Aku ikut duduk malam itu, hujan baru saja reda, suara jangkrik di luar sana terdengar jelas di telinga. Di ruang itu, kakek masih duduk sedikit menunduk, paman Ibrahim sesekali mengelus jenggot di dagunya, dan bapak masih saja duduk dengan putaran tasbih di tangannya. Ibu dan adikku datang membawa beberapa gelas teh.
Ada pembicaraan panjang malam ini, ada sesuatu yang mesti disepakati dan mesti dirampungkan. Selepas gelas-gelas teh itu dibagi ke semua yang ada di lingkaran itu, Ibu ikut duduk dengan tenang di samping bapak. Adikku berjalan masuk membawa nampan yang sudah kosong. Kakek mulai membuka suara. Suaranya begitu berat dan sedikit tegas meski sesekali batuk-batukan.
“Mereka semalam meminta Rp 60 juta. Tak hanya itu, mereka juga minta ditambah satu ekor sapi.” Kakek batuk dua kali. Tatapannya bergiliran ke arah paman Ibrahim dan bapak.
Semalam, kakek bersama paman Malik, adiknya bapak yang paling kecil di bawah paman Ibrahim, memang datang nyelabar ke Desa Sakra. Tapi, semalam memang belum ada kata sepakat antara kedua keluarga. Mereka pulang dengan tatapan hampa. Dan malam ini, apa yang mereka bicarakan semalam harus dituntaskan.
Sebab, jika nanti mereka akan balik untuk nyelabar kedua kali, semua harus sudah kelar. Meski paman Malik tak bisa ikut berkumpul malam ini sebab ia harus ke Pademare menjenguk mertuanya yang tengah sakit, kesepakatan harga mesti diputuskan, untuk nanti dibawa dan ditawarkan ke pihak keluarga Ratmi, perempuan yang akan dipinangkan untukku.
“Mereka keterlaluan, mereka pikir kita orang kaya apa?” Paman Ibrahim bicara dengan nada keras. Ada raut emosi terlihat di wajahnya, memang demikian sifatnya selama ini. Waktu anaknya Si Udin ketahuan merokok kelas VI SD dulu. Paman Ibrahim marah habis-habisan dan menendang anaknya itu tiga kali.
“Kamu tenang, pakai otak dan hatimu. Jangan kamu cepat emosi. Kakek memandang paman Ibrahim dengan tajam. Paman Ibrahim menunduk sesaat. Ia menghela napas begitu panjang.”
“Bagaimana menurutmu?” Kakek mengarahkan pandangan ke bapak yang masih saja khusuk dengan putaran tasbih di tangannya. Bapak sedikit terkejut dan memandang kakek.
“Begini, Pak, saya semalam memikirkan ini. Sungguh, Bapak tau sendiri kalau panen kita gagal lagi. Uang tabungan benar-benar hanya ada seperempat saja dari yang mereka minta.” Bapak dengan suara pelan menjelaskan kepada kakek.
Aku masih diam saja, memang tak ada hak untukku bicara malam ini, hanya orang tua yang berhak angkat bicara. Semula aku tak ingin ada di sini, aku ingin di kamar saja. Tapi, maghrib tadi Ibu meminta agar aku ikut sebagai pendengar. Memang, permintaan keluarga Ratmi terlalu besar menurutku. Kami tak punya uang sebanyak itu, apalagi mesti ditambah seekor sapi. Aku memandang mereka bergiliran: paman, bapak, dan kakek. Semua seperti dirundung beban yang berat. Kakek lebih sering batuk, paman lebih sering terlihat menggerak-gerakkan giginya hingga suara gigi yang bersentuhan itu bisa terdengar. Bapak, selain masih memutar tasbih, sesekali ia menggaruk keningnya.
“Bapak, pernikahan harus terlaksana. Kabar ini secepat itu sudah sampai ke kerabat dan keluarga jauh. Akan malu kita kalau sampai gara-gara uang, terus Alif batal kawin. Apa yang akan orang-orang bilang. Alif dan kita akan menanggung malu seumur hidup.” Ibu bicara sembari memandang kakek dengan tatapan sendu. Mata itu seperti setengahnya sudah basah.
