Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
BARU sepuluh tahun hidup saya, tapi saya sudah mengalami banyak kehilangan. Saya bicara soal pohon-pohon di halaman.
Ketika saya sudah bisa menyadari apa-apa dengan jelas, dan ibu atau bapak atau nenek atau kakak sering membawa saya main-main di halaman, pohonlah yang langsung saya sentuh. Saya tidak takut, tidak. Entah kenapa.
Guru mengaji saya, Wak Latte, pernah bilang kalau sebelum kita lahir ke dunia, kita disimpan lama di satu dunia lain, yang beda betul dengan bumi. Barangkali di dunia lain itu saya mempunyai teman-teman dari bangsa pepohonan. Sampai-sampai saat saya lahir, saya langsung punya rasa dekat dengan mereka, nyaman di bawah mereka, seperti waktu mereka jagai dan temani saya di dunia lain itu.
Tapi, banyak dari mereka ini tidak lama hidupnya. Pergi meninggalkan saya. Dulu saya kira mereka pergi mencari anak lain untuk dijadikan teman. Saya pernah membayangkan mereka, misalnya, si pohon mangga, malam-malam jalan jauh ke kota. Di sana dia ketemu teman baru, dan tidak pulang-pulang lagi ke depan rumah saya.
Tapi, seiring badan saya tambah besar, perut saya tambah gendut—sampai-sampai kakak saya, yang paling menjengkelkan sedunia, suka betul mencolek-colek si perut itu—saya kemudian sadar, pohon-pohon ternyata tidak punya kaki, manalah bisa mereka jalan kaki; badan mereka juga terlalu besar, tidak muat di pintu angkot. Daun-daunnya memang mirip sayap, sayap kecil-kecil, tapi tidak bisa berkepak sendiri, selalu angin yang bantu. Tidak mungkin juga mereka, misalnya, pohon jambu air, terbang tinggi ke angkasa seperti burung.
“Kenapa pohon itu, Mak?” tanya saya kepada mamak, melihat pohon jambu mete yang sudah hilang daunnya.
“Dia mati,” jawab mamak.
“Mati? Apa itu mati?” tanya saya lagi.
Eee, tahu-tahu Mamak menggendong saya pergi bobok
***
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
“Siapa yang bikin pohon jambu, Pak?” tanya saya suatu malam, di pangkuan bapak, saat kami duduk-duduk di anak tangga. Tiap melihat bapak keluar malam-malam, saya mengikuti sampai teras. Sering dia mengajak saya duduk di tangga, melihat bintang, bulan, apa saja, apa saja. Tapi dia tidak mengajak saya kalau dia lagi merokok. Kalau bapak mau keluar jauh malam itu, dia akan bilang, “Bapak mau merokok, ndak usah ikut ya.” Saya pun masuk lagi, bobok.
“Tuhan,” jawabnya.
“Kalau pisang, siapa yang bikin?”
“Tuhan.”
“Kedondong?”
“Tuhan juga.”
“Apa-apa Dia yang bikin. Apa Dia juga pekebun kayak Bapak?”
“Hus. Tuhan itu pencipta. Semua diciptakannya. Bapak juga, Dia yang ciptakan. Kamu juga.” Bapak menunjuk perut saya—kok apa-apa larinya ke perut? “Semua… pokoknya semuuuuaa yang kamu lihat, Dia yang ciptakan.”
“Dia yang tanam?”
Bapak diam. Lalu, dia bilang, “Tidak seperti itu… atau ya, seperti itulah. Pertama-tama, Dia bilang ‘Jadilah pohon!’, maka tumbuhlah si pohon. Tapi, setelah itu Dia mengajari kita menanam, dan Dia cukup memberi izin, apa pohon yang kita tanam itu akan tumbuh besar atau kecil saja. Dia juga yang memelihara pohon itu.”
“Hemm,” saya bilang.
“Kenapa hemm?” Bapak mencubit lagi perut saya. Yeee…
“Terus, kenapa kedondong botak? Dan bijinya runcing-runcing kayak rambut Duppi?” Duppi teman saya di sekolah, dia suka diledeki punya rambut landak.
“Memangnya kenapa kalau botak, runcing-runcing? Toh rasanya enak. Apalagi, kalau semua pohon buahnya sama, nanti kamu bosan. Coba makan mangga terus, nanti kamu juga mencret seperti Agil.”
Saya ketawa. “Bapak juga botak,” saya bilang. Saya angkat tangan, menggaruk-garuk kepala bapak.
Dia tertawa.
Tapi sekarang, kedondong juga sudah mati. Ya, mati. Dulu mamak pernah bilang, mati seperti bobok. Pohon kedondong kami sedang bobok. Entah di mana rosbannya, kasurnya, sepreinya, tidak tahulah.
***
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kalau datang musim mangga, dunia berwarna jingga. Di mana-mana ada mangga. Di atas rumah, di kolong rumah, di bale-bale, di tangga, di dapur, bahkan kakak saya Agil sering makan sembunyi-sembunyi di kamarnya.
