Cerpen S. Jai (Jawa Pos, 23 Oktober 2011)
ANAK pertamaku lahir ketika suamiku kehilangan pekerjaan. Meski kehamilanku saat itu direncanakan, ternyata Tuhan berkehendak lain. Suamiku dipecat dari perusahaan tempat ia bekerja selama bertahun-tahun.
Selang kurang dari dua tahun, anak keduaku turun ke dunia waktu suamiku masih pengangguran. Jelas kali ini si jabang bayi lahir dari kehamilan yang tak terencana. Seingatku itu terjadi akibat kami tak mampu secara rutin membeli kondom antihamil.
Lantas, kendati putri ketigaku terpaut waktu cukup lama, dan lahir tatkala suamiku telah mendapat kerja, yang kuingat kehamilanku tersebab aku sering lupa menenggak pil anti hamil. Kupikir suamiku sering bepergian ke kota dan kepulangannya tak terjaga, maka minum pil anti hamil secara teratur pun kupikir apalah gunanya.
Yang terjadi, maka terjadilah. Anehnya, anak-anakku lahir pada malam hari. Jerit tangisnya keras luar biasa, yang justru membuat perasaanku tenang dan berbahagia, sekalipun sulit kutemukan alasan kenapa bisa bahagia.
Kecuali: Buatku, menangis berarti kabar baik baginya.
Namun bukan itu semua yang hendak kukisahkan. Bukan pula bagaimana semestinya dalam pikiranku, kami memberinya nama pada anak-anak kami, semisal Sluman Slumun Slamet pada anak pertama, Kondom Bocor pada anak kedua atau Usus Buntu pada anak ketiga. Bukan itu.
Yang ingin kuceritakan hanyalah bahwa cinta itu ada pada saat aku membongkar bangunan kasih sayang. Tuhan hadir justru ketika aku melupakan dan sibuk menyembunyikan perhatian pada segenap jiwaku, milikku, masalahku—banyak anak, maka berlimpahlah segala masalah dan beratus petuah.
***
SEGALA tanda itu, ternyata telah datang di malam hari.
Seperti malam itu, ketika pulas tertidur, kupandangi putriku—anak ketigaku—yang telah sepakat kuanugerahi nama Usus Buntu dalam pikiranku. Parasnya yang mungil terlihat cantik. Kelak begitu banyak kisah tangis dan airmata yang luar biasa menyertai kehadirannya.
Sejak sebelum kehamilanku yang ketiga, lebih tiga tahun lalu, saat yang teramat suram buatku. Pernikahanku benar-benar diambang kehancuran. Pertengkaran yang meluluhlantakkan hati dan perasaan tak pernah berselang. Sebab itulah, aku tak pernah mau disentuh lagi oleh suamiku. Apalagi untuk bersetubuh. Kupegang teguh ajaran moyangku yang beragama. Suamiku telah menyetujui untuk bercerai denganku. Tak cuma disampaikannya melalui SMS, dibuktikan pula dengan surat tertulis dan ditandatanganinya.
Saban malam menjelang, ketakutanku pun datang. Suamiku akan mulai menjamah tubuhku, sementara aku bersikukuh tak mau. Aku bertambah takut, setiap dia memaksaku dengan tenaganya yang bukan tandinganku. Pastilah aku kalah. Dia mengakhiri hasratnya, seiring aku terisak-isak dengan kesakitan yang tidak saja kurasakan pada fisikku, namun jauh di dasar hatiku.
Entah sudah keberapa kali kejadian itu, berulang dan terulang pada malam-malamku. Aku tak mengingatnya karena tidak penting buatku ingat atau tidak. Malam pun menutup malam yang lain. Ketika hatiku mulai melunak, juga perasaan suamiku mulai bisa menerima kenyataan, tersebab kejadian itu, aku mulai ragu keabsahan ikatan pernikahan kami.
