Cerpen Zainul Muttaqin (Tribun Jabar, 28 Mei 2017)
KENING Darso berkerut melihat istrinya menggunting sehelai kain kafan dan diukurnya sesuai ukuran tubuhnya sendiri.
“Kenapa kau mengukur kain kafan itu ke tubuhmu?” Pertanyaan suaminya cuma dibalas dengan senyuman oleh Simar. Darso semakin tidak mengerti dengan tingkah pola istrinya karena besok mereka akan berangkat umrah. Tetapi, kenapa sang istri sibuk mengurus kain putih pembungkus jenazah itu. Pikiran Darso tak mampu menjangkau cara berpikir istrinya yang usianya hanya lebih muda dua tahun darinya
“Aku mau basuh kain kafan ini dengan air zamzam,” kata Simar kepada suaminya begitu selesai mengukur kain kafan untuk tubuhnya sendiri. Darso terkejut mendengar ucapan istrinya itu dan membuatnya langsung mengatur napas. Laki-laki yang baru dua tahun menikahinya itu langsung berpikir yang macam-macam soal istrinya. Tiba-tiba saja ia seperti diajak untuk membayangkan kematian istrinya yang terasa sebentar lagi.
“Seolah-olah kau akan segera mati setelah ini. Sementara kita tak tahu kapan mati. Kau membuatku cemas,” Darso merasa ada sesuatu yang ganjil di dadanya. Suara jantung yang tak wajar. Namun ia buru-buru beristigfar. Perasaan ini tak lebih dari rasa takut akan kehilangan perempuan yang teramat ia cintai. Hal ini terlihat dari mata Darso yang menampung genangan air di ceruk matanya yang dalam.
“Kematian sesuatu yang niscaya. Karena kita tak tahu kapan mati. Maka tak salah jika kita mempersiapkannya.” Simar mengucapkannya ringan, disusul senyum mengembang dari bibirnya. Ia sendiri tidak tahu kenapa pagi itu ingin sekali menyiapkan kain kafan untuk dibasuh dengan air zamzam ketika tiba di Mekah nanti. Tetapi, satu hal yang tak sanggup ia mungkiri adalah bahwa Izrail akan datang kapan saja dan tanpa ia sadari kapan malaikat itu akan menarik nyawa satu-satunya yang dimiliki. Mungkin, karena inilah ia punya nyali mempersiapkan kematiannya sendiri.
Suaminya pun mulai waswas melihat gelagat Simar yang menampakkan tanda-tanda menjelang ajal. Darso lebih dibuat tercengang lagi saat lelaki kurus berwajah teduh itu mengetahui sang istri juga sudah mempersiapkan liang lahat bagi dirinya. Tiga hari yang lalu, Simar menyuruh seorang penggali liang lahat menggalikan lubang kubur untuknya. Ia memberikan ukuran luas tanah yang harus digali dekat makam ayahnya yang meninggal dua tahun lalu, tepat saat azan Isya bergetar di udara.
Keinginan Simar untuk menyucikan sehelai kain kafan dengan air zamzam tidak didasari oleh perihal apa pun. Bukan mimpi atau bisikan gaib yang menyuruhnya. Itu dilakukannya atas hasratnya sendiri. Meskipun begitu, ia sendiri nyatanya tidak mengerti, mengapa hari itu menjelang keberangkatan umrahnya yang pertama tiba-tiba saja ia mengikuti suara nalurinya agar membawa kain kafan untuk dibasuh dengan air zamzam.
Melihat sesuatu yang ganjil dari tingkah istrinya, hati Darso dibalur cemas. Ia kerap bertanya-tanya, pertanda apa yang sedang ditunjukkan Allah ini? Pertanyaan itu ia pendam sendiri di dasar hatinya. Belakangan ini, Simar pun sering ingin bermanja-manja dalam rangkulan suaminya. Bagi Darso, ini tak biasa dilakukan istrinya. Sebab, selama menikah Simar tak semanja sekarang ini. Kalaupun istrinya ingin dimanja, tak pernah terasa berlebih seperti ini.