“Terus, maksudmu kalau mereka minta sebesar itu kita harus penuhi. Jika perlu, sampai menjual rumah ini! Malu juga hanya sebentar Mbak Minah. Ketimbang selamanya kau akan menyesal, selamanya kau akan menanggung utang. Kalaupun kita jadikan sertifikat rumah ini jadi jaminan bank.” Paman Ibrahim menimpali ucapan Ibu dengan emosi. Wajahnya terlihat sudah memerah. Bapak mencoba menenangkannya.
“Ibrahim, itu sebabnya kita berkumpul. Jangan cepat menyimpulkan begitu. Banyak otak, akan banyak strategi dan cara yang kita temukan nantinya.”
“Ibrahim, kamu jangan emosi. Berkali- kali saya bilang, emosi tak akan menemukan solusi apa-apa. Mari bicara dulu dengan tenang.” Kakek menambahkan. Matanya semakin tajam menatap paman Ibrahim.
“Maaf, maaf semuanya. Tapi, ini terlalu besar. Apakah tak bisa kita mencoba menawar, mencari jalan tengah yang tak memberatkan siapa-siapa.” Paman Ibrahim mencoba bicara sedikit pelan. Matanya terus saja bergantian menatap bapak dan kakek.
“Semalam aku dan Malik mencoba menawar. Kami terus menawar dengan harga yang kita mampu. Tapi, keluarga perempuan itu mulai membahas tentang bibit bebet bobot-nya. Mereka terus menceritakan gelar bangsawan yang mereka punya. Dan menurut mereka, harga itulah yang paling pantas. Jika kita menawar rendah dan mereka menyepakati, mereka bilang kalau mereka akan malu. Harga diri mereka akan jatuh. Dan akan menjadi omongan bulan-bulanan orang sekampung. Itu sebabnya, kami minta balik dulu untuk berunding kembali. Kakek menjelaskan dengan pelan dan tempo bicaranya sedikit lambat.”
“Memang apa gelar si Ratmi itu?” Paman Ibrahim bertanya.
“Dia bergelar Baiq, kau tahu sendiri kanbagaimana mereka? Mereka merasa turunan bangsawan. Mereka merasa kasta mereka di atas kita. Mereka semena-mena menentukan harga pinangan. Mereka tak peduli kalau keluarga si lelaki tak mampu memenuhi permintaan itu. Malah mereka mulai menjelaskan pekerjaan si Ratmi yang sebentar lagi akan diangkat jadi guru PNS. Kalau kita tidak bergerak cepat dan si Ratmi sudah jadi PNS, malah harganya akan di atas Rp 100 juta dan itu akan semakin berat.” Kakek kembali menjelaskan.
Aku termenung mendengar ucapan kakek. Permintaanku untuk menikahi Ratmi benar-benar tak pernah terpikir akan menjadi beban bagi mereka. Kami saling mencintai dan memutuskan menikah. Tapi, keluarga besar Ratmi selalu saja menengok sejarah, selalu saja merasa turunan mereka turunan bangsawan, turunan berdarah biru. Ini tentang masalah harga, dan pernikahan di pulau ini akan selalu berkaitan dengan itu. Aku belum mengerti dan tak akan pernah bisa mengerti dan memahaminya.
“Menurut kakek solusi apa yang paling baik?” Tanya paman Ibrahim lagi.
“Solusi terbaik adalah mereka mesti menikah, apa pun caranya.” Dengan cepat Ibu menimpali.
“Diam dulu kamu, diam…!!!” Bapak menatap Ibu. Ada raut sedikit marah di wajahnya. Ibu menunduk dan seketika diam. Suasana terasa sedikit tegang.
“Bagaimana menurutmu?” Paman Ibrahim tiba-tiba bertanya padaku. Aku hanya diam tak tahu hendak mau bilang apa. Otakku tiba-tiba buntu malam itu.
“Begini, begini. Malam ini kita harus sepakati berapa harga yang akan kita bawa ke keluarga Ratmi saat datang nyelabar lagi besok malam. Ini harus tuntas.” Kakek bicara lagi mencoba mencairkan suasana, sesekali ia jeda bicara dan menghelas napasnya.
