Cerpen Beni Setia (Tribun Jabar, 14 Mei 2017)
–soreang on my mind–
SUDAH larut ketika aku naik ke kereta dan berjalan lesu mencari tempat duduk, dan kebetulan dua kursi di hadapan pintu tembus ke gerbong depan. Tepat di belakang WC, tepat depan lawang bordes, di balik pintu tembus, yang selalu tertutup demi stabilnya suhu ruang ber-AC. Menaruh tas di rak, di atas tempat duduk, menghenyak usai mengeluarkan botol minuman dan kemasan kue kering pabrikan—pengganjal lapar bila nanti terjaga. Nanti—mungkin mendekati Subuh, seperti mau sahur.
Gerbong lengang, banyak kursi kosong, sehingga penumpang bisa acak memilih kursi kosong—seperti aku, leluasa berada di dua tempat duduk gandeng. Menghenyak. Menjulurkan kaki, berselonjor setengah miring, dengan tumit—tanpa sepatu sandal—di sudut belakang kursi depan serta jendela. Terpenjam. Melamun: mendadak telah sampai meski loko baru mengubah pola kecepatan laju dari langsam. Apa dalam satu jam lagi bisa tertidur?
Entah. Mengeluarkan HP. Membuka FB, tanpa tahu akan mencari siapa dan baca apa. Iseng. Sekadar menunggu kantuk. Tapi apakah akan selamat sampai di T?
***
MENURUT trayek, kereta menuju B, dari poin setuntas Magrib akan tiba setelah Subuh. Tapi aku hanya akan turun di T, di tiba mendekati fajar rekah—jadi perjalanan kereta hanya sekitar 3 jam setelah S, serta sekitar 3 jam menjelang B. Seperti dikukuhkan kondektur pemeriksa tiket, yang ramah, yang membikin liang pertanda cek dengan alat mirip staples. Seusainya, setelah menata tiket di saku depan celana jins di dekat dompet—kantong kanan HP. Bersiap buat tidur karena merasa kewajiban penumpang telah dikukuhkan. Memang.
Menguap—meski tidak mutlak mengantuk. Terus terang, ada yang menyesakkan dengan perjalanan kali ini. Keinginan, seharusnya aku terus ke B—sebab telah 14 tahun tak pulang ke S. Dan bila dihitung lebih cermat, itu ada dalam rentangan 15 kali Lebaran, sehingga aku sering mimpi ditugaskan memeriksa keabsahan pembiayaan—sesuai bukti pengeluaran—ke kantor cabang di B. Minimal ke titik kantor lebih jauh dari T dan amat menjelang ke B, sehingga punya kesempatan mencuri waktu untuk mampir di S. Ke tempat 12 tahun, dulu, Ayah ditugaskan—kota kecil, sekitar 25 menit dari B. Tapi, selama 10 tahun ini, sampai sekarang aku hanya ditugaskan di T. Ya!
Sebenarnya selalu ada sisa waktu tiga hari itu buat mampir di S—meski itu memakan waktu tempuh 5 jam—tapi aku tak punya keberanian mencuri kesempatan bebas, sebab tiket selalu mengharuskan pulang di hari keempat bertugas—si tiket pulang telah dibeli, dan itu harus dilampirkan sebagai bukti riil laporan tugas luar. Sialnya, aku selalu merasa sudah harus berada di S pada hari itu—untuk segera menyeberang ke M, untuk di esoknya memeriksa pembukuan kantor cabang P. Dan dari mencuri waktu ke S yang pasti membuat aku lelah—meski dengan mencarter mobil—aku memilih lebih mencuri kesempatan untuk beristirahat di P atau malah di S sebelum menyeberang.
Lagi pula, aku hanya mendapat uang harian tiga hari ada di T, serta tiga hari ada di P; dan harus punya dua bukti tiket ke/dari T serta dua bukti tiket ke/dari P. Yang jumlahnya amat lumayan bagi karyawan bawahan seperti aku.
***
SEBENARNYA ada sebelas teman, ganti-berganti, meminta agar aku ikut reuni SMA di S—yang nanti akan ada bukti rekaman video kegiatan, potret, kaus seragam, pesta meriah, serta makanan yang memikat. Dan itu sangat menarik—menggiurkan—terlebih setelah kami terpisah selama 30 tahun—dengan sekitar 25 tahun aku berada di T, sekitar 12 jam dengan perjalanan kereta api dari B, dari tempat keremajaan mengecambah serta berkembang. Tapi, karena itu—kata mereka, sepakat—maka aku diharap buat ikhlas menyumbang Rp 250.000 buat biaya reuni—dan itu belum termasuk ongkos pergi-pulang pribadi.
