Arul Chairullah, Cerpen

Angkringan

0
(0)
Angkringan ilustrasi Rendra Purnama - Republika

Angkringan ilustrasi Rendra Purnama/Republika

‘Sebab aku mengagumi dia, dan dia menyukai malam, maka aku bangun angkringan malam ini untuk dia.’

Desau pohon bambu basah yang beradu dengan tirai kelabu langit, diartikan sebagai cinta malam yang mendalam. Semilir malam dirasakannya sebagai pelukan hangat sang kekasih yang meski tidak selalu bertemu, selalu berciuman, dan selalu bergumul untuk mempersatukan diri, tapi membuatnya saling memikirkan dan saling merindukan. Begitulah cara malam menemaninya selama ini.

Beberapa saat sebelum menjelang tengah malam, dia selalu keluar dari gardu, berjalan mengamati bagaimana bias bulan menyembul dari aspal jalanan, sebelum akhirnya dia memukul kentungan dua belas kali tepat ketika jarum jam berada pada angka dua belas.

“Mas, bungkus sego kucing, lauknya sate usus, sate telur puyuh, berapa?”

Lamunanku terhenti. Astaga, Pak Gardu—sapaan akrabku pada lelaki yang ringkih, kurus, dan tua itu.Wajah lesunya memberi tahuku sepertinya dia sudah lama menahan lapar.

“Oiya, sepuluh ribu, Pak.”

Dia merogoh sakunya berkali-kali. Kulihat tangannya menghitung-hitung beberapa lembar uang kertas, kemudian perlahan bergerak dan menyodorkannya kepadaku.

“Kurang dua ribu, Mas.”

“Tidak apa-apa, Pak. Silakan dibawa saja bungkusannya.”

Dia menimang-nimang penawaranku. Kupaksa tangannya menerima bungkusan. Aku tersenyum.

Suwun, Mas.”

Monggo, Pak.”

Dari angkringan sego kucing, kuamati saksama: malamnya mengambang, hambar. Terduduk lunglai di sudut gardu, terkapar. Debu malam, menyesakkan. Sesaknya bersahutan, meruntuhkan. Runtuhnya bersamaan, mematikan.

Aku melihatnya sedikit berbeda. Malam menyapa dengan hujan air mata, isak tangisnya mengguntur bergelegar, menciptakan getaran perpisahan yang merayapi partikel udara hingga denyutannya menggetarkan gardu bambunya.

“Malam, o malam…,” dia mendesah.

Terkadang aku bingung memahami retorika berpikirnya, tapi entah mengapa aku selalu ingin berada dekat dengannya. Meski dia hanya seorang penjaga gardu kamling, dia tetap istimewa. Bukan karena dia kaya harta atau tahta, melainkan cara dia menyikap kejadian, itulah yang membuatku terkesima.

Baca juga  Batu di Pinggang Mak Ru

Satu pesan yang kuingat selalu darinya, ‘Tuhan itu seperti guru, Dia akan diam saat ujian berlangsung. Hanya yang berhati tenang yang bisa menyelesaikan ujian dengan sempurna.’

Setelah kupikir, ada benarnya juga perkataannya.

Angkringanku terbilang ramai, walau berada di pojok kampus. Hampir setiap hari sego kucing berbungkus daun pisang itu ludes diborong aktivis malam yang doyan cangkruan, mendiskusikan variasi ujian kehidupan, dari pacar bookingan sampai karut-marut bangsa. Saking seringnya, aku hafal tur obrolan ngalor-ngidul yang selalu selesai tatkala lelaki polos penunggu gardu kamling tadi memukul kentungannya dua belas kali.

Dari pojok kanan angkringan, misalnya, aku akan mendengar orasi ompong mahasiswa dekil berambut kribo. Tanpa peduli dosa, dia pasti akan berkata yang jika kuterjemahkan seperti ini:

“Pemerintah ugal-ugalan, masak tikus dibiarin gerogoti tanaman di ladang, sudah gitu tikusnya sekongkol sama marmut. Namanya juga marmut, ditikung tikus ya plonga-plongo. Semuanya dimalingi, dari kartu identitas pribadi sampai urusan makar dipolitisasi. Rakyat jelata kayak kita ini cuma diamplopi janji untuk kemudian dikebiri setelah mereka terpilih.”

Dari pojok kiri angkringan, aku disuguhi sajak cinta-derita. Permainan diksi katanya mampu membuatku terhuyung dan menghempas di kursi tua.

Cinta.

Cinta dikata derita

Derita dikata cinta

Cinta cinta bilang derita

Derita derita bilang cinta

Mau cinta? Bilang derita

Mau mau bilang cinta

Mau derita? Bilang cinta

Mau mau bilang derita

Ya cinta, ya derita                   

Ya derita, ya cinta

Tak ya cinta, tak ya derita

Ya tak derita, ya tak cinta

O Anisa.

Hanya cintaku, Anisa.

Begitulah kira-kira suasana berisik mengantar malam yang semakin larut.

***

“Permisi.”

Seorang pengamen berambut dreadlock atau gimbal ala Bob Marley tersenyum memperlihatkan gigi-geliginya yang hitam, dekil berantakan. Aku sangat hafal betul lagu reggae apa yang bakal dinyanyikan karena dia sudah dua kali mengamen di angkringan dalam semalam ini.