“Biar lebih singkat. Berapa uang yang saat ini ada dan sudah kamu siapkan?”
Kakek menatap bapak.
“Jujur, yang ada saat ini hanyalah Rp 15 juta. Ada Rp 1 juta lagi dalam bentuk gelang emas.” Bapak bicara dengan lambat tanpa melihat wajah kakek.
“Berarti yang ada sekarang Rp 16 juta dan saya akan menambahkan Rp 4 juta, hanya jumlah itu yang benar-benar saya punya. Totalnya berarti Rp 20 juta. Ditambah Malik semalam bilang kalau ia ada sekitar Rp 3 juta saja. Totalnya Rp 23 juta.” Kakek mencoba menotal uang yang memang sudah ada.
“Saya ada tabungan Rp 5 juta. Itu bisa dipakai.” Paman Ibrahim menambahkan.
“Berarti semuanya Rp 28 juta. Sedangkan, mereka meminta Rp 60 juta, berarti kita minus Rp 32 juta dan juga minus seekor sapi. Sapi sekitar Rp 9 jutaan harganya. Totalnya kita minus Rp 41 juta.” Kakek bergilir menatap paman Ibrahim, ibu, dan bapak.
Masih jauh sekali. Aku berucap sendiri dalam hati. Aku benar-benar tak ada tabungan untuk saat-saat ini. Aku bisa saja membatalkan semuanya, tapi Ibu akan merasa malu dan tak tau mau menjelaskan apa ke tetangga dan kerabatnya. Berita itu terlanjur menyebar.
Pembicaraan yang alot itu masih saja berlangsung. Akhirnya sebuah kesimpulan diambil, untuk memenuhi minus itu, bapak akan menggadaikan sertifikat rumah di bank. Setoran nanti bakal dicicil bapak dari hasil sawahnya. Ibu terlihat sedikit bahagia. Malam itu.
Pernikahan pun terjadi antara aku dan Ratmi. Kami menikah dan hidup berumah tangga.
***
Kini, genap empat bulan sudah aku dan Ratmi hidup bersama. Dua bulan awal terasa sangat bahagia. Tapi, bulan berikutnya, bapak tak mampu lagi membayar setoran bank. Aku putuskan membantu bapak membayar cicilan itu dari hasil kios kecil-kecilan yang tiga bulan terakhir ini menjadi usahaku. Akibatnya, uang belanja Ratmi harus dipangkas. Itu membuatnya sering ngambek, mulai sering membesar-besarkan masalah yang kecil. Banyak pertengkaran terjadi dan selalu berujung tak saling tegur berhari-hari.
Kuceritakan semua pembicaraan keluarga itu ke Ratmi, pembicaraan saat hendak meminangnya. Saat keluargaku berunding alot dan sampai meminjam untuk melangsungkan pernikahan kami. Tapi, Ratmi tak peduli. Ia sungguh tak peduli.
“Ceraikan aku. Antar aku pulang ke rumah ibuku!!!” Kata itu terlontar dengan jelas dari mulutnya pada sebuah sore yang basah. Sangat jelas terdengar di telingaku.Wajah Ratmi memerah. Segala nasihat dan penjelasanku tak mampu lagi membendung keinginannya itu. Dadaku seperti disambar gemuruh yang hebat.
“Ceraikan aku. Antar aku ke rumah ibuku!!!” Ia terus berteriak—berkali-kali.
2017
Kosakata:
– Nyelabar: istilah Sasak, artinya keluarga lelaki datang melamar ke keluarga perempuan; membicarakan harga dan mahar.
– Baiq: gelar bangsawan perempuan Sasak.
RIFAT KHAN, Lahir di Pancor NTB pada 24 April 1985. Beberapa karyanya dimuat di media lokal dan nasional. Bermukim di NTB dan bergiat di Komunitas Rabu Langit Lombok Timur.
aida88
Berasa pengen ngarungin mbak ratmii😊😊
Hero
Bener..
Beneer…
Ari Hasan
Ooowalaah….🙂