Selamat malam. Kita berjumpa lagi setelah sekian lama. Seperti biasa, dalam beberapa belas menit ke depan saya akan menceritakan ulang cerita yang pernah saya baca dan saya nilai menarik, barangkali sekalian sedikit mengulasnya. Tapi khusus kali ini, anggap saja ini permintaan maaf saya karena telah membuat anda sekalian menunggu begitu lama, yang akan saya ceritakan ulang bukan hanya satu cerita, melainkan dua. Ya, dua cerita. Keduanya sebenarnya tidak saling terkait; latarnya berbeda begitu juga tokoh-tokohnya dan apa yang diceritakan itu sendiri. Namun tentu, kedua cerita ini memiliki setidaknya satu kesamaan, yang karena itulah saya memutuskan untuk menceritakannya dalam satu kesempatan sekaligus. Dan kesamaan yang saya maksud adalah: salah satu tokoh di masing-masing cerita melakukan bunuh diri.
***
Baiklah. Saya akan langsung memulai dengan cerita pertama.
Cerita ini dibuka dengan sebuah gambaran tentang dapur. Seorang perempuan sedang memasak, sendirian. Tidak dijelaskan apa yang sedang dimasak perempuan itu dan untuk siapa ia memasaknya. Kita pun tidak diberi petunjuk soal perawakan perempuan tersebut, apakah langsing apakah gemuk apakah berambut pendek apakah berambut panjang apakah berwajah cantik ataukah tidak, seakan-akan si penulis—lebih tepatnya si penutur—berusaha mengatakan kepada kita bahwa perawakan semacam itu bukanlah hal penting, bahkan sama sekali tak penting—tak punya andil sedikit pun dalam bergulirnya cerita. Tetapi kita cukup dimanjakan oleh detail dapur. Benda-benda yang ada di sana disebutkan satu per satu, dengan urutan yang membuat kita pada akhirnya menduga si perempuan adalah seseorang yang telaten dalam urusan kerapian; ia juga agaknya begitu peduli pada komposisi jika warna-warna dan ruang kosong antar-benda itu kita cermati. Digambarkan, si perempuan sesekali bersiul dan menggoyang-goyangkan tubuhnya—ke kiri dan ke kanan. Ia barangkali sedang bahagia. Atau setidaknya, bergembira. Kita belum diberi penjelasan apa pun mengenai hal ini hingga kita tiba di bagian kedua cerita.
Di bagian kedua ini si penutur membawa kita menelusuri isi kepala si perempuan. Tentu kita tidak dihadapkan pada otak atau saraf-saraf yang ada di kepala perempuan itu, melainkan apa-apa yang ia ingat dan pikirkan selama ia memasak tersebut. Rupanya ia pernah seorang suami dan seorang ayah. Saya gunakan kata “pernah” di sana sebab pada adegan di mana ia hadir di cerita kedua status itu sudah tak lagi melekat padanya. Istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat beberapa tahun sebelumnya di luar negeri, di sebuah negara bernama Indonesia. Anak sulungnya, satu-satunya anak perempuannya, ditemukan tewas di kamar apartemennya; ia menggantung diri dan sudah menguarkan bau busuk saat jenazahnya diturunkan pihak berwajib. Anaknya yang satu lagi, anak laki-lakinya, meninggalkannya akhir tahun lalu; meninggalkannya setelah mengakui ia tak sanggup lagi menjalani hidup satu rumah dengan seseorang yang menurutnya tak bisa menerima kenyataan dan tak memahaminya. Yang dimaksud anaknya itu adalah operasi plastik dan operasi kelamin yang ditempuh si tokoh ini hampir satu tahun sebelumnya. Ia bukan hanya mengubah dirinya menjadi perempuan, namun juga mengubah wajahnya menjadi serupa dengan wajah istrinya.
Di titik ini saya langsung teringat novel terkenalnya Yoshimoto Banana—Kitchen. Seorang lelaki mengubah dirinya menjadi seorang perempuan beberapa lama setelah istrinya meninggal; dan ia hidup satu rumah dengan anaknya—laki-laki—dan menggantikan peran istrinya sebagai ibu si anak. Saya berani bertaruh si penulis menghadirkan situasi tadi berdasarkan pengalamannya membaca Kitchen. Tetapi tidak, saya tidak menilainya buruk—kendati kesamaan itu cukuplah kuat. Ini karena di cerita itu, si penulis menawarkan sesuatu lain yang tidak saya dapatkan di Kitchen-nya Yoshimoto Banana; sesuatu lain yang membuatnya berjarak dari Kitchen sekaligus memiliki ruang-pengalamannya sendiri. Dan hal itu adalah: bagaimana si tokoh ini menyikapi penderitaannya.
