Cerpen, Doni Ahmadi

Tentang Ucup Karbol yang Kelak Akan Diperdebatkan

0
(0)

Cerpen Doni Ahmadi (Koran Tempo, 20-21 Mei 2017)

Tentang Ucup Karbol yang Kelak Akan Diperdebatkan ilustrasi Munzir Fadly - Koran Tempo.jpg.png

Tentang Ucup Karbol yang Kelak Akan Diperdebatkan ilustrasi Munzir Fadly/Koran Tempo

Mungkin kelak peristiwa hilangnya Ucup Karbol akan menjadi perdebatan yang serius, namun biar aku beri sedikit bocoran: Ucup Karbol yang lahir pada 11 Maret 2000 itu telah meninggal pada 23 Mei 2020 dalam usia 30 tahun.

Asal kau tahu, aku adalah sahabat baik Ucup Karbol yang pada akhirnya mengetahui bahwa ia sebetulnya mati dalam usia tiga puluh tahun pada tanggal 23 Mei 2020, memang tidak masuk akal jika dihitung lewat angka kelahirannya, apalagi bila kau ada di posisiku (nanti akan kuceritakan), tapi begitulah yang terjadi. Kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah yang memang masuk akal. Kau mungkin bisa membantahku dengan menghitung sendiri lewat kajian ilmu matematika yang paling sederhana maupun yang paling mutakhir, dan berdebat denganku perihal usia Ucup Karbol. Tapi biar kukatakan sekali lagi, kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah yang memang masuk akal.

23 Mei 2020

Siang itu mungkin menjadi siang yang membuat luka paling dalam terhadap sahabatku, Ucup Karbol. Bagaimana tidak, di Rumah Sakit—tempat ibunda Ucup yang tengah menjalani perawatan karena mendadak pingsan—terjadi kebakaran besar. Dalam peristiwa itu terdapat dua puluh lima korban tewas yang salah satunya setelah diidentifikasi adalah ibunda dari Ucup.

Pada siang yang sama, beberapa jam sebelum terjadi peristiwa nahas itu. Aku tengah sibuk mengerjakan tugas kuliahku. Kau harus tahu, ini adalah kali pertama aku mengerjakan tugas pada siang yang terik begini, biasanya aku mengerjakan tugas itu kelewat larut malam. Tapi karena sore ini adalah batas pengumpulan akhir, sepertinya aku harus membongkar kebiasaanku itu. Selang beberapa menit kemudian Ucup juga datang. Kami memang sudah membuat janji beberapa hari sebelumnya. Ia datang terlambat karena harus terlebih dahulu mengantar ibunya ke rumah sakit karena mendadak pingsan, dan itu tidak masalah sama sekali.

Setelah sekitar lewat satu jam kami berkutat dengan tugas yang tak kunjung selesai ini, matahari makin terasa dekat dan membakar, dalam kamarku yang terletak di lantai atas dan hanya berukuran empat kali tiga meter ini, kami serasa tengah berada di dalam oven, padahal aku sudah menghidupkan kipas angin mutakhirku (blower) dalam level maksimal, tapi tidak berdampak sedikit pun. Pantas saja dulu banyak relawan dan pendemo yang terus menggerakkan aksi tentang bahaya pemanasan global, ternyata memang beginilah akibatnya.

Untuk mengatasi matahari yang terasa semakin menggila itu, tanpa pikir panjang, aku pun memutuskan untuk melepaskan pakaianku, sialnya Ucup juga turut melepaskan pakaiannya. Dalam pikiran liarku, aku membayangkan ibuku masuk ke kamar dan melihat kami dengan keadaan begini, dengan sejurus prasangka liar yang dimilikinya, kami bisa saja dikiranya pasangan sesuka sesama jenis. Sial memang pikiran liar ibuku itu, aku pun akhirnya kembali memasang pakaianku kembali, sepertinya Ucup juga mafhum, ia juga kembali memakai pakaiannya. Maklum saja, Ucup juga sudah mengenal ibuku dengan baik, prasangkanya bukan main gila, pernah aku dituduhnya mabuk ganja hanya karena ia melihat diriku lemas dengan keadaan mata yang merah, padahal yang terjadi saat itu berbeda. Waktu itu saat kepalaku dihantam oleh pusing, aku meminta Ucup (yang saat itu kebetulan tengah ada di kamarku) untuk mengolesi kepalaku dengan minyak kayu putih, sialnya minyak kayu putih yang dioleskan oleh Ucup itu mengenai mataku, dalam keadaan lemas seperti itu aku hanya bisa pasrah dan tiduran kembali, memejamkan mata sembari menahan perih, lalu sejurus Ucup pun keluar dari kamarku dan mencoba mengambilkan air dari kamar mandi di lantai bawah. Tapi bukan Ucup yang datang, melainkan ibuku, aku refleks saja dengan membuka mata dan ia semakin mendekat, mengetahui aku tengah lemas dan mataku merah, langsung saja ibu menuduhku macam-macam, ia beranggapan aku teler setelah menghisap ganja. Itu baru satu. Belum yang lain lagi. Sial, aku jadi menceritakan tentang ibuku, tapi tidak apa-apalah sudah terlanjur.

