M Shoim Anwar

Sulastri dan Empat Lelaki

4
(1)

Cerpen M. Shoim Anwar (Jawa Pos, 6 November 2011)
.
.
LAUT menghampar dari pantai hingga batas tak terhingga. Ini adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara.
Sementara tak jauh di sebelah utara sana terlihat sekelompok bangunan  dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak beterbangan menyisir permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.
Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya ketika dia melihat ke bawah.
“Hai…!” seru polisi dari arah pos. Perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak menjawab. Tampak ada sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.
Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.
Sulatsriy…?” sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.
Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulatsriy?” sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar Sulastri turun dari tanggul.
Na’am?” lelaki itu meminta.
Laa,” Sulastri menggeleng pelan.
Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi mulai kehilangan kesabaran. Raut wajahnya yang coklat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bongkahan batu. Terdengar dia menyeru kembali. Muncul kekhawatiran pada diri Sulastri. Ketika polisi itu hampir sampai di atas tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat. Sang polisi mengikuti dengan langkah cepat pula. Keduanya tampak seperti berkejaran. Sesampai di ujung, Sulastri menyelinap kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke posnya.
Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.
Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari. Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukannya. Sejenak angin bertiup tipis. Serpihan-serpihan sampah bergerak menjauhi pantai. Di ujung tanggul  Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki itu tak ingin repot, bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.
Di bibir Laut Merah, Sulastri  teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo.
“Sudah dapat?” tanya Sulastri. Seperti biasa, Markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari pakainnya yang basah.
“Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
Kesabaran Sulastri mengikis. Kali ini dia mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku yang telah kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh ujung janggut.
“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.
Bayangan tentang sang suami menghablur. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan bunyi cericitnya sambil menyambar-nyambar. Gelombang tiba-tiba datang. Laut Merah bergolak. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama makin besar. Sulastri terjingkat. Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
“Firauuun…!”
Ya, Firaun. Lelaki bertubuh gempal itu merayap menaiki tanggul. Otot-ototnya tampak kekar, wajahnya kotak, matanya cekung, dan tubuhnya cenderung pendek, serta dada terbuka. Dengan pakaian gemerlap yang menutup pusar hingga lutut Firaun telah sampai di atas tanggul. Dia berdiri tegak sambil tertawa, mengibas-ngibaskan anggota badan. Di hadapannya, tubuh Sulastri bergetar. Sendi-sendinya seperti hendak rontok. Perempuan itu menoleh ke sana ke mari dengan tergesa, mencari-cari orang yang dikenal sebagai penolong. Di pos sana ada polisi. Sulastri berteriak padanya untuk minta tolong. Tapi sang polisi tak memberi reaksi berarti, dia hanya melambaikan tangan beberapa saat seperti mengucapkan selamat tinggal, kemudian kembali masuk pos.
“Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.
“Aku bukan budak.…”
“Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.
“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”
Sulastri terus berlari. Firaun melangkahkan kakinya, makin cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar oleh raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulastri berhenti, tapi yang dikejar tak menghirau. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga pantai sudah pasti tak menolognya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulastri meloncat dari atas tanggul.
Sulastri terhenyak. Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut nama lelaki di hadapannya, “Ya, Musa….”
Lelaki itu manggut-manggut. Tangan kirinya diangkat. Sementara Firaun yang tadi memburu tampak berdiri kokoh di atas tanggul. Angin bergolak di sana.
“Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
“Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
“Negeri kami miskin, Ya Musa.”
“Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
“Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
“Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
“Kami menderita, Ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu serakah.”
“Kami tak kebagian, Ya Musa”
“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
“Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
“Tolonglah saya, Ya Musa.”
“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
“Tolonglah saya, Ya Musa….”
Sontak angin datang bergemuruh. Lelaki yang dipanggil sebagai Musa menghablur dalam pandangan Sulastri. Dari atas tanggul Firaun tertawa makin keras dan berjalan turun. Sulastri berlari kembali. Dia menuju ke polisi yang tadi dilihatnya. Langkahnya terasa lebih berat karena menginjak pasir. Dia terengah-engah sampai di depan sang polisi.
Wa maadzaa turiidiina aidlon?” polisi bertanya apa lagi yang diinginkan  Sulastri.
“Tolong… tolonglah  saya.…”
Polisi menggeleng-geleng sambil menunjuk-nunjuk ke tempat lain. Di bawah sinar matahari Sulastri terus berlari menyisir bibir Laut Merah. Di belakangnya suara Firaun terdengar meraung-raung. Makin dekat dan dekat. Bunyi mendebam sudah  benar-benar di belakang Sulastri. Dan Firaun memang sudah hampir menangkapnya.   Tangan Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hapir putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastri yang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itu pun jebol dari akarnya.
Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.
Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
Sulastri  mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri. (*)
.
.

Baca juga  Telapak Kaki yang Menyimpan Surga

Laut Merah – Surabaya, 2009- 2011

.

.

M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Setamat dari SPG di kota kelahirannya, dia melanjutkan pendidikan ke IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kemudian diteruskan ke Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya untuk S-2 dan S-3. Dia pernah mengajar di SD, SMP, SMA, dan Perguan Tinggi. Dia juga pernah mengasuh acara sastra di radio (RKPD Jombang), anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, ketua komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, dan redaktur majalah kebudayaan Kali Mas dan Kidung.
Shoim tiga kali berturut-turut menjadi juara pada lomba menulis cerpen yang diadakan Dewan Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990), dan beberapa kali  menjuarai lomba penulisan cerpen dan esai yang diadakan Depdiknas (2001, 2002, 2003, 2005, 2006, 2007), serta mendapatkan Penghargaan Seni dari Gubernur Jawa Timur (2008).
Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis, seperti Cerita Pendek dari Surabaya (editor Suripan Sadi Hutomo), Negeri Bayang-bayang (editor D. Zawawi Imron, dkk.), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (editor Korrie Layun Rampan), Dari Fansuri ke Handayani (editor Taufiq Ismail, dkk.), Horison Sastra Indonesia (editor Taufiq Isamail, dkk), Black Forest (editor Budi Darma), New York After Midnight (editor Satyagraha Hoerip), Beyond the Horizon (editor David T. Hill), Le Vieux Ficus et Autres Nouvelles (editor Laura Lampach), dll.
Kumpulan cerpen Shoim yang telah terbit adalah Oknum (Gaya Masa,1992), Musyawarah Para Bajingan (Gaya Masa,1993), Limau Walikota (ed., Surabaya Post, 1993), Pot dalam Otak Kepala Desa (Dewan Kesenian Surabaya, 1995), Bermula dari Tambi (ed., Dewan Kesenian Jatim, 1999), Soeharto dalam Cerpen Indonesia (ed., Bentang, 2001), Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah (Tiga Serangkai, 2004), Perempuan Terakhir (Grasindo, 2004), Asap Rokok di Jilbab Santi (Jaring Pena, 2009). Novelnya yang pernah dipublikasikan Meniti Kereta Waktu (SIC, 1999) dan cerita bersambung di media massa adalah Sang Pelancong, Angin Kemarau, Tandes, serta Elies.
Di samping mengajar, Shoim banyak menulis di berbagai media massa, menjadi pembicara dan membacakan cerpen-cerpennya di berbagai wilayah tanah air, termasuk di TIM Jakarta.
.
.

Loading

52 Comments

  1. miftah fadhli

    kalo tidak salah, saya pernah baca cerpen ini di majalah horison.

  2. jerukgoreng

    Ya, bacaan segar di 10 Muharram

  3. Sebuah fantasi yang cukup enak untuk dibaca.Aku pengin nulis model beginian namun belum pernah berhasil.Bravo untuk pengarang kisa ini.

  4. nong

    asyik ceritane

  5. lia emelda

    nice story ….

