Cerpen Novita Hidayani (Suara Merdeka, 14 Mei 2017)
Energi Angina terkuras memikirkan apa yang harus dia hidangkan di meja makan nanti malam. Meja di hadapannya terlihat sangat angkuh, seperti wajah istri yang menantang perempuan yang mengancam keutuhan rumah tangganya. Ia ingin menaklukkan meja makan itu. Ia ingin menyuguhkan piring-piring berisi aneka rupa masakan yang mampu membuat lidah siapa saja yang mencicipi takluk, tak mampu bergerak mengucap sepatah kata pun, selain mengecap makanan yang dia buat.
Perempuan kurus berwajah tirus itu duduk dengan posisi tangan di atas meja seperti orang memohon. Ia menatap lekat-lekat bayangan hitamnya di meja kayu mahoni yang mengilat karena telah dia lap berkali-kali tadi. Seolah-olah meja itu akan berbicara dan memberi tahu masakan apa yang harus dia masak kali ini.
Pertama-tama Angina harus memikirkan konsep apa yang tepat untuk acara makan malam nanti. Membuatnya romantis dengan lilin-lilin atau hangat dengan suasana kekeluargaan? Tidak, tidak! Angina ingin makan malam nanti mencerminkan dirinya. Ia ingin siapa pun yang hadir bisa merasakan perasaannya.
Telapak tangan Angina terasa basah. Memikirkan hal itu kembali membuat dia gugup dan jantungnya berdetak tak keruan. Ia bangun dari kursi dan berjalan cepat menuju jendela. Ia merasa lebih baik memikirkan hidangan apa saja yang akan dia masak. Konsep bisa menyusul belakangan. Selain itu tentu dia harus mendiskusikan dengan Yuba lebih dahulu.
Lonceng jam yang berdiri gagah di ruang tamu berdentang empat kali diikuti sedikit suara instrumen pendek yang menandakan waktu saat ini. Suaranya menggema sampai ke dapur tempat Angina, hingga ke seluruh ruangan di rumah itu. Kecuali sebuah ruangan terpisah cukup jauh di halaman belakang rumah. Sudah pukul empat sore dan Angina belum tahu akan memasak apa. Ia duduk di jendela dapur yang cukup lebar dan rendah, menatap hampa ke arah ruangan terpisah yang jadi gudang penyimpanan peralatan berkebun ayah Yuba. Semenjak kematiannya dua tahun lalu, tak ada yang menggunakan alat-alat itu lagi. Hanya ia dan Yuba yang masih sering mengunjungi ruangan itu.
Angina menimbang-nimbang apakah akan memasak masakan tradisional yang kaya rempah-rempah atau western yang tidak terlalu merepotkan. Namun ibunya dulu pernah memberi tahu, kemampuan seseorang dalam memasak baru terbukti ketika lihai mengombinasikan rempah-rempah menjadi hidangan lezat di lidah dan hangat di perut. Sementara masakan western tak banyak menggunakan rempah-rempah. Hanya mengunggulkan keju, sosis, dan mayones.
Ya! Sepertinya ia akan memasak masakan tradisional. Untuk makanan pembuka, ia akan membuat puding. Bukankah itu sangat tepat disandingkan dengan makanan berat, hidangan yang tidak memakan banyak waktu pembuatan. Jadi ia memiliki waktu lebih untuk memasak masakan utama. Meracik bumbu setepat mungkin agar tercipta hidangan yang mampu membuat lidah siapa saja yang mencicipi takluk, tak mampu bergerak mengucap sepatah kata pun, selain mengecap masakannya seperti yang dia angan-angankan. Selain itu, ia sangat percaya diri dengan puding kurma buatannya.
Angina bergegas ke dapur. Dengan cekatan dia mengeluarkan rempah-rempah serta ayam, daging, sayur-sayuran dari lemari es beserta seluruh wadah yang akan digunakan di meja dapur. Namun tiba-tiba ia termenung di hadapan bahan yang tersebar di hadapannya itu. Yuba sangat menyukai sushi buatannya. Ia selalu memuji Angina setiap kali membuatkan sushi.
“Sushimu benar-benar lezat, Angina. Aku tak habis pikir kenapa kau bisa begitu lihai memasak.” Yuba sering mengatakan itu padanya.
Apa tidak sebaiknya ia memasak sushi?
Beberapa detik berlalu sebelum Angina menggeleng cepat. Kali ini ia memasak bukan untuk memuaskan Yuba dan mendapatkan pujian dari laki-laki itu seperti biasa. Ia memasak untuk menunjukkan siapa dirinya. Ia ingin menunjukkan seberapa hebat dia pada Yuba dan perempuan yang akan dibawa nanti. Ia ingin menunjukkan seberapa kuat dia dibandingkan keputusan yang telah dibuat Yuba dan perempuan itu. Bahwa ia sungguh tak apa-apa atas kehadiran perempuan di tengah-tengah kebersamaannya dengan Yuba.
Angina menghela napas panjang sembari menguatkan diri. Ia mengambil pisau besar yang menggantung di hadapannya dan daging ayam tanpa kepala dan kaki dari lemari es. Angina mengayunkan pisau sekuat tenaga, sehingga ayam itu terbelah jadi dua bagian seketika. Seakan-akan seluruh perasaannya terkumpul di pisau itu. Ketika sebuah ingatan tiba-tiba berputar di kepala, mendadak ia merasakan tenggorokannya sakit.
