KALAU kamu pernah mendengar cerita tentang monyet-monyet penghuni Taman Wisata Plangon yang dulunya adalah manusia yang dikutuk, kemarin aku bertemu dengan sumber pertama cerita ini. Ia seorang nenek yang telah berusia lebih dari 200 tahun, yang menyaksikan langsung bagaimana kawanan prajurit itu berubah menjadi monyet. Aku tak sengaja bertemu dengan nenek itu. Ia tengah celingukan hendak menyeberang jalan yang penuh iring-iringan aneka kendaraan yang melaju perlahan, tak putus-putus. Ia datang dari arah pantai berhutan bakau dan hendak pulang ke arah perkampungan yang bersebelahan dengan kompleks perkuburan tua di seberang jalan pantura. Ia terlihat kebingungan melihat iring-iringan kendaraan yang tak habis-habis.
Aku tengah beristirahat sambil menyeruput kopi di kedai pinggir jalan dalam perjalanan mudik Lebaran. Melihat nenek itu celingukan, aku tergerak untuk menolong menyeberangkannya. “Mau menyeberang, Nek? Mari saya bantu,” kataku. Nenek itu menatapku. Sepasang bola matanya kelabu serupa mata burung hantu yang menderita katarak. Ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah berada di seberang jalan, ia masih celingukan, mulutnya seperti mengulum sesuatu yang ingin dimuntahkan. Aku menawarkan diri mengantarkan sampai rumahnya yang letaknya persis di samping pagar pembatas kompleks perkuburan, di bawah pohon kedondong tua. Ia mengangguk. Aku menuntunnya berjalan perlahan, menempuh jalan memotong dengan menerabas rumput alang-alang setinggi pinggang. Aku sampai di depan pintu rumahnya. Ia menahanku ketika aku hendak melangkah pergi.
“Masuklah dulu ke gubuk Nenek, Kisanak.” Aku tak tega menolak tawarannya yang penuh harap. Jadi, meskipun agak menyeramkan, masuklah aku ke rumahnya yang kecil dan hanya terdiri dari satu ruangan. Sambil duduk di kursi kayu yang telah lapuk tanpa jok, aku melihat nenek itu tersaruk melangkah ke pojok ruangan hendak membuat kopi. Aku mengatakan tak perlu repot karena aku akan segera kembali ke kedai. Aku memang ingin segera kembali dan meneruskan minum kopi di kedai di mana sepeda motorku kutambatkan, tapi rasanya tak menghargainya kalau mengabaikan maksud baik nenek ini. Seraya menunggunya meracik kopi, aku mengamati seisi ruangan yang salah satu dindingnya adalah tembok pembatas perkuburan dengan lahan kosong. Dinding lainnya terbuat dari anyaman bambu yang dilabur kapur. Selain kursi yang kududuki, tak ada lagi kursi lain. Kecuali berupa tumpukan kayu yang dipaku secara sekadarnya, serta sebuah meja. Di sudut lain ada bale-bale untuk tidur.
Aku sedikit terperanjat ketika pandanganku melayang ke sudut langit-langit, aku melihat boneka monyet yang tergantung di sudut atas ruangan. Sepasang kaki dan ekornya menggantung sementara kedua tangannya menangkup seperti menyembah. Sebenarnya monyet itu tidak menggantung. Ada siku kayu yang menopang pantat monyet. Siku kayu itu pendek saja yang dipakukan ke tiang rumah sehingga sepintas monyet itu seperti melayang.
“Itu dulunya monyet sungguhan,” kata nenek itu tanpa menoleh. Setelah kuamati dengan teliti, itu memang bukan boneka, melainkan sungguh-sungguh monyet yang telah dikeraskan menggunakan air keras. Mendadak aku merasa ngeri. Siapa yang telah mengeraskan monyet itu hidup-hidup? Kalau nenek itu yang melakukannya, betapa kejam perempuan tua ini. Aku bergidik membayangkan nenek ini seorang berdarah dingin, menyuntikkan zat pengeras ke tubuh monyet. Bola mata monyet itu terlihat berkilat seperti bernyawa.
“Nah, minumlah kopinya,” nenek itu meletakkan kopi panas mengepul di dalam cangkir gerabah ditemani beberapa potong singkong rebus yang juga panas mengepul. Dagingnya yang putih merekah lembut pasti pulen sekali rasanya. Namun aku kehilangan nafsu untuk menjamahnya demi memikirkan kekejaman nenek ini memperlakukan monyet.
“Bukan kemauanku mengeraskan monyet itu,” kata nenek itu seperti mendengar pikiranku, “Tapi dia sendiri. Aku hanya memenuhi pesannya,” ujar nenek itu sambil menerawang menatap monyet. Ia duduk dan menyulut rokok dan menyeruput kopinya. Aku terpaksa turut menyeruput kopi dan menggigit singkong rebus setelah ia menawari untuk ketiga kalinya. Aku sudah sangat gelisah ingin segera minta diri, tapi nenek itu seperti tidak memberikan kesempatan. Begitulah, dalam kengerian aku mencoba bertahan menyimak kata-katanya. Dan itu ternyata memberikan kenikmatan tersendiri.