Kuajak serta suamiku untuk konsultasi ke guru agama. Beberapa guru ngaji menambah kuat keraguanku. Bahwa perceraian sudah ada di depan mata. Apalagi aku sudah beberapa kali melayangkan keinginan untuk berpisah. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah kami masih bisa rujuk kembali setelah peristiwa itu? Ataukah aku harus menikah dulu dengan orang lain dan bercerai untuk dapat kembali pada suamiku?
“Aturan agama, mengajarkan begitu memang,” ungkap seorang ustadz suatu kali.
“Perbuatanmu itu sudah terbilang zina!” sergah guru ngaji jebolan pondok pesantren kesohor. “Jadi bercerailah,” imbuhnya kali lain.
Waktu berlalu. Tubuhku pun mengalami sesuatu yang tidak kutahu. Aku hanya kawatir pada perut bagian bawahku rasanya ada yang mengeras. Semula tak pernah di benakku bahwa aku hamil karena aku peserta akseptor KB hormonal. Kukisahkan seperti ini kumaksudkan sengaja menghilangkan kejutanku. Memang terkadang aku lupa meminumnya. Persetubuhan dengan suami juga terhitung kadangkala saja, bila suamiku sedang rehat di rumah dan berhasrat.
Kegalauanku tersebab petaka ini gayung bersambut dengan kegundahan suamiku. Kuminta suamiku untuk sudi membelikanku test pack, alat penguji kehamilan. Begitu sampai di tangan, setelah menunggu waktu semalam, pagi-pagi langsung kutes urineku. Hasilnya negatif. Pagi itu juga aku sudah lupa isi perasaanku. Seingatku hanya petaka dan petaka. Hamil pun petaka. Terlebih bila tidak hamil, ini petaka lebih besar: penyakit berat bersarang di tubuhku.
Jalan lainnya, aku musti memberanikan diri periksa di seorang mantri kesehatan, biarpun laki-laki. Keluhanku kusampaikan. Tak terkecuali hasil test pack. Dalam pikiranku mulai tumbuh sesuatu yang lain ketika usai kuberbaring, mantri itu memeriksaku dengan cara yang mengejutkan.
“Silakan duduk, Bu,” ucap mantri itu.
Aku pun lantas duduk dan pinggangku dipukul keras dari belakang.
“Bagaimana? Ada bagian dalam yang sakit?”
Aku menggeleng.
Lalu, sang mantri kembali memukulku lagi.
“Periksalah segera ke laboratorium. Mungkin ada kristal di kandungan urine Anda,” Katanya yakin, meski dengan kata mungkin.
Pukulan mantri itu masih tersimpan rapi di pikiranku. Ya, pukulan yang sesungguhnya cukup untuk merontokkan senyawa janin.
Hmmm…mantri keblinger, pikirku.
***
PUKULAN mantri itu memaksaku ke rumah sakit untuk segera check up. Maksudku periksa ke dokter spesialis kandungan dan ingin segera mendapat laporan medis dari hasil ultrasonografi alias USG. Sialnya, hari itu dokter kandungan yang ada baru buka sore hari. Artinya aku tidak bisa periksa padanya karena jarak rumahku begitu jauh dengan rumah sakit itu. Lalu, aku pun disarankan ke dokter umum saja. Aku mengikuti saran orang kesehatan itu. Sudah pasti melalui prosedur standar, aku diperiksa mulai mata, perut, tekanan darah, mulut. Kusampaikan hasil test pack-ku yang negatif, plus informasi aku juga menstruasi teratur tiap bulan. Namun, dokter yang kutemui tidak bisa memastikan penyakitku. Aku pun kemudian disarankan untuk UL dan DL, artinya tes urine lengkap dan darah lengkap.
Pada hari lain, pergilah aku ke laboratorium yang dimaksud. Aku disuruh untuk menampung urineku di gelas kecil. Aku agak was-was dan malu. Semalam, aku habis bercinta dengan suamiku. Apakah nantinya tidak ketahuan dari urine itu? Bisa saja sperma suamiku ada di dalamnya. Duh… aku benar-benar malu kalau nanti ditanya soal itu. Setelah urusan urine selesai, aku ke ruang berikutnya untuk pengambilan darah. Setelah itu, aku diminta menunggu beberapa saat untuk mengetahui hasilnya.
