PODOL sedang mengenakan baju terbagus yang dimilikinya, baju yang selama sepuluh tahun disimpan, kemeja kotak-kotak dan celana jins cokelat. Kepala gundulnya masih basah, ia becermin sambil bersiul-siul, badannya bergoyang-goyang mengikuti irama siul. Tiba-tiba, terdengar ada yang mengetuk pintu rumahnya dengan tergesa. Ketukan yang seperti mengabarkan sebuah kondisi yang gawat dan segera perlu pertolongan. Ketukan itu mengingatkan Podol pada sirene ambulans.
Tentu saja Podol yang segar dan ceria memburu sang tamu. Ibarat dokter yang sigap menyambut pasien. Namun apa yang didapatnya ketika pintu terbuka, seseorang memunggunginya dengan tubuh bergetar sedang memelorotkan celana, tampak jelas pantat belang merosot jongkok, terdengar suara erangan tertahan. Pluk. Tahi berjatuhan menumpuk sepuluh sentimeter dari ujung ibu jari kaki kanan Podol.
Podol tercekat. Mulut yang masih bersiul mendadak manyun kaku.
Kejadian yang begitu cepat. Layaknya sebuah tamparan. Sang tamu berdiri pergi begitu saja sambil menaikkan celana. Berlari. Punggungnya melesat lenyap di kelokan gang.
Podol mematung. Hanya wajahnya menampakkan mimik jijik, kemudian muncrat. Sesaat ia seperti hendak mengejar sang tamu yang telah entah sampai mana. Kaki kiri sudah terangkat, tertahan di atas tumpukan tahi, ditarik kembali.
Susah memang mengejar orang dalam jalur gang yang begitu banyak cabangnya. Podol sendiri masih sering tersesat padahal sudah sepuluh tahun ia tinggal di kota ini. Kota yang sekonyong-konyong hadir, seperti muncul begitu saja dari dalam tanah, menyambutnya ketika dulu ia kabur dari kampungnya. Kota yang padat, berjejalan, tapi sunyi seperti tak berpenghuni.
Pada akhirnya tubuh Podol bergetar hebat dan dari mulutnya muntah muncrat tepat di atas tahi sang tamu. Perlahan mundur dan secepat kilat membanting pintu lantas berlari ke kamar mandi, menuntaskan sisa muntah yang berontak ingin lekas muncrat lagi.
Di teras, di depan pintu yang tertutup, tahi dan muntah saling peluk dalam limpahan cahaya senja. Lalat-lalat berdatangan. Pesta.
***
“PODOOOL!” teriakan menggedor-gedor malam.
Podol muncul dengan tubuh basah yang cuma dibalut handuk. Kiranya ia mandi lagi. Mandi untuk kesekian kalinya. Usai perjumpaannya dengan pantat belang dan tahi yang menumpuk Podol terus diserang mual. Perutnya tak henti berontak. Selalu setelah mandi ia kembali tersungkur muntah.
Muntah bertebaran. Mulai dari dapur. Ruang makan. Ruang tengah. Ruang tamu. Bahkan kamar. Podol kini nampak pucat dan lemas. Ia duduk di kursi sambil berusaha menahan gejolak isi perut yang masih berontak. Padahal ia yakin semuanya sudah habis terkuras. Terakhir hanya cairan kuning yang meleleh dari mulutnya. Ia mirip seseorang yang mabuk laut.
Matanya lemah menatap jam bulat, sebulat kepalanya, jarum panjang dan pendek seperti garis lurus. Pendek mengarah ke angka sembilan dan panjang ke angka angka tiga. Sementara jarum runcing merah detik, seperti seorang pelari dalam gerak lambat, begitu lambat seakan-akan melayang tak hendak sampai memijak.
Malam yang berat dan lambat.
Podol bersandar. Payah.
“Podol!” terdengar lagi teriakan dari luar rumah. Mula-mula pelan saja. Lama-lama makin keras. Mula-mula seperti satu suara, lama-kelamaan terdengar seperti banyak orang. Susul-menyusul seperti berondongan salak senapan.
Podol tak kuasa menjawab. Hanya matanya yang bergerak-gerak lambat, seperti menahan untuk tidak terpejam. Sebab sesaat saja terpejam, bayangan pantat belang dan tumpukan tahi akan masuk menyerbu dan berpesta dalam kepalanya. Jika itu terjadi, mual kembali akan datang menyiksa. Memaksanya muntah padahal tak ada lagi yang bisa dimuntahkan.
“Bangsat…,” bisik Podol lemah hampir tak terdengar.
