BETAPA teduh bayangan pohon jatuh di permukaan danau. Dewi Laksmi, gadis penari ternama dari Jawa, memenuhi ajakan Samad, manajer hotel megah di Bangkok, tempatnya menginap, untuk mengunjungi Taman Lumpini. Mereka duduk santai menikmati keteduhan pepohonan, yang sebagiannya dibawa dari Jawa atas permintaan Raja Rama V. Tiga kali Dewi Laksmi diundang menari di Kedutaan Besar Indonesia. Tetapi baru kali ini seorang manajer hotel keturunan Jawa mengajaknya ke Taman Lumpini. Dari taman inilah masa lalu kehidupan Samad dimulai seabad silam.
“Leluhurku membangun taman ini,” kata Samad, serius. “Mereka didatangkan dari Tanah Jawa, dan kakek buyutku dari Kota Kendal. Ketika taman ini selesai, mereka tak kembali ke Tanah Air. Mereka tinggal di Sathorn, dan beranak-pinak. Aku generasi keempat.”
“Kau merindukan tanah leluhurmu?”
“Tentu. Nonton tarianmu semalam di kedutaan, aku merasa berada di bumi kelahiran leluhur kami,” kata Samad, lelaki tiga puluh tahun yang masih bujangan itu. Ia tinggal di Kampung Jawa, di antara orang-orang yang selalu merindukan bumi asal leluhur mereka. “Apa nama tarianmu?”
“Bedhaya Ketawang. Tari yang menceritakan pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Pantai Selatan.”
“Mengapa gerakan tari, gamelan iringannya sangat lembut dan lamban?”
“Memang tarian ini mengutamakan kehalusan budi untuk menggambarkan perasaan luhur, menahan hawa nafsu. Tarian ini menggambarkan tokoh yang teguh hati, jujur dan berkharisma.”
Apa semua perempuan di tanah leluhurku memiliki daya pikat kehalusan budi serupa para penari bedhaya? Di Taman Lumpini, Samad seringkali menyendiri. Ia memerlukan keheningan bila waktu luang, merenung seorang diri setelah ditanya orangtua: kapan nikah? Ia ingin menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari tanah leluhurnya, yang menuntaskan rasa rindu pada kehidupan kakek buyutnya. Ketika ia mendengar kabar di Kedutaan Besar Indonesia akan dipergelarkan tari klasik dari Jawa, ia mengajukan permohonan agar tari itu dipergelarkan juga di ruang pertunjukan hotel tempatnya bekerja. Tiket habis dipesan seminggu sebelum Dewi Laksmi dan delapan penari bedhaya lainnya mendarat di bandara Suvarnabhumi. Samad menjemput para penari ke bandara, mengatur kamar hotel, dan mengantar ke Kedutaan Besar Indonesia. Dari beberapa kali pertemuan inilah ia mengenal akrab Dewi Laksmi.
Samad terpikat oleh keramahan Dewi Laksmi, seorang di antara sembilan penari bedhaya yang tampil di Kedutaan Besar Indonesia. Keesokan hari setelah pementasan, Samad mengajak Dewi Laksmi ke Taman Lumpini. Ia berharap, gadis penari itu akan mengisi rongga kosong dirinya. Tarian yang dipentaskan Dewi Laksmi seperti menghadirkan kepingan jiwa Samad yang tak lengkap. Dewi Laksmi seperti menjawab teka-tekinya sebagai lelaki berumur 30-an, manajer hotel, untuk menyempurnakan hidup berumah tangga. Ia masih sangat merindukan bisa menikahi gadis yang berasal dari bumi kakek buyutnya.
***
Tak banyak waktu Samad untuk bersama Dewi Laksmi di Taman Lumpini. Sebelum matahari terbenam, Dewi Laksmi mesti kembali ke hotel untuk berdandan, dan pentas di ruang pertunjukan. Samad mesti mencari-cari kesempatan untuk mencuri perhatian Dewi Laksmi. Besok pagi Dewi Laksmi dan delapan penari bedhaya lainnya akan pulang ke tanah air mereka.
Bayang-bayang pepohonan di Taman Lumpini mengabur di permukaan danau. Sesekali seekor biawak muncul dari permukaan danau, melata di rerumputan, dan mencebur lagi ke dalam air. Tak menampakkan diri lagi. Apakah aku akan berperilaku serupa biawak itu, muncul ke hadapan Dewi Laksmi, dan setelah itu menceburkan diri dalam kehidupanku sebagaimana sediakala?
“Bila aku berkunjung ke kota Kendal, tanah leluhurku, apa kau mau mengantarku?” tanya Samad penuh harap. “Aku ingin merasakan sayur asam dan oseng-oseng kacang panjang yang biasa dimasak ibuku di sini.”
“Kalau aku punya waktu, tentu akan saya antar kau ke kota asal leluhurmu. Kau bisa menikmati sayur asam dan oseng-oseng kacang panjang itu di warung-warung makan. Kalau kau mendarat di bandara kotaku, satu jam perjalanan dengan taksi akan sampai ke kota Kendal.”
“Apa aku bisa nonton tari bedhaya di kota leluhurku?”
Dewi Laksmi menggeleng. Memandangi Samad dengan perasaan tulus, agak iba, “Kau hanya bisa nonton tari Bedhaya Ketawang di keraton Solo dan Yogya.”
“Tari yang kau pentaskan nanti malam juga berasal dari keraton?”
