Oleh Setta SS (Eramuslim, 15 Februari 2008)

Berempati pada Makhluk-Nya ilustrasi http://clipart-library.com
LANGIT senyap. Waktu menunjukkan lewat dini hari. Saya beranjak pulang dari sebuah warnet. Menyusuri jalanan sepi, ekor mata saya menangkap sosok seekor anjing yang sedang mengais-ngais sisa makanan di tempat sampah di sebrang jalan sana. Saya diam sejenak memperhatikan tingkahnya. Anjing itu tampak kelaparan sekali. Indra penciumannya yang tajam mengendus tumpukan plastik berisi aneka macam sampah itu. Sesekali kaki depannya ikut mengorek-ngorek.
Ah, tiba-tiba hati saya terenyuh melihatnya. Saya pernah merasakan malam-malam kelaparan seperti anjing itu dulu. Saat-saat akhir kuliah sekitar tahun 2003. Uang kiriman bulanan saya lebih sering sudah habis di akhir bulan sebelum sampai kiriman bulan berikutnya. Saya pernah beberapa hari tidak makan nasi, hanya makan gorengan dan minum air putih saja. Beruntung ada seorang teman akrab yang bersedia meminjami uang saat keadaan sudah sangat memaksa.
Teringat hal itu, kaki saya berbalik kembali melangkah ke arah warnet. Saya membeli satu bungkus roti yang dijual di sana. Keluar dari warnet, saya menyebrang jalan mendekati posisi dimana anjing itu berada. Saya tidak takut anjing, tetapi harus tetap menjaga jarak. Karena anggota badan anjing termasuk bulunya adalah najis mugholadlah (najis berat) yang bila menyentuhnya maka anggota badan saya yang menjamahnya harus dibasuh tujuh kali dan salah satunya dengan debu yang suci untuk mensucikannya.
Anjing itu menyadari ada orang asing mendekatinya. Ia memandang ke arah saya dan menghentikan aktivitasnya. Setelah jarak kami cukup dekat, saya mencuil roti di tangan saya dan melemparkannya ke depan anjing itu.
Oh, Tuhan! Anjing itu bukannya melahap roti yang saya lemparkan kepadanya, tetapi ia malah berlari dengan cepat meninggalkan saya yang terbengong sendirian di dekat tumpukan sampah itu.
Saya mencoba untuk memakluminya. Boleh jadi, anjing itu tak biasa diberi makan oleh manusia seperti umumnya anjing-anjing yang berkeliaran di kota-kota besar tanpa ada pemiliknya. Dan, saya tidak akan pernah menyesali tindakan saya dini hari itu.
Saya teringat riwayat shahih tentang seorang wanita tuna susila yang menggunakan sepatunya untuk tempat minum seekor anjing kehausan yang menghampirinya. Wanita tuna susila itu dimasukkan Allah ke dalam surga-Nya.
Saya teringat kisah seorang tua dari Khurasan yang lebih memperhatikan seekor anjing yang kelaparan hingga selesai memberinya makan daripada kehadiran Imam Ahmad yang akan menanyakan sebuah hadis kepadanya.
Orang tua itu berkata pada Imam Ahmad, “Di kampung ini tidak ada anjing. Tiba-tiba anjing ini datang kepadaku dalam keadaan lapar. Ia mengharap padaku agar aku memberinya makan. Aku tidak mau memutus harapannya hanya karena kedatanganmu.”
Begitulah, saya belajar berempati pada makhluk-Nya. Tak terkecuali pada seekor anjing sekalipun. (*)
Yogyakarta, 15 Februari 2008 o1:49 a.m.
M. Ridwan
mas setta, tolong kirimi alamat email eramuslim untuk cerpen dan puisi..