Podol meyakini suara-suara di luar adalah suara-suara lalat yang masih berpesta di depan pintu. Pintu yang terus tertutup sejak ia banting tadi sore. Pintu yang tertutup tapi tak dikunci. Jika ada seseorang yang hendak datang, tinggal membukanya. Tapi tak ada yang datang. Padahal Podol sesungguhnya sedang menunggu seseorang yang seumur hidup ditunggunya. Seorang kekasih dari masa kecil. Dia yang tinggal jauh di kampung, bertahun tak berjumpa. Kekasih yang tadi pagi mengabari akan datang di sore hari. Podol selama ini selalu mengirim surat kepada kekasihnya, dan baru tadi pagi mendapat balasan. Sepuluh tahun penantian yang hampir membuatnya gila.
“Podol!” teriakan-teriakan terus berlangsung.
Podol berusaha mengingat sosok tamu yang menjadi penyebab dari seluruh malapetaka ini. Sekilas tertangkap bayangan kepala gundul, kemeja kotak-kotak, celana jins cokelat. Ia terkejut. Persis dirinya. Pakaian yang sama. Dan pantat belang itu, ia tak bisa memastikan apakah pantatnya sendiri juga belang, sebab ia tak pernah tahu keadaan pantat sendiri.
Ia menahan mual jahanam. Menutup mulut erat-erat. Tubuhnya terguncang lemah. Jari-jarinya berusaha mencengkeram sandaran kursi. Tatap nanarnya merayap dari lukisan ke lukisan yang memenuhi dinding, sebagian menumpuk di bawah. Matanya seperti ingin berpegangan pada warna-warna dan bentuk dalam kanvas-kanvas itu.
Podol adalah pelukis, setidaknya begitu ia menyebut dirinya selama ini. Sepuluh tahun ia habiskan waktunya untuk melukis sang kekasih. Semua objek dalam lukisannya adalah manusia gundul dalam berbagai posisi dengan limpahan dan komposisi warna yang beragam. Terdapat coretan-coretan kata-kata dalam setiap lukisannya. Sebagian kata-kata pendek, sebagian begitu panjang sehingga hampir memenuhi lukisan. Ia meyakini itu adalah pernyataan cinta paling murni.
Tentu, malam ini seharusnya ia dan kekasihnya sedang menikmati semua lukisan itu, bahkan lukisan yang masih terdapat dalam kepalanya. Ia ingin menunjukkan betapa keputusannya untuk pergi dari kampung dengan membawa seluruh hasil penjualan warisan yang didapatnya adalah untuk menumpuk rindu, ia ingat menjual seluruh warisan itu sebulan sebelum kematian kedua orang tuanya, dan inilah hasilnya, lukisan-lukisan yang semuanya wujud dari kerinduan. Nun, jauh di kampung ia tak bisa tenang melukis, orang-orang kampung selalu mencemoohnya, mengolok-oloknya. Ya, hanya kekasihnya yang selalu setia menemaninya sepanjang waktu. Maka alih-alih sedih saat kematian orang tuanya karena terjun bersama-sama ke dalam sumur, tepatnya ia dorong mereka dengan bantuan kekasihnya, ia diam-diam bahagia karena bisa kabur dari kampung dengan bekal yang lebih dari cukup.
Hanya saja kekasihnya tak bisa ikut pergi karena telah berjanji untuk menunggui makam kedua orang tuanya selama sepuluh tahun. Kekasihnya memang kesayangan orang tuanya, mungkin karena sangat setia menemani Podol, sampai-sampai kekasihnya membalas sayang itu dengan janji yang tak bisa diingkari. Ya, menunggui sumur itu sepuluh tahun. Tentu Podol menemaninya dari jauh dengan surat-surat yang tak pernah putus. Dan malam ini adalah tepat tahun kesepuluh.
Hari pertemuan di mana semua lukisan akan diserahkan kepada pemiliknya. Podol akan memberikan semuanya. Sepanjang hari ia bersolek menunggu kedatangan kekasih, yang dalam angannya akan datang seperti seorang pasien kronis pada dokter yang akan menyembuhkannya.
Namun semuanya gagal gara-gara si pantat belang. Ia membayangkan kekasihnya itu sesungguhnya datang ketika ia sibuk muntah di kamar mandi, namun kekasihnya terhadang tahi dan tumpahan muntah di depan pintu, lantas marah dan pergi lagi sambil mengutuk Podol. Bayangan akan kemarahan sang kekasih dan kepergian yang tak akan kembali lagi membuatnya luluh lantak. Podol mengenal kekasihnya seperti ia mengenal dirinya sendiri, yang tak akan ada maaf ketika kedatangannya yang penuh cinta malah disambut dengan tahi dan muntah. Dan lalat yang berpesta.