Ditinggal sebentar, Simar langsung merajuk. Darso merasa sangat bahagia, sebab ia merasa dengan ini betapa sejatinya sang istri sangat mencintainya, tapi di lain sisi ia merasa khawatir. Baginya, tak wajar Simar bertingkah macam itu. Gerimis halus basah di kaca jendela. Darso tak mau berpikir yang bukan-bukan soal istrinya. Ia pun beranggapan, bisa jadi tingkah Simar begitu lantaran perempuan itu tengah hamil tiga bulan.
Bulan sebulat semangka menaiki dinding langit. Dari luar jendela terdengar angin berkesiur pelan. Darso melihat istrinya yang baru saja terlelap di pangkuannya. Dengan pelan ia rebahkan kepala Simar di atas bantal. Ia pandangi pula wajah istrinya yang nampak lebih terang dari sinar bulan yang memantul di bibir jendela. Ia mencium kening Simar sesaat sebelum ia coba memejamkan matanya di sisi istrinya tersebut.
Darso tak ingin liang kubur yang disiapkan Simar adalah pertanda datangnya ajal yang diisyaratkan alam kepadanya. Karena jika hal itu benar-benar terjadi, Darso tak tahu lagi apa yang mesti diperbuat. Walaupun begitu, Darso juga sadar sesadar-sadarnya bahwa betapa kematian sejatinya akan menghampiri siapa pun yang bernapas. Oleh karena itu, ia berusaha meyakinkan dirinya kelak jika Simar benar akan meninggal sepulang dari umrah atau setelah melahirkan anak satu-satunya, Darso akan menerima selapang-lapangnya. Meski pada hari itu mungkin dadanya akan terbelah dan air matanya akan mengucur.
Dengan susah payah Darso berusaha memejamkan matanya yang sedari tadi seolah tak bisa dikatupkan sebab selalu dibayangi oleh ucapan Simar perihal kematian. Darso jadi ingat pada gurunya, Kiai Misbah, seorang pengasuh pesantren di Madura. Dulu, Kiai Misbah melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Simar kali ini. Kepada santrinya, Kiai Misbah meminta digalikan kubur di dekat istrinya yang lebih dulu meninggalkannya. Dan benar saja, tiga hari setelah lubang kubur itu digali Kiai Misbah menghembuskan napas terakhirnya saat ia sedang salat, mengimami santri-santrinya di masjid. Ia tak bangun-bangun dari sujudnya.
“Begitulah manusia pilihan. Setidaknya, ia bisa membaca pertanda yang disuguhkan Allah kepadanya sehingga bisa dipersiapkan kematiannya sendiri.” Darso ingat ucapan ini dilontarkan oleh salah seorang pelayat yang menghadiri pemakaman Kiai Misbah. Mengingat kejadian itu, Darso jadi menerka-nerka. Apa Simar termasuk manusia yang dipilih Tuhan untuk mengetahui pertanda kematiannya sendiri? Sesaat kemudian, ia baru bisa memejamkan matanya setelah kegelisahan di dadanya mulai menghilang sedikit demi sedikit.
***
KEDATANGAN Simar beserta sang suami dari Tanah Suci disambut sukacita oleh keluarga dan tetangga dekat. Wajah Darso tidak terlihat seperti biasanya. Wajah lelaki itu kian menakjubkan. Tetapi, wajah Simar tak kalah menakjubkan pula. Keduanya sudah membasuh wajahnya dengan air zamzam. Kerabat yang datang banyak bertanya soal Kabah, Masjid Nabawi, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tanah Suci. Namun di sela-sela perbincangan itu, secara tiba-tiba Simar berujar. “Aku pun sudah membasuh kain kafan ini dengan air zamzam. Sebentar lagi akan kupakai kain ini.” Sontak semua mata tertuju padanya. Darso berusaha menahan degup jantung yang secara tiba-tiba pula seperti akan lepas dari tangkainya. Sejenak di ruang tamu itu hanya detak jam yang terdengar morat-marit di atas dinding.