Baca juga  Bunga Merah

Jadi, setelah merasakan panas yang sedemikian membakar itu, aku dan Ucup akhirnya bersepakat untuk keluar rumah membeli minuman dingin atau es krim bila ternyata minuman dingin itu tak mampu menghilangkan rasa panas yang melekat itu. Kami pun langsung melesat menuju minimarket terdekat dari rumahku yang jaraknya kurang-lebih sekitar lima puluh meter, karena hawa panas yang menyengat kami memutuskan untuk tidak berjalan dan Ucup pun langsung sigap dengan menyalakan mobilnya, kami pun pergi ke minimarket. Belum sampai dua puluh detik Ucup masuk ke dalam minimarket, aku yang mengikutinya di belakang tiba-tiba saja berhenti di depan layar televisi yang terdapat di depan minimarket untuk melihat berita tentang pertandingan final sepak bola antar-klub Eropa yang akan dihelat dinihari nanti, tiba-tiba saja berita itu berganti, siaran berita itu berubah dari mewartakan acara olahraga ke peristiwa yang tengah terjadi, siaran itu mewartakan bahwa ternyata tengah terjadi kebakaran besar di rumah sakit Kepala Gadung sekitar 20 menit yang lalu, karena terdapat material yang mudah terbakar (dapur rumah sakit), maka api pun langsung membesar dan sulit untuk dipadamkan. Sontak aku teringat bahwa Ucup baru saja mengantar ibunya ke rumah sakit yang disebutkan itu, sekonyong-konyong aku pun masuk ke minimarket dan meneriaki Ucup. Ia terlihat sedang mengantre di depan kasir, lalu aku menariknya untuk melihat berita tersebut. Ketika Ucup yang kutarik itu sampai di depan layar kaca televisi, berita barusan yang kudengar itu sudah kembali ke acara semula—mewartakan siaran olahraga kembali. “Aku juga sudah tahu, Dit, kau mau mengajakku nonton bareng memang, ya sudah aku bayar minuman kita dulu,” katanya. “Bukan itu, di rumah sakit Kepala Gadung terjadi kebakaran, sini biar aku yang bayar, kau nyalakan mobil dulu dan tunggu aku,” kataku. Aku pun langsung membayar belanjaan yang dibeli Ucup dan langsung keluar, kami berdua langsung tancap gas menuju rumah sakit.

Ternyata benar, dari jauh sudah terlihat asap hitam pekat yang berasal dari gedung rumah sakit. Lalu lintas arah rumah sakit pun tidak bergerak, dalam keadaan begitu Ucup langsung keluar dan menuju arah rumah sakit dan meninggalkanku.

24 Mei 2020

Hari ini aku bangun pada pukul delapan malam, badanku masih merasakan pegal-pegal yang luar biasa. Tapi barangkali ini tidak ada apa-apanya, sakit pegal yang kurasa mungkin tidak sesakit yang Ucup Karbol sahabatku rasakan—kehilangan seorang ibu yang begitu ia cintai. Cukup membayangkannya saja, kau pasti sudah sakit yang bukan main.

Kau tahu, kemarin malam, tepat pada pukul tujuh lewat tiga puluh (tiga puluh menit seusai api dapat dipadamkan), Tim SAR baru menemukan jenazah ibunda Ucup, lewat keterangannya beliau diketahui terjebak bersama seorang pria yang kira-kira berumur 30 tahun dalam tangga darurat. Mereka berdua tewas bersama dalam keadaan tertimpa material berat setelah terjebak. Aku yang menemani Ucup bermalam di rumah duka tempat di mana jenazah ibunda Ucup dipindahkan, kira-kira pukul sepuluh malam aku bersama Ucup dan ayahnya sampai di sana. Akhirnya selesai mengurus hal-ihwal, ibunda Ucup dibawa pulang ke rumahnya untuk didoakan. Aku pun masih turut menyertai Ucup dan ayahnya, bahkan sampai pada ba’da dzuhur selesai ibunda Ucup disalatkan dan dikebumikan (satu jam berselang). Barulah setelah itu aku pulang ke rumah, tidur, dan baru bangun pada malam harinya. Dalam keadaan setengah sadar aku keluar kamarku (menuju lantai bawah) untuk mengambil air putih, malam itu kulihat ibu tengah menonton berita yang mewartakan berita kebakaran itu. Ah, gara-gara berita itu aku jadi ingat Ucup lagi, terlebih saat nama dua puluh lima korban disebutkan satu per satu beserta identitasnya. Kau tahu, sekilas, kudengar ada yang ganjil, penyiar berita itu menyebutkan dan tertulis di layar nama Ucup Karbol sebagai korban, sejurus aku pun langsung mendekati layar kaca dan melihat dengan jelas keterangannya. “Ah sial, mengagetkan saja,” kataku.

