Cerpen Toni Lesmana (Koran Tempo, 30 Oktober 2011)
LELAP sekali dirimu terbaring di lantai. Tak ada yang bergerak selain isyarat lemah napasmu. Mimpi apa yang tumbuh dalam tidurmu? Aku hanya bisa memandangmu. Tubuhmu nyaris telanjang. Aku terus memandangimu sambil perlahan merayap di tembok, memanjat kaca jendela dan meloloskan diri pada lubang angin.
Tak tahan melihatmu terus tertidur, aku ingin pergi sebentar melihat negerimu. Barangkali aku akan menemukan sesuatu yang dapat membunuh seluruh rinduku padamu. Atau mungkin pergi darimu selamanya. Tidak, aku tak mungkin sanggup. Tapi aku harus lepas dan bertualang. Masih sempat kulirik tumpukan buku dan kertas yang berserak di lantai. Tulisan yang belum tamat di layar komputer. Sama seperti dirimu, mereka juga pulas dan lelap. Dari kamarmu, kutangkap tubuh istrimu yang meringkuk, seperti memeluk. Ada gerak-gerik di sana. Namun aku tak tahan lagi. Betapa aku sakit menatapmu terus tertidur.
Pekarangan yang dingin, kabut merubung lampu-lampu. Aku menyusupinya. Rumah-rumah kelabu. Gang yang lembab. Ada suara yang cukup nyaring di ujung gang. Aku melayang perlahan di tanah basah. Dan melesat menuju suara itu. Seorang pedagang nasi goreng nampak sedang sibuk mendorong gerobak sambil memukul-mukul wajannya. Dua orang pemuda mabuk menghampirinya, tawar-menawar. Akhirnya dengan muka sedikit marah penjual nasi goreng itu meluluskan keinginan sang pembeli. Kedua pemuda itu duduk di trotoar. Meracau tak tentu. Mata mereka rapat terpejam. Begitu pula mata sang pedagang. Bagaimana mereka bisa mabuk dan berdagang dalam keadaan tertidur? Keparat. Aku teringat dirimu. Dirimu yang melulu tidur. Dirimu yang sering kukutuk karena tak juga membuka mata barang sekejap. Ternyata tak hanya dirimu. Negeri apa sebenarnya yang kau tinggali dan tak pernah usai kau cintai ini?
Lepas dari mulut gang, aku cepat-cepat meninggalkan pemandangan suram yang tadi kukejar dengan penuh pengharapan. Berlari dalam kabut menuju pusat kota. Orang gila berteriak-teriak di jembatan. Gelandangan memeluk kardus di trotoar. Sepasang manusia berciuman di bawah lampu jalan. Seorang fotografer asyik memotret sebuah bangunan kuno. Serombongan anak punk bernyanyi-nyanyi sambil berjalan. Satpam sebuah rumah repot mengejar pencuri. Tapi mata mereka semuanya terpejam. Mereka semua tidur. Itulah kehidupan dalam tidur. Aku terus berlari. Berlari dalam penasaran. Kususuri seluruh pelosok kota. Memasuki gedung demi gedung. Melewati perempatan demi perempatan. Melesat ke alun-alun. Berdiam di terminal. Menyaksikan pasar. Mengaduh di stasiun. Apa yang kudapati adalah orang-orang yang tertidur. Semuanya berjalan sambil tidur. Tak ada mata yang terbuka. Tak seorang pun terjaga. Tubuh-tubuh itu bergerak dengan mata tertutup.
