PADA sore yang berkabut itu, dia terbungkuk-bungkuk menuruni lereng Sungai Kuranji. Pinggangnya yang seminggu belakangan sakit, sesekali dielusnya. Jalan tanah menuju sungai hanya jalan kecil. Berkelok-kelok dan sedikit licin. Sangat hati-hati dia melangkah. Dia tidak ingin terpeleset lalu jatuh ke sungai. Tangan kanannya menjinjing baskom kecil untuk membawa air.
Mata air hanya dua meter dari lereng ujung jalan di bawah sungai. Tatkala sudah berada di bawah sungai, dia langsung duduk di depan mata air itu. Dijulurkan dua tangan ke dalam kolam kecil tempat mata air mengalir, dan dia meminum air di telapak tangannya. Dahaga setelah menyantap sepiring nasi telah terlunaskan. Ya, dia lupa persediaan air minumnya tadi sudah habis. Dia baru menyadarinya setelah makan. Meminum air dari mata air itu tanpa dimasak sudah biasa baginya.
Di langit kabut masih berputar. Angin menggoyang-goyang ilalang yang tumbuh mengitari Sungai Kuranji. Di belakangnya, air sungai mengalir deras. Dia mulai memasukkan air ke dalam baskom kecilnya dengan gayung yang selalu disimpannya di dekat mata air.
Seorang laki-laki, entah siapa, dari atas tebing mendongakkan kepalanya.
“Hoi Mak, cepatlah naik! Lihat, langit sudah berkabut. Nanti air besar datang!” seru laki-laki itu.
Dia menengadah. Melihat siapa yang bersorak. Laki-laki berkepala botak. Berbaju hitam. Dan, dia mencibir.
“Sudah lama aku makan asam garam, kau mengajariku pula, tahulah aku segala makna,” jawabnya pelan. Dia terus saja memasukkan air ke dalam baskomnya. Tak peduli pada laki-laki itu.
Dia kembali menengadah, mencoba menemukan laki-laki tadi, tapi dia tidak lagi melihatnya.
***
Persis pada lengkingan anjing hitam yang keempat dia menyelesaikan salat Magrib di atas rumah kayu miliknya. Dia mengucapkan salam. Ketika matanya mengarah ke sisi kanan, dia melihat si lelaki berkepala botak yang sore tadi menyorakinya dari atas tebing, sedang tidur tengkurap. Dia tidak langsung membuka mukenanya. Dia berdoa sejenak.
Lelaki itu tampak nyenyak sekali. Sesekali mulutnya berdesis. Seperti ular lapar. Setelah berdoa dia kemudian melemparkan sebelah sandal yang mengenai kepala si lelaki. Si lelaki tersentak. Siapa yang melempar? Dalam remang cahaya laki-laki itu melihat seorang perempuan berdiri dan menantangnya.
“Kau memang tak punya otak, mungkin memang tak punya benak. Dari tadi kulihat kau tidur saja. Angkat kakilah dari rumahku ini! Aku muak! Dasar laki-laki botak,” bentaknya.
Laki-laki itu mengusap-usap matanya sejenak, “Jangan mengusirku, Mak. Aku menantu Amak.”
“Aku merasa kau bukan menantu, tapi hantu. Botak!”
“Jaga mulut, Mak!” Ia mulai berdiri.
“Kenapa? Kalau tidak aku jaga kenapa?”
Laki-laki itu amat tersinggung. Baru kali ini ia dicaci.
“Kalau Amak marah padaku biarlah aku pergi.”
“Pergilah! Dan, jangan pernah kembali!”.
“Pasti aku kembali Mak, sebab aku menantu Mak.”
“Jangan pernah kembali. Selama anakku belum kembali kau bukan menantuku.”
“Mak…”
“Kenapa? Kau tak suka? Kau memang tak punya benak. Sedikit pun kau tak peduli pada anakku. Dia hilang tak berkabar, apa yang kau lakukan? Kau hanya bisa bersenang-senang. Kau tak pernah memikirkannya.”
“Bukan begitu Mak. Ke mana aku harus mencarinya. Negeri itu terlalu jauh. Mana bisa aku ke sana,” katanya.
Sekali lagi anjing hitam itu terdengar menyalak dari bawah kandang. Suaranya mengejutkan perempuan tua itu.
“Anjing tak punya otak!” katanya.
Dilemparnya anjing itu dengan sepotong kayu. Bunyi berderak menimpa kandang. Anjing itu melolong, dan menjauh.
“Sudah berulang kali kuusir, tapi kembali datang. Bila dapat kupotong kakinya.”
“Dia anjingku, Mak.”
“Aku tak peduli. Kau lebih menyukai anjing daripada anakku. Kenapa dulu kau tak kawin saja dengan anjing itu.”
“Mak…”
“Sudah, pergilah, anakku sudah lama tak kembali. Sebaiknya kau jangan pulang. Apa pula kata orang. Aku takut kau mabuk sehabis minum tuak, lalu aku pula yang akan kau tiduri,” katanya sambil memasuki biliknya.
Laki-laki itu menarik sarungnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Dasar perempuan tua! Dikiranya aku berhasrat pula menidurinya.”
Ia bergegas meninggalkan rumah itu dengan rasa kesal. Kantuknya hilang begitu cepat setelah mendengar kata-kata mertuanya itu. Ia menyusuri pekarangan rumah yang gelap. Langkahnya menuju sisi utara. Di kepalanya terbayang sebuah kedai. Tempat para lelaki melepas penat: bersenang-senang, bermain domino, menonton TV sambil meneguk bir, bahkan mabuk.
