Cerpen, Eko Triono, Kedaulatan Rakyat

Kejanggalan Pewarta Lelayu

0
(0)
Kejanggalan Pewarta lelayu ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg

Kejanggalan Pewarta lelayu ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat

SEBAGAI takmir baru di Masjid al-Maut, si Pengacau, pertama-tama, dikenal karena mengabarkan kelahiran. Bukan hanya kematian sebagaimana masjid pada umumnya.

“Alhamdulillah,” demikian dia mengulangnya tiga kali pada Minggu pagi, dengan nada yang menarik perhatian warga seakan itu kabar kematian, “Telah lahir ke dunia, putri dari bapak Yazid dan Ibu Suti. Warga RT 5, RW III, Gg. Intan, Jl Cinta, Dusun Rukun, Kelurahan Kahuripan. Bayi akan dimandikan pertama kali hari ini. Bagi warga yang ingin merayakannya dapat hadir ke rumah Bapak Yazid. Turut berbahagia keluarga dari Bapak Jayamarwa, keluarga Ibu Hj Siti Badriah, keluarga Ines Ajnam, dan H Tohirin.”

Belum lagi menutup pengumumannya, kepala takmir Masjid al-Maut, Pak Nasrudin, langsung mencet tombol dan matilah itu pelantang.

Pak Nasrudin memandang pengacau itu. Matanya berisi cairan makian yang ditahan sebab ada di rumah suci.

Setelah membawanya ke depan tempat wudhu, barulah pengacau itu didamprat oleh Pak Nasrudin. Dampratnya cukup panjang. Namun, sepanjang-panjangnya kemarahan, toh, kosakata manusia terbatas jumlahnya.

Setelah tiga menit beruntun, marahnya jadi merdup, lalu diam. Dari kata, kini pindah ke dada.

“Apa alasanmu?”

“Jumat lalu,” kata si Pengacau, “Kyai Sudrun bilang, waktu khotbah, bahwa tidak ada kematian tanpa kelahiran dan tidak ada kelahiran tanpa kematian; keduanya sama pentingnya, sama nilainya. Ya, pas lewat warung beli bubur sumsum, terus dengan berita istrinya Pak Yazid, Bu Suti, lahiran anak ke lima, ya, saya umumkan di masjid.”

Enam, tujuh, warga datang mau meriksa siapa yang barusan bikin kacau pengumuman. Mereka mendapati si Pengacau sedang dihadapi oleh Pak Nasrudin. Tak mau kehilangan muka, Pak Nasrudin membangkitkan kemarahannya kembali, beraksi memarahi si Pengacau.

Baca juga  Tenggelam di Bukit

Namun, baru kata pertama, Kyai Sudrun sudah nongol dari serambi dengan sarung putih dan sandal japit.

“Dia benar,” kata beliau, “Biarkan.”

Hanya dengan tiga kata dari Kyai Sudrun itu, berjuta-juta mata tajam kata-kata dalam kepala warga, yang datang, dan mulai datang, amblas ke dasar batin, mampat seketika. Mana berani mereka melawan kyai.

Bisa kuwalat nanti, barangkali demikian yang mereka pikirkan, meski di hati sebalnya tak karuan.

Seolah perang pembuka dalam sejarah, peristiwa itu membuat Masjid al-Maut mengumumkan dua hal: kelahiran dan kematian warga di sekitarnya. Lambat hari, warga menerima kenyataan ini.

Mereka tidak lagi berpikir, jika ada pengumuman pertanda kematian, namun kini sudah ada dua pilihan emosional.

Bahkan, pernah dalam sehari, pagi dimulai dengan pengumuman, sorenya kematian, dan itu adalah kelahiran dan kematian manusia yang sama. Bayi itu lahir, lalu sorenya meninggal dunia. Tapi, esoknya, ada lagi bayi yang lahir dari rumah yang lain, dan pekan depan ada kematian dari manusia yang lain.

Si Pengacau, awalnya dia dikenal sebagai gelandangan. Kemudian dia diminta tinggal di Masjid al-Maut, membantu takmir. Kini, dia menambah rusuh baru. Si Pengacau mengacaukan sistem pengumuman.

“Dia mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un untuk mengumumkan bayi yang baru lahir. Dan alhamdulillah digunakannya saat mengumumkan orang yang meninggal dunia, Kyai,” Pak Nasrudin laporan pada kyai.

Pak Nasrudin yakin: kali ini yang keliru adalah si Pengacau kurang ajar itu.

Dengan begitu, mungkin kyai akan berubah pikiran dengan memindahkannya dari keanggotaan takmir dan hak-hak dan jadwal-jadwalnya. Sebab, kyai pula yang sebelumnya memasukkan si Pengacau itu.

“Apa penjelasan dia?” tanya kyai.

Baca juga  Memungut Rintik Hujan

“Katanya, Jumat lalu, Kyai menjelaskan apa maksud daripada dunia adalah penjara bagi orang baik-baik, dan surga bagi orang-orang jahat. Yang lahir harus diingatkan, yang mati harus disyukuri. Begitu kurang lebih, Kyai. Lha, ‘kan tidak begitu maksudnya, ‘kan, Kyai?”

Kyai Sudrun diam, lalu, “Tunggu sampai besok, waktu duha.”

Tepat pada waktu yang ditunggu, sebagian warga mendengar pengumuman dari masjid. Suara si Pengacau.

“Alhamdulillah, akan meninggal dunia,” pada bagian ini jeda, dan Pak Nasrudin dapat amunisi baru, orang baru akan kok diumumkan, semua orang juga akan meninggal dunia, lantas diperhatikannya lagi suara yang menggema itu, “yakni diri saya sendiri, yang menyampaikan pengumuman ini. Pada hari ini, Senin, dan tidak tahu akan dikebumikan di mana dan tidak tahu siapa yang akan ikut berduka.”

Berhenti. Kyai Sudrun terlihat keluar rumah, menuju masjid. Pak Nasrudin yang mendapati itu segera menyusulnya.

Mereka mendapati si Pengacau telah mati, telentang melipat kedua tangannya di dada. Di sisinya, ada kafan dan wasiat yang sepertinya sudah lama disiapkan. Sejak hari itu, masjid ini diganti nama menjadi Masjid al-Maut. q– o

 

2017

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. Selalu suka dengan cerpen Mas Eko. Kalau di cerpen ini ada yang tidak lazim dari segi logika kejamakan, yang itu menjadi hal yang unik.

  2. Wah terpingkal pingkal sama cerpen ini. Ajib.

  3. Nanda Insadani

    Lah kok bisa ia tahu akan kematiannya sendiri? Yah bener. Humor uniknya dapet.

Leave a Reply

error: Content is protected !!