Ia mengingat ciuman pertama dengan Yuba karena andil seekor ayam. Saat itu Angina hendak mengambil telur ayam yang akan dia masak dari kandang ayam tepat di samping gudang penyimpanan alat-alat berkebun ayah Yuba. Ayah Yuba yang baru selesai berkebun menyarankan memakai telur di lemari es saja, tetapi Angina bersikeras menggunakan telur ayam itu. Telur ayam kampung adalah telur paling sempurna untuk dicampurkan dalam sup jagung manis, katanya.
Dan ketika Angina menjulurkan tangan mengambil beberapa butir telur di kandang ayam yang semula sepi, tiba-tiba induk ayam datang entah dari mana dan menggempur Angina. Angina yang menggunakan tangga untuk mencapai kandang ayam seketika kehilangan keseimbangan dan jatuh. Untung Yuba mengikuti. Laki-laki itulah yang menyangga tubuhnya.
Saat itu ia merasakan hangat dan sedikit aliran listrik di dada. Waktu seakan melambat sekali bergerak dan semua menjadi bisu, hingga ia bisa merasakan jantung Yuba berdetak cepat di dadanya. Saat itulah laki-laki itu kali pertama menyentuh bibirnya dan memeluk erat. Ciuman lembut itu pelan-pelan menjadi tak terkendali. Hingga keduanya beralih menuntaskan segala yang mendesak di gudang penyimpanan peralatan berkebun ayah Yuba.
Pisau yang dipegang Angina kini mendarat lemah di atas ayam itu. Tangannya bergetar ketika ingatan kebersamaan dengan Yuba menyerbu dari segala penjuru dapur yang kerap menjadi saksi bisu keduanya saat bercumbu sembunyi-sembunyi dari ayah Yuba yang sibuk berkebun di halaman belakang dekat gudang.
Angina mengingat semua itu dengan jelas, bahkan sentuhan-sentuhan Yuba terasa hadir bersamanya. Terlebih pelukan yang selalu terasa hangat membenamkan dia dalam perasaan nyaman dan aman. Kata-kata manis Yuba saat memuji dia dan mengatakan sangat mencintai dia juga terngiang-ngiang di telinganya. Namun ketika Angina menutup mata, bayangan wajah Yuba saat mengatakan akan menikahi perempuan lain menari-nari di pelupuk matanya. Angina menggenggam gagang pisau itu kuat-kuat.
“Aku mencintaimu, Angina. Aku masih mencintaimu. Aku akan tetap mencintaimu.” Kata-kata Yuba berdengung di telinga Angina. Pisau yang semula dia genggam erat di tangan, kini terlepas begitu saja dan jatuh dengan suara cukup keras membentur lantai. Suaranya menggema di antara lorong-lorong dapur.
Suara bisikan Yuba juga kembali terngiang di telinganya. “Tak akan ada yang berubah, meski aku menikahi perempuan itu. Kita akan terus bersama bukan? Kau bisa tetap bekerja di sini. Memasak untuk kami. Tak akan ada yang berubah. Hanya kita akan melakukan sembunyi-bunyi seperti saat ayahku masih ada dulu. Jadi apa yang kaukhawatirkan?”
Angina menghela napas lagi. Kali ini lebih panjang dan berat. Tenggorokannya makin terasa sakit. Matanya juga terasa memanas. Ia akan tinggal bertiga di rumah ini. Ia, Yuba, dan perempuan itu. Ia tak akan jadi satu-satunya lagi. Ia membayangkan Yuba dan perempuan itu melakukan hal-hal yang biasa Yuba dan dia lakukan di rumah ini. Tangisnya tumpah. Angina terisak beberapa waktu. Di hadapan dua belah ayam yang semula dia potong, rempah-rempah, sayur-sayuran, telur, dan wadah-wadah kosong yang belum dia gunakan.
Matahari di luar diam-diam turun meninggalkan dia. Makin gelap saja dapur tempat dia berdiri. Lonceng jam di ruang tamu berdentang enam kali diikuti suara instrumen yang telah melekat erat dalam ingatannya layaknya seluk-beluk rumah ini beserta seluruh isi dan kenangannya. Makan malam akan berlangsung sejam lagi dan ia belum memasak apa pun.
Ia berjalan menuju bak cuci piring, menyalakan keran dan mencuci tangan serta wajah. Kemudian ia bergegas menuju telepon rumah di antara dapur dan ruang tamu. Lantas segera menekan beberapa digit angka yang telah dia hafal luar kepala.
“Halo, KFC Delivery? Iya. Saya pesan tiga paket ayam komplet untuk Jalan Kalelui Nomor 25. Dalam tiga puluh menit bisa? Iya. Terima kasih.”
Suara air dari keran yang belum dia matikan terdengar lebih jelas. Senggukan Angina tinggal satu-dua yang masih terdengar. Di situ, di tengah ruangan yang makin pekat itu. (44)
Mataram, 3 Januari 2017
– Novita Hidayani lahir di Kediri, Lombok Barat, 29 November 1993. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mataram ini belajar di Komunitas Akarpohon Mataram. Cerpen-cerpennya disiarkan sejumlah surat kabar.
Leave a Reply