Tadi telah saya jelaskan bahwa si tokoh akhirnya hidup seorang diri. Di rumahnya itu, ia, seorang diri. Setelah nyaman dengan wujud barunya itu ia mulai membiasakan diri melakukan hal-hal yang dulu dilakukan istrinya, termasuk di dalamnya membersih-rapikan rumah dan memasak. Si tokoh ini tentu tak lagi bekerja sebagai sarariiman—pegawai kantoran. Sejak ia seorang perempuan ia membatasi aktivitasnya hanya pada kegiatan-kegiatan yang di matanya akan membangkitkan femininitasnya, membantunya sepenuhnya menjadi seorang perempuan. Sebenarnya ia punya harapan apa yang dengan susah-payah dilakukannya ini akan membuat anaknya kembali ceria—si anak ini begitu dekat dengan ibunya juga kakak perempuannya dan setelah kedua orang tersayang itu tiada si anak seperti kehilangan gairah hidupnya. Ia gagal. Benar-benar gagal. Tapi rupanya ia kemudian menemukan harapan lain yang menjaganya tetap hidup, membuatnya terus bertahan dan bertahan. Anaknya itu meninggalkannya, dan ia benar-benar seorang diri. Dan justru karena kesendirian inilah, kata si penutur, si tokoh ini jadi memahami apa sejatinya makna dari hidup dan bertahan. Ia tidak melakukan itu untuk orang-orang di sekitarnya; tidak juga untuk orang-orang yang sudah lebih dulu meninggalkannya. Ia melakukannya, untuk dirinya sendiri. Sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Ia tahu ia begitu kesepian tetapi ia memutuskan untuk tak memusuhi kesepian itu, melainkan mengakrabinya. Ia tetap melakukan hal-hal yang biasa dilakukan istrinya. Ia terus berusaha meningkatkan sisi femininitasnya, dan berharap suatu saat ia bisa menikmatinya. Benar-benar menikmatinya. Inilah harapannya itu, yang menjaganya tetap hidup. Di akhir cerita, digambarkan si tokoh menyajikan apa yang telah dimasaknya itu di meja makan, untuk dirinya sendiri, untuk dinikmatinya seorang diri. Si penutur menutup cerita itu dengan memberitahu kita bahwa hari itu adalah hari ulang tahun pernikahannya yang ke-25 dan bahwa jika saja istrinya masih hidup maka perempuan itulah yang akan memasak dan menyajikan masakan itu untuknya—untuk dinikmati mereka berdua.
***
Cerita kedua memulai dirinya dengan sebuah racauan panjang. Si penutur adalah salah satu tokoh dalam cerita; ia terlibat di semua adegan meski nyaris selalu sebagai tokoh pasif. Yang ia ceracaukan, selama lebih dari 600 kata itu, adalah tentang betapa memuakkannya di matanya orang-orang di sekitarnya. Ia, misalnya, mengeluh tentang tetangga kamarnya yang pada malam-malam tertentu membawa masuk pasangannya dan mereka di sana bersenggama dengan liarnya, dan ini bisa berlangsung semalaman. Atau, yang membuatnya lebih dongkol lagi: seorang rekan kerjanya di kantor diam-diam melaporkan kebiasaannya membuka-buka situs porno di jam kerja, membuatnya diomeli habis-habisan oleh atasannya yang menurutnya masih perawan meski usianya sudah 36. Kalau anda sekalian bertanya-tanya kenapa yang kedua bisa membuatnya lebih dongkol, itu karena si penutur ini adalah seseorang dengan kebanggaan yang tinggi. Ia sungguh tidak bisa menerima dirinya direndahkan dan dipermalukan di depan umum, apalagi oleh seorang perempuan.
