Cerpen Tommy Duang (Koran Tempo, 27-28 Mei 2017)

Tentang Wanita yang Menanti Kebangkitan Luiz Ezpinosa ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Nyonya Ezpinosa tahu betul apa yang bakal terjadi. Semua proses pengadilan itu berlangsung tepat seperti yang tak pernah dibayangkannya. Persoalannya menjadi semakin rumit, karena bukan lagi perkara benar salah, melainkan adu argumen dan popularitas. Akhirnya ia harus berdiri pada posisi yang salah dan terancam dijatuhi hukuman mati karena tuduhan perbuatan cabul.
Katanya perbuatan cabul adalah wajah lain dari penistaan agama, merendahkan martabat agama berikut pembesarnya dan melecehkan serta menginjak-injak harga diri sebuah lembaga iman. Padahal, kalau dipikir-pikir, seandainya tuduhan itu benar maka kejadian itu tidak perlu dibesar-besarkan. Lagipula agama sebesar ini tidak perlu terlalu jauh merepotkan diri. Cukup menyadarkan ia bahwa perbuatan itu melanggar norma kehidupan bersama. Itu cukup. Karena agama bukanlah polisi moral apalagi barisan regu tembak.
Pada malam-malam yang tak pernah usai, dalam dekaman jeruji dingin, Nyonya Ezpinosa cenderung berandai-andai. Seandainya saja tuduhan pelecehan itu benar, maka mereka tidak perlu merasa ternistakan. Dia pernah membaca, entah di mana, bahwa seseorang tidak mungkin mencemari keagungan Air Terjun Niagara dengan meludahi atau bahkan mengencinginya sekalipun.
Dia teringat akan saudara kandungnya, Luis Ezpinosa, yang hidupnya berakhir di ujung peluru. Dia dihukum mati atas tuduhan meracuni istrinya sendiri, Noni Bonaparte. Di hadapan regu tembak, Luiz dengan mata berapi-api membeberkan kisahnya. Dia mengangkat tangan kanannya, tepat di depan matanya yang bernyala, menekan ujung jari telunjuknya dengan kuku ibu jari dan berkata: “Bagi saya masalah ini kecil sekali. Sangat kecil. Pribadi saya terlampau besar untuk merasa terhina oleh tuduhan picisan semacam ini.” Namun begitulah, hidupnya tetap berakhir di ujung peluru.
Kembali Nyonya Ezpinosa berandai-andai. Seandainya saja tuduhan itu benar, mengapa mereka tidak menangkap lelaki yang bersamanya ia bersetubuh dan menodai keluhuran tubuhnya sendiri? Inilah jawaban mereka: “Walaupun kami melihat mereka tidur bersama-sama di sana, kami tidak dapat menangkap pemuda itu karena ia lebih kuat dari kami. Ia membuka pintu lalu melarikan diri. Tetapi dia ini kami pegang dan kami menanyakan siapa pemuda itu. Ia tidak mau memberi tahu kami. Inilah kesaksian kami.”
Awalnya ia kaget dengan jawaban itu. Tetapi tidak apa-apa. Mungkin lagi zamannya saja melepaskan orang bersalah yang kuat, gede, dan gesit melarikan diri. Sebaliknya, iya sebaliknya kau tahu. Karena ini sudah menjadi kebiasaan, maka Nyonya Ezpinosa menghormati kebiasaan itu. Dia tidak mau memberi tahu siapa pemuda yang dengannya ia telah melecehkan kehormatan agama yang dipercayanya.
Namun sayangnya, Nyonya Ezpinosa salah. Ia mengandai-andaikan suatu peristiwa yang tidak pernah ada. Persetubuhan itu hanyalah rekayasa kedua petinggi Kerajaan yang terbakar api birahi atas keelokan paras dan kemolekan tubuhnya. Dulu, waktu Luiz Ezpinosa, saudaranya itu masih hidup, kedua petinggi kerajaan itu pernah ia cap sebagai orang tua yang sudah beruban dalam kejahatan dan keturunan manusia yang tersesat oleh kecantikkan perempuan dan yang hatinya dibengkokkan oleh nafsu birahi.
Dan seandainya saja Luiz masih di sini, ia akan tahu bahwa perkataannya benar, bahwa kedua orang tua itu telah mendustai kepala mereka sendiri. Sayangnya Luiz sudah dihadapkan pada sederetan regu tembak. Kini hanya tinggal namanya, sebagai orang baik yang pernah hidup dan dikhianati.
Betapa menyedihkannya nasib Nyonya Ezpinosa tanpa kehadiran Luiz di sampingnya terutama di saat-saat seperti ini. Saat ia mendekam di dalam jeruji dingin, tepat sehari sebelum dirinya dihadapkan pada sederetan regu tembak.
Senang berkenalan denganmu. Namaku Susana Ezpinosa. Umurku tiga puluh satu tahun dua bulan tiga hari, seratus tiga puluh dua sentimeter, lima puluh lima kilogram, dan selalu mengenakan pakaian termahal yang bisa dibeli oleh seorang manusia. Kecantikan dan kemolekan tubuhku membangkitkan gairah dalam diri kaum pria dan rasa iri dalam diri para wanita. (Berhubung aku selalu saja jatuh cinta pada karya-karya Paulo Coelho, aku meminjam caranya memperkenalkan Linda, istri miliarder Swiss itu).
Aku memiliki suami yang hebat, yang bukan hanya kaya raya, tetapi juga orang paling terhormat di antara keluarga dan kenalannya. Hendrique Diaz, suamiku itu, memiliki kesempurnaan di dalam dirinya yang dibutuhkan untuk menjadi seorang suami ideal.
