Aan Haryono

Mati Sahid

5
(1)

 Cerpen Aan Haryono (Jawa Pos, 13 November 2011)

.

.

SUBUH itu membuat Ghani merinding. Tangannya bergetar kencang. Lehernya mulai berair. Denyut jantungnya ikut berdetak. Belum selesai imam masjid bangkit dari duduknya semua makmum menyimpan rasa penasaran. Sorot pasang mata semua tertuju pada makmum di barisan kedua. Pak Magbul. Ia belum juga bangkit dari sujudnya.

 Tak berani mereka membangunkan. Lututnya menempel di lantai. Kakinya rapi berbaris di belakang dengan otot yang masih kencang. Ikatan sarungnya belum lepas. Dahinya tak bisa dipisahkan dari karpet. Dua tangannya juga masih menempel di lantai yang menutup wajahnya yang lonjong.

 Keheningan itu berlangsung sampai salat selesai. Ketika imam mengucapkan salam para jamaah masih saja tertegun. Rasa penasaran itu kini bercampur takut. Bisik antar jamaah semakin kencang. Beberapa dari mereka ikut menggigil ketika salah satu jamaah nyletuk kalau malaikat pencabut nyawa telah datang ke dalam masjid.

 “Magbul telah bertemu dengan malaikat. Di sini, dalam masjid yang suci.”

 “Jangan ngomong ngawur. Siapa tahu dia tertidur. Tadi malam saya lihat dia ikut cangkruk di pos ronda sampai larut!”

 “Tapi nggak mungkin sampai tidur seperti itu. Ayo cepat bangunkan. Salat juga sudah selesai!”

 “Kamu saja, saya takut nanti malaikat masih ada di situ. Bisa-bisa ikut dicabut nyawa saya.”

 Setelah kasak-kusuk para jamaah akhirnya memberanikan diri untuk membangunkan Magbul dari sujudnya. Badannya dingin. Kepalanya tak mau bangkit. Beberapa di antara mereka kini mengerakan badan Magbul. Lemah dan tak lagi memiliki nafas. Denyut nadinya berhenti. Para jamaah langsung menyimpulkan Magbul mati dalam keadaan sujud.

Ketika ditarik untuk posisi duduk badannya sudah lunglai. Telapak tangannya seperti es. Wajahnya pucat. Bibirnya memberikan pola senyum kecil yang melegakan. “Innalillahi wa innaillaihirojiun,” semua jamaah serentak mengucapkan ketika mendengar kalau Magbul sudah meregang nyawa ketika salat.

 Badannya kini dibaringkan dan tangannya dilipat menyerupai posisi salat. Imam subuh segera mendekat ke pengeras suara untuk menyiarkan pada warga desa kalau Magbul telah meninggal dunia. “Pak Magbul meninggal dunia pukul 04.00 WIB saat salat subuh. Jenazah akan dimandikan dan segera disalatkan pukul 07.00 WIB.”

***

Wajah Ghani seakan tak percaya. Sehari yang lalu saat giliran jaga pos ronda ia masih menghabiskan obrolan dengan teman baiknya itu. Berbicara tentang hari tua yang tinggal menunggu ajal. Bersenda gurau dengan sisa tenaga tua yang mulai sakit-sakitan. Tak ada pilihan lagi bagi mereka kecuali mendekatkan diri pada Sang Khalik.

 Selama 35 tahun mereka berdua telah bekerja memeras keringat. Keduanya sudah menemukan jalan yang terang. Aliran uang hasil kerja kerasnya sudah didapat. Anak-anak mereka bisa menempuh pendidikan tinggi. Semua anak-anaknya juga sudah berkeluarga. Kini tinggal mereka berdua menikmati hari tua yang lebih berkualitas.

 Sejak kecil mereka memang teman sepermainan. Sekolah pun satu bangku. Kalau salah satu dari mereka membeli sepatu baru, maka yang satunya pun tak mau kalah untuk minta dibelikan sepatu baru juga. Kedekatan dua sahabat itu tak bisa dipisahkan. Bahkan, mereka pun kerja di tempat yang sama. Sebuah pabrik batu bara yang mengubah hidup mereka menjadi lebih kaya karena limpahan gaji yang terus membanjiri.

Baca juga  Prahara Meja Makan

 Menjadi pekerja tetap di sebuah perusahaan negara sudah menjadi cita-citanya ketika duduk di bangku SMA. Mereka ingin betul menikmati kehidupan duniawi yang berkecukupan. Bisa berjalan-jalan ketika malam minggu dan liburan ke luar kota bersama keluarga tiap sebulan sekali.

Masa itu telah lewat. Kini mereka berdua sudah memasuki masa pensiun. Tinggal menikmati hari di rumah sembari tiap bulan menunggu jatah pensiunan yang cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

“Ayo kita cari kenikmatan akhirat. Kehidupan dunia yang enak sudah kita rasakan,” kata Magbul sambil menepuk punggung Ghani.

