Ang Ariandi, Cerpen

Burung-Burung Mbah Sinting

0
(0)
Burung-Burung Mbah Sinting ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka.jpg

Burung-Burung Mbah Sinting ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka

Lelaki yang tak pandai mengurus janggut itu—para pemuda tanggung menjulukinya Mbah Sinting—konon veteran berpangkat sersan. Namun bukan sembarang sersan.

Desas-desus yang aku dengar dari warung kopi di ujung perumahan, Mbah Sinting yang sehari-hari hanya berbicara dengan burung-burung peliharaannya bukan pensiunan tentara sembarangan. Dia orang suci yang mendapat pencerahan di bawah pohon kersen suatu malam. Dengan pencerahan agung itu, para burung menobatkan Mbah Sinting sebagai satu-satunya wali dari kalangan militer Angkatan Darat. Itulah paling tidak kabar yang kuterima dari kelakar orang-orang di sekitar perumahan.

Aku awalnya tak begitu peduli pada lelaki veteran bertubuh cungkring itu. Namun karena aku mengontrak di samping rumahnya, di kompleks perumahan cacat veteran yang hampir seluruh rumah kini dikontrakkan kepada warga sipil yang tidak cacat dan bukan veteran, mau tak mau aku sering berpapasan dengan janggut kusut silvernya, meski sekadar bertukar salam atau basa-basi saling sapa tentang sembilan burungnya.

Aku tak terlalu paham kesembilan burung itu. Yang aku tahu, semua burung itu memiliki warna dan kicauan berbeda-beda. Dia memberi sangkar setiap burung dengan motif dan warna tidak sama. Ya, sembilan burung dengan sembilan warna di dalam sembilan sangkar dan dengan sembilan suara begitu runcing dan menjengkelkan. Lebih menjengkelkan dari dengung kaus kaki Afrizal Malna.

Sembilan hari aku menjadi tetangganya, hidup mendadak menjadi lebih ingar dari bayanganku. Selalu ada bunyi cericit-cuit. Selalu ada bunyi petikan jari dan siulan. Selalu ada kedongkolan. Selalu ada suara-suara!

Namun ketika aku mencoba membuka pintu dialog untuk menyelesaikan permasalahan suara itu, Mbah Sinting mengelak dan berlagak sibuk dengan burungnya.

“Maaf, orang yang Anda maksud sedang sibuk! Silakan tinggalkan pesan Anda setelah terdengar nada berikut. Klik!”

Semula aku hanya menganggap itu lelucon. Namun ketika kali ketiga dia mengatakan hal serupa, aku pun meladeni kegilaannya.

Ketika jarinya menjentik “klik!”, sebuah pesan pun kutinggalkan. “Anu, Mbah, volume suara burung Mbah bisa dikecilin dikit gak ya, Mbah? Makasih!”

Baca juga  Pil Kebahagiaan

Tut…tut…tut…. Sepi.

Malam hari, setelah aku pulang lembur, tak seperti biasa Mbah Sinting duduk melamun di depan rumah.

“Malam, Mbah!” sapaku sambil memasukkan kaus kaki ke mulut sepatu.

“Setiap waktu adalah sore!” jawab Mbah Sinting ketus.

Sialan! Jika bukan karena pendatang baru, tentu aku tak akan memilih tersenyum pada Mbah Sinting. Namun sebagai pendatang baru, aku dituntut mengetahui waktu yang tepat untuk tersenyum.

“Sudah ngopi, Mbah?”

Mbah Sinting hanya melirik.

Setelah melengos ke bilik dapur, memasak air dan menuangkan kopi sasetan ke dalam gelas, aku pun mengganti seragam pabrik dengan kaus oblong supaya terlihat lebih manusiawi di mata Mbah sinting.

Ditengahi dua gelas kopi, lima batang rokok, dan sebuah asbak dari kulit kerang kima, malam itu obrolan dengan Mbah Sinting berlangsung khidmat, tetapi penuh retorika, asap rokok yang berpilin, dan kebijaksanaan yang menjelimet.

“Jadi gimana, Mbah? Pesan saya sudah Mbah terima kan?” kataku sambil menyulut sebatang rokok.

Mbah Sinting mengangguk. Setelah menyulut sebatang rokok yang kugeletakkan di atas meja tanpa permisi, dia pun berkata dengan tenang. “Aku sudah berbicara pada burung-burungku agar mereka mengecilkan suara.”

“Hasilnya, Mbah?” tanyaku berpura-pura penasaran.

“Mereka menolak!”

Sial!

“Jika kau tak puas, silakan ajukan gugatan. Namun jika kau ingin menyelesaikan secara kekeluargaan, bicaralah langsung dengan burung-burungku. Mereka pendengar yang baik!”

Aku menyeruput kopi dan membetulkan posisi duduk.

“Bagaimana Mbah yakin saya bisa bicara pada burung-burung itu?”

Mbah Sinting membiarkan pertanyaanku melayang-layang beberapa saat.

“Aku melihatmu dapat berbicara dan mendengar. Begitu pun burung-burungku. Jadi kupikir tak ada masalah!”

“Saya bukan Kanjeng Nabi Sulaiman, Mbah. Jadi bagaimana bisa bicara pada burung-burung?”

“Bicara saja! Apa sulitnya bicara?”

Walah!

Begitulah, setelah pembicaraan malam itu, diam-diam ada bagian dalam diriku yang lain secara memalukan tiba-tiba begitu mengagumi sosok Mbah Sinting.

