SEBENARNYA di dunia ini tak ada yang samar dan tersembunyi selain hanyalah kebodohan dan kemalasan yang membuat berserah diri, demikianlah istri saya berfilsafat. Wualah, ngomong apa kamu ini, Diw. Mau sok filsuf, ijazah saja masih dipertanyakan. Kendati mungkin hoaks istri saya layak diperbimbangkan, saya lipat dulu. Kemudian bertolak ke sesi yang baru dengan nuansa yang eksotis, yakni wanita yang tiba-tiba hadir melibas istri yang pernah saya nikahi sepuluh tahun lalu. Ya, wanita itu memang telah mencengkeram saya, terlebih dalam pandangan dan pesannya yang membuat saya tak bisa berkutik.
Makanya sempat khawatir ketika menyebut dalam rumah ini ada penghuni lain selain saya dan keluarga. Apakah itu tidak berbahaya atau setidaknya punya dampak buruk bagi pemilik rumah, kamu segera berkilah. “Tidak. Malah kasihanilah, jangan diganggu atau setidaknya jangan usir dari tempat itu. Mereka terdiri dari dua perempuan, yang satu tua, satunya lagi muda. Yang tua berjalannya ngesot, sedangkan yang muda rambutnya dikepang serta pakai kebaya. Keberadaan serta wajah keduanya sangat memprihatinkan.”
Sebagai pemilik rumah, saya bersikap wajar-wajar saja kendati suasana mistis demikian tercipta dari lidahnya yang bak pisau. Demikian pula ketika ia mengetahui di sumur saya ada suara yang tengah menimba air. Derit kerekan katrol usang berkarat katanya terdengar nyaring dan linu di telinganya—yang ternyata kegiatan yang dilakukan dua wanita itu. Aneh, saat kami tengah bertelepon di sumur tak ada siapa-siapa selain hanya katrol usang dan timba itu.
Saya tak menganggap apa yang diucapkannya merupakan hoaks atau sekadar meniru praktisi dunia lain seperti pernah ditayangkan di statsiun televisi. Tadi pun saya sebut lidah dia adalah bak pisau yang tajam. Kerenanya saya sering pula tak berdaya kalau tak mau dikatakan teperdaya olehnya.
Ya, semua ini terjadi karena kelebayan dan bisa juga kepilonan. Kepilonan atau kelemahan keduanya antara saya dan dia. Mungkin karena sama-sama pilon atau lebay akhirnya berpagutlah cinta. Cinta dari perjuangan atau kelebayan itu. Maka kami pun tiba-tiba sering menjunjung atau mengagungkan kata cinta.
Karenanya, tak berlebihan dan saya akui jika kebusungan dada ini sempat muncul juga. Tak tanggung-tanggung, istilah dewa penyelamat pun tiba-tiba tersandangkan pada diri saya. Dalam istilah ini saya sebut kegombalan yang berbuah. Dalam kearoganan yang kuakui sebelumnya, saya ini seorang penyelamat kematian. Bah, tampak keren, bukan?
“Saya ingin bunuh diri. Saya sudah tak mau hidup lagi. Saya ingin mati saat ini juga!” teriak wanita itu dalam tangis yang tergesa. Lantas saya mencegahnya dengan sangat hati-hati, sebab merasa berdosa besar jika hal fatal itu sampai terjadi gara-gara saya membiarkannya.
“Tak perlu berbijak, seribu rayu kata bermadu, akan sangat percuma dan tak akan membuat saya luluh. Saya tetap ingin mati, saya ingin bunuh diri!”
Apa yang yang mesti kulancarkan menghadapi situasi seperti itu? Benarkah wanita itu akan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri? Memangnya kenapa mau bunuh diri?
Dan tiba-tiba saya berhasil menguasai diri, menanggapinya dengan santai saja. Sebab beberapa jurus lembut, seperti kata “sayang”, “nyai”, “jungjunan”, “geulis”, dan nada bujuk lainnya telah kutawarkan tak mempan.
“Oke, jika itu sudah menjadi keputusanmu, saya tak mau lagi ikut campur. Silakan dan segera laksanakan pembunuhan itu. Namun ada satu permintaan, jika mau bunuh diri, sebaiknya meloncatlah dari menara yang tinggi. Biar puas dan heboh!” tegas saya sedikit sebal.
Wanita itu jadi tak tertarik dengan apa yang saya ceritakan, karena semua itu hanyalah fiktif belaka. Sebuah ide gila dan konyol dalam sebuah penulisan cerpen yang kandas, begitulah telah saya jelaskan padanya. Mengetahui bahwa saya punya kebiasaan senang menulis, ia pun segera mengimbangi dan mencocokkan apa yang terkait dengan kegiatan saya sebagai penulis kambuhan. Ya, kambuhan, karena kadang semangat menulis cerpen plus puisi untuk dikirim ke berbagai media cetak ataupun online. Kadang pula mengesampingkan itu tatkala kegairahan lenyap dan terdampar di area pandang yang buram.
“Aku akan terus menghidupkan api membaramu!” katanya bak kipas di tengah udara yang gerah.
