Cerpen, Santi Almufaroh

Talnovo

0
(0)
Talnovo ilustrasi Suara Merdeka

Talnovo ilustrasi Suara Merdeka

Talnovo kembali menyeret karung yang mengempis. Ikatannya mengendur. Pada sisa tenaga, ia berharap ada orang melintas yang bisa memberi tumpangan. Namun rupanya mustahil. Dini hari pada musim dingin seperti ini, orang-orang lebih suka menumpuk jerami untuk menghangatkan tubuh ketimbang keluar rumah dan melekat dengan percikan salju yang sanggup mendatangkan ribuan gigil. Atau memenuhi perapian dengan batu bara. Atau menenggak vodka yang memberi kehangatan.

Sebenarnya jemari Talnovo sudah kaku, hampir tak bisa digerakkan. Namun ia pantang berhenti di tengah perjalanan. Masih beberapa mil untuk mencapai rumah. Rumah dengan jendela-jendela tak pernah dibuka. Hanya ada sekat untuk menandai mana kamar, ruang tamu, dan dapur.

Hampir setiap minggu ia membongkar papan yang dulu jadi pembatas. Ia keranjingan vodka dan judi semenjak sang istri kabur bersama mantan kekasihnya.

Sebagian salju mencair. Makin menyulitkan langkah. Lelehan salju merembes ke dalam sepatu. Mantelnya basah. Pandangannya mengabur. Pucuk hidungnya terasa berat untuk menghirup udara.

Ia teringat, ketika berumur 25 tahun, ia menjadi kesayangan nyonya-nyonya di desa. Ia sanggup membawa berkarung-karung gandum dan selalu memperoleh rumput segar untuk domba milik juragan. Bahkan pada pertengahan musim dingin sekalipun.

Talnovo muda, meski bau domba, jadi incaran nyonya-nyonya yang setiap hari didekap suami tua dan kurik. Mereka mengundang Talnovo ketika para suami di ladang. Setelah membasuh muka dan badan dengan air hangat sehabis menumpuk gandum, Talnovo menghampiri nyonya rumah. Titik-titik air di ujung alisnya makin mendebarkan. Bau keringat Talnovo membuat mereka tambah bergairah.

Bertahun-tahun ia jadi gundik Miroles. Namun sesekali ia memuaskan nyonya-nyonya lain dan meraup ratusan rubel . Makin rajin bertandang, kian banyak rubel ia peroleh. Shara, sang istri, makin rajin bersolek. Shara makin cemerlang. Wajahnya serupa salju yang mencair. Tenang, tetapi begitu bening. Seolah titisan dewi kecantikan.

***

Semalam Talnovo datang ke rumahku. Begitu lama ia bercerita. Miroles memintanya meninggalkan Shara. Janda kaya itu hampir menemui ajal. Ia ingin Talnovo merawat dan menemaninya.

Bagaimana mungkin ia abai pada bibir Shara yang selalu basah? Yang kerap meninggalkan jejak lunyu di pipi? Ia tak sanggup meninggalkan bidadari bermata makin berbinar itu. Ia tak mampu menyaksikan air mata yang akan tiris di pipi Shara yang menirus.

Baca juga  Ular yang Menggigit Ibu

Lantas, aku harus memberi nasihat apa?

Kawanku itu makin timpus. Setiap ke rumah Miroles, ia didesak meninggalkan Shara. Ia terlalu takut membungkam mulut Miroles dengan ciuman. Ia tak mau Shara tahu pergundikannya dengan Miroles atau nyonya-nyonya lain. Barangkali jika tahu, Shara akan meninggalkannya. Barangkali….

Bagi dia, Shara terlalu cantik untuk sekadar berbagi air mata.