Sebagai sebuah keluarga kaya dan terhormat, tentu saja kami memiliki sebuah rumah yang mewah, megah, dan indah. Selain itu, kami memiliki sebuah taman dengan kolam renang yang luas dan indah. Taman itu terletak di belakang rumah dan dipisahkan oleh pagar tembok berpintu. Dari sana engkau bisa menikmati senja paling indah di dunia.
Aku mempunyai kebiasaan berjalan-jalan di taman itu ketika senja tiba. Hampir setiap hari, ketika semua pekerjaan rumah sudah selesai kukerjakan, aku pergi ke taman itu untuk melepas lelah dan menghirup udara segar. Kadang, ketika pikiran terlalu penat, aku suka merendam diri di kolam renang keluarga kami yang luas itu.
Masih segar dalam ingatanku kejadian sore itu ketika aku sedang merendam diri dalam kolam. Aku mengenakan pakaian renang yang sama sekali tidak bisa menyamarkan kemolekan tubuhku.
Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa malapetaka itu menghampiriku. Kedua petinggi kerajaan yang menuntut hukuman mati atas diriku itu datang. Mereka mendatangiku dengan nafsu seekor harimau lapar yang mendapat mangsa. Aku tidak tahu dari mana mereka datang.
Aku tidak perlu memperkenalkan mereka padamu, karena engkau sudah mengenal mereka. Mereka sering kau jumpai dalam banyak wajah dan di banyak tempat di kotamu. Di jalan. Di tempat kerjamu. Mungkin juga di rumahmu dan di tempat tidurmu. Iya di tempat tidurmu. Kadang pula mereka nongol di tempat engkau beribadah pada Tuhanmu. Ada juga yang sering berada di sana.
Kedua orang tua itu adalah representasi golongan garis keras. Keras dalam banyak hal. Termasuk dalam perkara tentang kebenaran. Mereka berpikir nama besar mereka bisa menentukan kebenaran. Dan juga mereka sering berpikir bahwa kebenaran mereka berlaku untuk semua orang.
Mereka berdua datang menemuiku dengan nafsu birahi yang tak mampu mereka sembunyikan. Mereka menangkap, memegang tanganku, dan sesekali-aku malu menulis ini, tetapi blak-blakan sajalah-mereka menangkap, memegang tanganku dan sesekali menggerayangi tubuh dan martabatku. Tubuh yang hanya dibaluti oleh sepotong pakaian renang.
Dan juga martabatku. Martabat yang tidak pernah kuberi ijin untuk ditelanjangi.
“Hai nyonya rumah yang sial. Engkau telah masuk dalam perangkap yang kami rencanakan dan engkau tak pernah mungkin lolos dari sana. Kami menawarkan padamu buah simalakama.”
“Ketahuilah, kecantikkanmu telah merangsang nafsu hewani yang mendidih dalam darahku. Mari berkelana dalam kenikmatan ranjang bersama dua pria terhebat yang pernah terlahir dari rahim seorang perempuan.”
“Jika engkau tidak mau, kami memiliki kuasa untuk memanipulasi orang banyak. Kami akan mengarang cerita bahwa engkau kedapatan berselingkuh dan tidur dengan seorang lelaki yang bukan suamimu. Dan cerita itu sudah cukup bagi kami untuk menyeretmu ke tiang gantung atau lapangan rajam atau ke hadapan sederet regu tembak. Kau tahu kan, kami punya banyak orang yang mendengarkan kami.”
Harga diriku terinjak. Martabatku ditelanjangi. Ingin kuludahi kedua tua bangka ini. Aku dalam keadaan seperti itu, hanya mampu mengumpat dalam hatiku: “Alangkah malangnya nasib ibu yang telah mengandung dan melahirkan kedua manusia ini. Mungkin lebih baik jika mereka tidak pernah dilahirkan. Iya sebaiknya tidak usah dilahirkan.”
“Lebih baik aku mati di hadapan sederet regu tembak daripada menyerahkan keluhuran martabatku padamu. Bangsat!”
Begitulah. Sekarang Susana terpaksa meringkuk dalam ruang penantian yang dingin dan lembap. Esok dia akan berdiri di hadapan sederet regu tembak untuk pertama dan terakhir kalinya.
Namun dia tidak pernah takut karena kebenaran berpihak padanya. Dalam hatinya dia yakin bahwa di saat-saat terakhir dan yang paling menentukan dalam hidupnya, seorang yang sedang berada di luar sana pasti bisa menolongnya.
Menolong dia untuk menyingkap kebenaran. Atau dalam bahasa saudaranya, Luiz Ezpinosa, menelanjangi kebenaran. Membebaskan dia dari tuduhan palsu dan akhirnya pertolongan yang bisa membekuk manusia yang sebenarnya pantas untuk dibekuk dan diseret ke tiang gantung. Ia tahu pertolongan itu ada dan sedang menantinya datang di saat yang tepat.
Iya, Susana sedang menanti saudaranya, Luiz. Apakah di luar sana ada seseorang yang berani menjadi Luiz Ezpinosa bagi Susana? Jika ada, Anda dinanti sampai esok sebelum waktu terlalu tua untuk dikatakan malam dan masih terlalu belia untuk disebut pagi. Tepatnya sesaat sebelum ayam berkokok untuk ketiga kalinya.
* Kisah ini terinspirasi oleh kisah Daniel dan Susana dalam Deuterokanonika. Sedangkan pemilihan nama tokoh, khususnya Luiz Ezpinosa, diadopsi dari nama salah satu tokoh dalam novel Jaring-jaring Kekuasaan karya Salandra.
Tommy Duang, mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tinggal di Flores.
Lee Risar
Mantap bro.. profisiat…
nandainsadani
Wah, pikiran saya tercebur ke suatu kisah di negeri ini yang masih agak-agak hangat. Cerpen yang luar biasa.
rizzaumami
Like this.