Cerpen M. Daniel Ilyas (Republika, 16 Oktober 2011)
SEJUTA tahun yang lalu, sebuah gunung meletus di Pulau Sumatra. Kawah gunung menjelma menjadi sebuah danau. Proses alamiah selama ribuan tahun mengubah dinding kawah menjadi deretan bukit subur memagari danau. Di utara, tanah landai menghampar dari kaki bukit sampai ke tepian. Di tempat lain, dinding bukit semakin merapat ke tepi danau. Di dalam rimba raya, pohon Meranti, Pulai, dan Surian tumbuh besar-besar dan tinggi.
Beberapa abad yang lalu, dari tempat asal berbeda, rombongan demi rombongan pendatang berbondong-bondong membangun jorong dan nagari di selingkar danau. Kaum laki-laki dari setiap suku bergotong-royong membalak hutan belantara menjadi sawah, ladang, dan permukiman saudara-saudara perempuan mereka. Di tanah landai, mereka mengeruk sawah dan ladang tempat menanam padi dan palawija. Di lereng-lereng bukit, mereka menanam tanaman keras, kayu manis, cengkih, dan durian.
Tanah hasil membabat hutan itu mereka jadikan pusako tinggi yang diwariskan dari ibu kepada anak perempuannya. Dari anak perempuannya itu kepada anak perempuannya pula. Begitulah seterusnya menurut garis ibu. Orang laki-laki, selama dia masih hidup, boleh mengambil sebagian kecil hasil sawah, ladang, dan tanaman keras itu, tetapi dia tidak boleh menjual atau mewariskan kepada istri dan anak-anaknya. Hanya harta hasil pencariannya yang disebut pusako randah boleh dijual atau dihibahkan kepada istri dan anak-anaknya.
***
Jika tidak terjadi kudeta berdarah tahun 1965, pada tahun itu, Hamdani telah pulang ke Indonesia. Dia telah selesai mengikuti pendidikan di bidang perminyakan di Ukraina. Dengan demikian, beasiswa yang diberikan pemerintah kepadanya sudah berakhir, tetapi Hamdani tidak berani pulang. Dia khawatir sampai di Tanah Air ditangkap tentara, menyusul kudeta yang gagal itu. Waktu itu, Hamdani sempat mengirim surat kepada ayahnya. Surat itu dititipkan Hamdani kepada sahabatnya, Budiman, saat mereka berpisah di stasiun kereta api Ostbhnhof Berlin. Budiman pulang ke Indonesia menggunakan pesawat udara dari Frankfurt. Hamdani meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Paris.
Ayah, selama belajar di negara komunis, aku tetap seorang Muslim yang taat. Aku tidak berani pulang sekarang karena situasinya tidak memungkinkan. Aku takut dituduh anggota atau simpatisan ormas yang berafilisasi dengan Partai Komunis Indonesia. Pada musim panas yang lalu, aku mengikuti pertemuan para pemuda dan pelajar dari negara-negara New Emerging Forces yang sedang belajar di negara-negara Eropa Timur di Bukarest. Pertemuan itu memprotes campur tangan Amerika Serikat di Vietnam Selatan. Surat kabar yang terbit di Bukarest memuat fotoku sedang membacakan petisi. Foto yang sama tentu juga dimuat surat kabar yang terbit di Jakarta. Semangat anti-Nekolim yang dikobarkan Bung Karno beberapa tahun terakhir ini mendorongku pergi ke Bukarest. Ayah, maafkanlah aku karena tidak dapat memenuhi harapan ayah menjadi orang pertama dalam keluarga kita yang menjadi pegawai negeri.
Setelah itu, Hamdani tidak pernah lagi berkirim surat kepada ayahnya. Dia tidak sampai hati gara-gara menerima suratnya, ayahnya dipanggil tentara.
Di Paris, Hamdani bergabung dengan pekerja imigran asal Aljazair, tinggal berdesakan di rumah petak kumuh dan sumpek, tetapi sewanya mahal. Rumah petak itu milik tuan Louis Duvalier. Setiap awal bulan, anak perempuannya, Laura, yang masih kuliah pada jurusan antoropologi di sebuah universitas, membantu dia memungut sewa dari para pekerja. Alamat tempat itu diperoleh Hamdani dari seorang pemuda Aljazair yang dikenalnya dalam pertemuan di Rumania. Para pekerja pendatang itu bersimpati kepada Indonesia karena Indonesia selalu mendukung perjuangan rakyat Aljazair waktu merebut kemerdekaan dari Prancis. Mereka sebagian besar bekerja sebagai pekerja kasar di proyek-proyek pembangunan infrastruktur. Hamdani sendiri selama tiga tahun bekerja mengemudikan buldoser dan mengoperasikan ekskavator di proyek pembangunan perumahan dan jalan raya.
***
Pagi itu, Hamdani dan para pekerja sedang menunggu truk yang akan mengantar mereka ke tempat pembangunan perumahan. Laura datang tergopoh-gopoh menghampiri para pekerja. Wajahnya pucat pasi, air matanya bercucuran.
“Tolong, Tuan-tuan, ayah saya jatuh pingsan di kamar makan selesai sarapan.” Para pekerja saling berpandangan.
“Ayahmu pernah menderita sakit apa?” tanya Hamdani memecah kebingungan itu.
“Empat tahun yang lalu, dokter mendiagnosis ayahku menderita sakit jantung koroner.”