Tidak berapa lama, hasil pemeriksaan laboratoriumku sudah bisa kuperoleh. Aku lalu membawanya kembali ke dokter umum yang merujukku. Tentu saja dokter itu membaca hasil rekaman medis yang sama sekali tak kumengerti itu.
“Ibu kemungkinan besar terkena usus buntu,” terang dokter itu.
“Ha? Kemungkinan? Jadi sejauh pemeriksaan seperti ini masih berupa kemungkinan hasilnya, Dok?” ketaksabaranku mulai mengemuka.
“Untuk memastikannya, silakan anda periksa ke dokter khusus penyakit dalam,” tukas dokter itu.
Aku hanya bisa menggerutu. Dan yang pasti mengelus-elus dada hingga perutku.
Selanjutnya oleh dokter itu, aku dipersilakan berbaring dengan posisi kaki tertekuk. Lalu dia menekan-nekan perutku sambil bertanya sakit atau tidak. Ketika kurasakan sakit, tentu saja aku bilang sakit. Kemudian aku disuruh duduk di depan mejanya. Kali ini dokter itu berani memastikan bahwa aku terjangkit usus buntu.
“Ya, usus buntu,” tandas dokter itu juga menyakinkan diri.
Aku menghela nafas, tidak jelas.
“Untuk pengobatannya, bisa diberi obat jalan, namun penyakit itu tidak sembuh total, hanya bersifat sementara. Nanti akan kambuh-kambuh lagi. Saran saya, sebaiknya Anda melakukan operasi saja. Sehari sudah boleh pulang dan biayanya sekitar 5 juta,” terang sang dokter.
Aku tidak memberi keputusan saat itu juga. Jadi aku diberi resep untuk kutukarkan dengan obat di apotek: obat pelenyap penyakit usus buntu.
Obat usus buntu itu harus kuminum dengan rutin dan sampai habis. Kenyataannya, biarpun obat itu telah habis dan kembali kutebus dari resep yang sama, namun perutku kurasakan kian membesar saja. Celana dan bajuku kurasakan menyempit. Aku bertambah gelisah. Ada apa sebenarnya dengan tubuhku? Lebih tepatnya perut atau rahimku? Kanker rahimkah, kista rahim ataukah batu yang berdiam di situ tanpa setahu ilmu pengetahuan tercanggih sekalipun?
Sungguh, beribu gelisah memenuhi pikiranku.
Seiring gundahku yang membuncah, pecah pula bangun rumah tanggaku. Pagi itu, aku dan suami pergi ke KUA untuk pintu akhir konsultasi mengenai nasib pernikahan kami. Mentalku sudah kupersiapkan untuk mendengar kemungkinan terburuk dari pernikahanku. Juga suamiku, kupikir dia juga gelisah menghadapi situasi yang akan kami hadapi pagi itu. Segala dalil agama di mata para guru telah membuntuku. Di KUA, kuceritakan apa yang telah terjadi, dan hasilnya sungguh membuat kami bisa tersenyum, karena jauh di luar dugaanku: Perkawinan kami masih dinyatakan sah.
Di sebalik status perkawinan kami yang di tubir jurang itu, gelisah tentang tubuhku masih mengelayuti pikiran. Hingga malam itu, dengan diantar suamiku aku periksa ke dokter spesialis kandungan. Tentu saja berbiaya mahal. Kusampaikan apa yang telah terjadi padaku, juga tentang kisah usus buntu yang hingga kini meracuni pikiranku itu.
Walhasil aku sukses mendapatkan pemeriksaan USG.
***
“HAMIL….”suara dokter itu enteng dan lirih.
“Hamil?” kutekan suaraku karena kejutan yang sangat menyesakkan.
“Lihat, itu ada janinnya,” mataku digiring ke arah layar monitor.