Baca juga  Kisah Kasane

18 September 2022

Pagi itu menjadi peristiwa bersejarah bagiku, maklum saja aku telah resmi diwisuda dan menjadi sarjana. Ucup Karbol juga, kami berdua lulus. Meski dengan nilai yang tidak terlalu bagus, tapi juga tidak terlalu jelek. Oh iya, setelah peristiwa kebakaran yang nahas itu, hubunganku dengan Ucup sedikit merenggang, bukan karena perselisihan, tapi Ucup jadi lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya. Misalnya saja, selesai jam kuliah, biasanya kami berkelakar dulu sampai larut (bahkan Ucup juga biasanya sampai menginap dan baru pulang keesokan harinya), tapi Ucup lebih memilih pulang. Entahlah, mungkin ia merasa bersalah (kupikir ia terlalu sering jarang pulang dan menyesal ketika ibunya sudah tiada) dan masih berduka. Aku juga mafhum, maka itu aku tak pernah mempermasalahkan hal itu.

Selesai lulus Ucup memberitahuku bahwa ia dan ayahnya akan segera pindah dan tinggal di rumah neneknya yang ada di Bandung, rumah yang ada di sini akan dijual, Ucup juga sekaligus memberitahuku bahwa ia akan melanjutkan studinya di sana. Tak luput, Ucup juga memberi alamat tempat tinggal barunya itu kepadaku. Jika kapan-kapan aku hendak mampir ke sana.

11 Maret 2030

Pagi itu kira-kira pukul lima tiga puluh, aku sudah menyalakan mesin mobilku untuk pergi ke Bandung, yakni ke rumah Ucup Karbol sahabatku. Kira-kira sudah hampir delapan tahun aku tidak bertemu dengannya. Selepas wisuda, kami sudah tidak saling bertemu, selain jarak, kami sama-sama tengah sibuk. Kira-kira sudah seperti apa tampangnya sekarang, pikirku.

Awalnya aku berencana mengabarinya bahwa aku hendak main ke sana, namun dalam dua tahun terakhir semua kontak telepon maupun media sosial miliknya mendadak tidak aktif lagi, kutanya lewat surat elektronik pun hasilnya sama saja. Jadi, modalku untuk menemuinya hanya berbekal alamat yang sempat ia kirim dua tahun terakhir lewat jejaring sosial dan alamat yang dulu ia tulis sebelum pindah ke kota ini, kau tahu, Ucup jarang sekali berbohong padaku, dan berdasarkan asas kepercayaan inilah aku berangkat. Oh iya terakhir Ucup bilang kini ia tidak tinggal bersama ayahnya dan memilih tinggal sendiri di rumah kontrakan. Dan alamat rumah dulunya itu adalah alamat rumah tempat tinggal ayah dan neneknya, jadi aku tetap menyimpannya. Kebetulan, hari ini juga hari ulang tahunnya, mungkin sedikit kejutan dan sekaligus aku ingin mengundangnya menghadiri acara pernikahanku yang akan berlangsung dalam tiga minggu lagi.

Butuh perjalanan lima jam menggunakan mobil untuk sampai di kediaman Ucup. Sesampainya di sana (di alamat tempat Ucup mengontrak) aku langsung menuju pagar dan memanggil-manggil namanya, sudah lewat sepuluh menit, namun tak ada jawaban yang kudapat. Apakah aku nyasar, tanyaku. Aku pun mencoba menanyai warga sekitar perihal alamatnya, yaitu Jalan Widuri Nomor 99 Kecamatan Bodong Gede. Ternyata benar dan juga mereka mengenal Ucup. Mereka bilang Ucup itu jarang keluar rumah, sepulang kerja ia biasanya langsung mengerjakan sesuatu lagi di dalam rumahnya. Ketika kutanya apa hari ini mereka melihat Ucup, jawabannya tidak tahu. Tanpa berpikir panjang aku pun langsung menuju alamat kedua, yakni Jalan Pasirjaya Nomor 11 Kecamatan Bodong Kecil. Asumsiku mungkin Ucup sedang pergi ke sana dan merayakan ulang tahunnya bersama keluarganya. Setelah kuingat-ingat kembali, sepertinya alamat ini tidak terdengar asing. Ah entahlah, mungkin hanya pikiranku.