(Waktu masih remaja, Hamdani pernah bergabung dengan kepanduan Hizbul Wathan. Mereka diajari hidup saleh dan mandiri, serta mampu memberikan pertolongan pertama dalam keadaan darurat, termasuk menolong orang yang terkena serangan jantung).
Hamdani dan para pekerja buru-buru menuju rumah Laura. Hamdani segera menaruh bantal di bawah kepala tuan Duvalier yang terbaring di lantai. Dia mulai menekan-nekan dada kiri Tuan Duvalier dengan kedua telapak tangannya seperti seseorang yang sedang memompa sesuatu. Tidak ada reaksi. Hamdani kembali memompa dengan harapan, jantung si sakit bekerja kembali. Tuan Duvalier tersentak dari pingsan. Perlahan-lahan dia mulai bernapas.
“Laura, cepat bawa ayahmu ke rumah sakit terdekat. Dia perlu perawatan dokter ahli. Aku bukan dokter. Aku hanya tahu memberikan pertolongan pertama.” Dibantu beberapa orang pekerja, Hamdani membopong tubuh Tuan Duvalier ke dalam mobil. Laura langsung melarikan mobil itu.
Sejak itu, Hamdani dan Laura menjadi akrab. Bahkan, Hamdani mau menceritakan latar belakang kehidupannya sehingga dia menjadi seorang stateless dan terdampar menjadi pekerja bangunan di Kota Paris.
“Sebuah perusahaan minyak multinasional membutuhkan tenaga para insinyur untuk dipekerjakan pada proyek eksplorasi minyak lepas pantai di Qatar, sebuah negara kaya minyak dan gas alam di Teluk Persia. Kau harus coba melamar ke perusahaan itu.”
“Mereka pasti menolak lamaranku karena aku lulusan sekolah perminyakan dari Uni Soviet.”
“Ayahku seorang lawyer. Aku akan minta tolong kepadanya supaya dia mau menjamin bahwa kau bukan seorang komunis.”
***
Memasuki masa pensiun, Hamdani dan Laura serta dua orang anak perempuan mereka kembali ke Paris. Walaupun hidupnya senang di negeri orang, Hamdani tetap rindu akan kampung halamannya. Desir angin di daun nyiur, empasan ombak di tepian, dan gemuruh air danau masuk Batang Antokan selalu terngiang-ngiang di telinganya. Kaul Hamdani, sebelum aku menutup mata di tanah rantau, aku bisa pulang menziarahi makam kedua orang tuaku dan menjenguk rumah warisan ibuku.
***
Dari Bandara Internasional Minangkabau, Hamdani naik taksi menuju kampung halamannya di sisi timur danau purba itu. Selesai berziarah ke makam kedua orang tuanya, Hamdani pergi mengunjungi rumah warisan ibunya tidak jauh dari pendam pekuburan itu. Tanah perumahan dan rumah tua itu, termasuk Pusako Tinggi suku. Hamdani tidak memiliki saudara perempuan, karena itu, selama dia masih hidup, dialah satu-satunya ahli waris tanah perumahan dan rumah tua itu. Setelah dia meninggal, hak waris tanah perumahan dan rumah itu sesuai ranji, jatuh kepada salah seorang perempuan dalam satu suku walaupun hubungan kekeluargaan mereka sudah jauh. Rumah itu sebuah rumah tradisional berlantai tinggi, berdinding papan, dan beratap seng. Dari pintu depan, tangga kayu menjulur ke halaman. Di kiri dan kanan pintu, menganga dua buah jendela yang selalu siap melahap udara segar dan cahaya matahari masuk. Di halaman, terdapat tebat, tempat memelihara ikan air deras. Tanah di samping rumah ditanami pohon pisang, pepaya, dan singkong. Hasilnya berlebih untuk dimakan sekeluarga. Di samping dapur, berdiri kokoh sebatang pohon alpukat berusia tua. Buahnya besar-besar dan lebat kalau lagi musim. Di kolong rumah, Hamdani biasa bermain bersama teman-temannya.
Jejak masa kecil Hamdani di rumah tua itu sudah tertimbun di bawah bangunan rumah baru berlantai rendah, berdinding tembok, dan beratap genting. Kusen jendela dan pintunya dicat berwarna kulit manggis. Kedua daun jendelanya dihiasi kaca patri warna-warni dengan lukisan sulur-sulur bunga. Di ruang tamu, tergantung serangkai lampu kristal yang menimbulkan bunyi gemerincing apabila tertiup angin. Garasi mobil yang menyatu dengan rumah pintunya tertutup rolling door. Sebuah taman di halaman dilengkapi dengan lampu antik yang indah sekali. Di kedua sudut halaman, tumbuh rimbun dua rumpun palem merah. Hamdani terpaku memandang semua itu. Dadanya terasa sesak. Buru-buru ia pergi meninggalkan tempat itu. (*)
.
.
Depok, 10 September 2008
M Daniel Ilyas adalah mantan editor in chief TVRI Pusat dan Kepala Seksi Pemberitaan TVRI Stasiun Manado, Makassar, dan Bandung. Setelah pensiun dari PNS, sempat bekerja di Stasiun TV Indosiar Jakarta. Cerpen-cerpennya, antara lain, dimuat di Majalah Sastra, Kartini, Majemuk, dan Republika. Saat ini tinggal di Depok, Jawa Barat.
.
Joni Mariko
….garis takdir laki2 minang..hufft