  6. Pada cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat Lelaki, Karya M. Shoim Anwar. Pada cerpen ini memiliki beberapa paragraf dan dalam cerpen ini memiliki berbagai makna dan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Beberapa masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata akan dijabarkan. Yang pertama yakni ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan religi. Pertama akan dijabarkan mengenai masalah ideologi, berdasarkan cerpen tersebut jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, bahwa dalam cerpen tersebut menceritakan tentang kehidupan sepasang suami istri dan anak-anaknya yang mengalami kesulitan ekonomi. Sang istri pun hingga berbuat nekad dengan pergi ke negara lain, namun ia pergi ke negara lain dengan cara yang tidak baik, dikatakan tidak baik karena ia tidak mematuhi peraturan negara saat berpergian ke negara lain. Jadi, sang istri pergi ke negara lain secara illegal karena tidak memiliki surat-surat. Termasuk dalam permasalahan ideologi yang berkaitan dengan kehidupan nyata bahwa seorang istri selalu menuntut sang suami untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat suami tidak bisa memenuhi kebutuhan materi istrinya secara baik, maka istri pun bertingkah berlebihan seperti melakukan apapun itu tanpa berpikir baik maupun buruknya, yang terpenting ia mendapatkan yang ia impikan. Itulah istri yang merasa kurang dipenuhi materinya oleh suami hal tersebut telah digambarkan pada cerpen sulastri dan empat lelaki. Selain itu, istri pun jadi berani melawan suami bahkan berani berkata kasar kepada suami, sikap tersebut akibat dari tidak terpenuhi kebutuhan materi sang istri.
    Dalam cerpen tersebut juga digambarkan seorang abdi negara yakni seorang polisi yang tugasnya adalah mengayomi masyarakat dengan sepenuh hati. Namun, dalam cerpen tersebut digambarkan bahwa polisi bukan hanya melayani masyarakat sepenuh hati tetapi, sesuai uang yang dimiliki dan diberikan kepada polisi agar dilancarkan dan tidak dipersulit keperluannya. Hal ini sangar jelas adanya dengan kehidupan nyata, dalam kehidupan nyata hal tersebut sungguh nyata bahwa saat masyarakat ingin dipermudah urusannya oleh polisi terkait dengan hukum maka, masyarakat tersebut harus mengeluarkan biaya agar urusan lancar. Contohnya saja saat melanggar peraturan lalu lintas tidak memakai helm, tidak membawa surat-surat seperti SIM, menerobos lampu lalu lintas maka, akan di tilang oleh polisi dan jika ditilang akan mendapatkan surat keterangan tilang dan harus sidang di pengadilan. Jika pihak yang ditilang tersebut tidak ingin sidang maka, harus memberi uang kepada polisi agar tidak mendapat surat tilang. Sebenarnya hal tersebut tidak boleh dilakukan, tetapi selama tidak ada yang tahu maka hal tersebut boleh saja dilakukan. Di cerpen tersebut pun menggambarkan polisi di kehidupan nyata, hal ini dapat dilihat saat sulastri sedang meminta tolong pada seorang polisi yang sedang berjaga di pos, namun sang polisi tidak menggubrisnya bahkan teriakan sulastri untuk meminta tolong karena dikejar oleh firaun pun diacuhkan oleh sang polisi. Karena, sulastri tidak memberikan apa-apa kepada polisi. Sedangkan sang polisi tersebut telah mendapatkan uang dari seorang mafia sebagai perantara orang-orang yang hendak berpergian ke negara lain. Maka dari itu polisi yang berada di pos tersebut berpihak kepada mafia tersebut dan mengabaikan permintaan pertolongan dari sulastri. Tetapi, perlu diketahui bahwa tidak semua polisi di indonesia ini memiliki sikap seperti itu, ada juga kok polisi yang tulus membantu masyarakat dengan ikhlas dan menegakkan peraturan.
    Pada cerpen tersebut juga digambarkan kondisi politik di negara sulastri yang sangat kacau. Hal itu terlihat dari kondisi ekonomi keluarga sulastri yang sangat buruk. Bahkan bukan hanya kondisi ekonomi keluarga sulastri saja yang buruk tetapi, semua keluarga yang tinggal di negara tersebut pun merasakan ekonomi rendah sekali. Hal ini disebabkan oleh pemimpin negara tersebut tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan negara. Bukan hanya, pemimpinnya saja yang bertindak curang tetapi para menteri, dan para DPR, DPRD juga telah melakukan kecurangan sehingga menyebabkan para rakyatnya mengalami ekonomi rendah dan serba kekurangan. Gambaran politik pada cerpen tersebut juga sesuai dengan kehidupan nyata, yakni para pemimpin negara, menteri, DPR, DPRD, pun sering bertingkah curang. Hal ini yang membuat para rakyat indonesia banyak yang mengalami ekonomi rendah. Minimnya lapangan pekerjaan itu yang menjadi permasalahan ekonomi masyarakat. Karena, pekerjaan itu seperti nafas bagi masyarakat. Jika tidak memiliki pekerjaan maka kehidupan ini tidak bisa berjalan dengan baik.
    Pada cerpen tersebut juga menggambarkan sosial masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Pada daerah tempat tinggal sulastri pun sangan buruk nilai sosialnya, karena setiap orang hanya mementingkan urusan pribadinya saja tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini sangat jelas berkaitan dengan kehidupan nyata contohnya di negara Indonesia, banyak sekali manusia yang membesarkan egois daripada toleransi, simpati, dan empati kepada sesama. Manusia seperti ini sangat banyak, namun tidak semua manusia membesarkan ego. Ada juga manusia yang memiliki simpati maupun toleransi pada sesama, contohnya saat ada tetangga yang mengalami kesulitan ekonomi, ada manusia baik dan peduli lingkungan membantunya dengan memberikan informasi lowongan pekerjaan dan bisa juga memberikan pekerjaan, agar dapat membantu memulihkan kondisi ekonomi tetangganya tersebut.
    Tetapi, suami sulastri pun juga salah besar karena ia tidak dapat menjalankan tugas sebagai suami yang baik. Ia malah menelantarkan istri dan anak-anaknya sehingga istrinya pun menghalalkan segala cara demi memenuhi kebutuhannya dan anak-anaknya. Hal ini juga terdapat di kehidupan nyata, bahwa ada lelaki yang menikahi perempuan tetapi, gagal dalam menjalankan tugasnya sebegai suami, sehingga istri dan anaknya pun mengalami kesusahan dan hidup menderita. Tetapi, tidak semua lelaki seperti suami sulastri dalam cerpen tersebut. Banyak juga para suami yang bertanggung jawab atas kehidupan istri dan anaknya. Bertanggung jawab yakni menjalankan tugasnya dengan baik sebagai seorang suami dan membuat bahagia anak beserta istrinya. Sebenarnya, perihal tersebut bergantung pada setiap individu, mengenai cara yang ia lakukan untuk membuat keluarganya hidup bahagia dan tenang.
    Dalam cerpen berjudul sulastri dan empat lelaki ini, sangat jelas digambarkan ekonomi yang dialami oleh sulastri sangatlah jauh dari kata sempurna. Memang benar, di dunia ini tidak ada yang sempurna karena, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Tetapi, ekonomi sulastri ini sangat tragis sekali. Dan budaya di negara sulastri sangat kental sekali, kentalnya melebihi susu kental manis. Hal ini terlihat dari masih adanya peraturan bahwa budak harus patuh kepada perintah tuannya. Saat sulastri ditinggalkan oleh suaminya, ia pun dikejar-kejar oleh firaun, karena firaun meminta ia untuk mematuhi perintahnya sebagai tuan. Sulastri pun tidak menggubris perintah firaun tersebut, akhirnya sulastri pun berlari untuk menjauh dari firaun, tetapi firaun pun tak menyerah dan terus mengejar sulastri. Namun, saat diperjalanan sulastri pun bertemu dengan sosok yang ia panggil musa, dan musa pun memberikan bantuan kepada sulastri agar terhindar dari firaun. Bantuan tersebut berupa sebuah tongkat dan tongkat tersebut dapat membuat firaun musnah.
    Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, tentunya ini tidak logis. Karena, di tahun 2021 ini sudah termasuk dalam era modern dan teknologi semakin berkembang sangat pesat. Jadi, hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia-manusia jaman sekarang. Jika ada seseorang akan dibunuh oleh penjahat, maka sesorang tersebut akan berlari ke kantor polisi untuk meminta perlindungan kepada polisi, agar terhindar dari penjahat tersebut. Jika, seseorang tersebut berada di kantor polisi maka, tidak akan dibunuh oleh penjahat. Karena, penjahatnya pun tidak berani menginjakkan kakinya di kantor polisi, hal tersebut sama saja dengan ia menyerahkan diri ke kandang harimau.
    Itu di kehidupan nyata benar-benar logis sekali yang dilakukan berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh sulastri dalam cerpen tersebut. Terkait dengan religi dalam cerpen tersebut, sangat jelas bahwa semua manusia menyembah berhala dan matahari. Mereka tidak menyembah tuhan yang telah menciptakkan ia di dunia ini. Dari segi religi saja sudah salah, maka terlihat jelas bahwa kehidupan mereka sangatlah rumit. Mereka tidak menyembah tuhan melainkan yang mereka sembah adalah berhala.
    Suami sulastri pun juga menyembah berhala, maka kehidupannya pun menjadi tersesat. Sama saja seperti ada jalan menuju surga tetapi ia lebih memilih jalan menuju neraka. Terlihat bahwa kehidupan, sikap dari suami sulastri sangatlah buruk. Jika, dikaitkan dengan kehidupan nyata hal ini masih banyak dilakukan oleh beberapa manusia di dunia ini. Walaupun zaman sudah modern, tetapi masih saja ada manusia yang menyembah seperti itu. Misalnya, bertapa di gua, laut, bahkan berguru dengan orang pintar (Dukun) untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Bahkan, bisa juga untuk memusnahkan manusia yang ia benci. Dengan cara pergi ke dukun untuk mengirim santet kepada lawan. Hal ini masih ada di Indonesia. Yang mereka lakukan tersebut sangatlah hal yang merugikan, karena hidup di dunia ini hanya satu kali, maka berbuatlah sebaik mungkin. Bahwa kehidupan yang abadi adalah di alam akhirat.
    Amanat yang dapat diambil oleh pembaca cerpen berjudul sulastri dan empat lelaki adalah;
    a. Bahwa kita sebagai manusia harus sadar mengenai hal buruk dan hal baik
    b. Belajarlah untuk ikhlas dalam membantu orang yang sedang mengalami kesusahan.
    c. Jadilah pemimpin yang adil untuk rakyatnya.
    d. Jangan pernah mengikuti ajakan setan ( Menyembah berhala, dan lain-lain).

  7. Kritik dan esai cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar
    1. Tokoh cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:
    1. Sulastri
    2. Lelaki 4 itu bernama suaminya yang bernama Markam
    3. Musa
    4. Fir’aun
    5. Polisi
    2. Watak tokoh cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki:
    1. Sulastri mempunyai watak keras, jahat
    2. Markam mempunyai watak jahat
    3. Musa mempunyai watak baik
    4. Fir’aun mempunyai watak jahat, keras
    5. Polisi mempunyai watak baik, tegas, penuh percaya diri
    3. Latar cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki :
    a. Latar waktu : pagi hari, siang hari
    b. Latar tempat : Laut merah, Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea.
    c. Latar suasana : terlihat sedih, menegangkan.
    4. Alur cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:
    Alur pada cerita ini menggunakan alur mundur, karena ceritanya dari awal hingga akhir tidak berkelanjutan jadi cerpen tersebut rasa kekecewaan belum nampak jelas.
    5. Gaya bahasa cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:
    Gaya bahasa pada cerita ini menggunakan majas Personifikasi yang terletak pada kutipan Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi.
    6. Sudut pandang cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:
    Pada cerpen ini, penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.
    7. Amanat cerpen “ Sulastrih dan Empat Lelaki”:
    1. Jika seorang muslim jangan pernah menyembah berhala.
    2. Jangan pernah serakah terhadap orang lain.
    3. Jangan penah memutuskan kehendak sendiri seperti politik.
    Makna cerpen “ Sulastri dan empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang Sulastri dan empat lelaki diantaranya, suaminya yang bernam Markam, Musa, Fir’aun,Polisi. Sulastri dan suaminya yang kaya kemudian minta tolong kepada Musa. Sulastri dan suaminya suka menyembah berhala karena ingin mencari keadilan bermain politik. Fir’aun hanya bisa marah dan akhirnya menjadi pasir. Lalu tongkat yang dipegang Musa bersamaan dengan ular datang. Kemudian binatang itu menjadi laut merah.
    Kritik cerpen “ Sulastri dan empat Lelaki”
    Dahulu kala di laut merah ada matahari yang sangat terik. Ada seorang wanita bernama Sulastrih dan empat lelaki yaitu suaminya yang bernama Markam, Musa, Fir’aun, dan Polisi. Sulastrih dan Markam hidupnya sangat kaya penuh berlimpah harta. Sulastrih mengikuti suaminya yang berpolitik mencari keadilan. Seketika itu Sulastri minta tolong kepada Musa:
    “Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
    “Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa….”
    Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
    Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri.
    Cerpen “ Sulastrih dan Empat Lelaki” nampaknya secara lebih lanjut tidak dijelaskan mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Sulastrih.
    Esai cerpen “ Sulastri dan empat Lelaki”
    Dahulu kala di laut merah ada matahari yang sanagat terik. Ada seorang wanita bernama Sulastrih dan empat lelaki yaitu suaminya yang bernama Markam, Musa, Fir’aun, dan Polisi. Sulastrih dan Markam hidupnya sangat kaya penuh berlimpah harta. Sulastrih mengikuti suaminya yang berpolitik mencari keadilan. Seketika itu Sulastri minta tolong kepada Musa:
    “Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
    “Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa….”
    Fir’aun hanya tertawa saja kemudian Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.
    Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
    Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri.
    Kelebihan dan kekurangan cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki” :
    Kelebihan cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki ini mudah dipahami dan sangat menarik untuk dibaca, Karena isi cerpen ini menceritakan tentang tentang seorang Sulastri dan empat lelaki diantaranya, suaminya yang bernam Markam, Musa, Fir’aun,Polisi. Sulastri dan suaminya yang kaya kemudian minta tolong kepada Musa. Sulastri dan suaminya suka menyembah berhala karena ingin mencari keadilan bermain politik. Fir’aun hanya bisa marah dan akhirnya menjadi pasir. Lalu tongkat yang dipegang Musa bersamaan dengan ular datang. Kemudian binatang itu menjadi laut merah.
    Kekurangan dari cerpen tersebut kata-katanya banyak menggunakan perumpamaan dan menceritakan bagian akhir cerita tersebut tidak digambarkan secara lebih lanjut mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Sulastri.
    Dari cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang yaitu jika seorang muslim jangan pernah menyembah berhala, jangan pernah serakah terhadap orang lain, jangan penah memutuskan kehendak sendiri seperti politik.