Baca juga  Negeri Penidur

Sialnya asumsiku salah, di rumah itu hanya ada neneknya Ucup. Dan ia malah menyuruhku untuk pergi menuju alamat yang sebelumnya aku datangi. Aku semakin bingung, akhirnya aku memutuskan untuk menikmati Kota Bandung terlebih dahulu, kau juga pasti akan melakukan hal yang sama bila ada di posisiku, tidak mungkin juga aku mondar-mandir dari kontrakan Ucup ke rumah neneknya lagi. Selepas magrib aku pun kembali ke kontrakan Ucup, hampir setengah jam aku menunggu namun hasilnya ternyata sama saja. Tanpa pikir panjang aku pun akhirnya melesat ke rumah neneknya dan menitipkan undanganku itu untuk diberikan kepada Ucup nanti.

12 Maret 2030

Pagi-pagi betul, entah mengapa ayah membangunkanku dan memberikan sebuah paket yang isinya adalah surat. Ayah bilang, dua jam setelah aku melesat pergi, surat itu sampai rumah. Ia tidak mau membukanya karena berpikir itu adalah urusan pribadiku. Aku masih terlalu mengantuk dan lelah, jadi surat itu kuletakkan saja di meja samping tempat tidurku untuk kubaca nanti.

Kau harus tahu, ternyata surat itu berasal dari Ucup Karbol, sahabatku. Begini bunyinya:

Untuk Dodit, sahabatku.

Kau adalah satu-satunya orang yang kuberi tahu perihal hal ini dan sebagai sahabatku yang kupercaya. Begini, bersama surat ini dengan sejujur-jujurnya aku telah berhasil membuat mesin waktu dan akan melakukan perjalanan bersamanya. Mungkin perjalananku ini akan sedikit mengubah takdir, maka itu aku menunggu sampai surat ini sampai dulu di tanganmu, agar kau tidak kaget. Dan lewat pemberitahuan kepala pos, kau kira-kira akan menerima ini pada pukul delapan pagi, jadi tiga puluh menit setelahnyalah aku akan melakukan perjalananku ini. Kau tahu, dengan mesin ini aku akan kembali menyelamatkan nyawa ibuku. Kembali ke 23 Mei sepuluh tahun lalu. Dan mungkin aku takkan kehilangan beliau lagi. Terimakasih telah menjadi sahabat baikku. Dan doakanlah sahabatmu ini agar berhasil.

Ucup Karbol, Bandung 11/03/30

Asal kau tahu, aku betul-betul menganggap ini sebuah mimpi. Tapi aku tak dapat memberikan kategori mimpi yang jenis apa. Ucup Karbol adalah sahabatku, aku yakin ia tidak berbohong kepadaku. Baiklah, coba kau ingat-ingat kembali pada 24 Mei sepuluh tahun silam, ketika penyiar berita menyebutkan dan tertulis di layar nama Ucup Karbol sebagai korban, di situ aku merasa bersyukur karena alamatnya bukanlah alamat tempat tinggal Ucup karbol sahabatku yang (pada saat itu) terletak di Jalan Haji Sepuluh Kecamatan Rawarawa Jakarta, melainkan Jalan Pasirjaya Nomor 11 Kecamatan Bodong Kecil Bandung. Dan coba kau ingat-ingat juga tentang seorang berusia tiga puluh tahun yang tewas bersama ibunda Ucup Karbol.

Walaupun aku begitu menyukai cerita fiksi, tapi yang kuceritakan ini bukanlah cerita fiksi, apalagi hasil karangan yang mengada-ada, dan ketimbang nanti kau akan memperdebatkan kehilangannya, mungkin cerita ini bisa membantumu. Dan sebagai sahabat Ucup Karbol, barangkali ini tanggung jawabku untuk menjelaskan tentang kebenaran yang sebenar-benarnya tentang kisah beliau. Dan barangkali kau juga harus percaya, kadang hal-hal yang tidak masuk akal lah yang memang masuk akal.

 

2017

Doni Ahmadi. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta, pegiat sastra dan seni di komunitas Tembok, redaktur buletin sastra Stomata. Beberapa cerpennya termaktub dalam antologi Desas-desus tentang Kencing Sembarangan (2016).

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Wah, keren ceritanya. Jadi bener penasaran, kisah ini nyata atau tidak? Walaupun saya pernah nonton film barat sejenis, tapi cerpen ini lebih seru dan asik, serta mudah diproyeksikan dalam imajinasi. Coba ada produser yang berkenan mengadaptasi.

Leave a Reply

error: Content is protected !!