Sambil menggeleng pelan, aku berucap, “Libur, Kang?”

Baca juga  Kota-Kota Rantauan

Bibirnya melengkung membentuk senyuman. Aku merasa senang jika ada pengamen yang tidak bersikap egois. Dengan muka memelasnya, dia kembali mencari peruntungan siapa tahu seseorang akan memberinya uang receh. Satu. Dua. Tiga. Empat. Semua pengunjung angkringan sego kucing menolaknya.Tinggal seorang lagi, Pak Gardu yang sedang duduk santai di arah jam dua.

Setelah bernyanyi, pengamen berbadan dekil itu masih terpaku di hadapannya. Pak Gardu menumbuk kedua bola matanya ke bungkusan sego kucing, ada sependar kebimbangan di sana meski akhirnya Pak Gardu memadamkannya. Tidak lama kemudian, pengamen tadi pergi setelah sebelumnya mencium punuk tangan Pak Gardu dan menerima bungkusannya.

Kutatap Pak Gardu dengan heran. Memang dia sangat baik dan bijak, tapi apa sahih jika dia memberikan makan malamnya kepada pengamen, sementara dia sangat menahan lapar?

Rasa penasaran ini menuntutku untuk cepat mengambil keputusan. Kudatangi Pak Gardu.

“Bapak tidak lapar?”

“Ya lapar, Mas.”

“Jika Bapak lapar, mengapa bungkusan tadi diberikan kepada pengamen?”

Pak Gardu mengernyit, dahinya berkerut dan kedua alisnya menukik heran dengan intonasi nada bicaraku. Tidak berselang lama, dia kembali tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Saya hanya ingin mempersembahkan amal terbaik selagi ada kesempatan, Mas.”

“Maksudnya, Pak?”

“Di masa sekarang, banyak orang berlomba-lomba mencitrakan diri dengan amal baik agar dianggap yang terbaik oleh manusia. Padahal, tidak semua amal baik adalah yang terbaik. Kita tidak tahu amal manakah yang memang terbaik di sisi Tuhan, saya hanya berusaha untuk selalu beramal baik.”

Oh Tuhan. Aku termenung.

“Umar bin Khattab masuk surga bukan karena ritual ibadah spektakulernya, tapi karena menyingkirkan duri dari tengah jalan. Kau tahu mengapa, Mas?” Tanya Pak Gardu tanpa menatap ke arahku.

Aku membisu.

“Karena Tuhan tertarik, sehingga Dia mengangkat amal baiknya menjadi yang terbaik.”

Penjelasan itu menelisik ke dalam sanubariku. Cukup lama aku terdiam, tapi jiwaku mengalirkan sebuah anggukan pada ragaku.

“Saya balik ke rumah dulu ya, Mas. Tadi lupa tidak membawa pentungan,” ucap Pak Gardu sambil tangannya mengeratkan ikatan sabuknya, mungkin agar perutnya tak berbunyi.

Baca juga  Penjual Dongeng

Kupandangi punggung Pak Gardu sampai detik terakhir sebelum akhirnya tenggelam di balik temaram lampu jalanan. Kini, aku menyisihkan dua bungkus sego kucing, dua sate usus, dua sate telur puyuh dan wedang kopi. Rencananya, semua makanan itu akan kuberikan ketika Pak Gardu kembali ke posko bambunya.

Nahas, hujan mulai menunjukkan tanda kedatangannya. Malahan, semakin lama, jarum langit itu semakin deras menghujam. Para aktivis malam terpaksa bubar lebih dini sebelum bunyi kentungan dua belas kali. Diriku menyangkal, meski hujan makin deras. Tetesan air kian menusuk atap angkringan yang hanya ditutupi dengan kain terpal plastik. Aku pun tak bisa mendengar deru jalanan, petir bersahut-sahutan dengan angin kencang, listrik pedesaan padam seiring dengan matinya cahaya lampu teplok berminyak kelentik.

Aku tergopoh-gopoh membereskan dagangan angkringan agar tidak terguyur hujan hingga akhirnya aku berhasil membawanya sampai di rumah dengan aman meski harus dihujat hujan.

***

Di sebuah kamar beratap rumbia, berdinding papan, dengan lampu tempel kuperhatikan jam dinding. Pukul 23.59 WIB. Itu artinya, satu menit lagi harusnya kentungan gardu berbunyi dua belas kali. Tapi, hujannya sangat lebat, angin pun kencang ditambah suara petir yang menakutkan, sepertinya malam ini kentungan itu tidak ber…

Tung… Tung…Tung… Tung…                     

Tung… Tung… Tung…

Tung… Tung…

Tung…                                        

Tung… Tung…

Lamunanku terputus. Aku tersenyum

 

Kosakata:

Sego kucing: nasi kucing (istilah untuk nasi bungkus kecil seporsi makanan kucing
lengkap dengan sambal dan lauk seadanya)

Monggo: silakan

Suwun: terimakasih

 

SUDUT AZALI 27 Rajab 1438 H

Arul Chairullah, Aktivis FLP Pasuruan, Juara Internasional Bilik Sastra Award 2013.

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!