  8. Ceritanya seru dan keren

  9. FATIKHATUL KOIROH
    PBI 2017 A
    175200034
    Kritik dan esai cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar
    1. Tokoh cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:
    1. Sulastri
    2. Lelaki 4 itu bernama suaminya yang bernama Markam
    3. Musa
    4. Fir’aun
    5. Polisi
    2. Watak tokoh cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki:
    1. Sulastri mempunyai watak keras, jahat
    2. Markam mempunyai watak jahat
    3. Musa mempunyai watak baik
    4. Fir’aun mempunyai watak jahat, keras
    5. Polisi mempunyai watak baik, tegas, penuh percaya diri
    3. Latar cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki :
    a. Latar waktu : pagi hari, siang hari
    b. Latar tempat : Laut merah, Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea.
    c. Latar suasana : terlihat sedih, menegangkan.
    4. Alur cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:
    Alur pada cerita ini menggunakan alur mundur, karena ceritanya dari awal hingga akhir tidak berkelanjutan jadi cerpen tersebut rasa kekecewaan belum nampak jelas.
    5. Gaya bahasa cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:
    Gaya bahasa pada cerita ini menggunakan majas Personifikasi yang terletak pada kutipan Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi.
    6. Sudut pandang cerpen “ Sulastri dan Empat Lelaki”:
    Pada cerpen ini, penulis mengambil sudut pandang tidak langsung. Karena penulis menuliskan sebuah kisah atas apa yang dia dengar dari sebuah kejadian.
    7. Amanat cerpen “ Sulastrih dan Empat Lelaki”:
    1. Jika seorang muslim jangan pernah menyembah berhala.
    2. Jangan pernah serakah terhadap orang lain.
    3. Jangan penah memutuskan kehendak sendiri seperti politik.
    Makna cerpen “ Sulastri dan empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar menceritakan tentang seorang Sulastri dan empat lelaki diantaranya, suaminya yang bernam Markam, Musa, Fir’aun,Polisi. Sulastri dan suaminya yang kaya kemudian minta tolong kepada Musa. Sulastri dan suaminya suka menyembah berhala karena ingin mencari keadilan bermain politik. Fir’aun hanya bisa marah dan akhirnya menjadi pasir. Lalu tongkat yang dipegang Musa bersamaan dengan ular datang. Kemudian binatang itu menjadi laut merah.
    Kritik cerpen “ Sulastri dan empat Lelaki”
    Dahulu kala di laut merah ada matahari yang sangat terik. Ada seorang wanita bernama Sulastrih dan empat lelaki yaitu suaminya yang bernama Markam, Musa, Fir’aun, dan Polisi. Sulastrih dan Markam hidupnya sangat kaya penuh berlimpah harta. Sulastrih mengikuti suaminya yang berpolitik mencari keadilan. Seketika itu Sulastri minta tolong kepada Musa:
    “Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
    “Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa….”
    Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
    Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri.
    Cerpen “ Sulastrih dan Empat Lelaki” nampaknya secara lebih lanjut tidak dijelaskan mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Sulastrih.
    Esai cerpen “ Sulastri dan empat Lelaki”
    Dahulu kala di laut merah ada matahari yang sanagat terik. Ada seorang wanita bernama Sulastrih dan empat lelaki yaitu suaminya yang bernama Markam, Musa, Fir’aun, dan Polisi. Sulastrih dan Markam hidupnya sangat kaya penuh berlimpah harta. Sulastrih mengikuti suaminya yang berpolitik mencari keadilan. Seketika itu Sulastri minta tolong kepada Musa:
    “Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
    “Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa….”
    Fir’aun hanya tertawa saja kemudian Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.
    Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
    Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri.
    Kelebihan dan kekurangan cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki” :
    Kelebihan cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki ini mudah dipahami dan sangat menarik untuk dibaca, Karena isi cerpen ini menceritakan tentang tentang seorang Sulastri dan empat lelaki diantaranya, suaminya yang bernam Markam, Musa, Fir’aun,Polisi. Sulastri dan suaminya yang kaya kemudian minta tolong kepada Musa. Sulastri dan suaminya suka menyembah berhala karena ingin mencari keadilan bermain politik. Fir’aun hanya bisa marah dan akhirnya menjadi pasir. Lalu tongkat yang dipegang Musa bersamaan dengan ular datang. Kemudian binatang itu menjadi laut merah.
    Kekurangan dari cerpen tersebut kata-katanya banyak menggunakan perumpamaan dan menceritakan bagian akhir cerita tersebut tidak digambarkan secara lebih lanjut mengenai rasa kekecewaan yang diterima oleh Sulastri.
    Dari cerpen yang berjudul “ Sulastri dan empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang yaitu jika seorang muslim jangan pernah menyembah berhala, jangan pernah serakah terhadap orang lain, jangan penah memutuskan kehendak sendiri seperti politik.
    Fatikhatul Koiroh
    PBI 2017 A
    175200034

  10. Ulasan saya mengenai cerita diatas sudah saya publikasikan di blog saya, guna menghindari kesamaan penulisan di laman lain. https://puisikosongsaya.wordpress.com/2021/04/23/sulastri/
    sila klik tautan tersbut untuk lebih detil.

  11. Kritik dan Esai Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” Karya M. Shoim Anwar

    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” merupakan salah satu karya dari M. Shoim Anwar, seorang sastrawan sekaligus dosen. M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. M. Shoim Anwar telah banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di berbagai media. Menurut KBBI cerita pendek adalah cerita yang isinya kurang dari 10.000 kata dan ceritanya berkonsentrasi pada satu tokoh dalam cerita.
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” menceritakan seorang perempuan bernama Sulastri yang menjadi seorang TKW di Jazirah Arab. Sulastri yang merenung tentang kehidupannya berjalan menaiki tanggul Laut Merah sampai akhirnya Sulastri di perlihatkan sosok Fir’aun dan Musa AS. Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” berhubungan dengan cerita yang tokoh utamanya adalah seorang perempuan bernama Sulastri dan empat orang lelaki yaitu seorang polisi, Markam atau suami Sulastri, Fir’aun, dan Musa AS.
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” diawali dengan penggambaran pemandangan Laut Merah pada saat itu. Dalam Islam Laut Merah mengingatkan kita pada kisah Nabi Musa AS yang diberikan mukjizat oleh Allah SWT dapat membelah Laut Merah untuk menghindari kejaran Fir’aun dan para pasukannya sehingga Fir’aun dan pasukannya tenggelam di Laut Merah. Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” juga ditampakkan sosok Fir’aun dan Nabi Musa AS yang hadir saat Sulastri berada di tengah tanggul Laut Merah. Seperti dalam kutipan cerpen sebagai berikut,
    Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
    “Firauuun…!” (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)

    Untuk ulasan selengkapnya ada di
    https://dinisafiahudah.blogspot.com/2021/04/kritik-dan-esai-cerpen-sulastri-dan.html?m=1