Memang aku menangkap bayang sebentuk janin yang bergerak-gerak di layar itu.
“Usianya ?” tanyaku masih dengan suara gemetar.
“Lima bulan.”
Ya Tuhan, jadi selama ini aku tidak menyadari kehadiran bakal anakku. Bahkan lima bulan telah berlalu. Jawaban dokter menumbuhkan banyak kegalauan, yang berbaur sekian rasa di samping perasaan lega karena aku tidak terkena kanker atau tumor. Galau karena selama ini banyak kejadian yang telah menimpaku, yang seharusnya aku hindari atau aku cegah.
Aktivitasku yang kerja sepanjang waktu di luar harus berpindah dari satu tempat kerja ke tempat lain, dengan kondisi jalan rusak berbatu melintasi hutan dan peladangan, terang saja adalah hal pertama yang sangat mengancam keselamatan janinku. Kucoba mengingat kesalahanku berikutnya. Dugaanku yang sangat salah atas fleks-fleks merah saban bulan sebagai menstruasi, semestinya kuwaspadai sebagai pendarahan, yang bisa mengancam pula kelangsungan janin di perutku. Juga persetubuhan kasar suamiku setiap kali ada penolakan dari tubuhku.
Menyusul kemudian berkelebat bagai di layar-layar depan mataku, bagaimana aku menggelisahkan karena sekian lamanya hari aku telah meminum obat pemusnah usus buntu! Ya, Tuhan, apa yang akan terjadi dengan anakku karena aku mengkonsumsi obat-obatan itu? Aku kuatir dan takut anakku akan lahir tidak sempurna. Seperti yang terjadi pada adikku dulu, ketika ibu tak menginginkan kehamilannya, dan ternyata mengandung janin yang tak dikehendaki, ibu lalu keras menggelontornya dengan ramuan tradisional untuk melenyapkannya meski pada kenyataannya adikku tetap lahir ke dunia, dengan satu mata yang lebih kecil karena ditumbuhi semacam kutil. Seorang sepupuku juga demikian, karena hamil di luar nikah, dia berusaha melenyapkan nyawa darah dagingnya dengan obat-obatan. Malang tak dapat dihapus, si kecil tetap lahir dan ukuran matanya selegence, pada bagian kiri lebih kecil dari sisi lainnya.
“Ya, Tuhan. Aku takut itu semua terjadi padaku. Ampuni aku, Tuhan. Maafkan atas ketidaktahuan ibunda, anakku,” isak tangisku yang sedang sendiri begitu menyayat meski hanya dalam hati.
Kecemasan dan ketakutan terus mengikutiku. Apalagi di awal-awal kehamilan aku tidak mengkonsumsi makanan yang cukup bergizi untuk pertumbuhannya, terutama kebutuhan tentang asam folatnya. Lantas tiap saat layar-layar depan mataku berkelebat menampilkan kejadian-kejadian paling menakjubkan. Pada usia kehamilan yang kedelapan, aku melakukan perjalanan naik motor antar kota seorang diri. Di sebuah pertigaan, aku dihantam keras motor lain dari sebelah kiri oleh pengendara yang tak bisa menguasai motornya. Karena hentakkan akibat dari tabrakan itu, aku terlempar ke aspal badan jalan. Aku terbanting dan terpelanting belasan meter jauhnya.
Di situlah, kurasa Tuhan sangat menyanyangiku. Entah bagaimana saat itu Tuhan membuat badan jalan sepi dari kendaraan, padahal setahun berlalu ketika aku harus melewati jalan yang sama, arus lalu lintasnya tak pernah sepi barang sedetik pun. Begitu juga ketika tubuhku terpelanting yang semula kedua tanganku berpegang kuat pada kedua setang motorku. Ketika itu, posisiku tertelungkup. Begitu tubuhku tersentak, dan mendarat, perutku diamankan. Hanya dada kananku saja yang menghantam stang motorku. Semua terjadi dalam kecepatan dan sadarku. Karena itu secepat kilat pula aku bangun dan segera merangkak ke tepi jalan. Beberapa orang yang kebetulan sedang duduk-duduk di warung kopi bergegas menolong memindahkan motorku.
