Cerpen Anggi Nugraha (Republika, 21 Mei 2017)
Koswara menatap lekat tulisan itu. Sebuah puisi berpigura, tampak semakin lusuh dimakan usia. Istri juga keturunannya sering bertanya ihwal puisi tersebut. “Mengapa harus puisi? Mengapa tidak lukisan saja, Bah?” tanya anak perempuannya, dulu.
Seperti biasa, ia hanya tersenyum bila mendapati pertanyaan seperti itu. Alih-alih berpanjang lebar menjelaskan layaknya dosen sastra, ia hanya berkata, “Puisi kan bahasa jiwa. Ya, Abah mah suka aja.”
Dan pagi itu adalah hari Ahad. Koswara sedang menanti tukang koran langganannya datang. Sembari menunggu, ia membaca dalam hati puisi yang telah ia pajang selama tiga puluh tahun di dinding rumahnya itu.
Sungai Yangtze
tinggal di tepi Sungai Yangtze, di dekat sumbernya
Sementara kau tinggal lebih jauh di tepiannya juga
Kau dan aku minum air dari aliran yang sama
Aku belum melihatmu meski setiap hari aku memimpikanmu.
Bilakah air sungai ini berhenti mengalir?
Bilakah aku tak mencintaimu sebagaimana sekarang?
Aku hanya berharap dua hati kita berdenyut menjadi satu
Dan kau tak akan kecewa terhadap cintaku padamu.
Puisi Dinasti Tang itu sungguh memesona. Bagi Koswara, puisi itu sangat berarti. Puisi itu selalu mengingatkannya pada seseorang. Dialah sosok yang pernah ada dalam hidupnya dulu, sosok yang juga mengantarkan ia menjadi seperti sekarang ini.
***
Leave a Reply