Rumah panggung. Biliknya jelek. Nini Rumi cuma mengenakan kutang. Melamun sambil merokok. Rambutnya tipis, uban melulu. Giginya terlihat jarang dan hitam. Kulitnya keriput, tinggal tulang. Dari jendela, menatap ke arah pekarangan yang tersiram cahaya lembayung. Terkadang terdengar bersenandung, bernyanyi sendiri. Seakan sedang merentang jauh benang kenangan. Asap rokok diembuskan. Melayang ke atas, ia seperti ikut melayang, ikut terbang memburu langit senja yang ngungun.
Ada yang datang berselempang lodong, pulang menyadap, melirik yang larut dalam lamunan. Sementara yang dilirik asyik sendiri gumerendeng sambil menatap langit dari sela-sela daun kelapa. Tupai berlarian. Sepasang. Burung tekukur terperanjat. Kabur menuju pohon yang lainnya.
“Iyéééé, ieung, ééééééé… Tuh nya, Kang, kacida teuing, geura bobot geuning da geuning geura ayon geura timbang tarajukeun, mun bogoh sok geura lakon mun hayang geura lajukeun, ayeuna sia nu lénjang, éééééé, méga malang nya talang soré…” *) Nini Rumi asyik bernyanyi. Bolak-balik dalam kenangan. Ia teringat ke huma, ke hutan. Bayangan zaman mencari kayu bakar, menyabit rumput juga bertani. Semuanya suka ia lakoni dengan bernyanyi.
Begitulah, selalu saja segalanya dinyanyi kan. Sebagian ia masih hafal. Zaman dulu begitu banyak wawangsalan, sisindiran, atau paparikan yang di senandungkan kala sendiri. Teman sunyi di tengah hutan. Ketika sepi sunyi sendiri. Bukan wangsal sembarangan. Ia mesti mengikuti ronggeng sekadar untuk menghafal lirik dari nyanyi an yang sangat ia gemari.
Berbulan-bulan ia setia mengikuti Ma Nisem. Ronggeng kahot zaman itu. Begitulah, tidak langsung berguru, ia mencuri-curi dengar jika sedang mencari kayu bakar, atau menyapu, atau saat bekerja di huma, atau sedang di dapur. Mengikuti hidup Ma Nisem, yang sepanjang waktu selalu mengalirkan nyanyiannya, diam-diam dihafalkan. Kadang memaksakan diri menonton Ronggeng Gunung juga bukan untuk mencari bujang seperti yang lain, sekadar ingin mendapatkan dan menghafal nyanyiannya.
“Merdu suaramu itu, sekali-kali ikutlah main ronggeng, jangan diam saja di hutan,” pernah Ma Nisem berujar ketika ia sedang membantu menyapu daun-daun di pekarangan rumahnya.
“Ah, tidak mau, Ma. Cuma ingin hafal wangsalnya, untuk teman di hutan,” jawab Nini Rumi selalu begitu dan begitu saja setiap kali diajak untuk ikut menjadi ronggeng. Padahal teman-teman seusianya berlomba-lomba ingin menjadi ronggeng. Nini Rumi tak pernah sekalipun terpikat, apalagi ditambah larangan menjadi ronggeng dari orang tuanya.
Namun ia tak pernah berhenti untuk belajar dan menghafal. Hingga pada akhirnya seluruh wawangsalan, sisindiran, dan paparikan dari Ma Nisem, yang merupakan lirik nyanyian Ronggeng Gunung turun semua kepadanya. Malah, tak jarang Nini Rumi menciptakan sendiri lirik yang sesuai dan masuk ke dalam iramanya. Untuk kebutuhan dan dimainkan sendiri, pikirnya. Sekarang Ma Nisem tinggal kenangan. Ronggeng Gunung juga sudah lama tak terdengar kabar ada yang meneruskan.
Di hutan, nikmat sekali untuk bernyanyi. Begitu rasa Nini Rumi. Di antara sela-sela pepohonan dan rumpun, mempertemukan sunyi pada dahan dan daun, bertukar irama dengan burung-burung. Berbalas nyanyian dengan angin. Serasa sampai mempertemukan kerinduan dengan yang tak terlihat. Nyanyian ibarat jembatan untuk sampai pada yang tak terjangkau.