***
Dibukanya pintu bilik pelan-pelan, lalau menatap sekeliling. Akhirnya dia yakin laki-laki itu sudah pergi. Dia lega.
Dilepaskannya tatap pada pekat malam. Dia bergumam.
“Purnama, dari dulu sudah kukatakan, kau termakan kasih muda. Cintamu tak bermata. Benar dugaanku bukan? Jangan pernah menikah dengan laki-laki penyuka anjing. Kau akan terabaikan, tapi kau tak hirau.”
Matanya masih memandang ke luar halaman. Malam telah menyungkup pekarangan. Tak ada keremangan cahaya. Bulan telah mati di atas langit sana. Bintang-bintang telah raib. Angin leluasa meliuk-liukkan dahan-dahan pohon. Tapi dia menemukan wajah Purnama di balik itu semua. Malam yang pekat, angin yang dingin semakin membuat wajah Purnama seperti nyata di matanya. Dia ingat, di malam yang serupa ini, dia dan Purnama pernah berdebat, hingga menonjolkan urat-urat lehernya yang sudah tua.
“Bagaimana Amak bisa merestuimu Purnama? Kau akan kawin dengan Bigar, laki-laki yang tidak bisa menjamin masa depanmu.”
“Dia memang belum punya pekerjaan tetap Mak. Tapi dia akan mencari pekerjaan bila telah menikah nanti. Uda Bigar akan giat bekerja apa saja asalkan mendapatkan uang?”
“Bekerja apa saja? Apakah itu termasuk menyabung ayam dan berjudi Pur?”
“Mak…”
Apa yang dia rasakan biasanya tak pernah meleset dari kenyataan. Seperti mimpi yang datang, dia tahu apa yang terjadi keesokan. Kadang dia merasa seperti peramal. Maka tak heran, dia tidak merestui Purnama untuk bersanding di pelaminan.
Waktu terus berputar. Satu musim usai. Suatu hari dia terpaksa mengubah keyakinannya. Purnama harus segera dinikahkan dengan Bigar, jika tidak ingin malu. Purnama, gadis belia yang baru satu tahun menamatkan SMA, telah bunting. Dia merasa semakin tua.
Dia jalani waktu bagai belenggu. Anaknya yang berkepala batu telah hidup bersama Bigar.
Seperti ramalannya, memang tak pernah meleset. Bigar memang laki-laki bengal. Ia tak pernah menafkahi keluarga. Kerjanya cuma bersenang-senang. Sepanjang siang dia hanya tidur terlentang.
Pada awal Januari yang panas, cucunya lahir. Dia teramat senang. Kesenangannya seolah-olah menghilangkan kekecewaannya. Seiring dengan kehadiran cucu itu dia berusaha menerima Bigar sebagai menantunya, sepenuh hati. Tapi Bigar tidak berubah. Dia tetap saja suami yang pemalas.
Pertengkaran mulai terjadi. Purnama akhirnya tidak tahan juga menerima tabiat Bigar yang malas. Hampir tiap hari mereka bertengkar. Purnama tidak tega terus bergantung pada Maknya. Penghasilan Mak dari berjualan sayur di pasar tidak seberapa. Dia malu menyusahkan Maknya.
Suatu sore cucunya panas tinggi. Dia mengambil daun jarak dan mencelupkannya ke dalam air, lalu dia oleskan ke tubuh cucunya. Dia sangat cemas. Tapi, kesembuhan yang dibayangkannya tidak terjadi. Dua jam setelah itu, cucunya meninggal dunia. Dia merasa ditimpa puing-puing beton.
Purnama hilang kesadaran, jatuh pingsan menyaksikan anaknya telah tiada. Tulang-tulangnya terasa remuk. Kepalanya seperti menerima beban berat. Tapi Bigar, di sudut kamar, hanya terdiam dan tak henti-henti mengembuskan asap rokok.
Hidup memang telah digariskan. Seperti Purnama, mungkin frustrasi karena kehilangan anaknya, atau jenuh menerima suami yang pemalas, akhirnya berkeputusan meninggalkan kampung halaman.
Pasa suatu malam, ia sampaikan keputusan itu pada Maknya.
“Ini sudah keputusanku Mak, aku harus meninggalkan Mak. Biarlah aku jauh.”
“Jika keputusanmu hanya karena kau malu pada Mak, karena dulu tak hirau, Mak harap kau batalkan niatmu, Pur.”
“Benar aku malu pada Mak, tapi niatku tak bisa dihalangi.”
“Bagaimana dengan Bigar?”
“Aku tak hiraukan dia.”
Selama kepergian Purnama bekerja di Malaysia, yang bekerja entah apa, hanya dalam waktu tiga bulan anaknya itu sering meneleponnya, tapi setelah itu, Purnama raib tak berkabar. Kini sudah memasuki bulan keenam Purnama meninggalkan rumah.
***
Dia masih berdiri di pintu bilik kamarnya. Dia merasa malam ini hidup begitu kelam. Sekelam malam. Dalam kelam dia masih membayangkan wajah Purnama, cucunya, dan Bigar menantunya. Tapi dia tidak bisa mengingat wajahnya sendiri…
Farizal Sikumbang, cerpenis kelahiran Padang. Ia guru di daerah terpencil Kabupaten Aceh Besar. Buku terkininya Kupu-kupu Orang Mati (2017).
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke [email protected] dan [email protected]
Jack
…”Benar dugaanku bukan? Jangan pernah menikah dengan laki-laki penyuka anjing. Kau akan terabaikan, tapi kau tak hirau.”
Satir banget.. 😕