saku depan tas kecilnya dan memeriksa potongan boarding-pass. “Benar,” ia menjawab pertanyaannya sendiri. Tapi mengapa berbalik arah—ia bergumam. Aku tak menyahutinya. Mataku terus memandangi bentangan alam Aceh dan garis pantainya. Aku berpaling dan tersenyum pada perempuan itu.

Kabin ini mendadak terasa dingin, tetapi telapak tanganku berkeringat. Seraya menjangkau panel pengatur penyejuk udara di atas kepala, aku katakan padanya bahwa itu bukan pertanyaan yang mudah dijawab. “Kapten pasti mengumumkan situasi ini. Kita tunggu saja,” kataku dan ia mengangguk.

Entahlah, apakah jawaban itu cukup melegakan kecemasannya. Dari jendela kami tampak garis pantai utara Sumatera seperti menjauh. Situasi ini kian aneh. Ada apa? Siapa yang harus menjelaskan ini?

Perempuan di sisiku mendadak gelisah. Aku tekan tombol di atas kepala dan beberapa detik kemudian seorang pramugari menghampiriku. Seperti biasa, ia tersenyum. Tapi aku terlanjur menangkap kecemasan dari matanya. Ya. Ia juga cemas. Ia secemas aku dan perempuan di si siku. Mungkin, secemas semua penumpang di pesawat ini.

Pramugari itu bertanya apa yang kami butuhkan sehingga menekan tombol pemanggil? Aku ingin kejelasan. Ah, bukan—bukan hanya aku saja. Perempuan di sisiku juga butuh kejelasan. Semua penumpang di pesawat ini sebenarnya juga butuh kejelasan: mengapa pesawat mengubah haluan? Kita hendak ke mana?

Pramugari itu berusaha menyabarkan kami. Aku tahu, ia pun tak akan bisa menjawab pertanyaan itu sebelum pintu kokpit terbuka atau ada konfirmasi langsung dari kapten lewat pelantang suara. Benakku dipenuhi dugaan-dugaan buruk saat tubuh pesawat ini tiba-tiba bergetar. Aku pasang sabuk dan mengencangkannya sekaligus. Jantungku seperti hendak melompat keluar, ketika pesawat tiba-tiba bermanuver tajam sekali lagi dan mengarah ke utara timur laut, seperti arah semula saat kami lepas landas dari bandara Malaysia.

Saat tubuh pesawat kembali lurus, dari arah pantry terdengar ribut-ribut, disusul teriakan tunggal. Teriakan seorang perempuan. Aku tak tahu apakah suara itu dari salah seorang penumpang atau awak kabin. Aku lepaskan sabuk dan berdiri membungkuk. Perempuan di sisiku, juga dua orang di depan kami—ah, tidak, rasanya orang-orang di sekelilingku juga sedang berusaha melihat apa yang sedang terjadi di depan sana.

Tak ada yang bisa kami lihat dengan jelas dari celah tirai, kecuali pintu ruang kokpit yang ditutup tergesa-gesa. Belum lagi semua jelas bagi kami, tiba-tiba pesawat berguncang lagi—kali ini lebih hebat—dan segera membuat kami tergesa-gesa duduk ke kursi masing-masing. Orang-orang serentak gaduh. Gaduh sekali. Banyak bahasa yang aku dengar. Ada yang mungkin sedang mengumpat dalam bahasa yang tak aku pahami. Tangisan takut terdengar dari barisan depan.

Lalu, pesawat bergetar lagi. Getaran yang lebih hebat dari sebelumnya, sampai-sampai membuat penutup salah satu bagasi kabin terbuka dan menumpahkan isinya. Pemiliknya segera melepas sabuk, menaikkan kembali tasnya, dan sekaligus menutup bagasi. Kecemasan luar biasa, membuat perempuan di sisiku tanpa sadar mencengkeram lenganku kuat-kuat. Saat getaran perlahan mereda, terasa pesawat ini berbelok 90 derajat mengarah ke barat laut. Hidung pesawat kini mengarah ke Andaman. Dari jendela kami, Selat Malaka terbentang luas.

Bebulir keringat mengalur di leherku, turun dengan cepat membasahi dada. Tanganku naik dan melepas penuh panel kontrol penyejuk udara. Tetapi tak ada yang aku rasakan. Seharusnya ubun-ubunku segera dikepung udara dingin, tapi tidak. Aku justru kepanasan. Aku sedang terguncang. Keributan di kokpit terdengar lagi, namun singkat.