Sambil memungut ranting kering, mengumpulkan kayu bakar, nyanyiannya tak pernah usai, selalu saja mendadak ada suara waditra dalam dadanya. Suara gendang, gong, dan kenong muncul merengkuhnya. Serasa tumbuh dari batu, dari daun, dari burung. Tumbuh dari gunung.
Akhirnya, lirik nyanyian juga sering muncul, hidup dan mengalir sendiri. Kata-kata dan kalimat yang baru, bukan hasil belajar dari Ma Nisem, lahir begitu saja. Terkadang suka ada yang menjawab dari jauh, dari yang sama-sama sedang berada di hutan. Ia tak pernah ingin tahu siapa orangnya. Sama-sama berjumpa dengan irama dan nyanyian. Saling berbalas dengan penghuni hutan.
“Iéééééé… Seureuh lain di jambé lain, samayang mah buah dalima, beubeureuh lain bébéné lain melangna kabina-bina…” *) Begitu Nini Rumi bernyanyi di tengah hutan.
“Tikukur mah ngariung tilu, nu hiji mah bayangan sumpit, aya bujang ngariung tilu, nu hiji mah bawaeun balik…” *) Sering ada yang membalas begitu. Menerobos dedaunan, terbawa angin.
Sering terdengar senggakan dari sekeliling. Tidak pernah diketahui siapa, karena memang tak ada siapa-siapa. Senggakan yang setia di setiap langkahnya. Lantas langkahnya akan terasa melayang. Melayang ke seluruh hutan. Seperti yang tamasya ke setiap jengkal hutan. Kalau sedang begitu, hutan serasa rumah sendiri. Setiap pepohonan dan satwa betapa ramah.
“Nini mau ke mana?” Ada suara anak perempuan dari dalam rumah, memanggil Nini Rumi yang sudah bangkit melangkah melintasi pekarangan.
“Nini mau ke mana?” Panggilan diulang. Kepala anak perempuan muncul dari pintu, matanya khawatir menatap Nini Rumi yang tetap melangkah menjauh, ke arah kebun.
“Paling juga ke tampian.” Ada yang menjawab dari dalam rumah. Suara kakek-kakek.
“Oh, nanti saya susul jika sudah selesai menanak nasi.”
“Iya, biar tidak keasyikan di tampian. Nini kamu itu sering lupa waktu kalau tenggelam dalam kenangan. Dulu juga sering tersesat semalaman di hutan. Sering dianggap hilang.” Suara batuk rejan di akhir kalimat.
Sedang Nini Rumi sudah memasuki jalan setapak yang membelah kebun. Menurun sebentar, berjumpa sungai kecil. Dangkal. Jernih. Tatapannya mendadak bercahaya. Ada langit berbayang di bibir air. Langit senja bercampur batu-batu sungai. Pelan diinjak oleh Nini Rumi. Kakinya masuk ke dalam air yang bening. Bibirnya tetap gumerendeng. Bernyanyi. Sedikit lebih keras. Seakan memanggil yang tak terlihat.
“Mandi ka leuwi, hayang seubeuh da geuning teuteuleuman, iraha mah patepang deui, hoyong wareg sasa rengan…” *) Nini Rumi sudah menyeberangi sungai. Naik ke arah jalan setapak yang mengarah ke kebun bambu. Tangannya lembut mengelus setiap aun yang terlewati. Tonggeret menjerit-jerit seakan menyambut yang melangkah ke batas hutan.
“Selamat datang, lama nian tak dikunjungi. Rindu sudah melimpah. Selamat datang.” Tiba-tiba saja ada yang menyambut. Sepasang jejaka. Tampan. Mengenakan pakaian putih-putih. Sejenak Nini Rumi mematung. Terkejut. Ia merasa pernah berjumpa dengan raut wajah dan perawakan sepasang jejaka itu. Nah, berkelebatan dalam kenangan. Berpuluhan tahun silam. Di tempat ini kala itu berjumpa. Kok masih nampak tampan. Gagah. Tangan Nini Rumi mengusap kulit wajah sendiri, matanya menatap kulit tangannya sendiri yang keriput.
“Selamat datang di mana, Ujang?” tanya Nini Rumi sambil menatap jalan setapak yang dibalur warna lembayung. Daun-daun gemerlap keemasan. Lawang hutan benderang cahaya langit. Seandainya bisa ia ingin memanggil akang ke pada sepasang jejaka itu, ya, terkenang ingatan masa silam yang tiba-tiba datang menampakkan diri. Rahasia yang selama ini di simpannya rapat-rapat.