  12. Kritik dan Esai Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”
    Cerpen dengan judul “Sulastri dan Empat Lelaki” merupakan salah satu karya M. Shoim Anwar, beliau merupakan seorang penulis sekaligus dosen salah satu universitas di Surabaya. m. Shoim Anwar lahir di Desa Sampong Dukuh, Jombang Provinsi Jawa Timur. Beliau telah banyak menulis karya berupa cerpen, novel, esai dan puisi yang sudah diterbitkan di berbagai media. Cerpen-cerpen yang dimuatdalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis. Kumpulan yang telah terbit adalah oknum tahun 1992, musyawarah para bajingan tahun 1993, perempuan terakhir tahun 2004, asap rokok di jilbab santi tahun 2010, kutunggu di jarwal tahun 2014, dan masih banyak yang lainnya. Sedangkan novel yang telah dipublikasikan yaitu meniti kereta waktu tahun 1999, serta Elies tahun 2006, sastra lama tahun 2013, sastra yang menuntut perubahan tahun 2015 dan masih banyak lagi yang lainnya.
    Dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan empat lelaki” karya M. Shoim Anwar merupakan sebuah karya yang mencerminkan kehidupan sehari-hari dalam cerita tersebut digambarkan dengan penuh imajinasi pengarang seolah-olah bercerita mengenai kehidupan sebagian masyarakat yang hidupnya tidak mengalami keadilan. Diceritakan dalam cerpen tersebut tokoh Sulastri merupakan tokoh seorang TKW yang direndahkan dan tertindas seorang wanita dikatakan lemah dan tak berdaya maka dari itu orang yang berkuasa memperlakukan dia seenaknya sendiri dan harus mau menuruti perintahnya dan tunduk padanya. tokoh Sulastri merupakan sosok wanita yang lemah ia bekerja sebagai TKW namun mendapat perlakuan yang tidak adil tokoh Sulastri telah dilontarkan oleh suaminya yang pekerjaan suaminya sehari-hari hanya menyembah berhala suami istri tidak mau memberi nafkah pada istri dan juga anak-anaknya atas perlakuan suaminya Sulastri memutuskan untuk bekerja sebagai TKW agar kebutuhan hidupnya tercukupi. Berikutnya yaitu toko Musa diceritakan musnah yang menyelamatkan Sulastri dari kejaran Firaun toko Musa mempunyai watak yang baik dan penolong sedangkan tokoh Firaun digambarkan seseorang yang mempunyai kekuasaan dan dia memiliki sikap yang egois dan tidak suka dibantah semua yang ada harus patuh dan tunduk pada perintahnya beliau merupakan raja yang kejam dan suka menindas rakyat kecil beliau tidak kenal kata ampun.
    Dalam kehidupan saat ini kita harus pandai dalam mencari suami karena suami merupakan orang terdekat yang akan memberi pengaruh pada pola pikir dan kebiasaan kita. Apalagi kalau suami tidak mau bekerja dan tidak mau memberi nafah pada istri dan anak-anak seharusnya sebagai seorang suami tentunya sdah menjadi kewajiban bekerja untuk memberi nafkah pada istri dan anak-anaknya. Diceritakan dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar suami Sulastri yang tidak mau bekerja kegiatan sehari-harinya hanya menyembah berhala dan tidak memberi nafkah pada istri dan anaknya sehingga terpaksa Sulastri menggantikan peran suami dengan bekerja sebagai TKW di luar negeri ia terpaksa meinggalkan anak-anak yag ia sayangi demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Diveritakan dalam cerpen tersebut seseorang yang memiliki kekuasaan dan harta sehingga ia menindas rakyat kecul untuk mau diperbudak dengan patut dan tunduk pada semua perintahnya. Sebagai manusia kita memiliki derajat yang sama dan tidak boleh membeda-bedakan satu sama lain dan saling berkuasa karena di mata Allah kita sebagai manusia memiliki derajat yang sama.
    Pada cerpen Sulastri dan empat lelaki dilihat dari segi politik yaitu orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan bertindak dengan semaunya sendiri dan suka menindas rakyat biasa berkuasa sendiri merupakan watak seseorang yang egois arogan dalam mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat yaitu orang yang memiliki kedudukan tinggi memperlakukan rakyat yang tidak memiliki kedudukan tinggi dengan tidak adil seperti orang yang memiliki kedudukan tinggi dinilai lebih tinggi derajatnya daripada orang yang biasa.
    Pada segi sosial cerpen ini menceritakan kehidupan sebagian masyarakat yang mengenai masalah sosial banyak permasalahan rumah tangga menjadi topik utama terjadinya masalah sosial masalah sosial selalu berkaitan dengan masalah ekonomi masyarakat yang ekonominya kurang mengalami kesulitan dalam mencukupi kehidupan sehari-hari apalagi jika seorang suami yang tidak memberikan nafkah pada istri dan anaknya dan suami tidak mau bekerja maka terpaksa peran seorang suami digantikan oleh seorang istri yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya agar tidak mengalami kekurangan di hidupnya. Tokoh Sulastri yaitu seorang ibu yang harus bekerja sampai ke luar negeri bahkan jauh dari anak-anaknya Sulastri bertekad untuk mencari nafkah agar kehidupan anak-anaknya tercukupi.
    Dari segi religi cerpen ini sama persis dengan kisah nabi Musa yang memiliki mukjizat tongkat yang bisa menyelamatkan dirinya dari kejaran raja Firaun. Dalam cerpen tersebut menggunakan nama tokoh-tokoh yang mengalami kesamaan yaitu raja Firaun yang memiliki sifat suka menindas dan berbuat semaunya sendiri beliau dikenal sebagai raja yang kejam semua orang harus patuh dan tunduk pada perintahnya. kemudian digambarkan pada suami Sulastri yang suka menyembah berhala hal itu sama persis pada masa nabi Musa sebagian besar umatnya di sana menyembah berhala termasuk raja Firaun. lalu toko Musa digambarkan sebagai seorang yang baik penolong dan mau membantu rakyat rakyatnya beliau merupakan seorang yang memiliki jiwa ksatria dan bijaksana.
    Dalam cerpen yang berjudul Sulastri dan empat lelaki karya M. Shoim Anwar memiliki pesan kepada pembaca jika menjadi suami harus bekerja dan memberi nafkah pada istri dan anak-anaknya karena sudah menjadi kewajiban seorang suami bekerja untuk memberi nafkah istri dan anak-anaknya agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan jika seorang suami tidak memberi nafkah pada sang istri dan anak-anaknya maka suami tersebut akan mendapat dosa karena telah menelantarkan istri dan anak-anaknya. Diceritakan pada cerpen tersebut sebagian besar seseorang yang memiliki kekuasaan harta melimpah sebaiknya berikanlah pada masyarakat sekitar yang membutuhkan dan jangan menjadi pemimpin yang kejam dan suka menindas rakyat biasa sebagai seorang raja harusnya dapat memberi contoh yang baik pada rakyatnya karena orang yang kejam atau jahat hidupnya tidak akan damai dan bahagia. Dilihat dari segi seorang ibu yang digambarkan oleh tokoh yang bernama Sulastri ia rela mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya meskipun harus bekerja sebagai TKW jauh dari rumah dan harus meninggalkan anak-anaknya hal itu dilakukan agar kebutuhan anak-anaknya tercukupi.

  13. Berbicara tentang sebuah karya sastra, tentu tidak akan terlepas dari bentuk-bentuk estetika yang mendasari sebuah karya sastra itu tercipta. Setiap karya sastra tentu memiliki sisi-sisi keindahan yang sengaja diciptakan oleh penulis untuk menarik pembaca atau menambah citra dalam karya yang tercipta. Karya sastra merupakan hasil dari sebuah pemikiran yang mendalam atupun bentuk dari keinginan-keinginan pengarang yang dikemas dalam bentuk imajinatif, lalu dituangkan dalam bentuk tulisan-tulisan dengan rangkaian bahasa yang indah dan dapat dinikmati oleh penikmat sastra. Karya sastra memiliki berbagai macam bentuk, seperti puisi, novel, cerita pendek danmasih banyak lagi, namun di sini saya tertarik untuk menelusuri cerita pendek.
    Cerita pendek merupakan salah satu hasil karya sastra yang banyak digemari oleh khalayak umum karena penyampaian cerita yang cukup singkat dan kompleks sehingga tidak memerlukan waktu yang lama dalam membacanya. Membuat cerita pendek tidaklah pekerjaan yang mudah karena harus memikirkan cerita yang kompleks, menarik dengan singkat. Seperti cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”, cerita pendek tersebut dapat dijadikan sebagai contoh cerita pendek yang menarik, alur maju-mundur yang membuat cerita tidak monoton dan kompleks, selain itu dalam cerita pendek tersebut juga menyimpan informasi-informasi yang tidak boleh terlewatkan begitu saja. Mari kita ulas cerita pendek yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar dari berbagai aspek secara mendalam.
    Saat membaca cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” kita akan disuguhkan dengan sebuah kehidupan yang penuh dengan misteri. Bagimana tidak, cerita pendek tersebut menggambarkan sosok Sulastri dengan empat orang laki-laki, tentu saat pertama kali membaca judul tersebut kita akan bertanya-tanya siapa sosok empat lelaki tersebut dan apa hubngannya dengan Sulastri? Apakah dalam certita pendek tersebut Sulastri digambarkan sebagai sosok poliandri seperti Drupadi dalam kisah pewayangan Mahabarata? Nah dari membaca judulnya saja kita akan menebak-nebak isi dari cerita pendek tersebut dan membuat pembaca akan lebih tertarik untuk mengetahui isi dari cerpen tersebut. Itulah mengapa tadi saya sebutkan bahwa cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” merupakan salah satu contoh cerita pendek yang menarik.
    Jika kita telaah lebih mendalam lagi cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” ini memiliki banyak sudut pandang yang sebenarnya cukup penting dalam mencipta sebuah karya sastra karena akan kaya dengan makna. Banyaknya sudut pandang dalam sebuah karya sastra akan menciptakan sebuah media bagi penikmat sastra untuk berdiskusi. Cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” ini mengisahkan sosok perempuan bernama Sulastri, memiliki seorang anak dan suami bernama markam, kehudupan Sulastri kian menderita semenjak suuaminya melakukan semedi di ujung Bengawan Solo untuk mendapatkan benda-benda pusaka. Bagaimana tidak kian menderita kalau hanya dirinya yang membanting tulang untuk memenuhi kehudupan keluarganya karena suami Sulastri tidak bekerja dan hanya bertapa. Kemudian Sulastri memutuskan untuk mengadu nasibnya di Arab, berharap dia bisa merubah nasibnya supaya bisa lebih baik, terlepas dari cara yang ia lakukan benar atau tidak.
    Ternyata yang dibayangkan Sulastri tidak seperti yang ia harapkan, di Arab dia hanya menjadi seorang budak yang justru lebih menderita. Dengan sekuat tenaga dia merencanakan untuk pulang ke negara asalnya. Sampai akhirnya dia berada di bibir Pantai Laut Merah berharap bisa kabur dari sana, ternyata tidak semudah yang ia bayangkan karena ia bertemu dengan polisi yang ingin menapkapnya tetapi untungnya Sulastri berhasil lolos dari kejaran polisi tersebut. Setelah berhasil kabur dari kejaran polisi tersebut membuat Sulastri tertegun dengan membayangkan masalalunya bersama suaminya di masa lalu yaitu Markam. Slastri mengingat bagaimana ia dan anaknya ditelantarkan dan tidak diberi nafkah oleh Markam hanya karena ia lebih memilih bertapa di ujung Bengawan Solo menyembah berhala untuk mendapatkan pusaka yang tak kunjung muncul. Memori yang mungkin menyakitkan untuk Sulastri jika dia ingat kembali. Sesaat setelah bayangan akan masa lalunya mulai memudar, Sulastri dikagetkan dengan sosok laki-laki hitam, besar yang tiba-tiba muncul dari perairan laut merah, ya dia adalah Firaun.
    Sulastri sangat ketakutan dengan sosok Firaun karena ia dijadikan sebagai budak. Perlahan Sulastri menjauh dan lari untuk menghindari Firaun, tetapi Firaun tidak tinggal diam dia mengejar Sulastri. Di saat Sulastri mulai kelelahan berlari tiba-tiba muncul sosok laki-laki tua dengan membawa tongkat di hadapan Sulastri, dia adalah Musa. Sulastri mencoba untuk meminta bantuan musa tetapi musa menghilang. Langkah Firaun yang besar membuatnya bisa mengejar Sulastri dan meraih rambut Sulastri kemudian dijambak dengan sangat kasar hingga rambutnya rontok. Saat itulah Sulastri jatuh dan tiba-tiba Musa muncul kembali dan memberikan tongkatnya kepada Sulastri sebagai sumber kekuatannya Sulastri memukulkan tongkat tersebut ke arah Firaun kemudian Firaun hancur berkeping-keping. Sebuah akhir cerita yang cukup menegangkan dan menguras emosi.
    Berdasarkan gambaran isi cerita pendek yang saya uraikan di atas, terdapat berbagai sudut pandang yang dapat kita telaah seperti dari segi agamis, feminisme, politik, dan simbol. Mari kita uraian satu persatu. Pertama dari sudut pandang agamis, kenapa dikatakan demikian? Hal tersebut dapat kita lihat dialong Musa dengan Sulastri.
    “Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
    “Kau masuk negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
    “Suamimu penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    Bukti percakapan Sulastri dengan Musa, menunjukkan adanya sudut pandang agamis di dalamnya. Di dalam agama apapun tidak akan dibenarkan jika kita ingin mendapatkan sesuatu dimualai dengan cara curang atau tidak benar. Meskipun niat Sulastri baik yaitu untuk mengubah nasibnya dengan keluarganya tetapi cara yang dilakukan Sulastri haram, nah itulah yang membuat Sulastri kesulitan dalam menjalankan usahanya bahkan dia akan tersesat dan lebih menderita karena cara yang ia lakukan untuk mencapainya sudah salah. Sisi agamis dalam cerpen ini juga dapat dilihat dari setting tempat yakni di Arab dimana seperti yang kita tahu bahwa negara Arab Sudi adalah negara dengan pemeluk agama islam terbanyak di dunia. Keduua dapat kita lihat dari penamaan tokoh seperti Firaun dan Musa yang membawa tongkat, nama-nama yang digunakan oleh penulis atau kisah tongkat Musa sering kita dengar pada cerita-cerita nabi yang ada dalam agama islam. Menurut saya dalam cerita ini sisi agamis lebih condong ke agama islam, sperti kata Musa “Suamimu penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?” dalam islam seseorang tidak diperbolehkan untuk menyembah berhala jika is menyembah berhala hidupnya akan mengalami kesesatan.
    Kedua dari sudut pandang feminisme, sudut pandang feminsime yang terdapat pada cerita pendek “Sulastri dan empat laki-laki” dapat kita lihat dari dialog Sulastri dan Musa, kutipan dialog tersebut sebagai berikut.
    “Suamimu penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan dan laki-laki diwajibkan untuk mengubah nasibnya sendiri”
    Berdasrkan kutipan tersebut, dapat kita lihat terdapat sisi feminisme di dalamnya, di mana perempuan secara sadar atau tidak mereka selalu menggantungkan dirinya pada laki-laki. Sejatinya perempuan dengan laki-laki mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri karena sesungguhnya yang paling bertanggung jawab atas kehidupan kita yakni diri kita sendiri, tidak ada pelabelan gender di dalamnya. Berdasarkan kutipan tersebut sosok Musa memberikan pemahaman terhadap Sulastri bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hakikat yang sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan berhak bebas tanpa bergantung dengan laki-laki. Sisi feminisme selanjutnya dapat kita lihat dari sudut pemaknaan judul “Sulastri dan empat laki-laki” di mana hanya terdapat satu perempuan dan empat laki-laki. Menunjukkan adanya pemdominasian antara laki-laki dan perempuan.
    Ketiga sudut pandang dari segi politik, sudut pandang politik yang terdapat paca cerita pendek “Sulastri dan empat laki-laki” dapat kita lihat dari dialog Sulastri dan Musa, kutipan dialog tersebut sebagai berikut.
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tidak kebagian, Ya Musa.”
    “Mereka telah memenjarakan kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya”
    “Di negerimu keadilan telah menjadi selogan, para pemimpin di negerimu tidak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    Berdasarkan kitipan di atas, dapat kita lihat terdapat gambaran permainan politik dalam negeri kita. Negeri kita kaya tetapi kenapa banyak sekali kemiskinan, kekayaan alam yang terdapat di negeri kita yang seharusnya menjadi hak rakyat dikuasai oleh para pejabat. Keadilan dalam negeri ini hanyalah sebuah slogan yang digembar-gemborkan menjelang pemilu untuk membeli suara rakyat, setelah pemilu selesai keadilan hanyalah slogan yang hilang ditelan bumi. Rakyat miskin hanya dijadikan alat untuk penyokong suara agar jabatan mereka naik. Setelah keinginan para pejabat terpenuhi, raknya akan dijadikan barang dagangan murah dan tidak diperdulikan kehidupannya, mereka dijadikan sapi perah bekerja paruh waktu dengan upah yang tak sebanding. Hak-hak mereka dinikmati oleh para tikus berdasi. Rakyat dijadikan budak dinegeri mereka sendiri.
    Keempat yakni sudut pandang dari segi simbolik, saya menemuan empat sudut pandang simbolik yang terdapat pada cerita pendek “Sulastri dan empat laki-laki” diantaranya yakni simbol amarah, simbol serakah, simbol nafsu dasar manusia, dan simbol kebaikan atau kesucian. Keempat simbol yang terdapat dalam cerita pendek ini merupakan satu kesatuan dari nafsu yang terdapat dalam diri manusia. Mari kita uraikan satu persatu. Pertama simbol amarah, yakni terdapat pada sosok Firaun. Dalam diri Firaun terdapat gejolak amarah, kasar, dan jahat, itulah mengapa Firaun di sini melambangkan sifat manusia yang penuh dengan amarah.
    Simbol berikutnya yakni simbol serakah, yang dilambangkan oleh sosok polisi, mengapa sosok polisi melambangkan sebuah keserakahan? Hal tersebut seperti yang digambarkan pada cerita ini di mana polisi ingin menangkap sulastri bukan untuk mereka adili sesuai dengan tugas mereka yang seharusnya menjaga ketertiban ataupun menolong oaring yang sedang mengalami masalah. Polisi di sini justru menangkap Sulastri hanya untuk mendapatkan imbalan berupa uang. Sebuah sifat serakah yang dilambangkan dalam sosok polisi dalam cerpen ini. Simbol amarah ini juga melambangkan mafsu yang terdapat dalam diri manusia yang tidak akan pernah puas denga napa yang mereka miliki, termasuk keinginan untuk dihormati, disanjung dan tentunya memiliki pangkat atau kedudukan di mata masyarakat.
    Simbol selanjutnya yakni simbol nafsu dasar manusia, yang dilambangkan oleh sosok Sulastri. Sulastri di sini sebagai makhluk hidup manusia memiliki Hasrat untuk memuaskan kebutuhan makan dan minum. Namun kebtuhan dasar tersebut jika untuk mendapatkannya ditempuh dengan cara yang salah tentu akan menjadi boomerang untuk diri sendiri. Seperti halnya Sulastri yang mengalami kesulisan saat berada di Arab bahkan hidupnya lebih menderita karena untuk memenuhi nafsu tersebut Sulastri menembuh jalan yang haram. Itulah mengapa sosok Sulastri dalam cerpen ini menyimbolkan nafsu dasar manusia yang didapatkan dengan cara yang salah.
    Simbol terakhir yang terdapat pada cerpen ini yakni simbol kebaikan atau kesucian, yang dilambangkan oleh sosok Musa. Musa menjadi sosok yang bijaksana, penyejuk, dan penolong bagi Sulastri. Di sini Musa tidak hanya sekadar menolong, melainkan menberikan pelajaran berharga untuk Sulastri bahwa sesuatu yang dimulai dengan cara yang salah pasti akan berujung kerumitan. Musa melambangkan kebaikan yan terdapat pada diri manusia. Sejatinya setiap manusia pasti memiliki sisi kebaikan karena itulah kodratyang seharusnya dimiliki oleh manusia. Itulah yang dapat saya uraikan pada sat saya membaca cerita pendek karya M. Shoim Anwar yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” cerita ini sangat menrik dan menyimpan nilai-nilai kehidupan di dalamnya.