***

Sinar matahari masih suam-suam kuku ketika aku terbangun dan mendapati Mbah Sinting di pekarangan menjemur burung-burungnya. Setelah menyeduh kopi dan menyiapkan beberapa batang rokok sebagai pancingan, aku menghampiri Mbah Sinting yang sibuk menggantung sangkar burung di dahan rambutan cangkokan.

Baca juga  Perempuan Seperti Tara

“Saya bantu, Mbah!” ujarku mencari-cari perhatian.

Tanpa menunggu jawaban, aku mengambil sangkar berwarna hijau. Dalam sangkar itu seekor burung kecil berwarna hijau meloncat-loncat lincah.

“Ini burung apa, Mbah?” tanyaku.

“Burung yang enggan disebutkan namanya!”

“Hm… boleh saya panggil Zamrud, Mbah?”

“Tanya saja pada dia!”

Sebelum menggantungkan sangkar di dahan rambutan, aku bertanya pada si hijau tentang kesediaannya kupanggil Zamrud. Namun tak ada jawaban.

Selesai menggantungkan sangkar burung, aku dan Mbah Sinting duduk di sebuah bangku. Kami menikmati kehangatan matahari Minggu. Tentu dengan rokok dan segelas kopi.

“Kalau saya perhatikan, kadang kehidupan saya sebagai buruh pabrik tak jauh beda dari burung-burung Mbah. Bisa minum dan makan…, tetapi terkekang!”

Mbah Sinting mendelik.

“Kenapa tidak Mbah biarkan burung-burung itu bebas? Biar merdeka seperti Indonesia. Hi-hi-hi….”

Mbah Sinting menyulut rokok yang semula terselip di kopiahnya. Setelah dua isapan panjang, dia berujar. “Karena dunia adalah penjara dan kebebasan itu tak pernah ada! Lagipula burung-burung itu sangat menikmati keterpenjaraan. Bukankah kau dengar kicau pembicaraan mereka?”

“Hm… iya, Mbah. Kalau kebebasan nggak ada, Mbah, terus…. Mbah dulu mati-matian perang bukan buat merebut kemerdekaan? Maksud saya merebut kebebasan dari cengkeraman penjajah.”

“Aku cuma mengisi waktu luang!”

“Maksud, Mbah?”

Mbah Sinting beringsut.

“Ketika seekor burung dilepaskan dari sarang, sesungguhnya hanya melemparkan diri ke penjara lebih luas. Tidak ada kebebasan bisa benar-benar disebut kebebasan. Tak terkecuali manusia, tak terkecuali gugusan pulau yang bernama Indonesia, karena dunia adalah penjara!”

“Hm… dari mana Mbah yakin kebebasan tidak ada?”

“Dari burung-burung itu!”

“Namun burung hijau yang saya gantungkan itu ingin bebas lo, Mbah! Dia yang omong pada saya!” jawabku sekenanya.

Di luar dugaan, Mbah Sinting menatap tajam kepadaku dengan geram.

Baca juga  Membunuh Iblis pada Malam Tahun Baru

“Kamu berdusta! Burung yang kaugantungkan itu tidak mengucapkan apa pun, kecuali satu hal!”

“Apa, Mbah?”

Subhanallah ‘amma yashifuun, subhanallah ‘amma yusrikuun!

Edan!

***

Begitulah seterusnya. Melewati pembicaraan demi pembicaraan, kekagumanku pada Mbah Sinting makin minggu kian sampai ke puncak. Terlebih ketika sekali waktu dia mengatakan, “Bawalah kamus dalam dirimu. Karena segala sesuatu senantiasa bicara dengan bahasanya dan setiap tempat memiliki bahasa masing-masing.”

Aku seperti seseorang yang sedang gencar dimabuk asmara. Sampai-sampai ketika setiap pagi aku melihat Mbah Sinting memandangi burung-burungnya, rasanya aku ingin sekali mencopot baju seragam pabrikku dan mengganti dengan sarung dan kaus oblong demi menghabiskan kebersamaan dengan kekonyolan yang menakjubkan.

Aku merasa Mbah Sinting satu-satunya di kompleks ini kawan merokok yang kuharapkan. Dia sahabat yang sanggup menaungi kesunyianku, sehingga aku tak peduli jika seluruh tukang ojek dan pemuda tanggung terus mengolok-olok dia sebagai wali yang mendapat pencerahan di bawah pohon kersen karena hatiku telah diliputi kedahsyatan dan kekaguman. Namun pada sebuah Jumat paling murung, kekagumanku pada Mbah Sinting tercederai oleh wasiatnya yang menggemparkan.

“Dunia ini penjara. Jika telah datang kebebasanku, ambillah burung-burung itu sebagai hadiah waktu luangku atau lepaskanlah!”

Aku tercekat. Aku merasa tak seharusnya Mbah Sinting berkata selancang itu, justru ketika kekagumanku sampai ke puncak! Maka ketika waktu menggenapi wasiatnya itu, tepat pada pukul 09.00, 19 Ramadan,  aku pun benar-benar kehilangan seorang teman. Aku merasa hidup lebih sunyi dari bayanganku. Sementara itu ketinggian pagar pabrik yang mengurungku makin hari kian tak terlampaui. Bahkan oleh sembilannekor burung Mbah Sinting sekalipun. (44)

 

Jatipadang, 2017

Ang Ariandi lahir di Sukabumi, 1984. Belajar menulis di Akademi Sastra Tangerang. Kini tinggal di Jakarta. Sehari-hari sebagai creative program sebuah rumah produksi. Beberapa puisi dan cerpennya termuat dalam beberapa antologi dan koran lokal.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!