Aku kembali ke rumahnya. Perlakuan Shara tetap sama. Hanya Talnovo yang tampak kikuk. Berkali-kali ia salah ucap dan tersedak. Sembari berbisik, Shara menanyakan kenapa sang suami beberapa hari ini bertingkah tak biasa dan sering melamun. Apakah ada yang kurang dari dia? Jika bercakap, suaminya lebih sering menunduk, bahkan membuang muka. Ia tak lagi berlaku romantis. Bahkan Talnovo lupa mengecup keningnya ketika hendak menjemput lelap. Dan, masih banyak hal aneh Shara rasakan.

Aku hanya menggeleng seraya menahan debar jantung yang meledak-ledak ketika mataku berbenturan dengan mata Shara.

***

“Kapan kau tinggal di sini, Nak?” tanya Miroles pada pagutan terakhir. Ia memulai percakapan yang Talnovo benci, bahkan sebelum berpakaian usai percintaan panjang mereka. Lebih-lebih memulai untuk postcoital intimacy . Talnovo jengah.

“Untuk apalagi? Seperti ini sajalah. Aku sanggup memberimu kenikmatan luar biasa bukan?” tepis Talnovo. Ia teringat kembali senyum Shara.

“Aku ingin kau setiap saat di sampingku.”

Miroles mengusap dada Talnovo yang ramping. Jemarinya seketika basah. Tubuh Talnovo penuh keringat. Makin menambah daya pikat. Talnovo berpikir, sebaiknya gegas meninggalkan Miroles. Bukankah uang bukan lagi permasalahan utama baginya? Pundi-pundi uangnya cukup untuk hidup bersama Shara. Ia akan keluar dari desa dan membangun rumah yang layak. Miroles makin menakutkan. Dahi dan mata penuh keriput. Lemak bergelayut di leher, perut, pipi… Ah, Talnovo bahkan tidak sanggup mengungkapkan.

Terkadang tertawanya yang mengikik itu seperti nenek sihir yang kegirangan dan berhasil menyulap saingannya menjadi buruk rupa. Bukan tertawa mengikik menggairahkan seperti beberapa tahun silam. Tawa yang sanggup mencairkan kelelakian Talnovo.

“Apa maksudmu akan pergi?”

“Aku ingin hidup normal. Bukankah kau pernah bilang, aku lebih pantas bersama Shara dan tidak pantas bersamamu? Aku kerap teringat ibuku saat bercinta denganmu. Umur kalian hampir sama, Miroles,” desah Talnovo. Ia menghitung ruas jemarinya, sekadar menutupi hati yang makin gelisah. Ia tidak sanggup menatap air mata Miroles yang hampir tumpah.

Baca juga  Frankenstein

“Aku tidak rela kau meninggalkanku begitu saja. Apalagi untuk bersenang-senang bersama Shara dan aku akan membusuk sendirian!”

“Ini telah jadi keputusanku. Siapa pun tak bisa menghalangi. Selamat tinggal.”

Talnovo kembali berpakaian. Meski tergesa-gesa ia masih sanggup mengenali mana celana dalam Miroles dan celana dalamnya. Ia tidak memedulikan Miroles yang bersimpuh di depannya. Miroles meraung memanggil Talnovo. Gegas ia membawa Shara dan seluruh hartanya ke kota.

Ketika Talnovo mencapai halaman rumah Miroles, hendak membuka pintu gerbang, terdengar suara benda jatuh. Ia terkesiap. Miroles dan darah yang mengalir, dari kepala, hidung, telinga, dan seluruh tubuhnya.

Talnovo memejam sesaat. Ia menyeret kaki yang lemas menuju ke rumahku.

***

Aku membuat sup kentang untuk Talnovo. Ia telah menghabiskan berbotol-botol vodka. Giginya gemeletukan. Kakinya bergetar serupa rel kereta yang rapuh.

Aku yakin tidak lama lagi cerita kematian Miroles akan menyebar. Aku membayangkan wanita yang merabun itu bersusah-payah naik ke lantai atas rumahnya. Merangkak menuju jendela yang menghadap jalanan. Barangkali ia tidak menyangka akan mati dan ditinggalkan begitu saja oleh Talnovo. Ia berpikir akan jatuh persis di depan Talnovo yang akan menolong, merawat, dan hidup berdua selamanya. Namun ia salah. Hmmm, kisah nenek yang pilu.