  14. Yuliana Sarti

           Dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” Karya M. Shoim Anwar.  setelah saya membaca cerpen ini ternyata isi didalamnya sangat bermanfaat dengan kehidupan sekarang ini. Cerpen tersebut mengisahkan tentang kehidupan seseorang istri yang bernama Sulastri dan suami serta anak-anaknya yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Oleh Karen itu dengan keadaan seperti itu sang istri pun bernekad untuk pergi kenegara lain, akan tetapi sang istri ini pergi kenegara lain dengan cara yang tidak pantas dilakukan karena tidak mengikuti atauran-aturan negara. Ia pergi tanpa memiliki surat-surat yang dimilikinya. Dari cerpen ini  banyak mengandung maknanya dan juga masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan kehidupan yaitu: ideologi,politik,sosial,ekonomi,budaya dan relegi. 
            Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” diawali dengan penggambaran pemandangan Laut Merah pada saat itu. Dalam Islam Laut Merah mengingatkan kita pada kisah Nabi Musa AS yang diberikan mukjizat oleh Allah SWT dapat membelah Laut Merah untuk menghindari kejaran Fir’aun dan para pasukannya sehingga Fir’aun dan pasukannya tenggelam di Laut Merah. Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” juga ditampakkan sosok Fir’aun dan Nabi Musa AS yang hadir saat Sulastri berada di tengah tanggul Laut Merah. 
           Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini tidak hanya membahas mengenai keterkaitan antara kisah Nabi Musa AS saja, namun juga membahas mengenai kejadian yang sering terjadi di Indonesia dimana seseorang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan bahkan tergolong musyrik yaitu melakukan ritual untuk mendapatkan benda-benda yang dianggap sakral atau memiliki kemampuan magis yang dapat mendatangkan kekayaan. 
            Penggunaan kata dan kalimat dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”  mudah untuk dipahami, penulis memberikan penggambaran situasi dan kondisi dalam cerpen secara rinci seperti yang terjadi di kehidupan nyata oleh sebab itu cerpen  “Sulastri dan Empat  Lelaki”  memiliki jalan cerita yang sangat menarik.
             Yang pertama dalam permasalahan ini adalah ideologi yang berkaitan dengan kehidupan nyata bahwa seorang istri selalu menuntut sang suami untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saat suami tidak bisa memenuhi kebutuhan materi istrinya secara baik, maka istri pun bertingkah berlebihan seperti melakukan apapun itu tanpa berpikir baik maupun buruknya, yang terpenting ia mendapatkan yang ia impikan. Itulah istri yang merasa kurang dipenuhi materinya oleh suami hal tersebut telah digambarkan pada cerpen sulastri dan empat lelaki.
              Yang kedua permasalahan tersebut juga digambarkan kondisi politik di negara sulastri yang sangat kacau. Hal itu terlihat dari kondisi ekonomi keluarga sulastri yang sangat buruk. Bahkan bukan hanya kondisi ekonomi keluarga sulastri saja yang buruk tetapi, semua keluarga yang tinggal di negara tersebut pun merasakan ekonomi rendah sekali. Hal ini disebabkan oleh pemimpin negara tersebut tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan negara. Bukan hanya, pemimpinnya saja yang bertindak curang tetapi para menteri, dan para DPR, DPRD juga telah melakukan kecurangan sehingga menyebabkan para rakyatnya mengalami ekonomi rendah dan serba kekurangan. Gambaran politik pada cerpen tersebut juga sesuai dengan kehidupan nyata, yakni para pemimpin negara, menteri, DPR, DPRD, pun sering bertingkah curang. Hal ini yang membuat para rakyat indonesia banyak yang mengalami ekonomi rendah. 
          Yang ketiga permasalahan Pada cerpen tersebut menggambarkan sosial masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Pada daerah tempat tinggal sulastri pun sangan buruk nilai sosialnya, karena setiap orang hanya mementingkan urusan pribadinya saja tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini sangat jelas berkaitan dengan kehidupan nyata sekarang ini. 
     Setelah saya membaca dari awal hingga akhir cerpen tersebut ternyata suami sulastri pun juga salah besar karena ia tidak dapat menjalankan tugas sebagai suami yang baik. Ia malah menelantarkan istri dan anak-anaknya sehingga istrinya pun menghalalkan segala cara demi menafkah anak-anaknya. 
            Terkait dengan religi dalam cerpen tersebut, sangat jelas bahwa semua manusia menyembah berhala dan matahari. Mereka tidak menyembah Tuhan yang telah menciptakkan ia di dunia ini. Dari segi religi saja sudah salah, maka terlihat jelas bahwa kehidupan mereka sangatlah rumit. Mereka tidak menyembah tuhan melainkan yang mereka sembah adalah berhala.
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini memiliki banyak pesan atau makna yang baik  seperti : 
    1. mengingatkan kita untuk tidak mudah         menyerah dalam melakukan sesuatu. 
     
    2.  selalu mengingat kuasa Allah SWT,      bersikap jujur, adil, dan bertanggung jawab dengan tugas yang telah di percayakan kepada kita.
              Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini dapat dikaitkan dengan berbagai aspek dalam realitas kehidupan secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari seperti ideologi, politik,sosial, ekonomi,  kepercayaan, kebudayaan, dan agama.