Monyet itu dulunya seorang prajurit setia Pangeran Panjunan, ratusan tahun lalu. Dan nenek itu tak lain adalah kekasihnya. Mereka akan melangsungkan pernikahan ketika prajurit itu mendapat tugas berperang mempertahankan keraton Cirebon dari kepungan tentara Belanda. Prajurit itu sangat mencintai kekasihnya yang hidup sebatang kara. Maka dibawanya serta kekasihnya. Tentara Belanda dibantu tentara Pangeran Kejaksan yang memihak Belanda menunjukkan kekuatan dan muslihatnya. Prajurit Pangeran Panjunan pun terkepung.
Sekalipun demikian, mereka tak menyerah. Sekuat tenaga mereka terus berusaha melindungi keraton dan Pangeran Panjunan. Setelah tak mungkin lagi melawan, mereka akhirnya melarikan diri ke hutan, termasuk prajurit yang membawa kekasihnya itu. Mereka menyusul Pangeran Panjunan yang lebih dulu dilarikan ke sana. Dalam pelarian ke dalam hutan itu kawanan prajurit yang tersisa, yang berjumlah 200 orang, berhari-hari kemudian terpecah jadi dua golongan. Sebagian besar berkeinginan keluar dari hutan dan menyerah kepada Belanda, sisanya tetap bertahan. Prajurit yang membawa kekasihnya itu termasuk yang ingin menyerah dan bergabung bersama tentara Belanda. Ia berniat menikah dan menjalani hidup wajar sebagai rakyat jelata, syukur-syukur dapat makmur di kota.
Pangeran Panjunan, yang kondisinya sudah letih dan menyedihkan, tetap mengobarkan semangat kepada prajurit untuk tetap bertahan di hutan. Namun lama-kelaman, ketika kelaparan mendera mereka sementara hewan dan buah-buahan makin sukar didapat, hanya lima orang yang tetap setia kepada Pangeran Panjunan. Sisanya diam-diam keluar dari hutan dan menyerah. Mereka mengabaikan ancaman Sang Pangeran yang mengutuk mereka menjadi monyet apabila menyerah kepada tentara penjajah.
Ketika para prajurit yang menyerah itu keluar dari hutan, tanpa mereka sadari kulit sekujur tubuh mereka ditumbuhi bulu-bulu berwarna kelabu yang lebat. Ketika mereka berteriak lantaran terkejut yang keluar dari mulut mereka adalah suara menguik yang menyayat. Hanya perempuan kekasih prajurit itu yang tidak turut menjelma menjadi monyet. Menyadari ampuhnya kutukan itu, perempuan itu bersama kekasihnya yang telah menjadi monyet berniat kembali ke dalam hutan untuk meminta ampun dan mengucap sumpah setia kepada Pangeran Panjunan. Namun celaka, Sang Pangeran dan sisa prajuritnya sudah tidak mereka temukan. Mereka seperti moksa.
***
SETELAH puas menuturkan kisah yang menakjubkan itu, nenek itu diam lama sekali. Ekspresi wajahnya makin muram. Aku tak tahu ia merasa lega atau menyesal telah mengisahkan itu kepadaku, orang yang baru dikenalnya di pinggir jalan. Perasaan kikukku menghadapinya yang terus diam lama-lama menjadi takut yang mencekam. Rambutnya putih seperti kapas dan rongga matanya yang dalam semakin menghidupkan kengerian dalam pikiranku. Aku ingin segera lari meninggalkannya.
“Nek, Nek, aku mau pulang sekarang. Terima kasih kopi dan ceritanya,” kataku terbata-bata, sambil menggoyang bahunya yang ringkih.
“Ceritaku belum tuntas, Kisanak,” ujarnya, memegang tanganku. Aku tercekat. Suara nenek itu tidak lagi sama. Debaran jantungku makin kencang, dan napasku mulai sesak. Cukup, cukup, aku tidak perlu mendengar lanjutan ceritamu, batinku. Aku merasa begitu menyesal menuruti permintaannya masuk ke rumah dan mendengarnya bercerita yang mungkin hanya khayalan dia saja.
“Saya ambil motor dan membayar kopi dulu, nanti saya kembali kemari.” kataku berdusta supaya dapat segera keluar dari rumah ini dan meninggalkan nenek yang makin terlihat menyeramkan. Aku ingin segera melanjutkan perjalanan supaya segera sampai rumah. Aku juga memang sudah sangat kangen ingin memeluk anak dan istriku. Sudah sebulan aku tak bertemu dan memeluk mereka. Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu dengan berada di rumah nenek yang jangan-jangan sedang kesurupan. Tetapi nenek ini menahanku. Sebenarnya aku bisa dengan mudah menepis tangan nenek ini, bahkan menerjang dan melompatinya.
“Motormu tak akan ada yang mengambil dan kedai kopi itu buka sampai pagi,” kata nenek itu pelan namun tegas dan terdengar mengintimidasi.
Di luar cuaca sudah gelap. Nenek itu menyalakan lilin menerangi ruangan yang makin terasa menguarkan aura mistis.
“Kamu pasti ingin tahu apa alasan kekasihku meminta tubuhnya diawetkan, bukan?” kata nenek itu, bola matanya kini telah berubah putih semua. Napasku makin sesak. Aku telah pingsan menahan ketakutan ketika dia bilang, “Masa kutukannya sebentar lagi akan berakhir. Kekasihku akan kembali ke wujudnya semula sebagai prajurit. Kami akan menikah.”
***
Cirebon, Agustus 2016
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon, 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, dan esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit: kumpulan cerpen Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005) dan kumpulan puisi Lari dari Persembunyian (Komunitas Kampung Djiwa, 2007)
Leave a Reply