Cerpen Mardi Luhung (Koran Tempo, 22-23 April 2018)
Halo Kawan, apa kabarmu? Aku sih baik-baik saja. Semoga kau juga begitu. Berapa tahun kita tak jumpa. Barangkali sebelas atau tiga belas tahun. Tak pasti. Yang jelas, sejak perpisahan itu, kita seperti mencari jalan sendiri-sendiri. Kau ke utara. Aku ke selatan. Kau ingin mendalami ilmu masak-memasak. Aku menekuni ilmu ramal-meramal. Dan kabarnya, kau kini telah berhasil jadi juru masak yang top. Sekaliber master ya? Hmm, betapa hebatnya dirimu. Ingin sekali aku mencicipi masakanmu itu. Yang kabarnya juga, penuh aroma rempah dan rasa yang menggigit.
Sebaliknya, Kawan, aku justru gagal jadi tukang ramal. Meski itu tukang ramal sekaliber marmut. Sebab, ternyata, selama di selatan, aku tak ketemu guru peramal seorang pun. Yang aku temui justru guru-guru pencerita. Guru-guru yang melihat bunga tak sekadar bunga. Tapi bisa juga simbol gadis atau kelaraan. Jadinya, di selatan, aku pun tak sempat belajar ilmu ramal-meramal. Ilmu yang sejak kecil aku mimpikan. Sebab dengan ilmu itu, aku menganggap, akan gampang meramal kapan seseorang akan naik derajat. Dan kapan pula sebaliknya, nyungsep.
Kawan, lewat ini, aku kirimkan dua ceritaku padamu. Dua cerita hasil belajarku di selatan. Tapi dua cerita ini belum aku perlihatkan pada guru-guruku. Terus terang saja, aku malu. Sebab, merasa, dua ceritaku ini masihlah cerita-ceritaan. Belum cerita yang sejati. Cerita yang memang muncul dari lubuk yang terdalam. Dan cerita, (yang meski simbol), apabila berbeda dengan tingkah penulisnya, akan balik melawan. Tapi, ya, sudahlah, kita lupakan itu semua. Yang pasti, aku kirimkan dua ceritaku ini. Dua cerita yang mungkin akan membuatmu terkenang pada hal-hal yang pernah kita alami dulu. Sewaktu aku memanggilmu Si Tuan Resep. Dan kau memanggilku Si Tuan Pengen Tahu. Selamat membaca. Salam.
jasminehandayani
Reblogged this on hanihandayani779.