“Podoool!” suara-suara dari luar hinggap ke telinga Podol sebagai dengung lalat. Lama-lama hilang sendiri seiring keberhasilannya menahan dan menekan mual. Napasnya mulai teratur, pelahan sudah mampu mengusap keringat yang membanjiri wajahnya. Ia berusaha berdiri. Limbung. Handuk hampir merosot dan lolos. Susah payah menarik dan membelitnya kembali.
Berjalan sempoyongan dari satu lukisan ke lukisan yang lain. Menjejerkan lukisan yang masih menumpuk. Membuka semua yang masih dalam kanvas yang tergulung di setiap sudut ruangan. Semuanya dilihat dengan mata yang nanar melayang.
“Kekasih, kekasih…,” begitu ia terus berbisik pada setiap lukisan. Sampai pada sebuah lukisan telanjang berlatar hitam, manusia gundul yang sedang jongkok berpantat belang.
Podol mendadak menggigil, ia mundur sambil melolong.
“Kaulah yang datang, kekasih. Kaulah yang tadi mengetuk pintu. Kenapa kau pergi lagi hanya karena malu gara-gara tahimu sendiri. Aku telah menantimu bertahun-tahun, ini seperti berabad-abad lamanya.” Podol mendorong kursi dan meja, membuat ruang luas, menghamparkan kanvas-kanvas kosong, menyeret kaleng-kaleng cat, menghamburkan kuas.
Larut malam ia meraung-raung sendiri. Bergulingan di atas lukisan dengan tubuh bugil. Betapa nampak Podol begitu serupa dengan lukisannya sendiri. Manusia gundul berpantat belang yang terus bergerak dalam beragam posisi dalam tumpahan banyak warna. Tubuhnya dipenuhi warna. Berbaju warna-warna.
***
PAGI hari, Podol yang hanya berbaju cat warna-warni nampak berjongkok di depan pintu. Diraihnya tahi yang sudah mengering dengan kedua tangannya. Lalat-lalat masih berpesta. Diciumnya sedap. Diangkat tinggi-tinggi, kemudian ditarik ke sejajar dada. Ia berjalan hati-hati ke arah halaman seperti seseorang yang sedang membawa cahaya lilin dalam kegelapan.
Dari setiap halaman rumah. Rumah-rumah kumuh yang berjejalan saking padatnya. Muncul orang-orang yang serupa dengan Podol. Bugil warna-warni. Bahkan sama-sama membawa tahi dan dengung lalat di tangannya layaknya membawa lilin. Bahkan meneriakkan kalimat yang sama dengan irama dan suara yang sama pula.
“Tahukan kau tahi siapa yang ada dalam genggamanku? Inilah tahi kekasihku!”
Mereka berjalan ke arah gang. Kemudian berjalan sepanjang gang.
“Inilah tahi kekasihku. Akan kucari ia dengan tahinya sendiri. Ia kekasihku yang datang karena setia dan pergi karena malu.” Mereka terus berjalan memenuhi gang membawa tahi dan dengung lalat, layaknya membawa sesuatu yang berharga, berkali-kali menciumnya seperti mencium bunga. Podol, dan mereka yang mirip Podol, berjalan beriringan sepanjang gang yang sempit dan banyak cabang. Hilir mudik.
Gang yang terus bercabang, terus bercabang, melingkar, berbelit-belit. Tanpa ada jalan keluar. Mereka terus berjalan dengan gerak dan langkah yang sama, dengan kalimat dan irama yang sama.
“Tahukah kau ini tahi siapa? Inilah tahi kekasihku. Tahi kekasihku!”
Podol, dan puluhan bahkan ratusan Podol lainnya, terus menyusuri gang mencari kekasih. Mereka berteriak-teriak mengulang-ulang kalimat itu, lama-lama terdengar seperti melolong. Gang semakin penuh namun terasa begitu sunyi. Gang yang terus pecah bercabang, terus bercabang, melingkar, berbelit-belit. Tanpa ada jalan keluar. Dan Podol terus melolong.
***
Kedungpanjang, 2016
Toni Lesmana, lahir di Sumedang. Menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Buku yang telah terbit, Himpunan Cerpen Jam Malam Kota Merah (Amper Media, 2012), Kepala-Kepala di Pekarangan (Gambang, 2015). Kini menetap di Ciamis, Jawa Barat.
Leave a Reply