“Apa maksud ucapanmu itu Simar?” Wajah serius yang ditampilkan Simar membuat salah seorang tetangga yang ikut menyambut kedatangannya jadi bertanya sekaligus merasa terkejut.
“Semua orang kelak pada saat kematiannya pasti akan pakai kain kafan. Ini dibasuhnya biar berkah.” Darso mendahului jawaban yang akan dikatakan istrinya. Lelaki itu cuma tak ingin apa yang kerap dilontarkan Simar perihal kematiannya selama ini diketahui banyak orang. Cukup dia yang menanggung waswas jika apa yang diucapkan Simar selama ini benar-benar jadi nyata.
Satu hal lagi yang diinginkan Darso. Simar tak benar-benar jadi meninggal secepat ini. Meski lubang kubur telah digali dan kain kafan sudah dibasuh tiga kali dengan air zamzam, Darso mengharap tak akan terjadi apa-apa dengan istrinya, terlebih Simar sedang mengandung anak pertamanya. Dengan doa-doa yang kerap dipanjatkan Darso agar dipanjangkan umur istrinya, ia yakin Simar akan terus menemaninya hingga usia senja. Darso, yang berencana memiliki tiga anak, tentu tak ingin Simar dijemput Izrail secepat ini. Tiap malam, doa yang dipinta Darso kepada Tuhan cuma satu, yaitu dipanjangkan umur sang istri dan tak jadi nyata ucapan istrinya yang selalu bilang akan meninggal sesegera itu.
Tapi, setelah Simar melahirkan anak laki-laki, kepada Darso ia bilang agar kain kafan yang disimpannya di dalam lemari diambil dan dibungkuskan ke tubuhnya. Laki-laki itu tercengang bukan kepalang. Ia masih menggendong bayi laki-laki yang wajahnya sama persis dengan Darso, cuma hidungnya yang mancung mirip dengan Simar. Darso memandang wajah istrinya tanpa berkedip. Ia tahu ada yang ganjil dari wajah sang istri. Wajah itu tak lagi semringah. Pada detik kesekian Simar meninggalkan anak dan suaminya. Tangan Darso mengusap wajah istrinya, disusul derai air mata yang jatuh ke lantai.
Kain kafan yang sudah dibasuh air zamzam itu diambil oleh Darso. Ada tulisan kullu nafsin dzaiqatul maut yang ditulis pada selembar kertas di dalam sehelai kain putih itu. Darso tahu, jauh-jauh hari Simar memang sudah mempersiapkan kematiannya itu. Walaupun doa yang dipanjatkan Darso tak terkabul, ia yakin seyakin-yakinnya bahwa cuma Allah yang mengetahui rahasia di balik peristiwa ini.
Jenazah akan dikebumikan nanti sore selepas salat Asar. Liang kubur yang sudah digali beberapa bulan lalu digali lagi karena tertimbun tanah. Warga yang datang melayat sungguh tak pernah terduga akan sebanyak itu. Darso sendiri merasa paling cuma sebagian warga yang akan ikut mengantar istrinya ke pembaringan terakhir. Darso bukan siapa-siapa. Bukan ustaz, apalagi kiai. Itulah mengapa ia berpikiran semacam itu.
“Cuma manusia yang dekat dengan Tuhannya yang sanggup mempersiapkan kematiannya sendiri dan mengetahui tanda kematiannya,” kata salah satu pelayat yang ikut menggotong keranda ke pemakaman. Saat jazad Simar dibaringkan di liang kubur, kain kafan itu menebarkan wewangian. Wanginya sangat lembut. Tak pernah ada wewangian sewangi dan selembut itu. Darso tersenyum di dekat pusara. Ia cuma menduga-duga bahwa itu pertanda amal baik sang istri. Bunga-bunga ditabur di atas pusara. Tinggal Darso seorang diri di dekat pusara sedang menyiramkan air zamzam pada kubur sang istri seraya mengecup ujung batu nisannya.
***
Leave a Reply