“Sudah lama sekali tidak mengantar kami. Kerajaan hutan rindu teramat sangat. Itulah kenapa sekarang dijemput, semuanya sudah menunggu.” Salah seorang dari dua jejaka itu menjawab sambil menggamit mesra lengan Nini Rumi. Satunya lagi dengan hati-hati memasangkan kebaya dan selendang. Nini Rumi diam saja.
“Masa? Apakah ini bukan mimpi. Sudah bukan zamannya lagi. Sudah nenek-nenek sekarang ini. Bukan zaman masih gadis, gesit mencari kayu bakar ke dalam dada hutan.” Nini Rumi berjalan direngkuh dan diapit oleh dua jejaka itu.
Mendadak ada suara. Suara hutan memanggil-manggil. Seisi hutan terdengar memanggil. Memanggil namanya. Memanggil mesra.
“Sekarang ini sudah tidak ada lagi yang bernyanyi dari rumpun ke rumpun, dari dahan ke daun. Yang ada hanya suara bedil dan gergaji yang setiap saat mengiris hutan. Lagi pula, tua dan nenek-nenek itu di kampung, tapi di sini, di kerajaan kami ini tak ada yang rapuh karena umur,” salah seorang menjawab lagi sambil tersenyum.
Nini Rumi serta dua jejaka itu perlahan menembus hutan, menembus cahaya senja, menembus daun. Dari pohon ke pohon. Rumpun ke rumpun. Semakin lama semakin cepat. Seakan melayang.
Nini Rumi mendengar beragam nyanyian yang berpuluh tahun silam pernah akrab dan intim dengan dirinya. Senandung memenuhi udara. Bangkit lagi lirik dan irama. Semakin menembus jauh, semakin menggema suara tabuhan khas. Gong, kenong, dan gendang. Menggema. Memanggil-manggil.
Lembayung surup. Kunang-kunang mengedip dari setiap daun. Pelan purnama merayap di langit. Semakin jauh melangkah melayang. Menuju gema, menuju panggilan. Tepat ketika bulan mulai melahirkan bayangan. Cahaya menetas dari kejauhan. Seperti benih-benih cahaya yang ber tebaran. Ternyata puluhan obor. Seakan sengaja ditebar di tengah hutan. Tegalan benderang api unggun.
“Selamat datang, Rumi. Lama nian tak ada nyanyian di kerajaan hutan. Ke mana saja, Jung junan. Lekaslah masuk kalang bawakan cahaya bagi kami semua. Panjak sudah gaduh sejak tadi. Ditunggu-tunggu setiap waktu. Selamat datang, lekaslah ajak kami berputar melingkar, ajaklah m langkah cinta ini.” Ada suara penuh wibawa menyambut dengan. Dua jejaka langsung mundur dan menghilang.
Nini Rumi takjub dengan penglihatannya yang mendadak jelas lagi menatap dalam gulita. Api unggun dan obor. Kunang-kunang. Banyak yang berkumpul, semuanya memakai sarung untuk menutup kepala, menyembunyikan wajah. Berdesakan di beberapa tempat seperti sedang hajatan. Lebih ramai dibanding yang ada dalam gambaran, yang sering hadir dalam telaga kenangannya.
Tetabuhan khusyuk dalam iramanya. Nini Rumi berjalan mengelilingi api unggun. Nampaklah para panjak. Seperti ada yang membetot dengan halus, sukma dan raganya, ia berjalan mendekat. Berdiri sekejap seakan tenggelam dalam irama. Lirik nyanyian mekar begitu saja dalam napas dan darahnya.
“Ieeeeung, kudup turi, mandodok bulan dadari….”*) Nini Rumi pelan gumerendeng, seperti merapal mantra. Lengan kirinya menempel di pipi hampir ke kuping, kepala sedikit miring, ancang-ancang. Bernyanyi merdu dan dalam, lengan kanannya mengembang, bergerak sedikit-sedikit mengiringi irama dan nyanyian.
Suaranya merambat jauh. Menggerakkan segalanya. Segala yang tersentuh oleh cahaya api. Api bergerak. Segala yang teraba oleh cahaya bulan. Bulan bergerak. Segala yang berada dalam gelap. Gelap bergerak.
Nini Rumi menggerakkan hutan. Menggerakkan sunyi. Bergeraklah segalanya mengiringi usik Nini Rumi. Lagu pertama. Lagu kedua. Lagu ketiga sambil menari seperti melayang.