Malam sebentar lagi usai. Orang-orang dan kendaraan mulai memenuhi jalanan. Lampu-lampu mati dan kabut menyusut entah ke mana. Aku menyaksikan matahari pagi terbit di sebuah pelataran gedung pemerintahan. Orang-orang dengan pakaian rapih dan berseragam nampak mulai sibuk menyiapkan segala sesuatu. Sepertinya bakal ada acara. Ada panggung lumayan besar dengan peralatan band dan tata suara lengkap. Kursi-kursi tertata rapih. Hajatan di gedung yang paling besar dan megah. Perlahan semakin banyak yang datang. Para pejabat, pengisi acara, juga masyarakat, datang sebagai penonton. Puluhan bahkan ribuan orang mulai memadati pelataran gedung yang luas. Acara yang meriah. Pidato-pidato dengan suara yang lantang dan bersemangat, tangan yang terkepal, dan riuh sorak masyarakat. Doa-doa dipanjatkan. Puisi, lagu, dan tarian dipentaskan. Mereka mengerjakan itu dengan mata terpejam. Padahal matahari nyaris mencapai puncak ketinggian di langit.
Aku pun mengikuti anak-anak sekolah yang berjalan riang menuju sekolah mereka. Tak berapa lama kemudian di dalam kelas kulihat guru mengajar sambil tidur dan anak-anak sekolah belajar sambil bermimpi. Dan kecewa membawaku melayang dari satu kantor ke kantor yang lain. Tak berbeda adanya. Orang-orang bekerja sambil tidur. Mereka mengerjakan dan menyaksikan korupsi tanpa membuka mata. Di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis dengan mata tertutup. Sipir penjara menjaga narapidana juga tanpa membuka mata. Semua berjalan dengan tenang tanpa gejolak. Dan aku berlari lagi ke pabrik-pabrik yang riuh dan gaduh. Para buruh berpeluh dalam tidurnya. Sang majikan menghitung uang sambil tidur pulas.
Aku ingin pergi sejauh-jauhnya, barangkali masih ada kehidupan yang terjaga dan waspada. Sepasang mata yang terbuka. Namun, di jalanan aku menemukan sekelompok demonstran yang meneriak yel-yel berani juga dengan mata yang tidur. Beberapa melakukan perusakan dan terjadi bentrokan sambil bermimpi. Dengan sedikit malu-malu aku singgah di beberapa rumah ibadat, mengikuti sejumlah ritual yang khusyuk. Hanya seperti khusyuk, nyatanya mereka juga beribadah dalam tidur.
.
PERJALANAN segera saja membosankan. Siang hari saja sudah begini. Apalagi malam hari. Tak ada seorang pun yang membuka mata. Semuanya hidup dalam tidur. Kesadaran seperti sebuah kondisi yang tak lagi diperlukan. Sementara ketidaksadaran menjadi sebuah kehidupan. Barangkali aku sedikit bisa memahami apa yang terjadi pada dirimu, setelah selama ini aku menganggap dirimu gila. Kini tak dapat disangkal, bahwa kau adalah bagian dari sebuah negeri yang memang lelap dan tak pernah bangun. Sepanjang perjalanan pulang aku mulai belajar menutup mata sambil melayang. Namun berkali-kali aku tersesat. Dan semakin jauh dari rumahmu, dari dirimu. Alih-alih semakin dekat, ini malah semakin menjauh. Aku muncul di pasar yang terbakar, di samping sebuah bom yang meledak, di sekolah yang runtuh, juga di sebuah rumah ibadat yang dilempari batu. Betapa susah menggenapi perjalanan sambil menutup mata.
Tiba-tiba aku berada di perempatan bersama pengamen dan anak-anak kecil penjual cobek batu, malah tak sengaja masuk ke kamar hotel dan menyaksikan seorang pejabat memeluk tubuh perempuan muda yang pasti bukan istrinya. Aku melayang-layang tak tentu arah. Heran sungguh aku, bagaimana dirimu dan penghuni negeri ini bisa melakukan semuanya dengan kelopak mata yang terkunci. Akhirnya kubuka kembali mataku lebar-lebar, lantas melayang cepat di atas kota. Senja hampir habis. Dan aku ingin segera kembali ke rumahmu. Ke tubuhmu. Cukup sudah perjalanan ini. Setidaknya dapat kupahami apa yang terjadi pada dirimu.
