Cerpen Desi Puspitasari (Koran Tempo, 20 November 2011)
BEL yang digantung di pintu berkelinting.
“Menjelang musim dingin yang beku!”
Katja Heinenmann menaikkan kacamata tuanya. Ia melihat Klaus, salah satu profesor tua sekaligus pelanggannya yang setia, melepas mantel. Laki-laki itu baru pulang dari kampus tempatnya mengajar.
“Kopi susu, ya? Seperti biasanya.” Klaus menampilkan senyum lebar di antara wajah lelahnya.
“Aku juga punya kentang tumbuk dan sosis hangat.”
Klaus berpikir sejenak. “Bratwurst saja.”
Katja memang sudah tua dan tidak gesit lagi, tapi tidak perlu waktu lama baginya untuk menyiapkan pesanan. Sambil membawa nampan berisi makanan, ia keluar dari dapur dan menuju satu pojok favorit para pelanggan kedainya. Pojok dengan ukuran lumayan luas dengan rak buku raksasa dan dialasi karpet tebal. Ada juga beberapa meja kecil dan bangku bagi yang membutuhkan.
Klaus bersandar santai dengan buku tebal dalam genggamannya. Buku biografi Albrecht Dürer, pelukis Jerman abad ke-16 yang memadukan gaya ghotik Jerman abad ke15 dengan gagasan-gagasan Renaissance yang berkembang di Italia. “Penting untuk menjaga keseimbangan otakku, Frau. Mempelajari teknik membuat pesawat terbang canggih dan membaca perihal kesenian sekaligus.”
Klaus mengangguk ketika Katja meletakkan pesanannya. “Danke.” Secangkir kopi susu panas dan sepiring sosis hangat. “Bitte.” Katja berlalu. Klaus kembali sibuk dengan buku bacaannya.
Jalanan sepi. Lembaran daun kering terlunta-lunta tertiup angin September. Ranting tua pepohonan bergoyang sepi. Ini awal musim dingin yang menyedihkan. Bukan bagi dunia. Karena Jerman tak lagi suram semenjak proses reunifikasi tahun 1990 lalu. Tapi menyedihkan, setidaknya bagi Katja. Seperti ada melankoli yang berbeda.
Ini pasti karena usia. Oh, masa tua, keluh Katja sambil menyeduh secangkir teh mint bagi dirinya sendiri. Kalau saja ia masih 20 atau 40 tahun setidaknya akan cukup banyak alasan baginya untuk menghabiskan waktu dengan melakukan seabreg aktivitas. Sekarang apa yang bisa dilakukannya? Ketika usia telah menginjak angka 70 dan seluruh anggota keluarga telah pergi satu persatu? Suaminya telah meninggal. Kedua anaknya berpencar ke kota yang berbeda-beda. Saat-saat seperti ini ia selalu merasa kesepian. Musim dingin sendirian. Lalu musim semi yang dilanjutkan dengan musim panas. Pesta Biergarten.
Jantung Katja tiba-tiba terasa nyeri ketika ide biergarten iseng mampir di pikirannya. Pesta yang berhasil mengumpulkan ribuan orang untuk minum bir bersama-sama. Sekitar 1300 ahli bir didatangkan, dan 160 liter bir siap sedia untuk dihabiskan.
“Anda tidak minum bir?” tanya Katja muda heran. Ia menatap laki-laki berwajah Asia di hadapannya.
“Nein.” Laki-laki itu menolehkan kepala. “Sebenarnya aku mencari air mineral kalau ada.”
“Kalau hanya untuk mencari air mineral, kenapa repot-repot datang ke sini?” Katja mengeraskan volume suara, mengalahkan suara riuh rendah di sekitar mereka. Ia mencondongkan tubuh.
“Aku hanya ingin merasakan suasananya,” jawab laki-laki itu sambil tersenyum. “Dan sekarang rasanya aku sudah cukup tahu. Mari.” Ia berpamitan dan meninggalkan kerumunan manusia yang memenuhi deretan meja dan kursi.