“Ya. Bedhaya Harjuna Wijaya berasal dari keraton Yogya. Lebih memikat. Ada adegan pertempuran dengan saling hunus keris, simbol pergolakan batin manusia dalam menentukan kebaikan dan keburukan. Tari ini mencitrakan Harjuna sebagai tokoh yang sempurna.”
Sebelum meninggalkan Taman Lumpini, mereka melintasi burung-burung di hamparan rerumputan, yang sebagian terbang berkitar-kitar di atas danau. Samad merasa perlu bicara dengan Dewi Laksmi, “Aku minta pendapatmu, bagaimana kalau aku nikah dengan gadis yang berasal dari tanah leluhur kakek buyutku?”
“Kalau memang itu jodoh, mengapa tak kau lakukan?”
Samad teringat akan permintaan ibunya, untuk segera menikah dengan sesama keturunan Jawa di kampung sendiri, yang sudah sangat mereka kenal dalam pergaulan sehari-hari. Tidak mencari-cari jauh dari Sathorn. Tetapi permintaan ibu ini tak membahagiakan batin Samad. Ia merasa akan menemukan jodohnya seorang gadis yang membawanya pada tanah kelahiran kakek buyutnya dulu.
“Bagaimana jika yang ingin kunikahi itu seorang penari?” Samad menggoda perasaan Dewi Laksmi.
Melangkah pelan meninggalkan Taman Lumpini, Dewi Laksmi serius memandangi Samad, bujangan yang terguncang jati dirinya, dan merasa asing dengan bumi tempat kelahirannya. “Kalau kau menikahi seorang penari, harus memberi kesempatan pada istrimu, untuk pentas ke mana pun.”
Senyum Dewi Laksmi tak dapat ditafsir Samad. Lelaki itu cemas, dan merasakan keindahan senyum gadis penari itu yang bisa saja bermakna penolakan. Atau, bahkan, senyum itu merupakan jawaban yang tertunda?
***
Gemerlap lampu di Taman Lumpini, larut malam, seorang diri duduk di bangku, Samad mengenang kembali kehadiran Dewi Laksmi. Duduk di bawah bayang pohon, lelaki itu berpikir: Dewi Laksmi telah mengisi kekeroposan jiwanya. Pergelaran tari Bedhaya Harjuna Wijaya di ruang pertunjukan hotel telah menyempurnakan jati dirinya. Ia terhanyut kelembutan tari dan tergoda untuk mengunjungi tanah leluhurnya.
“Kau mesti ke keraton Yogya untuk bisa nonton pergelaran tari Bedhaya Harjuna Wijaya, atau ke keraton Solo untuk menikmati tari Bedhaya Ketawang. Para penari keraton mementaskan bedhaya di hadapan raja, sakral, dan agung.”
“Aku sungguh beruntung bisa menyaksikannya di sini,” balas Samad. Lagi-lagi ia ingin menggoda Dewi Laksmi, yang baru saja selesai menari. Tercium harum tubuhnya. “Tapi kalau aku berkesempatan melamarmu, tentu akan kesampaian nonton tari bedhaya di kedua kraton itu.”
Dewi Laksmi tersenyum. Tak mudah untuk memaknai senyum tipis itu: peluang atau penampikan? Gadis itu tak lagi mengenakan pakaian tari. Ia kembali pada penampilan kesehariannya. Lagi-lagi Samad tersadar, kesempatannya mendekat gadis penari itu sangat terbatas. Esok pagi ia dan delapan teman penari bedhaya kembali ke tanah air mereka.
Samad berkesempatan mengantar Dewi Laksmi ke bandara Suvarnabhumi. Dewi Laksmi mengisahkan perilaku Somchai, penari Khon, yang pernah merayunya di Kuil Wat Pho pada kunjungannya yang kedua ke Bangkok.
“Rayuan Somchai hanyalah sebuah permainan. Terhadap penari lain, Oka Swasti, Somchai melakukan rayuan yang sama,” kata Dewi Laksmi. “Kau tak bisa dibandingkan dengan Somchai. Kau laki-laki yang tulus, Somchai lelaki culas. Karena itu, aku mesti berterus terang padamu. Aku sudah dilamar. Tak lama lagi kami nikah.”
Di bandara Suvarnabhumi Samad mencoba untuk tabah. Tersenyum ramah pada rombongan tari Dewi Laksmi ketika melepas mereka pulang ke tanah air. Ia tegakkan punggung dan luruskan pandangan. Seorang manajer hotel besar di Bangkok, pantang menampakkan kekeroposan jiwanya. Ia tak memadamkan harapan untuk menemui Dewi Laksmi. Apakah aku akan diterimanya bila berkunjung ke tanah leluhurku, singgah ke rumah Dewi Laksmi?
Kini, duduk seorang diri di Taman Lumpini, Samad kembali menimbang-nimbang, akan mengikuti kehendak kedua orangtuanya, menikahi gadis dari Kampung Jawa, atau memburu gadis penari itu untuk menyempurnakan jati dirinya? Tetapi ia tak dapat memungkiri kata hatinya, untuk memburu Dewi Laksmi, gadis penari itu, sampai ke tanah leluhurnya. Keinginan ini tak dapat dihentikannya lagi. Ia merasa menemukan kesempurnaan jiwa pada tarian dan pribadi Dewi Laksmi. Gadis penari itu membukakan diri serupa alur sungai bagi mata air yang memancar dari kedalaman jiwa Samad. ***
2017
S Prasetyo Utomo ialah sastrawan kelahiran 1961. Pada 2007, ia menerima Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen Cermin Jiwa. Buku fi ksinya ialah Bidadari Meniti Pelangi (2005).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]
Leave a Reply