Hinggap di atap rumahmu, aku memasuki celah-celah genting. Meluncur turun ke lubang di langit-langit rumahmu. Aku melihat dirimu masih terbaring di lantai. Sementara istrimu seperti sedang menyusui.
Kau tertidur dengan telentang. Wajahmu begitu damai. Dadamu bergerak halus. Napasmu lemah. Tubuh yang sering kucaci kini nampak sangat indah. Indah dalam tidurnya yang lelap. Tubuhmu. Aku cepat meluncur kembali. Namun aku tak dapat menjejak lantai. Aku hanya melayang-layang mengitari tubuhmu. Tanganku menggapai-gapai namun tak dapat menyentuh. Tanganku tak dapat menyentuh apa pun. Semuanya. Rambutmu. Hidungmu. Bibirmu. Tanganmu. Dadamu. Kakimu. Semuanya tak dapat kusentuh. Tanganku hanya menembus semuanya.
.
TIBA-TIBA aku menjadi begitu takut. Aku lupa bagaimana aku meninggalkanmu. Meninggalkan tubuhmu. Aku lupa. Kini aku begitu merindukan memasuki kembali tubuhmu. Tubuhku. Namun aku tak tahu bagimana caranya. Aku mulai berteriak-teriak. Namun tentu kau tak akan mendengarku. Tak akan ada yang mendengarku. Aku melayang-layang dalam rumah. Aku tabrak semua barang. Namun tak satu pun yang bergerak.
Tubuhmu nampak semakin indah.
Tubuhmu. Tapi kini tubuhmu tak lagi telanjang, tapi mengenakan kemeja dan celana jeans. Berarti tubuhmu telah bergerak selama aku pergi. Bagaimana mungkin? Bagaimana kau bergerak sementara aku pergi meninggalkanmu. Tubuhmu adalah tubuhku.
Itu tubuhku! Aku berteriak tiba-tiba entah pada siapa. Ketakutan semakin merajalela. Aku tak dapat memasuki tubuhku sendiri. Aku hanya melayang berputar-putar seperti layangan putus. Ketika aku melihatmu terbangun. Berdiri. Berjalan menuju kamar. Lantas berbalik, mengarah ke dapur. Memanaskan air. Menyeduh teh. Dan membawanya ke ruang tengah. Tubuhmu menyalakan komputer. Menyalakan sebatang rokok. Aku menghalang-halangi. Namun aku, tubuhku, kau tembus begitu saja. Ah, matamu yang terus terpejam itu, membuatku seperti gila.
Itu tubuhku! Aku berteriak berulangkali. Kini dengan tangisan dan jeritan.
Tubuhmu mulai menulis di komputer. Asyik sendiri.
Aku melihatmu. Hanya dapat melihatmu. Aku ingin memasukimu. Tubuhmu adalah tubuhku. Tubuhku. Aku melayang kesepian di sudut ruangan. Tak tahu hendak bagaimana. Sungguh, mulai dapat kupahami kau hidup sambil tertidur. Namun kini, aku tak dapat mengerti bagaimana dapat kau hidup tanpa nurani, tanpa hati. Barangkali seluruh penghuni negeri penidur ini tak hanya hidup dalam tidur, barangkali mereka juga hidup tanpa hati, tanpa ruh. Seperti jarum detik. Seperti mesin. Seperti robot. Seperti tubuhmu kini. Tubuhku, tubuhku. Alangkah malang tubuhku.
Aku terus mengingat cara untuk dapat memasukimu. Aku ingin menceritakan perjalananku. Aku ingin mengajakmu untuk menulis dengan mata terbuka. Namun aku hanya dapat melayang-layang. Tersesat sendiri tanpa tubuh. (*)
.
.
Kedungpanjang, 2011
Toni Lesmana lahir di Sumedang 25 November 1976. Menetap di Ciamis, Jawa Barat. Ia juga menulis puisi dan cerita dalam bahasa Sunda.
.
Leave a Reply