Katja menenggak sisa birnya. Lalu melompat cepat menyusul laki-laki asing itu. Ia masih muda dan merdeka, dan tidak pernah merasa bersalah ketika ingin melakukan apa yang dia mau. Yang diikuti sedang membelok ke salah satu minimarket dan tak lama keluar dengan sebotol air mineral. Laki-laki itu sudah mendapatkan apa yang ia butuhkan. Katja berhenti dan merasa tidak tahu sebenarnya apa yang hendak dilakukannya. Ia hampir saja berbalik pergi ketika laki-laki itu memanggilnya. “Ternyata Anda lagi. Kebetulan sekali.”
Katja memutuskan untuk tidak jadi pergi. “Ada yang ingin kutanyakan.”
“Bitte.”
“Kenapa Anda tidak mencoba bir? Sekadar menghilangkan rasa haus? Sekadar memenuhi rasa penasaran?”
“Karena aku tidak dianjurkan untuk minum alkohol.”
“Anda muslim?” tanya Katja memastikan. Ia punya beberapa teman dari India, Turki, dan Malaysia yang selalu mengatakan alasan yang sama.
Laki-laki itu mengangguk.
Itu artinya tidak ada alasan lain sedikit pun bagi Katja untuk bisa menggoyahkan keyakinan makhluk asing tersebut. “Apa Anda tidak kepingin tahu bagaimana rasa bir?”
Laki-laki itu diam sebentar. “Tolong katakan padaku bagaimana rasanya.”
Katja mengerutkan kening. Mencoba mengingat-ingat kenikmatan minuman yang masih tersisa di tenggorokan. “Ya. Sedikit pahit. Setidaknya kau akan bergidik karena rasa pahit. Sedikit manis. Kau bisa mencecap sisa-sisanya yang tertinggal di lidah. Dan rasa seperti terbakar di tenggorokan. Lalu tubuhmu akan terasa hangat. Rasanya seperti menyebar perlahan-lahan di dalam tubuh.”
“Sekarang aku sudah tahu rasanya minum bir,” kata laki-laki itu pelan.
Katja terdiam. Cara yang bagus untuk menjawab. Namun membosankan.
Bel yang dipasang di pintu kembali berkelinting. Katja tua menghentikan lamunannya. Ia bergegas keluar dapur. Suami istri Henkel duduk di kursi sambil menggosok-gosok telapak tangan mereka yang dingin. “Nekad sekali,” sapa Katja.
Pak Henkel menoleh. “Begitulah. Istriku yang sudah tua, namun keras kepala ini sudah sangat kepingin mampir.”
“Aku ingin sup sapi. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tidak makan sup resep orang tuamu.” Bu Henkel mencoba membela diri. “Dua rindfleischsuppe dan dua cokelat panas.”
“Mudah-mudahan sop dan cokelat itu bisa menolak penyakit masuk angin,”gerutu Pak Henkel.
Katja baru saja menuang sup resep orang tuanya ketika bel pintu kembali berkelinting. Ia keluar dari dapur sambil membawa semangkuk sup. Langkahnya terhenti ketika melihat laki-laki yang beberapa bulan lalu ditemuinya di pesta bir.
“Hai.” Laki-laki itu pun seperti kaget. Ia lalu tersenyum demi melihat Katja.
“Selamat datang!” seru ibu Katja dari balik meja kasir.
Katja muda tersadar. Ia mengantarkan sup pesanan pelanggan kedai sebelum mampir ke meja laki-laki itu.
“Mau pesan apa?”
“Di sini tersedia menu kotellete?”
“Kebetulan tidak.” Katja mengerutkan kening. “Kau bisa memesan cokelat, kopi, atau sup daging sapi.”
Laki-laki itu memesan secangkir kopi panas. Ketika Katja kembali membawa pesanan, laki-laki itu sudah tenggelam dalam pekerjaan menulisnya. Beberapa buku tebal tertumpuk memenuhi meja. Sebagian terbuka di halaman tertentu. “Sibuk sekali,” komentar Katja yang bingung harus meletakkan cangkir di sebelah mana.
Laki-laki itu mendongakkan kepala. Buru-buru ia menggeser buku, memberi tempat. “Aku sedang mengerjakan tugas akhir. Beasiswaku akan dihentikan beberapa bulan lagi. Kalau aku tidak bersegera, wah….”
“Aku tidak akan mengganggumu.” Katja meletakkan cangkir kopi.