“Mbak hamil ya?”
“Ya, Mas.”
“Mbak harus segera periksa ke dokter. Tadi tubuh mbak terlempar keras beberapa kali.”
“Ya, ya, Mas.”
Aku sama sekali tak merasakan sakit pada tubuhku. Hanya pipi kananku terasa perih akibat mencium aspal ketika kaca helmku terbuka. Sesudah peristiwa itu, hampir dua hari, tidak kurasakan ada gerakan janin di rahimku. Lalu kuperiksakan diri pada dokter. Hasilnya baik. Janinku tidak terganggu. Pada hari selepas petaka itu, keluhanku terjadi pada dadaku seakan tulang rusukku menusuk-nusuk setiap kali aku bergerak. Tak ada tanda memar dari luar. Pantas aku meresahkannya seakan ada tulang patah. Bila benar seperti ini, mustikah operasi jalan akhirnya? Aku benar-benar cemas. Terlebih untuk memastikannya aku tak sudi di foto rontgen.
“Karena ada janin di perutku. Mungkin bisa membahayakannya,” pikirku membela diri sang bayi.
Kurasakan sakit yang luar biasa ketika aku berbaring. Tak jarang aku menangis karena tidak kuat dan itu terjadi kurang lebih satu bulan. Hingga akhirnya, flek keluar dan aku mulai merasakan mules pada perutku sore itu. Aku lalu berangkat ke rumah sakit bersalin. Kuperiksakan diri, benar ternyata sang jagoan si Usus Buntu berontak hendak turun ke bumi. Karena rumahku jauh, aku disarankan untuk tetap tinggal dan menginap di rumah sakit. Dua hari aku di sana, tidak ada perkembangan janinku hanya mau bergerak kalau pagi hari saja. Tensiku terus menurun mencapai 90 karena hampir dua malam tidak bisa tidur, sedang aku punya riwayat hipotensi.
Memasuki hari ketiga, aku diminta berbaring di kamar bersalin. Perutku dipasang alat yang aku tidak tahu namanya. Semacam kain yang dilingkarkan mengelilingi perut dan dihubungkan pada suatu alat. Terdengar detak jantung janinku yang berirama teratur.
“Nanti, setiap kali ada gerakan janin, silakan anda tekan alat ini,” pesan seorang bidan padaku. Lalu bidan itu pergi setelah mengatakan sekitar 15 menit akan datang kembali.
Jam terus berputar, hampir satu jam kurasa. Bidan yang sama menghapiriku. “Lho, belum juga dilepas, Bu?” Dari pertanyaan itu, aku yakin dia lupa untuk kembali padaku setelah 15 menit seperti yang telah disampaikan. Dilihatnya alat itu.
“Ibu tidak menekan alat ini sama sekali?” entah ia heran sungguh atau pura-pura.
“Tidak.”
“Oh, rupanya si dia lagi tidur.”
Aduh, bagaimana anak ini. Sementara orang lain cemas karena aku tidak kunjung melahirkan, dia di dalam perutku enak-enak tidur. Belum lahir kok sudah bandel ya….
Aku jarang sekali merasakan kontraksi, tapi aku heran mengapa aku tidak disuntik obat perangsang ataukah aku disuruh melakukan senggama dengan suamiku, seperti beberapa kasus yang pernah ada, untuk merangsang agar rahimku mau berkontraksi. Tidak, bidan dan dokternya tidak menyarankan itu sama sekali. Lalu dengan pertimbangan apa pula, aku tidak pernah tahu alasannya.
Menjelang sore, perutku mulai terasa mules. Makin lama makin hebat. Ya, inilah sakit yang kutunggu dan kuharap. Sampai aku betul-betul tak kuasa menahan. Suara keras seperti berdentum terdengar dari dalam perutku. Biasanya setelah air ketuban memecah, tidak lama lagi bayinya akan keluar. Kontraksi yang makin lama makin sering dan makin hebat rasa sakitnya membuat tubuhku gemetar. Bahkan mulutku pun ikut bergetar setiap kali aku mengatur pernafasan untuk mengurangi ketegangan dan rasa sakit.