Pernah saya laporkan dia, “Mak! Agil makan mangga di kamar!” Agil mengancam saya, “Awas, semua mangga aku ambil!” Diancam begitu saya tambah keras teriak, “Mak! Agil makan mangga di atas rosban!” Mamak marah-marah, Agil juga marah-marah sama saya. “Awas, kamu ndak dapat mangga lagi, kalaupun dapat, aku tidak mau lagi kupaskan!”
Tidak apa-apa, pikir saya. Toh, mangga cuma dipungut, tidak perlu Agil capek-capek panjati untuk saya.
Di belakang rumah ada pohon mangga balik. Kalau besar buahnya seperti bola kasti tapi gepeng. Kalau angin kencang, buahnya jatuh semua. Tertumbuk di tanah, lembeklah mereka. Tapi kalau tidak cukup lembek, saya akan banting ke batu, atau ke tiang rumah, lalu pijit-pijit-pijit badannya seperti waktu memijit lengan bapak yang capek dari kebun, sampai mangga itu lembek betul. Dagingnya jadi air. Tinggal gigit saja kepalanya, sobek sedikit kulitnya, air jingganya crot crot keluar. Manis sekali. Kalau airnya habis, kita kupas semua kulitnya, sampai kelihatan dagingnya bergaris-garis. Gigit, gigit, gigit. Manis juga. Gampang, kan? Saya tidak perlu pinjam Agil punya gigi atau tangan.
***
Yang menguasai Hari Pembalasan.
Agil ternyata serius. Pagi-pagi dia bangun lebih dulu. Dikumpulkannya buah mangga yang jatuh. Lalu ditaruhnya di atap lemari, tinggi sekali. Atau dia simpan di tempat tersembunyi, sampai mamak tidak tahu, bapak juga tidak tahu, dan saya menangis.
“Ndak apa-apa. Akilah jangan sedih,” kata bapak. “Besok kita bangun lebih pagi.”
Tapi, besoknya, saya tidak bangun pagi. Untung bapak memungutkan mangga buat saya. Tapi dasar, Agil menyembunyikan semua. Saya nangis lagi.
Besoknya lagi, saya tetap tidak bangun pagi. Tidak kebagian mangga lagi. Nangis lagi.
“Sudah, sudah, cengeng sekali,” kata mamak. “Orang serakah seperti Agil ndak usah diladeni.”
Mamak salah. Saya tidak meladeni Agil, saya mau meladeni perut saya. Saya nangis lama, sampai ketiduran. Saya mimpi mandi di kolam jingga penuh mangga.
Keesokan harinya saya tidak nangis lagi. Agil mencret.
“Itulah,” mamak bilang pada Agil, “Tuhan mau kamu berbagi. Masak sama adik sendiri saja pelit?”
Nah, itulah.
***
Hanya Engkau-lah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan.
Selain mangga, saya juga suka nenek. Tapi saya tidak makan dia. Badannya selalu bau minyak gosok.
Nenek tinggal di rumah kami. Saya sering bobok di kamarnya. Seperti bapak, dia juga suka bercerita. Tapi ceritanya aneh-aneh, meski begitu saya tetap suka.
Seperti bapak, nenek juga suka tanam pohon. Bersama mamak dia juga suka tanam bunga. Dan saya paling malas disuruh menyiram bunga. Buat apa, kan sudah ada hujan?
Saya lebih suka kalau nenek tanam pohon. Suatu hari, dia menanam pohon pisang. Nenek bilang pohon pisang itu pemalu, pakaiannya berlapis-lapis. Pohon ini punya banyak anak. Anak-anak pohon suka meniru induk mereka. Si induk tumbuh lancip ke atas, mereka juga begitu, tapi lebih kecil, hampir seperti pensil… Tapi tidak seperti pensil juga sih, karena di atas mereka ada tangkai-tangkai berdaun. Induk pisang punya daun hijau, anak-anaknya juga punya daun hijau, tapi lebih terang. Mamak suka merobek daun pisang kalau lagi bakar ikan. Saya suka ikan bakar.
“Kenapa digali, Nek?” tanya saya, melihat nenek menggali anak pisang.
“Supaya dia lihat tempat lain. Masak di situ-situ saja?”
“Okkee.’’
Saya bantu nenek mengangkat anak pisang itu. “Taruh di depan jendela, Nek, supaya bisa lihat tiap hari,” saya bilang. Nenek setuju.
Nenek memotong ujung-ujung tangkai daun anak pisang. Saat saya tanya kenapa begitu, nenek bilang supaya nanti tumbuh lagi lebih panjang. Baguslah, nanti kami bisa salaman dari jendela kalau Lebaran. Saya juga suka Lebaran. Saya lebih suka Lebaran daripada menggali. Makanya, saat nenek menyuruh saya menggali lubang, saya bilang, “Saya lebih suka Lebaran.” Nenek pun menggali sendiri.