Baca juga  Cak Lan di Gedung Putih

Pesawat ini memang sedang terbang lurus ke arah yang aku tahu, tapi sesekali ia mengubah ketinggian. Aku berpaling ke jendela dan menangkap garis horison di barat. Pesawat ini sedang melampaui cakrawala. Aku yakin, altimeter menunjukkan pesawat ini sedang berada di ketinggian lebih dari 30.000 kaki. Laut tak nampak. Awan seperti karpet di bawah perut pesawat.

Sungguh, aku tak bisa membayangkan kebisingan di kabin. Orang-orang melepas sabuk dan menunjuk-nunjuk wajah pramugari yang juga berusaha menenangkan. Tampak sekali mereka tak tahu apa-apa. Seorang awak kabin lain berdiri cemas di dekat tirai. Bukan cemas yang biasa, tapi lebih tepat—ia seperti ingin menangis. Ya. Ia berusaha menahan tangis.

Aku cukup tenang untuk situasi tertentu, tapi tidak kali ini. Persetan dengan tiba tepat waktu. Persetan dengan urusan penting di Beijing. Seseorang harus menjelaskan situasi yang sedang kami hadapi ini, seburuk apa pun. Telapak tanganku berkeringat hebat. Pelipis dan rahangku mengeras. Aku juga marah.

“Kapten harus menjelaskan ini!” teriakku pada awak kabin lelaki di dekat tirai. Lelaki malang itu tak menyahut, hanya menunduk dalam-dalam. Aku bahkan sanggup melihat pangkal leher belakangnya yang kuning.

Situasi tak menentu itu bertahan hampir satu jam lebih, sampai kami dikejutkan dengan getaran hebat itu lagi. Dinding pesawat bergetar hingga mengeluarkan bunyi. Punggungku tegak. Telapak tanganku mencengkeram lengan kursi kuat-kuat. Aku sebut nama Tuhan dalam hati, berulang-ulang. Berulang-ulang. Aku memejamkan mata, menekan kelopak mata dalam-dalam, merasakan kegelisahan luar biasa saat wajah-wajah yang kucintai melintas satu per satu.

Tapi tak satu pun dari wajah-wajah itu yang bisa membuatku tenang. Aku menyadari kondisi yang sedang kami hadapi ini. Menyadari bahaya yang sedang mengintai, dalam posisi terikat di kursi, bukanlah sesuatu yang nyaman. Peluh membasahi tengkuk. Ketakutan menerjangku. Ketakutan yang membuatku mual. Aku takut. Benar-benar takut. Telingaku mendadak pekak, tak ada bunyi. Sunyi sekali. Nama Tuhan kusebut berulang-ulang, lebih cepat hingga nyaris aku keliru mengejanya.

Guncangan keras berikutnya membuat telingaku terbuka. Guncangan ini berbeda dan lebih hebat dari sebelumnya. Kami sampai-sampai terangkat dari kursi. Pahaku sakit luar biasa. Aku menoleh pada perempuan di sisiku. Wajahnya basah. Ia sudah benar-benar menguras air matanya. Bibirnya gemetar. Tangan kanannya masih mencengkeram lenganku kuat-kuat. Tapi aku tak merasakannya lagi. Ketakutan telah membuatku kebas. Bibirnya bergerak. “Maafkan aku,” sepertinya itulah yang hendak ia ucapkan, tapi suaranya sudah hilang, tersedak tangisnya sendiri.

Panel aluminium yang memanjang di dekat bagasi seperti hendak jatuh. Kursi yang aku duduki seperti goyah. Ada alur yang menyala, seolah penanda lajur, memanjang dari bagian belakang ke depan dan berhenti pada panel yang tegak sebelum pintu toilet dan pantry. Sebatang pipa berdiameter enam sentimeter yang tegak di perpotongan lajur itu, seperti bengkok, tertekan beban dari atas. Kekhawatiranku menjadi-jadi setelah itu.

Dalam guncangan yang tidak teratur, pesawat tiba-tiba naik, meliuk sebentar, lalu sejajar. Semenit kemudian tubuhnya terguncang hebat lagi. Masker oksigen berjatuhan di atas kepala penumpang. Beberapa orang meraih, berusaha memasang ke wajahnya sendiri, atau mengenakan ke orang di sisinya. Masker itu tak kukenakan sebab aku masih dapat bernapas dengan baik.

Saat hendak kukenakan kepada perempuan di sisiku, ia menolak. Seorang pramugari berdiri dan seperti sedang mengucapkan sesuatu melalui pelantang suara kepada para penumpang. Aku sukar mendengar apa yang ia katakan, sebab ucapannya ditenggelamkan suara getaran tubuh pesawat.