  15. Skolastika Juita

    Cerpen Sulastri dan empat lelaki adalah sebuah cerpen yang mengisahkan tentang seorang perempuan yang bernama Sulastri. Sulastri adalah perempuan asal negeri indonesia yang pergi merantau di negeri orang. Sulastri yang ditelantarkan oleh suaminya yang membuat dia meninggalkan keluarganya serta anak-anaknya dan mengadu nasib di negeri orang. Sulastri yang menjadi orang gelandangan membuat dirinya lemah tak berdaya. Hidup Sulastri sudah tidak tentu arah. Sulastri berpikir bahwa mungkin dia akan menjadi baik setelah merantau nyatanya, hidupnya semakin parah. Di negeri orang Sulastri di anggap sebagai budak. Sulastri tidak menyadari bahwa ternyata ada orang-orang yang dati negaranya sendiri yang menjadi budak atau sekelompok orang yang menjadi perantara melakuakn sebuah tindakan yang tidak baik di negeri itu. Mereka seperti tidak punya rasa sosial terhadap manusia lain meskipun itu dari negaranya sendiri. Mereka mengadu nasib di negeri orang dengan melakukan hal yang merugikan manusia lain. Sulastri menganggap bahwa di negerinya orang-orang lemah di pandang di sebelah mata. Para penguasa sepertinya menguasai negeri.
    Di kehidupan kita sekarang ini ada begitu banyak para kelompok-kelompok elite yang hanya melihat saja penderitaan orang. Kekecewaan itulah yang membuat kita menyesal karena banyak janji-janis dari para penguasa saat pemilu giliran rakyat sengsara dipandang sebelah mata. Itulah sebuah fakta permainan politik saat ini, berjanji akan mengabdi kepada seluruh rakyat nyatanya hanya sebuah pemanis bibir. Banyak para penguasa negeri yang memanfaatkan jabatannya sendiri demi keuntunganua sendiri. Para penguasa saat ini menjadikan sebuah profesinya sebagai formalitas semata karena kata-kata tidak sesuai dengan apa yang di kerjakan. Dalam cerpen ini juga dari segi religi menggambarkan sosok orang-orang yang percaya akan sesuatu hal yang tidak pasti. Banyak sekali di kehidupan kita sekarang ini yang lebih percaya kepada hal-hal yang di luar akal sehat manusia. Terkadang manusia itu tidak mempercayakan Tuhan karena sudah terikat dengan hal-hal duniawi. Jadi, cerpen ini mengulik tentang sebuah kepercayaan manusia.
    Kepercayaan manusia itu berbeda-beda ada yang taat akan Tuhan Yang Maha Kuasa dan ada juga yang tidak mempercayai. Banyak orang-orang lemah, orang yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa sehingga melakukan banyak hal. Setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk merubah apapun yang terjadi yang berkaitan dengan sebuah gagasan atau ide manusia. Setiap individu mempunyai cara pandang berbeda untuk merubah hidup. Jika di lihat dari Sulastri dia merubah nasibnya sendiri dengan merantau ke negeri orang dengan berpikir bahwa bisa di anggap dan mendapatkan hidup yang lebih baik. Sulastri sudah beroegangt pada dua budaya yang berbeda yang harus dia sesuaikan. Budaya di negerinya berbeda dengan budaya tempatnya mengadu nasib, sulastri sendiri menyusaikan diri dalam menghadapi itu.
    Seperti yang kita ketahui sendiri setiap orang dan setiap negeri ada banyak orang yang punya rasa sosial yang tinggi tapi, tidak sedikit juga orang yang hanya ingin bersosial dengan tujuan mendapatkan sebuah imbalan dari orang tersebut. Seperti konflik antara Sulastri dengan polisi yang ingin mendapatkan sebuah keuntungan dari Sulastri. Di kehidupan kita sekarang ini banyak sekali persoalan yang menjadikan diri kita lemah, putus asa dan berharap ada yang bisa memberikan sebuah pertolongan untuk memulihkan semua itu. Kita yang terlalu percaya kepada orang termasuk para penguasa itu tadi pada dasarnya itu hanya menjadu sebuah jembatan untuk mereka menguasai.
    Di dalam Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki ini sang pengaranng membuat alur cerita dengan sangat baik. Salah satu ketertarikan pembaca adalah kata-kata yang tidak monoton. Kelebihan dalam cerpen ini adalah menggambarkan setiap permasalahan yang nyata terjadi di dalam kehidupan kita. Melihat situasi-situasi yang ada saat ini sehingga mampu membuat kita juga menyadari. Salah satu keunggulan dari cerpen ini menurut saya pribadi adalah menampilkan nilai-nilai kehidupan yang bisa kita pelajari. Cerpen yang kaya akan makna ini menjadikan cerpen ini indah dan menarik. Cerpen ini juga sebagai salah satu wadah mengkritik cara kerja politik yang menjadi penguasa. Melihat sisi lain dari para penguasa itu sendiri.
    Point penting dari cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” yang bisa disimpulkan adalah seberapa besar masalah atau konflik yang kita hadapi jangan menjadikan dirii kita sebagai sosok orang yang lemah. Bekerja keraslah untuk bertahan hidup biar tidak jadi budak di tanah sendiri dan juga di negeri orang. Milikilah kepercayaan tinggi terhadap kebesaran Tuhan karena segala pergumulan masalah hidup manusia tidak bisa di selesaikan tanpa melibatkan Tuhan. Cerpen ini juga tersusun secara rapi tanpa berbelit-belit, banyak makna dan nilai-nilai kehidupan yang bisa kita pelajari dari cerpen ini.