Saat lubang sudah besar dan dalam, saya dan nenek memasukkan anak pisang ke lubang. Dia mengajari saya.
“Akilah, kalau kau mau pisang ini tumbuh besar, gembungkan pipimu, berdoa dalam hati semoga pisangnya tumbuh segembung pipimu.”
Saya pun menutup mulut dan meniup pipi. Pipi saya gembung seperti balon. Semoga pisang yang saya tanam ini tumbuh besar, buahnya besar-besar kayak balon, saya bilang dalam hati.
Dan begitulah, pohon pisang itu tumbuh tinggi, dan buahnya besar-besar, meski tidak mirip balon. Usia saya enam tahun waktu itu. Mamak menenteng sesisir buah pisang itu bersama beras dan garam, mengantar saya ke rumah Wak Latte.
“Itu saya yang tanam,” kata saya kepada Wak Latte, dia setua nenek.
“O ya?” katanya. “Pintar ya.”
Saya ceritakan semua yang saya tahu tentang pisang. Induk pisang, anak pisang, pakaian pisang, tangkai pisang, lubang pisang, sampai soal balon.
Dia ketawa. “Itu semua karena pertolongan Tuhan, Akilah,” dia bilang. “Kita hanya bisa berusaha dan berdoa.”
Ya, saya sudah berusaha. Pipi saya saksinya.
Dan saya pun mulai belajar mengaji. Saya juga suka mengaji.
***
Tunjukilah kami jalan yang lurus…
Setelah berbuah, pohon pisang mati. Dia dibuat tumbang demi buahnya. Kadang saya sedih, mengapa pohon mesti mati setelah berbuah?
Tapi, ada juga pohon-pohon yang tidak mati setelah berbuah. Dan ada juga yang mati meski belum berbuah. Ada banyak. Contohnya pohon kelapa di belakang rumah. Ia berdiri dekat sekali dari dapur tempat mamak memasak, sampai-sampai mamak sering terlompat kalau pelepah kelapa jatuh menimpa atap seng, sampai piring yang dipegang mamak jatuh berkeping.
Akhirnya, bapak memanggil Om Ibe. Om Ibe datang bawa senso, gergaji besar yang selalu berbunyi seperti kucing baku marah. Om Ibe memotong pohon kelapa. Kelapa tumbang, batangnya membujur lurus-lurus di halaman. Saya teringat Wak Latte.
“Kenapa kita harus ngaji, Wak?” tanya saya.
“Supaya kita ketemu jalan yang lurus ke surga,” jawabnya.
“Lurus kayak batang kelapa?”
Dia tertawa. “Kelapa tidak semua lurus ya,” dia bilang.
Saya beruntung pergi mengaji. Semenjak mengaji, pergi dan pulangnya saya lewat jalan yang lurus.
***
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Dulu, saya kira semua orang yang lewat di jalan raya, yang semula saya kira lurus itu, baik. Ternyata tidak. Banyak juga yang gila-gila. Salah satunya yang menabrak nenek ketika nenek mau beli minyak gosok di warung Haji Assam.
Apalagi, ketika jalan itu dilebarkan, halaman kami diambil banyak, banyak pohon yang ditebang, mati. Karena semua itu, untuk beberapa waktu lamanya saya musuhan dengan jalan raya.
Nenek pergi, pohon-pohon pergi. Saya sedih sekali.
Tapi, semua menghibur saya. Bacakan Al-Fatihah untuk nenek supaya dia tenang di alam sana, kata mereka.
Saat itu saya baru tahu semua yang mati perlu dibacakan Al-Fatihah. Saya sudah hafal Al-Fatihah.
Dan, untuk pohon-pohon, saya juga tidak lupa mengirimkan tujuh ayat itu. Saya percaya mereka tumbuh di surga. Di sana mereka berbuah banyak dan besar-besar seperti balon. Barangkali ada anak lain yang lebih dulu makan buah pohon-pohon itu, tapi saya cuek. Saya percaya mereka masih menyisakan buah-buah untuk saya. Saya ini teman pohon-pohon. ***
(Untuk Zalikha Nur Aqilah dan M. Agil Siddiq)
MULIADI G.F., penyuka cerita pendek, tinggal di Barru, Sulawesi Selatan. Menulis cerpen sejak 2009. Karyanya tersiar di berbagai media cetak dan juga terhimpun dalam antologi Surat Cinta untuk Makassar (De Lamacca, 2016) dan Benarkah Menantuku Parakang? (Sampan Institute, 2017)
Cho
saya suka cerpennya
seandainya saya bisa menulis seperti itu
suraji
bagus, tidak bosan baca berulangkali…
nunun
Mengalir dengan indah cerpennya. Asik, nih.
Vey
Saya baca ini waktu saya masih SMA. Sampai sekarang, umur 23 tahun, cerpen ini masih jadi favorit saya. Al-Fatihah untuk semua yang kita sayangi yang telah pergi lebih dulu.