Oleh Setta SS (Kotasantri, 01 Februari 2010)

Kado Cinta dari Anggita ilustrasi http://animalia-life.club
SEPERTIGA akhir Januari 2007. Saya pulang beberapa hari ke kampung nenek kakek saya, tak jauh dari perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Selain melepas kangen, saya ingin menyepi sejenak dari hiruk-pikuk kebisingan kota yang identik dengan persaingan hidup. Saya rindu suara binatang malam—bukan hilir mudik kuda besi dan kendaraan roda empat penyebab polusi, yang akan terdengar syahdu ketika malam menjelang.
Saya menghabiskan masa balita, anak-anak, remaja, hingga lulus SMA di sana. Dan, berjuta kenangan terpatri kuat dalam memori saya hingga kini. Satu episode yang tak mungkin terlupakan adalah masa-masa saya aktif mengaji setiap sore hari kecuali hari Jum’at di sebuah Maddin (Madrasah Diniyah) atau TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) sejak pertengahan tahun 1992, saat saya duduk di bangku SD kelas 5. Seiring berjalannya waktu, saya dan seorang teman seangkatan dipercaya menjadi koordinator TPA ketika kelas 1 SMA hingga menjelang kelulusan. Pertengahan tahun 1999, saya meninggalkan kampung kecil itu. Dan setelah hampir lima tahun merantau untuk melanjutkan studi, saya mudik dan sempat mengajar kembali di TPA yang sama.
Di antara puluhan santri, ada seorang murid kesayangan saya di kelas Khatam Iqra. Namanya Anggita Nurrahmah. Posturnya imut dan agak kurus. Anggi masih kelas 4 SD. Selain paling rajin berangkat ke TPA, Anggi juga cerdas. Bacaan Al-Qur’annya tartil dan hafalannya banyak. Untuk mata pelajaran Juz ‘Amma, hafalannya paling banyak di kelas. Dan karenanya, Anggi pernah mengikuti lomba hafalan juz ke-30 Al-Qur’an itu di tingkat kabupaten mewakili sekolahnya.
Pada suatu kesempatan, Anggi meminta biodata lengkap saya. Sebelum saya berpamitan untuk kembali meninggalkan kampung sarat kenangan itu. Beberapa kali saya pernah mudik, namun tidak sempat ngobrol dengan Anggi. Hingga saat mudik kemarin itulah, saya kembali bertemu Anggi. Menjelang shalat isya, saya berangkat ke masjid. Di depan sebuah rumah tak jauh dari masjid, Anggi dan tiga orang teman ngajinya dulu ‘mencegat’ saya. Dan, kami ngobrol santai melepas kangen.
Saat itulah, tanpa saya duga sebelumnya, Anggi menyerahkan sebuah bungkusan kado yang tadi disembunyikannya. Saya jadi bingung dan bertanya-tanya sendiri dalam hati tak mengerti. Tetapi, saya tidak ingin merusak kebahagian Anggi yang tampak ceria sekali saat itu dengan menanyakan kado dalam rangka apakah itu.
“Terima kasih, Nggi,” kata saya menanggapi ucapan Anggi, “Ini untuk Ustad,” beberapa saat sebelumnya.
Di kamar saya di rumah nenek, sepulang dari masjid, saya sobek kertas pembungkus kado yang cukup besar itu. Dan.…
Ini dari Anggita, muridmu. Hadiah ini tidak bisa saya berikan tepat waktu. Saya cuma bisa beri hadiah hari ini. Hadiah ini cuma sederhana, semoga bermanfaat. Saya cuma bisa ngucapin, “Selamat Ulang Tahun yang ke-25. Semoga panjang umur dan tercapai cita-citanya. Amin.”
Tulis Anggi dengan tulisan tangan di selembar kertas berlatar dominan warna coklat dengan gambar-gambar bunga dan hati bertebaran di sekelilingnya. Di bawah tulisan Copricorn—Humorous-Confident-Diligent-Responsible.
Saya hanya bisa melongo beberapa jenak setelah selesai membacanya. Serasa sedang bermimpi saja. Kemudian tersenyum sendiri dengan hati berbunga-bunga dan takjub. Subhanallah!
Sungguh, bukan nilai nominal hadiah yang diberikan Anggi, tetapi makna dan perhatiannyalah yang sangat berharga bagi saya. Bahkan, adik-adik saya sekalipun belum pernah memberikan ucapan hari lahir sekaligus dengan sebuah hadiah pada saya.
Senyum saya semakin mengembang saat teringat kembali ketika Anggi meminta biodata lengkap saya dulu. Ternyata Anggi masih mengingat tanggal kelahiran saya yang bertepatan dengan hari Ibu di negeri ini itu.
Terima kasih, Anggi, telah mengingatkan tentang esensi cinta dan kasih sayang yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. lewat sebuah sabdanya, “Berikanlah hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (H.R. Bukhari)
Ustad juga mencintai Anggi karena Allah. (*)
Yogyakarta, 21 Februari 2007 10:59 p.m.
Desfortin
Itu true story gitu ya?
lakonhidup
Betul, Mas.