Mendengar nasihat dari karibnya itu Ghani hanya senyum kecil. “Takut mati juga kamu?”

“Bukan takut mati, tapi kita carilah cara mati yang bagus menurut Tuhan.”

Lama berdiskusi pikiran keduanya kini sedang mencari cara yang terbaik menjelang kematian. Pola kematian yang lebih diterima masyarakat dari gunjingan. Tak ingin rasanya mereka berdua mati dalam keadaan penuh dosa. Seperti yang dialami si Aman, teman sebayanya yang mati di hotel melati bersama teman perempuannya.

Gunjingan dari orang sekampung belum juga habis dalam hitungan tahun. Aman mati dalam kehidupan yang tak wajar. Keluarganya sampai tujuh turunan harus menerima nasib yang tak akan bisa hilang dalam ingatan dan cerita masyarakat tentang buruknya kematian si Aman.

“Tak mau aku seperti itu.”

“Aku juga tak mau!”

“Apa kira-kira cara mati yang paling enak diterima?”

“Itu yang aku pikirkan sekarang. Mati yang bisa membuat kita bangga dan keluarga kita tenang.”

Banyak cerita yang mereka terima tentang kematian yang indah. Mereka yang tidur dan tak meneruskan kehidupan setelah dicabut nyawanya ketika bermimpi. Ada juga yang tiba-tiba mati ketika duduk di sofa depan rumah tanpa diketahui keluarga. Ada juga yang membuat mereka berdua akhirnya terkesan dengan cara mati pas posisi sujud. Saat terakhir dalam hidup mereka sedang beribadah dan meminta maaf pada Tuhan dengan cara sujud. “Mereka itu mati sahid ketika sujud, itu sudah pasti.”

“Ah, tapi cara seperti itu sulit rasanya dilakukan. Kita kan tak tahu kapan nyawa kita diambil?”

“Pokoknya kita berusaha dulu bagaimana caranya bisa mati dalam keadaan sujud!”

“Bagaimana caranya, tak mungkin kita tiba-tiba sujud terus mati begitu saja?”

“Kita ini kan sudah tua. Makan gula dikit kena diabetes. Kena lemak dikit tekanan darah naik. Jadi gampang kalau ingin cepat mati!”

“Usulmu seperti apa?”

“Kita makan yang banyak. Usahakan makan yang sebelumnya dilarang sama dokter. Setelah makan yang kolesterol tinggi kita langsung ke masjid.”

***

Ghani masih saja melihat teras rumah. Sarung coklat yang dikenakan saat salat subuh belum juga dilepaskan. Pandangannya masih kosong. Badannya masih dingin. Ingatannya tetap tertuju pada sosok Magbul yang dilihatnya mati sujud di masjid.

Baca juga  Pulang ke China

Panggilan dari istrinya dari dalam rumah tak dihiraukan. Ia tetap menatap kosong melihat kejadian yang tak bisa dipikir dengan kepala sehat. Sahabatnya yang sejak kecil bersama kini telah meninggalkannya selama-lamanya.

“Ayo, Pak, kita segera datang ke rumah Magbul. Nanti keburu jenazah disalatkan di masjid!”

“Iya, Bu, kamu duluan saja ke sana. Nanti bapak susul. Ini badan baunya nggak enak, bapak mandi dulu saja.”

Pikirannya semakin tak karuan. Ia tak ingin kalah dengan Magbul. Dalam hati kecilnya tetap ingin menikmati kematian yang sama seperti sahabatnya. Mati dengan sujud di dalam masjid.

Ia kemudian berjalan pelan menuju kamar mandi. Bayangan Magbul ingin segera dihilangkan setelah menyiram kepalanya dengan air yang dingin. Melewati selasar dapur ia melihat piring yang kotor dan di atasnya masih ada sisa kepiting rebus dan cumi-cumi yang dilahapnya sebelum pergi salat subuh. Ia sudah mengikuti nasihat dari Magbul tentang tata cara kematian. Dua tahun terakhir ini Ghani memang divonis kena asam urat. Sama dokter pribadinya ia tak boleh makan sedikit pun makanan laut. Tapi dini hari itu, dua piring besar ikan laut dilahapnya sebelum pergi salat subuh.

“Apa kurang ya makanan laut ini. Rasanya nggak ada efeknya sama sekali ketika salat subuh tadi,” ucapnya lirih sebelum masuk kamar mandi.

Setelah mandi ia langsung memakai baju koko hitam yang dipadu peci beludru yang juga berwarna hitam. Suasana rumah begitu senyap. Istrinya sudah pergi duluan ke rumah duka sementara anak-anaknya yang lain sudah pergi bekerja. Kepalanya masih juga panas setelah ditinggal Magbul. Tak ingin rasanya ia mengingkari perjanjiannya yang ingin mati bersama dalam keadaan sahid.