Baca juga  Kota Angin

Tanpa peringatan, pesawat berguncang lebih keras, lalu miring sedikit sebelum menukik turun. Gerakan itu melemparkan tubuh pramugari ke dinding pantry. Tubuh kami miring ke kiri sebelum condong ke depan saat pesawat menurunkan ketinggiannya dengan cara ekstrem. Setiap penumpang berusaha menahan condongan itu dengan menopang di lengan kursi masing-masing. Nama Tuhan dipekikkan hampir bersamaan. Suara tangis ikut mendera perasaan dan kian membuatnya liku tercabik ketakutan. “Di sinilah akhirnya,” bisikku.

Telingaku, sekali lagi, menjaring nama Tuhan yang berlompatan dari setiap barisan kursi. Ya. Hanya Tuhan-lah yang bisa menolong kami saat ini.

Aku merasakan tubuh pesawat perlahan lurus. Hidungnya naik sedikit demi sedikit. Getaran juga ikut berkurang. Aku bernapas lega. Aku berharap harapan sekecil apa pun bisa tumbuh di hatiku saat ini.

“Jangan di sini, Tuhan. Jangan. Tidak di sini, yaa Rabb,” hatiku menjalarkan kalimat itu sampai ke bibir yang kemudian aku bisikkan. Tubuhku basah. Lututku tak bisa berhenti bergetar. Aku takut luar biasa.

Itu harapan terakhir yang aku sembulkan, sebelum menyadari deru mesin di kiri menghilang dan menyisakan deru lainnya di sisi kanan. Tubuh pesawat sedikit miring. Aku mengintip ke jendela dengan takut, mendapati ruder di ujung sayap yang tegak. Pilot sedang berusaha menahan laju pesawat dan menyeimbangkannya sejajar dengan garis horison. Mesin kiri mati dan pesawat jelas terasa oleng. Awan seperti sejengkal saja di atas pesawat, dan sejauh batas mataku, di jendela yang nampak hanya permukaan laut. Hanya laut.

Tubuh pesawat bergetar lagi, tapi tak sehebat sebelumnya. Seseorang berteriak dari arah depan. Itu suara pramugari. Ia meminta kami membungkuk. Ia masih berbicara dan belum semua dari kami mengikuti permintaannya saat pesawat meliuk ke kiri, lalu gravitasi menarik sayap pesawat ke arah kanan, menurunkan hidungnya dan terus menukik.

Aku tak sempat mengingat siapa pun lagi. Ketakutan yang luar biasa mendorong adrenalin sampai ke pucuk kepala dan seperti hendak meletus di sana. Tuhan-lah yang sempat aku sebut sebelum tubuhku terdorong ke bawah secara tiba-tiba. Wajahku membentur punggung kursi di depan. Mematahkan tulang hidungku. Sandaran kursiku juga melipat ke depan. Mementalkan apa pun saat tubuh pesawat pecah di permukaan air. Perempuan di sisiku entah di mana. Dua lenganku patah karena menahan beban dan tidak mungkin sempat menarik tuas sabuk. Berat kursi mengirim kami semua ke dasar Laut Hindia dengan cepat. Sangat cepat.

Aku merasakan kebas pada tulang belakangku. Tubuh pesawat yang berai mendadak hilang, hamparan laut dan gelapnya Laut Hindia menguap. Orang-orang yang bertumpukan sebelum bercerai dalam jarak berjauhan juga lenyap, meninggalkan tubuhku yang kuyup dan ketakutan yang belum pergi, di depan komputer kerja. Telapak tanganku basah dan meninggalkan keringat di papan ketik.

Telahkah aku berhasil menggambarkan teror di dalam kabin sebuah pesawat?

Dua siku dan lututku masih bergetar, bebuku jemariku masih kebas saat aku mulai menuliskan susunan plot ini. Saat ujung jemariku menekan tuts-tuts papan ketik, kakiku masih merasakan dinginnya lantai pesawat. Sejujurnya, teror yang aku ciptakan dibenakku, belum benar-benar pergi. ***

 

 

ILHAM Q. MOEHIDDIN, menulis banyak cerpen. Buku terbarunya Ordinem Peremto: Para Pembunuh Ketertiban (2016).

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Ari Hasan

    Benci aku dibohongi….hhhhh….deg..deg…an..

  2. Ima Lawaru

    Hadoooh. Ya Allah

Leave a Reply

error: Content is protected !!