Talnovo tertidur dengan mulut menganga dan memegang botol vodka yang telah tandas. Suara ngoroknya begitu memilukan. Aku bergegas menuju ke rumahnya.

Aku berharap orang-orang belum memberi kabar kepada Shara mengenai kematian Miroles atau perihal Talnovo yang kerap datang ke rumahnya. Jangan sampai para pembantu Miroles menyiarkan kedatangan Talnovo beberapa jam lalu atau betapa sering terdengar lenguhan panjang dari kamar Miroles bersama Talnovo kepada tetangga-tetangga sekitar. Begitu pun tentang tempat tidur yang masih berantakan dan Miroles yang belum sempat memakai celana dalam…

Shara tak ada di rumah. Pintu terbuka lebar dan barang-barang berserakan. Tetangganya menceritakan, Shara telah tahu suaminya menjadi gundik Miroles. Ia marah dan membanting seluruh perabotan. Ia pergi bersama mantan kekasihnya ke kota.

Aku terperangah. Entah kabar apalagi ini. Apa yang harus kuceritakan pada sahabatku?

Baca juga  Sang Orator

***

Talnovo memungut puing-puing yang ditinggalkan istrinya. Shara membawa seluruh kekayaannya. Ia tidak meninggalkan serubel pun. Talnovo melarat. Keuangannya sekarat.

Ia memandang salju yang turun perlahan. Tanaman karet di depan rumahnya makin tertimbun. Dulu, ketika salju hanya berupa gerimis seperti ini, ia dan Shara sering menari-nari di bawahnya. Seperti anak kecil menyaksikan salju kali pertama. Kemudian makan bubur gandum yang hangat dengan campuran madu di beranda rumah. Dan, mereka kedinginan. Kemudian berpelukan dengan selimut dari jerami, saling memberikan kehangatan.

Talnovo memeluk lutut di depan perapian. Bahunya berguncang hebat. Ia tak mau hidup tanpa menatap mata Shara. Ia memendam lara.

***

Talnovo terjerembap. Mencium salju yang mencair. Meruapkan aroma tidak biasa. Semua terasa beku. Ia tidak sanggup menggapai karung yang mengempis itu.

Malam memudar. Lipas bergemeretakan di dinding, menebarkan bau bacin begitu menyengat. Gegas aku bangun, membuatkan makanan untuk domba ketika terdengar suara mengembik dari kandang. Lantas kubuka sedikit jendela untuk penerangan. Udara beku seketika menyergap hidung. Dingin merontokkan persendian. Kulongok kandang domba yang muram. Pohon-pohon karet di pot seakan merindukan matahari.

Mataku memicing. Ada lengan terbujur di halaman. Wajah pemilik lengan itu tak tampak. Aku gegas menuju halaman. Aku tahu siapa yang terbaring kaku dari mantel yang dipakai. Itu mantel Talnovo yang dulu dihadiahkan Miroles. Kuusap jemari kawanku yang membiru kepucatan.

Kulongok sebuah karung tak jauh dari jemarinya. Kepala Shara menyembul dengan bercak darah masih menempel-membeku. Aku terdiam. Merasakan gerimis salju bertebaran di wajahku. (44)

 

Semarang, 2013-2016

*Cerpen ini wujud terima kasih pada novel Rumah Matryona Alexander Solzhenitsyn. Talnovo nama desa dalam novel itu, tetapi dalam cerpen ini, itu tak berhubungan.

 

  1. Mata uang Federasi Rusia dan Belarus.
  2. Post-coital intimacy.

 

Santi Almufaroh, alumnus UPGRIS, kelahiran Jepara, 11 Mei 1991. Tulisannya dimuat di Keris, Potret, Sekar Kampoeng, Cempaka, Suara Kampus, Gradasi, Bilik Literasi, Papirus, Pawon, Republika, Suara Merdeka, Jateng Pos.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!