“Kembang siang di mara désa, kembang malati di jambé, ari hayang geura bébéja, bisi kapirandi kuring…” *) Masuklah mereka yang kepala-kepalanya dilindungi sarung. Masuk ke dalam kalang, lingkari Nini Rumi yang terus bernyanyi dan menari. Berputar membuat lingkaran. Melangkah seirama. Hanya kaki yang terlihat jelas. Ke atasnya terlindung sarung. Hanya sorot mata yang nampak menembus kerudung sarung. Sorot mata ungu kebiru-biruan. Puluhan pasang mata ungu kebiruan mengelilingi Nini Rumi. Melangkah seirama. Semakin banyak yang memasuki kalang. Dari nyanyian ke nyanyian. Nini Rumi larut. Yang menari berputar melingkari Nini Rumi, yang asyik berputar sendiri. Api unggun semakin berkobar. Bulan semakin benderang.
Semalaman segalanya berputar melayang. Api. Bulan. Gelap. Hutan. Sunyi.
Hingga tiba subuh. Fajar berkelebat. Di kalang Nini Rumi diapit dua jejaka yang tadi sore menjemputnya.
“Bagaimana, tetap mau pulang? Atau selamanya akan menemani kami di sini? Mengantar asih kami, cinta kami kepada yang jauh, yang tak terjangkau.” Salah seorang bicara sambil selalu tersenyum. Senyumnya terbakar sisa api unggun yang masih berkobar.
“Ah, ingin pulang saja, seperti biasa, seperti dulu,” ini Rumi melihat berkeliling. Orang-orang yang semalaman menari lenyap begitu saja.
“Baiklah jika memang begitu keinginanmu. Tapi, ingatlah, jangan melihat ke belakang jika sudah kami antar pulang.”
“Barangkali ini kali terakhir, ya? Usia sepertinya sudah mengajak mengembara ke tempat yang entah.” Nini Rumi mendadak bersedih.
“Itulah, lebih baik di sini. Di sini tak sentuh usia.” Dua jejaka itu bicara bersamaan. Begitu berharap Nini Rumi mau tinggal selamanya bersama mereka.
“Ah, aku ingin memeluk cucuku sambil menunggu waktu.” Nini Rumi mengajak mereka lekas melangkah. Diam sepanjang perjalanan. Matanya basah. Dua jejaka itu memegang tangannya di kiri dan kanan. Diiringi geliat fajar. Menembus hutan. Pepohonan demi pepohonan. Sepanjang jalan setapak seperti asyik dengan diri masing-masing. Mata Nini Rumi makin basah.
Sampai kelawang hutan sudah terang. Kicau burung. Kilau embun.
“Sampai sini. Selamat tinggal! Kerajaan hutan selamanya merindukan. Asih dan cinta dari hutan,” ucap dua jejaka sebelum berhenti dan berbalik. Kembali ke hutan.
Nini Rumi mengangguk sambil menatap ke depan, menunduk ke arah sungai kecil yang mesti diseberangi. Entah sudah berapa kali dalam ingatan dan kenangannya, dijemput di sini sekaligus juga diantar pulang sampai sini. Selalu saja tidak boleh menatap ke belakang. Sekarang, sekarang kepenasaran tak bisa di kalahkan. Mendadak ia ingin menatap mereka yang mengantar pulang. Ingin mengucap terima kasih. Lagi pula, kebaya dan selendang masih dipakainya. Biasanya akan mereka bawa pulang.
Nini Rumi pelan berbalik sambil mengacungkan tangan hendak memanggil. Dua jejaka itu ternyata berjalan merangkak. Tubuh mereka berubah belang dengan ekor yang panjang.
Mereka ternyata sepasang harimau. Nini Rumi melotot dan terjengkang jatuh terguling ke sungai. ***
Ciamis, 2011–2016
*) Lirik lagu-lagu kesenian Ronggeng Gunung
Toni Lesmana, lahir di Sumedang, Jawa Barat. Menulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Buku yang telah terbit, himpunan cerpen Jam Malam Kota Merah (Amper Media, 2012), Kepala-Kepala di Pekarangan (Gambang, 2015), kumpulan puisi Tamasya Cikaracak (Basabasi, 2016). Kini menetap di Ciamis, Jawa Barat.
Leave a Reply