“Aku tidak merasa terganggu.” Laki-laki itu tersenyum. “Frau, buku apa saja yang ada di rak itu?”
Katja menoleh ke arah yang ditunjuk. “Cuma sekadar rak tua. Beberapa roman milik ibuku, dan tumpukan koran harian yang lama dan baru. Anda bisa membaca koran hari ini.”
“Ah, nein.” Laki-laki itu menggeleng. “Aku hanya kepikiran sesuatu. Seandainya anda menambahkan beberapa buku lagi dan menghamparkan karpet tebal. Itu akan menjadi pojok yang menyenangkan.”
Katja terdiam beberapa saat. “Akan kupertimbangkan.”
Katja tua meletakkan dua mangkuk sup dan cokelat di antara pasangan Henkel. Ia kembali disergap rasa muram ketika kembali ke dapur. Melalui jendela ia memandang jalanan di luar. Begitu sepi. Begitu menyedihkan. Mungkin beberapa hari lagi jalanan itu akan segera mati ketika hujan deras turun berhari-hari.
Hati Katja tertusuk perasaan ngilu.
Bel di pintu berkelinting.
Katja muda melongokkan kepala keluar dapur. Siapa yang nekat menembus hujan deras seperti ini? Laki-laki berkulit eksotis itu menggigil kedinginan ketika melepas mantel tebalnya. Ia menyimpan payung yang basah di kotak penyimpanan di belakang pintu.
“Selamat datang,” seru ibu Katja. “Cokelat panas, ya? Aku takut Anda terserang influenza.”
“Ja, Frau. Danke,” jawab laki-laki itu dengan suara sengau.
“Nekat sekali,” komentar Katja ketika akhirnya meletakkan secangkir cokelat dan semangkuk sup panas. Sup itu bonus.
“Entahlah.” Ia mengangkat bahu. “Aku hanya ingin kemari sebelum besok pulang ke rumah.”
“Pulang?” Itu berarti tidak ada lagi kunjungan menjelang sore hingga malam. Dua cangkir kopi panas, semangkuk sup, dan tekun mengerjakan tugas akhir. Dengan cara yang tidak dapat dijelaskan, hati Katja merasa kehilangan.
“Aku telah lulus ujian.”
Katja mengangguk.
“Dan kupikir, kedai kopi ini turut berjasa membantuku menyelesaikan tugas akhir. Itulah kenapa aku memaksa diriku kembali lagi ke sini.”
Katja terdiam. Ia kembali masuk ke dalam dapur. Semacam perasaan kehilangan itu mampir di hatinya. Secara tidak sadar perlahan-lahan dalam diam ia menikmati kehadiran laki-laki berkulit sawo matang selama dua bulan terakhir. Wajahnya yang serius ketika menulis, membaca buku, atau mencoret-coret bagian penting dalam bukunya.
Katja tidak keluar dari dalam dapur ketika laki-laki itu membayar pesanan.
“Ah, Indonesia!?” seru ibu Katja. “Pasti di sana tidak ada sup sapi seenak buatan di sini!”
Laki-laki itu tertawa sopan. Lalu berpamitan.
Melalui kaca jendela dapur yang sedikit buram, Katja melihat laki-laki itu menembus hujan di bawah payung yang digenggamnya erat-erat. Tubuhnya sedikit menggigil kedinginan. Kecipak air di sepanjang trotoar sudah pasti membasahi sepatunya.
Katja mendesah pelan. Indonesia. Negara carut marut itu ternyata masih menyisakan satu sosok yang bisa-bisanya membuat hatinya merasa kehilangan.
“Menjelang musim dingin yang beku ya, Frau,” kata Klaus sambil membayar pesanan.
“Ja, Profesor. Entah kenapa selalu saja terasa menyedihkan.” (*)
.
.
Desi Puspitasari tinggal di Madiun, Jawa Timur.
.
Catatan
Heute Herbst: musim gugur kali ini.
Kotellete: babi.
Rindfleischsuppe: sup daging sapi.
.
.
moer
Wah, bu Desy bikin penasaran tentang sosoknya …. benar-benar cerpen yang magis !!
Jasmine
Bagus banget!
Sya Fi'i
wow , cerpen yang membuat saya tertarik untuk membaca cerpen