Karenanya semangat berkarya mulai tumbuh lagi. Entah basa-basi atau apa istilahnya, setiap tulisan saya yang dimuat di media cetak ia selalu mengatakan salut tanpa batas, terlebih atas karya berupa cerpen.
Lebih dari itu, yang membuat makin semangat berkarya, kebetulan ayahnya sebagai distributor koran di kota kecil kelahirannya. Bahkan di hari-hari tentetu ia pun kerap menjajakan koran-koran tersebut di dekat terminal.
“Jadi, saya akan tahu lebih dulu jika karyamu dimuat,” katanya.
“Wah, kalau begitu hebat,” demikianlah saya berkata atas kesimpulan dan kepuasan kami.
Lantas kenapa ia kerap mau bunuh diri?
“Entahlah,” katanya seperti pilon.
Betapa tidak. Cerita yang terjadi karena atas nama cinta. Nama yang senantiasa diusung dan suci itu ternyata isinya sangat egois dan tak punya perasaan.
“Apakah kekasihmu telah berdusta?” tebak saya.
“Bukan,” jawabnya seperti menelan ludah. Lantas wanita itu bercerita tentang kekasihnya. Ia adalah seorang intel di kepolisian. Lelaki itu sangat baik hati padanya. Namanya juga kekasih, tentu saja sangat baik. Namun tiba-tiba kedua orang tua wanita itu tak setuju jika punya menantu polisi. Entahlah, mungkin orang tuanya terpengaruh dengan segelintir oknum yang kerap menodai citra lembaga tersebut. Kendati pahit, demi menyenangkan orang tua, ia pun terpaksa menikah dengan lelaki yang berasal dari kampung ibunya.
Tapi, belakangan ini suaminya telah minggat ke rumah orang tuanya yang beda kecamatan. Alasannya kurang jelas. Dan lelaki itu kerap meneror lewat SMS, “Mau pilih suami atau ortu?” tanyanya. “Awas kalau ada lelaki lain di hatimu!” ancamnya di SMS lain. Persoalannya sangat dilematis. Sebab, menurutnya, ia dan suaminya itu masih punya rasa cinta. Tapi?
“Utang suamiku tak kurang dari 80 juta,” tutur wanita itu lain waktu. Ia merasa letih dan kehabisan alasan tatkala beberapa orang kerap menagih utang yang tak jelas. Menurut suaminya, utang itu merupakan utang bersama atas pembangunan rumah yang ia diami saat ini bersama kedua anaknya yang masih balita. Bohong! Pembangunan rumah itu tak menyisakan utang sepeser pun karena telah ditanggung orang tuanya. Utang tersebut merupakan utang murni suaminya atas kekalahan dalam kebiasaanya bermain judi selama ini.
Atas dasar itulah ia merasa putus asa dan kerap ingin mengakhiri hidupnya. Namun syukurlah hal fatal itu tak sampai. Kendati begitu, ia sempat berusaha mencipta kepergiannya. Dengan segenap kekuatan dan insting yang diulang-ulang, katanya ia sempat berhasil memisahkan ruh dari jasad. Ia sempat melihat jasadnya terbujur kaku dalam kamar. Namun merasa tak tega melihat anak si bungsu yang tampak menangis di sampingnya, ia pun berusaha masuk jasadnya kembali.
“Aku sudah tak perlu berlatih lagi, kini,” kata wanita itu tiba-tiba, “Hal melepas sukma dari raga bukan suatu yang sulit. Segalanya sudah refleks.”
Di balik rasa bangga atas kelebihan yang dimiliki wanita itu, diam-diam meremang juga bulu-bulu saya. Bulu kuduk saya. Terlebih dalam pengakuannya ia sangatlah dekat dengan saya, lebih dekat dari sekadar bayangan dan pandangan saya selama ini.
Ah Widari, batinku antara percaya dan tidak. Widari adalah nama wanita yang mengaku tinggal di kota M. Wanita penjaja koran di dekat terminal kota kecamatan itu. Wanita yang membangkitkan gairah saya dalam dunia kepenulisan cerita pendek.
“Malam ini aku tahu kamu tengah nulis cerpen tentangku dan hendak dikirim ke koran,” katanya ketika saya duduk di lantai menghadap monitor. Memang komputer jadul berlayar tabung saya itu tanpa meja, tercampak di ubin begitu saja.
“Ketika dulu kita mulai kenalan lewat nomor telepon yang kamu lacak sebelumnya, sebenarnya aku telah lebih dulu mengenalmu di rumah ini. Bahkan aku pun tahu ketika Iradiw, istrimu, yang tiba menuntut minta keadilan minta dibelikan HP baru.”
Saya terenyak, nyaris tak percaya terhadap apa yang telah terjadi.
“Kang, sudah saatnya kini kita berkencan di alam nyata. Rengkuhlah aku dan palingkan wajahmu!”
Saya seakan tercengkeram kematian ketika sosok wanita yang sering ber-SMS selama itu kini nyata-nyata berada di belakang saya.
***
Pangandaran, Mei 2016
Otang K. Baddy, menulis cerpen dan puisi di sejumlah media, tinggal di Pangandaran, Jawa Barat.
Leave a Reply