Racauan lebih dari 600 kata itu menjadi satu-satunya sajian di bagian pertama. Di bagian kedua, teknik bercerita berubah, begitu juga si penuturnya, meski yang dikisahkan masihlah kisah yang sama, masihlah tentang sosok yang sama. Kali ini sudut pandang penceritaan dikembangkan dari apa-apa yang mungkin dilihat—dan dirasakan—pasangan tetangga kamar sosok tadi, dengan si penutur adalah tetangga kamar itu sendiri, seorang lelaki di awal dua puluhan, seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama yang diberkahi wajah tampan dan senyum menawan, dan postur yang menjanjikan. Si penutur ini mendedahkan penilaian-penilaiannya atas sosok tadi, setelah lebih dulu menceritakan pengalaman-pengalamannya berinteraksi dengan sosok tersebut, dengan sebagian interaksi itu bersifat satu arah. Diam-diam ia rupanya penasaran pada apa yang dipikirkan dan dilakukan sosok itu ketika ia membawa masuk pasangannya, juga saat ia dan pasangannya itu bercumbu. Ia tahu, dan ia yakin, sosok itu masihlah lajang, sedang sendiri, dan mungkin masih perjaka meski wajah dan perawakannya menunjukkan ia sudahlah ossan—sebutan untuk om-om. Pasangannya itu mengatakan padanya bahwa suatu kali ketika ia kebetulan beradu pandang dengan sosok itu ia merasakan dirinya ditelanjangi; seperti sepasang mata sosok itu tengah memindainya dari atas ke bawah, juga melucuti apa-apa yang ia kenakan. “Kamu harusnya melihatnya dengan mata kepalamu sendiri. Menjijikan,” ujar perempuan itu. Si tetangga kamar menanggapinya dengan dingin, seolah-olah ia tak peduli, atau ia peduli tetapi ia bisa memastikan lelaki ossan itu tak punya nyali untuk bertindak lebih jauh.
Si perempuan, ketika diminta si tetangga kamar mendeskripsikan lelaki ossan itu dalam tiga kata saja, menjawab: “Menjijikan. Mesum. Sampah.” Kali ini si tetangga kamar tertawa—begitu keras—dan ia segera menutup mulutnya dan menghentikan tawanya setelah menyadari orang yang baru saja ditertawakannya itu mungkin saja mendengarnya; itu bisa mendorong seseorang itu menguping apa-apa yang tengah dan akan ia bicarakan dengan pasangannya dan ia terganggu dengan hanya membayangkannya. Selama ini ialah pihak yang melakukan hal tersebut. Ketika orang itu baru pulang kerja, misalnya, ia menempelkan gelas kaca di dinding kamarnya dan memfokuskan dirinya pada apa-apa yang ia dengar dari kamar di sebelahnya itu. Seringkali ia cekikikan ketika menduga orang yang diamatinya itu sedang menonton video porno, dan mungkin sekalian onani. Sekali waktu ia memberitahukan dugaannya ini kepada pasangannya dan perempuan itu menunjukkan muka muak dan seperti ingin meludah.
Kekonyolan dua sejoli ini baru berhenti suatu malam ketika mereka menangkap bunyi-bunyi aneh dari kamar seseorang itu. Saat itu mereka sebenarnya sedang bercumbu; mereka telah menyelesaikan persenggamaan penuh lenguhan satu jam sebelumnya dan mereka tengah berusaha memulai persenggamaan lanjutan—ronde kedua dari empat ronde yang dijadwalkan. Dan tiba-tiba, saat si lelaki akan memasuki si perempuan, si perempuan menghentikannya, memintanya berhenti dan menyimak bunyi-bunyi aneh yang didengarnya. Semakin lama, bunyi-bunyi itu semakin jelas, dan mereka mulai curiga sesuatu yang buruk sedang terjadi di kamar sebelah. Dua sejoli itu kemudian memutuskan, dalam keadaan masih sama-sama telanjang bulat, untuk menyimak dengan lebih saksama; mereka masing-masing mengambil gelas kaca dan menempelkannya ke dinding dan mulai menajamkan pendengaran. Dan setelah sekian lama, mereka menyadari, bunyi itu seperti bunyi yang keluar dari lidahmu saat kau berusaha berteriak tetapi sesuatu menahan lehermu, mengekang lehermu, mengikat lehermu. “Mungkinkah dia sedang mencoba bunuh diri?” tanya si perempuan, dan si lelaki tak menjawabnya. Persenggamaan mereka itu pun terhenti dan mereka gagal memulainya lagi meski bunyi mengganggu itu tak lagi terdengar. Besok harinya, menjelang siang, mereka tidak tampak terkejut saat keluar kamar dan mendapati sejumlah orang sedang berkerumun di depan pintu kamar di sebelah kamarnya itu. Salah satunya si pengelola apartemen.