Kembali ia teringat nasihat Magbul. Tata cara mati sebenarnya mudah ketika kita mau jeli. Masuk akal juga ketika ia kembali memakan menu ikan laut. Ada keyakinan yang sudah diubun-ubun kalau dirinya pagi ini makan ikan laut maka bisa segera menyusul Magbul di alam baka.

“Masih ada ternyata. Dua kepiting dan satu cumi-cumi,” katanya setelah memeriksa isi lemari es.

Segera saja ia mengambil makanan laut itu untuk dimasak di panci. Tak mau susah ia memasukan bumbu ala kadarnya. Irisan bawang merah dan lombok. Tak tahu bagaimana rasanya nanti masakan yang dikelolanya. Baginya rasa bukan lagi yang utama, pokoknya bisa segera melahap ikan laut itu. Ia pun kini tak berpikir untuk bertemu jenazah Magbul di rumah duka tapi langsung menuju masjid ketika jenazah mau disalati.

“Jadi tetap bisa mati sujud di masjid. Nanti ketika salah jenazah aku akan menyusulmu sahabat!” kata Ghani sambil mengaduk pelan adonan kepiting di panci dan melihat ke atas membayangkan wajah Magbul di hadapannya.

Segera saja ia melahap makanan laut itu setelah matang. Tanpa banyak kata dan sigap kedua tangannya memegang gagang kepiting. Mulutnya menganga kepanasan. Itu pun tak dihiraukannya. Baginya yang penting makanan ini masuk ke perut dan segera saja mengalir ke darahnya.

Baca juga  Secangkir Kopi Luwak

Dalam hitungan menit makanan itu tak bersisa. Ia segera bergegas menuju masjid biar tak ketinggalan salat jenazah. Ketika sampai di masjid doa-doa sudah dibacakan. Para pelayat tinggal mengikuti tahapan salat jenazah. “Pas,” serunya sambil memasuki masjid.

Segera saja ia mengambil posisi salat di shaf terdepan. Posisi itu baginya menguntungkan ketika dia akan dicabut nyawanya. Imam salat jenazah kini memulai salat, “Allahu akbar.”

Semua pelayat langsung mengikuti. Ghani pun mengangkat kedua tangannya sambil mengikuti ucapan imam. Belum sempat tangannya melipat ke dada kakinya sudah mulai bereaksi. Sekujur jarinya mulai cekot-cekot. Rasanya ribuan kalajengking datang mengerumuti kakinya. Menjilat kulitnya. Perlahan gigitan kalajengking itu terasa di ubun-ubun. Ia berusaha menguatkan kuda-kudanya untuk tetap berdiri.

Rasa sakit itu kini mulai naik ke bagian tumit. Tak kuat rasanya ia menahan itu. Tapi dengan segala daya dan keinginan yang kuat untuk mati dalam posisi sujud di masjid membuatnya bertahan. Lama juga rasanya imam tak segera memulai untuk sujud. Kakinya kini sudah bergetar. Jari-jarinya terasa melepuh. Kedua tangannya ikut berdetak hebat. Keringat dingin mengelayuti leher dan kepala.

Setelah sakit mendera dan tak tertahankan baru teringat dalam benaknya kalau salat jenazah tak ada gerakan sujud. Air matanya mulai menetes. Wajahnya memerah serasa dipukul bedug. “Tapi tak apalah kalau tak ada sujud, yang penting aku tetap mati di masjid dalam posisi salat,” serunya dalam hati.

Belum selesai imam mengakhiri salat Ghani tersungkur. Kepalanya terbentur lantai masjid. Pecinya terpental. Para jamaah kembali dibuat gempar. Suasana gaduh. Belum selesai tragedi kematian Magbul ketika salat kini giliran sahabat karibnya menyusul. Setelah selesai mengucap salam para jamaah langsung membopong Ghani. Matanya tertutup rapat. Keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya.

Para jamaah langsung memeriksa kondisinya. Ia masih memiliki denyut jantung. Segera saja mereka membawa Ghani ke rumah sakit. Istrinya yang ada di dekat masjid langsung ikut naik ke mobil untuk menemani suaminya yang belum sadarkan diri.

Belum sampai di rumah sakit Ghani sadar. Matanya masih sulit membuka. Keringat dingin masih saja membanjiri tubuhnya. Kepalanya terasa berat diajak bangkit.

“Di mana ini, apa saya sudah di surga?” ujarnya sambil terus memandang istrinya. Matanya tetap sulit untuk melihat dengan jelas. Melihat suaminya sadar perempuan itu terus melemparkan senyum. Simpul kebahagiaan terpancar dari lesung pipinya. Sejuk ketika dilihat.

“Yaa Allah! Benar kata Magbul. Bidadari di surga memang cantik.” (*)

.

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

3 Comments

  1. “Mati yang bisa membuat kita bangga dan keluarga kita tenang”… hehe

  2. hendro

    like this ..

Leave a Reply

error: Content is protected !!