  16. Mokhamad Nurhidayatullah

    Membaca cerpen Sulastri dan Empat lelaki karya M. Shoim Anwar merupakan sebuah bentuk mini kehidupan yang penuh teka-teki dalam sebuah cerpen yang ditulis dengan mengesankan. Ketika membaca judulnya saja timbul beberapa pertanyaan. Kenapa dengan Sulastri berserta empat lelaki itu? Ada hubungan apa mereka? Sebenarnya sulastri itu siapa dan empat lelaki itu siapa? Apakah Sulastri sosok seperti RA. Kartini? Atau seperti Cat Woman yang memberantas kejahatan dan apakah empat laki-laki itu seorang penjahat? Atau bahkan empat lelaki itu justru penolong/penyelamat Sulastri? Sungguh pemilihan judul yaang bagus mengandung ambiguitas dan kaya akan makna.
    Karya sastra memang harus mengandung unsur ambiguitas. Sehingga timbul beberapa sudut pandang. Bisa juga dengan unsur ambiguitas itu sendiri tercipta ruang diskusi bagi mereka penikmat karya sastra atau juga kalangan umum. Bisa dikatakan dengan unsur ambiguitas itu sendiri karya tersebut akan kaya makna, sudut pandang, dan juga kekayaan berfikir sehingga tidak cetek dalam berfikir. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki sendiri menceritakan seorang perempuan bernama sulastri yang berada di bibir pantai Laut merah. Sulastri saat berada dilaut merah itu sendiri kemudian bertemu dengan polisi yang mencoba untuk menangkapnya. Penangkapan itu bukan untuk dimasukkan ke penjara atau dideportasi ke negara asalnya yaitu Indonesia. Polisi berusaha menangkapnya untuk dikumpulkan dengan temaan-temanya yang lain kemudia diberikan kepada para mafia. Dari setiap yang ditangkap polisi tersebut akan mendapatkan imbalan berupa uang dan lebih ironinya lagi yang meberikan uang itu sendiri berasal dari negara Sulastri sendiri yaitu Indonesia.
    Namun pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari polisi tersebut. Kemudian saat Sulastri berdiri diposis awal ia mengingat masalalunya dengan sang Suami yaitu Markam. Suami tersebut telah menelantarkanya dan anak-anaknya. Tidak memberi nafkah lahir dan batin. Markam lebih memilih untuk bertapa di ujung bengawan solo untuk mendapatkan pusaka. Sebuah kegiatan yang bersifat sepiritual namun kurang bijak dilakukan dalam posisinya saat itu yang masih mempunyai tanggung jawab pada keluarga. Disaat bayang-bayang tentang suaminya memudar Sulastri kaget melihat sosok laki-laki yang ia sebut dengan Firaun. Dengan badan dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris. Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Ditengah pengejaran tersebut mencul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dang dengan tongkat. Ialah Musa, kemudian Sulatri mencoba meminta tolong kepadanya. Namun, musa memberikan isyarat tidak bisa dan sosok Musa hilang.
    Kemudian Sulastri terntangkap oleh Firaun. Rambutnya ditarik hingga jebol. Tubuhnya pun lemah kehilangan kesadaran. Tiba-tiba muncul sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia kaget, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya mimpi.
    Sungguh cerita yang menarik bukan. Nah, ketika membacanya sendiri ada lima hal yang menarik yaitu Sulastri, Polisi, dan Markam, Firaun, Musa. Bisa dikatakan kelima hal tersebut sendiri adalah sembuah makna simbolik yang disembunyikan oleh pengarang cerpen. Baiklah mari kita uraikan dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang sebagai pembaca perempuan. Ketika membaca cerpen tersebut dengan sudut pandang perempuan pastilah kita akan menemukan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari kata bahagia. Markam seorang suami yang mencampakan istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang baik. Markam lebih memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam pernikahan seorang perempuan akan merasa tertekan dan tidak bebas. Seperti yang dikatakan oleh seorang perempuan asal Perancis Simone de Beauvoir yang mengatakan bahwa pernikahan adalah alat untuk mengekang wanita. Kalau tidak salah seperti itu. Tidak hanya itu beberapa adegan seperti saat Sulastri bertemu dengan musa. Ada dialog yanhg menarik seperti dibawah ini
    “Saya seorang perempuan, ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    Sebuah kutipan yang menarik. Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan sebenarnya perempuan dapat menjadi diri mereka sendiri. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja. Namun seringkali perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dalam kutipan tersebut sosok Musa adalah orang yang menyadari betul bahwa laki-laki dan perempuan ialah hakikatnya sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan dapat bebas dan tidak bergantung pada laki-laki.
    Adapun juga dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut, di kehidupan nyata sendiri banya sekali perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dari laki-laki. lihat saja di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan.
    Untuk keseluruhan cerpen itu sendiri dapat ditangkap sebuah makna bahwa dominasi laki-laki begitu kuat. Lihat saja seperi polisi yang seorang laki-laki, Markam, dan Firaun yang seorang laki-laki, serta Musa seorang laki-laki pula. Sungguh laki-laki begitu mendominasi dalam cerpen tersebut. Lihatlah juga dalam kehidupan nyata presiden kita yang mulai dari yang pertama hingga saat ini, kebanyakan adalah laki-laki, dan hanya ada satu perempuan. Dalam cerpen itu sendiri menunjukan bahwa Seorang perempuan selalu dibawah dominasi laki-laki. Perempuan sebagai objek yang tidak berdaya dan dibawah bayang-bayang laki-laki.
    Begitulah kiranya ketika mencoba membaca cerpen tersebut dengan membaca sebagai perempuan. selain itu ada sudut pandang lain yang bisa ditemukan. Sebuah sudut pandang yang menarik. Antara Sulastri, Polisi, Markam, dan Firaun, Musa. Sebenarnya kelima tokoh itu adalah suatu bentuk kesatuan. Kenapa bisa seperti itu? Hal itu karena pada akhir cerita itu sendiri Sulastri terbangun dari kesadarannya, tidak ada siapa-siapa, dan hanya dirinya. Sebuah akhir cerita yang penuh teka-keki. Apakah benar ia hanya bermimpi?.
    Dapat diartikan sebenarnya tokoh Polisi, Markam, dan Firaun, serta Musa merupakan sebuah makna simbolik belaka. Keempatnya adalah sebuah gambaran tentang empat bentuk nafsu yang ada pada manusia. Dan Sulastri sebagai pancer/diri yang memiliki nafsu tersebut. Pada dasarnya semua nafsu tersebut memang akan selalu ada pada manusia. Manusia harus berusaha dan berlatih agar dapat mengontrol dari keempat nafsu tersebut.
    Keempat nafsu tersebut dikenal dengan Amarah, Aluamah, Supiyah, dan Muthmainah. Baik mari kita uraikan satu-persatu. Pertama nafsu Amarah, nafsu Amarah merupakan sebuah sifat marah, emosi, dan kekecewaan. Nafsu ini mendorong manusia untuk memiliki sifat yang keluar dari rasa manusia itu sendiri atau bisa dikatakan memiliki sifat yang seperti hewan. Mengedepankan rasa marah mengesampingkan logika dan hati. Nafsu ini membuat orang tentu tidak merasa tenang. Nafsu amarah sendiri diidentikan dengan warna merah. Didalam cerpen tersebut nafsu amarah dilambangkan dengan sosok Firaun. Lihat saja Firaun yang begitu kejam, jahat, dan tak memiliki rasa ampun pada siapapun. Termasuk pada Sulastri yang seorang perempuan.
    Nafsu berikutnya ialah nafsu Aualamah merupakan nafsu keinginan dasar manusia untuk makan dan minum. Nafsu yang mendorong manusia untuk memuaskan keinginnya untuk banyak makan secara berlebihan dan akan berdampak buruk bagi manusia itu sendiri seperti mudah terserang penyakit. Nafsu ini diidentikan dengan warna hitam. Didalam cerpen tersebut nafsu Aualamah dilambangkan dengan sosok Markam. Kenapa bisa Markam? Karena disaat bersama Markam Sulastri begitu bernafsu agar dapat memenuhi kebuutuhannya untuk makan dan minun. Dapat dikatakan munculnya nafsu tersebut pada diri Sulastri pada saat ia bersama Markam.
    Nafsu berikutnya ialah nafsu Supiyah. Nafsu ini dilambangkan pada sosok polisi. Lihat saja saat Polisi dalam cerpen tersebut berusaha untuk menangkap Sulastri. Hal itu dialakukan guna untuk menapatkan imbalan berupa uang. Sebuah ketamakan yang berada pada diri yang dilambangkan dalam sebagai sosok polisi. Nafsu ini sendiri memiliki sebuah sifat untuk ingin disanjung, memiliki pangkat, tamak, dan lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia agar dilihat lelbih atau mendapatkan sesuatu ataupun sebuah pengakuan. Sehingga menggerakkan manusia untuk berbuat jahat kepada manusia lainnya. Demi mendapat kekuasaan, penghargaan, dan lainnya. Nafsu ini diidentikan dengan warna kuning.
    Nafsu berikutnya ialah nafsu Mutmainnah. Dalam cerpen tersebut digambarkan dalam sosok Musa. Lihat saja Musa ketika berdialog dengan Sulastri dan ia menolongnya. Dalam dialog itu sendiri Musa menerangkan dan mengajarkan kebaikan tentang kebaikan-kebaikan. Nafsu Mutmainnah sendiri merupakan nafsu yang mengajak untuk kebaikan. Nafsu ini diidentikan dengan warna putih. Nafsu Mutmainnah menodorong manusia untuk melaksanakan kebaikan, membantu orang lain, beribadah, dan bergembira. Namun nafsu ini jika berlebihan juga tidaklah baik karena dia akan lupa melihat dirinya sendiri jika terlelap kesenangan dirinya.
    Nah begitulah gambarang simbolik tentang empat tokoh Polisi, Markam, Firaun, dan Musa. Tentu saja pancernya sendiri adalah Sulastri. Sulastri sebagai contoh mansuia yang diselimuti dengan nafsu-nafsu tersebut. Jika manusia tidak dapat mengedalikan nafsu tersebut maka terombang ambinglah ia dalam hidup. Konsep ini sendiri dalam Jawa bisa dikenal dengan Sedulur papat limo pancer. Pancer dalam pemahaman Jawa ialah merupakan puncak dari kesatuan illahi atau dalam pandangan ini tubuh manusia ialah rumah yang menempatkan pancer sebagai pemimpin dan sedulur papat ialah perangkat atau yang harus diatur. Jika pancer mampu mampu untuk mengatur dan selaras dengan sedulur papat, maka manusia akan menemukan tuhannya. Dalam hal ini tentu saja sedulur papat dalam cerpen itu sendiri tokoh Polisi, Markam, Firaun, dan Musa.
    Begitulah kirannya sudut pandang kedua pada cerpen tersbut ialah sudut pandang falsafa kehidupan Jawa dan Feminisme. Bagi mereka yang suka dengan nilai-nilai rfalsafa kehidupan Jawa cerpen ini sangatlah cocok dan untuk mereka yang menyukai kesetaraan gender/perjuangan perempun menarik untuk dikaji lebih dalam. Untuk keseluruhan, cerpen ini kaya akan makna. Cerpen ini bisa digali dengan berbagai macam sudut pandang. Alur yang dibawahkan juga begitu menyenangkan maju-mundur-maju lagi. Sebuah kombinasi yang menyenangkan. Latarnya juga bagus yaitu bengawan solo dan laut merah. Bisa diibaratkan juga bengawan solo adalah lambang orang yang mencari ilmu dan laut merah adalah lambang dari sumber ilmu. Cerita yang begitu menarik dan bahasa yang dibawakan juga sederhana. Sehingga semua orang bisa menikmati alur cerita dengan penuh rasa penasaran. Cerpen yang cocok untuk dibaca dimasa sekarang ini. Dimana dimasa kehidupan ini perlu untuk menemukan kesejatian diri dan rasa untuk menghormati/menghargai perempuan. sekian wassalam.