Dua jam kemudian, tepatnya pukul 00.07 WIB anakku lahir. Ya, anakku lahir tepat pada 1 Muharam. Sehat dan sempurna. Jerit tangisnya keras membahana. Menangis itu pertanda baik baginya. Tuhan Maha Besar. Kelahirannya di tahun baru itu mengakhiri semua kesakitan yang kurasakan di tulang dadaku, segala dendam dan sakit hati yang menggumpal pada suamiku larut bersama air ketuban yang tumpah, menyudahi semua firasat dan perlambang buruk yang menyertai proses kehadiran dua anak pertamaku. Kelahirannya di tahun baru itu seolah-seolah Tuhan ingin mengatakan padaku, inilah awal babak baru kehidupan kamu, kehidupan yang lebih baik.
***
SEIRING waktu berlalu, mengingat si kecil Usus Buntu ini memang anak luar biasa. Sejak kelahirannya, batok kepalanya berbeda dengan kakak-kakaknya. Sebagai bayi yang baru lahir, biasanya kepalanya lunak dan bentuknya lonjong karena menyesuaikan jalan kelahiran. Namun putriku ini, kepalanya bulat dan keras. Mungkin karena inilah aku harus mendapat banyak jahitan.
Dalam proses perkembangannya, dia juga berbeda. Hingga usia menginjak tiga tahun, dia jarang sekali pesakitan. Barangkali hanya dua atau tiga kali saja sekadar demam ringan atau batuk akibat tertular virus dari bibir gelas kakaknya.
Dia tumbuh kukuh seperti anak laki-laki, mungkin karena sering bermain dengan kakak-kakaknya. Lebih suka menendang bola dengan keras ketimbang pasaran atau main boneka sebagaimana perempuan biasanya. Dan dia tidak pernah mengeluh kakinya sakit, biarpun bola yang ditendangnya terlalu berat untuk kaki kecilnya.
Sejak kelahirannya, suamiku menunjukkan kasih sayang yang besar padanya. Entah karena terhadap putri kami satu-satunya ataukah sebab lain. Sejak kelahirannya pula, cintaku dan cinta suami dihadirkan kembali oleh Tuhan dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Cinta kami menjadi cinta yang luar biasa, cinta yang sulit untuk dipisahkan.
Peristiwa-peristiwa selanjutnya yang kerap juga terjadi pada malam hari, tak kurang menakjubkannya. Dan Tuhan senantiasa menyelamatkan kami. Suatu malam (putriku biasa terbangun di tengah malam) di sela alunan musik dari CD player yang disukainya, anakku terjatuh dari dipan tempat tidurku. Bukan itu saja, sebelum jatuh, terlebih dulu ia melompat tinggi. Kepalanya membentur lantai dan menimbulkan suara yang kelewat keras melebihi musik yang terdengar. Aku pun ragu ia terjatuh ataukah sengaja menjatuhkan diri, membenturkan kepalanya.
Dia pun menangis meraung-raung.
Di malam yang lain, ia menghantam tembok dengan segenap tubuhnya. Di hari yang berbeda ia menabrak motor yang buat putriku punya daya tarik pada kerlib lampunya. Pada kesempatan yang mulai membuatku sedikit nyaman, giliran sebuah mobil ringsek karena beradu dengan pohon mangga setelah gagal menghindar dari tubuh putriku. Mobil itu lampunya menyala benderang disertai alarm memangil-manggil. Putriku terpental jauh dari tempat kejadian perkara. Hanya menangis. Sebagaimana kutahu, menangis berarti kabar baik, buatnya.
Ya, Tuhan…cinta dan kasih sayang-Mu itu sangat mengerikan buatku…. (*)
.
.
gerhanna
it’s amazing