Gila!—karena itu, meski mengikuti proses di FB, aku agak nonaktif berkomentar. Aku mengerti, pada dasarnya semua itu cuma: duit—semua punya bea. Tapi itu mencekik leher pekerja kecil dengan dua anak yang kuliah dan kos—di titik usia mereka sangat bergairah makan, jajan, dan mencari rujukan buat skripsi—di luar momen pacaran. Ya! Karena itu, si kenangan yang dijanjikan bisa direguk puas itu terasa jadi sangat mengerikan, menjadi monster yang amat mengerikan kalau aku bersengaja emosional mengaktualisasi diri dengan mengikutinya—setidaknya, biaya hidup untuk dua anakku akan minus 1.000.000 perak.
Ya! Karena itu, aku bersiasat, dengan meminta tidak dikirim ke T dulu—tapi ke P di M—lalu berbalik ke T. Jadi, sebenarnya, seusai bertugas di T: aku bisa ikut reuni di S—150 km dari T—memilih santai dengan kenangan, bahkan bisa ditambah dengan ajuan cuti pulang kampung, dan dengan si uang harian serta ongkos jalan yang melimpah. Tapi uang 1.000.000 perak itu pasti lebih berguna bagi kedua anakku, ketimbang snob memanjakan kenangan. Ya! Karena itu, daripada mengaktualisasi kenangan, akan lebih menyenangkan memilih tidak menyengsarakan kedua anakku. Dan terpikir—dengan komparasi—agar mereka yang lebih cepat sukses dan berhasil dari si yang nelangsa karena berlevel si pekerja recehan.
***
LEPAS tengah malam masih tak bisa tidur. Di selepas Y—dengan satu kali stop—aku terus terjaga, sampai di stasiun berikut. Kereta beberapa kali berhenti, karena KS harus membebaskan rel buat kereta dari barat yang cepat melaju. Aku tetap tidak bisa tertidur. Minum. Makan kue kering—bahkan memesan nasi rames dari restorasi lewat si penjaja keliling—tapi aku tetap tidak bisa tertidur. Aku berpikir sederhana, dengan matematika amat menghunjam-menyakitkan perasaan, bahwa akhir pekan ini, sekitar lima hari lagi, Angkatan 1985 SMA di S akan bereuni—akan ada kerumunan kawan lama dengan kilasan singkat masa lampau.
Ya! Tapi—sekaligus—aku tidak mampu menyisihkan 250.000 rupiah sampai di tiga minggu lalu, mesti minggu lampau mendapat kepastian tugas ke T dan P—seperti biasa. Dan, di sepanjang seminggu itu, aku tersenyum—pahit. Terpikir: Tuhan itu ironi—meski itu memang salah satu seni menyusun suratan nasib manusia, yang membuat si segala sesuatu jadi absurd, multitafsir, agar seseorang terjebak dalam komedi hitam.
Mungkin—pikirku. Dan semua rasionalitas dari manusia itu, sebenarnya, hanya pelabi dari semua fakta keinginan yang tak kesampaian, yang coba direkonstruksi agar jadi hal paling logis serta benar, sesuai keinginan.
Aku tersenyum dalam mengasihi diri—dengan mencoba menjenakakannya. Memenjam. Menyender di sudut ujung kursi dan kaca jendela, menyelonjorkan kaki agar tumit bisa bertumpu di lengkungan kursi depan di ujung belakang si kursi. Meregang di dalam merentang. Diam—dan sekilas lupa terlelap. Tersentak—terjerunuk dan tergagap. (Mungkin, yang benar: terjaga serta tersigeragap.) Dan di dalam ketersentak dan terlontarkan ke belakang, dalam terhuyung karena terjerunuk, serta sekuatnya menegakkan diri serta kembali ke dalam kesadaran ada dalam kereta yang terus terus melaju—menyeret semua terang cahaya, kota, rel, kenangan, dan ingatan. Dan aku seperti si tertinggal. Sendu dan sediri di kegelapan malam.
Kereta, bahkan si gerbong kenangan, menjauh, dan suaranya lamat menghilang. Meninggalkan aku di kekosongan, di tengah hamparan—ditandai terang mata rabun sebab malam kelam cuma diterangi kilau bintang tinggi—tanpa rel, tanpa gerbong kereta. Kosong—meski tetap ada sesuatu yang bisa membimbing ingatan akan kenangan. Aku celingukan di kekosongan tidak terbatas, di kedataran tanpa bukit, lembah, dan angin. Aku menggigil ketika semuanya tetap hanya remang, berselimutkan dingin membekukan. ***
Leave a Reply