Di bagian ketiga, yang bercerita adalah seorang perempuan. Ia atasan lelaki ossan tadi, si penghuni kamar yang kemudian bunuh diri itu. Perempuan ini mengaku terkejut mendengar lelaki itu menggantung diri, di kamarnya sendiri, dalam keadaan telanjang bulat. Ia sesungguhnya tidak tertarik kepada lelaki itu—bahkan peduli pun mungkin tidak—tetapi di detik ia mendengar kabar kematian lelaki itu ia tiba-tiba dihinggapi rasa bersalah yang membuatnya sulit bergerak, bahkan bernapas. Ia pernah memarahi lelaki itu habis-habisan. Ia pernah mempermalukannya, dan ia tahu, ia tahu dari raut muka dan bahasa tubuh lelaki itu, saat itu adalah saat yang begitu buruk bagi si lelaki. Ia pun mulai berpikir jangan-jangan hal tersebut ada kaitannya dengan bunuh diri si lelaki, bahwa jangan-jangan itulah pemicunya dan itu artinya perempuan itu akan merasa punya andil dalam kematian si lelaki, dan itu berarti bencana baginya. Ia sudah cukup lelah menjalani kehidupan yang sunyi tanpa seorang pasangan hidup atau teman dekat. Tidak lama lagi ia kepala empat, dan ia selalu langsung sakit kepala membayangkan penderitaan-penderitaan yang akan dialaminya pada masa itu. Tentulah, ia tidak mengharapkan tambahan masalah lagi. Dan jika sampai ia kehilangan ritme hidupnya hanya karena kematian seseorang yang menurutnya tak berarti apa-apa baginya, ia merasa akan sangat terpukul, dan ini bisa jadi awal dari kematiannya sendiri—kelak ia pun mengakhiri hidupnya, meski dengan cara dan detail yang berbeda dengan si lelaki.
Cerita ini ditutup dengan gambaran si perempuan sedang berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Perlahan-lahan, tanpa mengatakan apa pun, ia mulai menanggalkan apa-apa yang dikenakannya.
***
Bagaimana cerita yang kedua barusan? Agak aneh? Saya sepakat. Tidak seperti yang pertama tadi di sana inti cerita terpecah tiga, dan kita tidak menemukan semacam kalimat ajaib yang bisa menuntun kita ke pemahaman tertentu, ke satu pemahaman tertentu—yang dominan. Kita bertahan hidup bukan untuk siapa-siapa melainkan diri kita sendiri. Itulah pemahaman yang kita dapatkan berkat kalimat ajaib yang kita temukan dengan cukup mudah di cerita pertama. Tapi di cerita kedua? Hmm… Barangkali, untuk bisa menemukannya, kita harus membacanya lagi berkali-kali.
Adapun alasan saya menceritakan ulang cerita tersebut kepada anda sekalian adalah karena, di mata saya, ia menyajikan serangkaian “pengalaman” yang tak biasa, yang sedikit gila, tetapi masih bisa dikatakan wajar, mungkin terjadi, dan “biasa”. Hal inilah yang membuat saya menyukainya. Mungkin bunuh diri si tokoh menyiratkan sesuatu; terlebih lagi ia melakukannya dalam keadaan telanjang bulat. Tapi tanpa memahami itu pun saya tidak merasa dikecewakan; karena dengan membaca cerita itu saya telah beroleh serangkaian “pengalaman” tadi. Di mata anda sekalian memang bisa jadi berbeda. Mungkin anda sekalian malah kesal setelah membacanya, sebab waktu luang anda sekalian terbuang percuma—dan anda sekalian tak memperoleh apa pun. Saya tentu tak akan menyalahkan anda sekalian. Sedari awal, ruang ini tak pernah mengenal salah atau benar; yang ada hanyalah tawaran dan apresiasi. Silakan memberikan tanggapan di kolom komentar. Kita akan bertemu lagi, di kesempatan berikutnya. (Semoga saat itu saya masih hidup dan masih punya gairah untuk berbagi.) Mohon maaf jika ternyata saya telah menyita waktu anda lebih lama dari yang saya perkirakan di awal tadi.
Bogor, 26 Maret 2017
Ardy Kresna Crenata menulis cerita dan puisi. Tinggal di Bogor.
Cho
mantabz..
Arie hasan
Eeeemmmm…..kok bingung ya ???