  17. Mokhamad Nurhidayatullah

    Membaca cerpen Sulastri dan Empat lelaki karya M. Shoim Anwar merupakan sebuah bentuk mini kehidupan yang penuh teka-teki dalam sebuah cerpen yang ditulis dengan mengesankan. Ketika membaca judulnya saja timbul beberapa pertanyaan. Kenapa dengan Sulastri berserta empat lelaki itu? Ada hubungan apa mereka? Sebenarnya sulastri itu siapa dan empat lelaki itu siapa? Apakah Sulastri sosok seperti RA. Kartini? Atau seperti Cat Woman yang memberantas kejahatan dan apakah empat laki-laki itu seorang penjahat? Atau bahkan empat lelaki itu justru penolong/penyelamat Sulastri? Sungguh pemilihan judul yaang bagus mengandung ambiguitas dan kaya akan makna.
    Karya sastra memang harus mengandung unsur ambiguitas. Sehingga timbul beberapa sudut pandang. Bisa juga dengan unsur ambiguitas itu sendiri tercipta ruang diskusi bagi mereka penikmat karya sastra atau juga kalangan umum. Bisa dikatakan dengan unsur ambiguitas itu sendiri karya tersebut akan kaya makna, sudut pandang, dan juga kekayaan berfikir sehingga tidak cetek dalam berfikir. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki sendiri menceritakan seorang perempuan bernama sulastri yang berada di bibir pantai Laut merah. Sulastri saat berada dilaut merah itu sendiri kemudian bertemu dengan polisi yang mencoba untuk menangkapnya. Penangkapan itu bukan untuk dimasukkan ke penjara atau dideportasi ke negara asalnya yaitu Indonesia. Polisi berusaha menangkapnya untuk dikumpulkan dengan temaan-temanya yang lain kemudia diberikan kepada para mafia. Dari setiap yang ditangkap polisi tersebut akan mendapatkan imbalan berupa uang dan lebih ironinya lagi yang meberikan uang itu sendiri berasal dari negara Sulastri sendiri yaitu Indonesia.
    Namun pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari polisi tersebut. Kemudian saat Sulastri berdiri diposis awal ia mengingat masalalunya dengan sang Suami yaitu Markam. Suami tersebut telah menelantarkanya dan anak-anaknya. Tidak memberi nafkah lahir dan batin. Markam lebih memilih untuk bertapa di ujung bengawan solo untuk mendapatkan pusaka. Sebuah kegiatan yang bersifat sepiritual namun kurang bijak dilakukan dalam posisinya saat itu yang masih mempunyai tanggung jawab pada keluarga. Disaat bayang-bayang tentang suaminya memudar Sulastri kaget melihat sosok laki-laki yang ia sebut dengan Firaun. Dengan badan dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris. Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Ditengah pengejaran tersebut mencul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dang dengan tongkat. Ialah Musa, kemudian Sulatri mencoba meminta tolong kepadanya. Namun, musa memberikan isyarat tidak bisa dan sosok Musa hilang.
    Kemudian Sulastri terntangkap oleh Firaun. Rambutnya ditarik hingga jebol. Tubuhnya pun lemah kehilangan kesadaran. Tiba-tiba muncul sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia kaget, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya mimpi.
    Sungguh cerita yang menarik bukan. Nah, ketika membacanya sendiri ada lima hal yang menarik yaitu Sulastri, Polisi, dan Markam, Firaun, Musa. Bisa dikatakan kelima hal tersebut sendiri adalah sembuah makna simbolik yang disembunyikan oleh pengarang cerpen. Baiklah mari kita uraikan dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang sebagai pembaca perempuan. Ketika membaca cerpen tersebut dengan sudut pandang perempuan pastilah kita akan menemukan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari kata bahagia. Markam seorang suami yang mencampakan istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang baik. Markam lebih memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam pernikahan seorang perempuan akan merasa tertekan dan tidak bebas. Seperti yang dikatakan oleh seorang perempuan asal Perancis Simone de Beauvoir yang mengatakan bahwa pernikahan adalah alat untuk mengekang wanita. Kalau tidak salah seperti itu. Tidak hanya itu beberapa adegan seperti saat Sulastri bertemu dengan musa. Ada dialog yanhg menarik seperti dibawah ini
    “Saya seorang perempuan, ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    Sebuah kutipan yang menarik. Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan sebenarnya perempuan dapat menjadi diri mereka sendiri. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja. Namun seringkali perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dalam kutipan tersebut sosok Musa adalah orang yang menyadari betul bahwa laki-laki dan perempuan ialah hakikatnya sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan dapat bebas dan tidak bergantung pada laki-laki.
    Adapun juga dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut, di kehidupan nyata sendiri banya sekali perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dari laki-laki. lihat saja di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan.
    Untuk keseluruhan cerpen itu sendiri dapat ditangkap sebuah makna bahwa dominasi laki-laki begitu kuat. Lihat saja seperi polisi yang seorang laki-laki, Markam, dan Firaun yang seorang laki-laki, serta Musa seorang laki-laki pula. Sungguh laki-laki begitu mendominasi dalam cerpen tersebut. Lihatlah juga dalam kehidupan nyata presiden kita yang mulai dari yang pertama hingga saat ini, kebanyakan adalah laki-laki, dan hanya ada satu perempuan. Dalam cerpen itu sendiri menunjukan bahwa Seorang perempuan selalu dibawah dominasi laki-laki. Perempuan sebagai objek yang tidak berdaya dan dibawah bayang-bayang laki-laki.
    Begitulah kiranya ketika mencoba membaca cerpen tersebut dengan membaca sebagai perempuan. selain itu ada sudut pandang lain yang bisa ditemukan. Sebuah sudut pandang yang menarik. Antara Sulastri, Polisi, Markam, dan Firaun, Musa. Sebenarnya kelima tokoh itu adalah suatu bentuk kesatuan. Kenapa bisa seperti itu? Hal itu karena pada akhir cerita itu sendiri Sulastri terbangun dari kesadarannya, tidak ada siapa-siapa, dan hanya dirinya. Sebuah akhir cerita yang penuh teka-keki. Apakah benar ia hanya bermimpi?.
    Dapat diartikan sebenarnya tokoh Polisi, Markam, dan Firaun, serta Musa merupakan sebuah makna simbolik belaka. Keempatnya adalah sebuah gambaran tentang empat bentuk nafsu yang ada pada manusia. Dan Sulastri sebagai pancer/diri yang memiliki nafsu tersebut. Pada dasarnya semua nafsu tersebut memang akan selalu ada pada manusia. Manusia harus berusaha dan berlatih agar dapat mengontrol dari keempat nafsu tersebut.
    Keempat nafsu tersebut dikenal dengan Amarah, Aluamah, Supiyah, dan Muthmainah. Baik mari kita uraikan satu-persatu. Pertama nafsu Amarah, nafsu Amarah merupakan sebuah sifat marah, emosi, dan kekecewaan. Nafsu ini mendorong manusia untuk memiliki sifat yang keluar dari rasa manusia itu sendiri atau bisa dikatakan memiliki sifat yang seperti hewan. Mengedepankan rasa marah mengesampingkan logika dan hati. Nafsu ini membuat orang tentu tidak merasa tenang. Nafsu amarah sendiri diidentikan dengan warna merah. Didalam cerpen tersebut nafsu amarah dilambangkan dengan sosok Firaun. Lihat saja Firaun yang begitu kejam, jahat, dan tak memiliki rasa ampun pada siapapun. Termasuk pada Sulastri yang seorang perempuan.
    Nafsu berikutnya ialah nafsu Aualamah merupakan nafsu keinginan dasar manusia untuk makan dan minum. Nafsu yang mendorong manusia untuk memuaskan keinginnya untuk banyak makan secara berlebihan dan akan berdampak buruk bagi manusia itu sendiri seperti mudah terserang penyakit. Nafsu ini diidentikan dengan warna hitam. Didalam cerpen tersebut nafsu Aualamah dilambangkan dengan sosok Markam. Kenapa bisa Markam? Karena disaat bersama Markam Sulastri begitu bernafsu agar dapat memenuhi kebuutuhannya untuk makan dan minun. Dapat dikatakan munculnya nafsu tersebut pada diri Sulastri pada saat ia bersama Markam.
    Nafsu berikutnya ialah nafsu Supiyah. Nafsu ini dilambangkan pada sosok polisi. Lihat saja saat Polisi dalam cerpen tersebut berusaha untuk menangkap Sulastri. Hal itu dialakukan guna untuk menapatkan imbalan berupa uang. Sebuah ketamakan yang berada pada diri yang dilambangkan dalam sebagai sosok polisi. Nafsu ini sendiri memiliki sebuah sifat untuk ingin disanjung, memiliki pangkat, tamak, dan lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia agar dilihat lelbih atau mendapatkan sesuatu ataupun sebuah pengakuan. Sehingga menggerakkan manusia untuk berbuat jahat kepada manusia lainnya. Demi mendapat kekuasaan, penghargaan, dan lainnya. Nafsu ini diidentikan dengan warna kuning.
    Nafsu berikutnya ialah nafsu Mutmainnah. Dalam cerpen tersebut digambarkan dalam sosok Musa. Lihat saja Musa ketika berdialog dengan Sulastri dan ia menolongnya. Dalam dialog itu sendiri Musa menerangkan dan mengajarkan kebaikan tentang kebaikan-kebaikan. Nafsu Mutmainnah sendiri merupakan nafsu yang mengajak untuk kebaikan. Nafsu ini diidentikan dengan warna putih. Nafsu Mutmainnah menodorong manusia untuk melaksanakan kebaikan, membantu orang lain, beribadah, dan bergembira. Namun nafsu ini jika berlebihan juga tidaklah baik karena dia akan lupa melihat dirinya sendiri jika terlelap kesenangan dirinya.
    Nah begitulah gambarang simbolik tentang empat tokoh Polisi, Markam, Firaun, dan Musa. Tentu saja pancernya sendiri adalah Sulastri. Sulastri sebagai contoh mansuia yang diselimuti dengan nafsu-nafsu tersebut. Jika manusia tidak dapat mengedalikan nafsu tersebut maka terombang ambinglah ia dalam hidup. Konsep ini sendiri dalam Jawa bisa dikenal dengan Sedulur papat limo pancer. Pancer dalam pemahaman Jawa ialah merupakan puncak dari kesatuan illahi atau dalam pandangan ini tubuh manusia ialah rumah yang menempatkan pancer sebagai pemimpin dan sedulur papat ialah perangkat atau yang harus diatur. Jika pancer mampu mampu untuk mengatur dan selaras dengan sedulur papat, maka manusia akan menemukan tuhannya. Dalam hal ini tentu saja sedulur papat dalam cerpen itu sendiri tokoh Polisi, Markam, Firaun, dan Musa.
    Begitulah kirannya sudut pandang kedua pada cerpen tersebut ialah sudut pandang falsafa kehidupan Jawa. Bagi mereka yang suka dengan nilai-nilai falsafa kehidupan Jawa cerpen ini sangatlah cocok dan untuk mereka yang menyukai kesetaraan gender/perjuangan perempun menarik untuk dikaji lebih dalam. Untuk keseluruhan, cerpen ini kaya akan makna. Cerpen ini bisa digali dengan berbagai macam sudut pandang. Alur yang dibawahkan juga begitu menyenangkan maju-mundur-maju lagi. Sebuah kombinasi yang menyenangkan. Latarnya juga bagus yaitu bengawan solo dan laut merah. Bisa diibaratkan juga bengawan solo adalah lambang orang yang mencari ilmu dan laut merah adalah lambang dari sumber ilmu. Cerita yang begitu menarik dan bahasa yang dibawakan juga sederhana. Sehingga semua orang bisa menikmati alur cerita dengan penuh rasa penasaran. Cerpen yang cocok untuk dibaca dimasa sekarang ini

  18. Kritik dan Esai Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” Karya M. Shoim Anwar
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” adalah karya dari M. Shoim Anwar, Sastrawan yang dilahirkan di kota Jombang, Jawa timur. M. Shoim Anwar merupakan sastrawan dan dosen di salah satu Unviersitas di Surabaya. Berbagai karya M. Shoim Anwar sudah beredar banyak di masyarakat.
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” menceritakan perempuan yang bernama Sulastri, Seorang tenaga kerja wanita (tkw) yang bekerja di Arab. Cerpen ini menceritakan tentang kejadian Sulastri dan empat laki-laki yang berinteraksi dengan Sulastri, diantaranya adalah Polisi, Markam, Musa As, dan Fir’aun.
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” . Pada awal permulaan cerita ini diawali dengan kondisi Sulastri yang sedang melamun di tepi pantai. Cerpen ini juga mengisahkan cerita seorang Nabi Musa As yang membelah Lautan yang sedang dikejar oleh Fir’aun dan Pasukannya. Seperti dalam kutipan cerpen sebagai berikut,
    Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
    “Firauuun…!”
    Dalam kutipan di atas digambarkan seorang raja mesir yang bernama Fir’aun yang memiliki kekejaman yang sangat luar biasa. Banyak manusia yang sudah menjadi korban atas kekejaman Fir’aun. Fir’aun merupakan seorang Raja dengan hati yang jahat, angkuh, sombong, dan mengaku sebagai tuhan kepada siapapun.
    Selanjutnya, Sulastri yang terus berlari dari kejaran Fir’aun akhirnya melompat dari atas tanggul, di sana Sulastri melihat sosok laki-laki tua yang berambut dan memakai jubah warna putih. Dalam kutipan sebagai berikut.
    Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut…Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering…
    “Ya, Musa….”
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini tidak hanya menceritakan tentang sulastri akan tetapi juga seorang laki-laki di Indonesia yang tega menghalalkan segala cara hanya untuk mencari kekayaan dengan cara bertapa untuk mengambil benda-benda pusaka demi menari kekayaan. Perbuatan itu dilakukan oleh suami sulastri yang bernama Markam. Hal tersebut digambarkan terjadi pada suami Sulastri yang bernama Markam dalam kutipan sebagai berikut.
    …dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa.
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” juga diceritakan bahwa tokoh Sulastri bekerja sebagai seorang TKW. Banyak sekali para wanita Indonesia yang mengadu nasib negeri Arab untuk mencari uang demi melangsungkan kehidupannya. Beberapa diantara mereka bahkan rela melakukan kecurangan didalam proses seleksi tenaga kerja. Padahal Negara Indonesia merupakan Negara dengan kekayaan yang luar biasa seharusnya Negara Indonesia tidak perlu sampai rakyatnya menjadi tenaga kerja. Hal- hal yang berkaitan dengan penjelasan tersebut juga disebutkan dalam kutipan berikut.
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” menyebutkan bahwa beberapa pemimpin banyak yang serakah dan tidak mamu mensejahterahkan rakyatnya sehingga rakyat jelata tidak memiliki kesejahteran dan tidak kebagian kekayaan alam negara , seperti kutipan yang disebutkan dalam cerpen sebagai berikut.
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    Keburukan dan kejahatan yang sudah dilakukan pemimpin zaman sekarang adalah banyaknya para pejabat yangmelakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berbagai kekayaaan yang dimilikioleh sebuah Negara dengan mudahnya hanya dikuasi dan dinikmati oleh para pejabat yang jumlahnya hanya segelintir orang.
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini memiliki pesan moral yang sangat banyak diantaranya ditujukan kepada seorang pemimpin agar selalu berbuat baik, amanah, jujur dan mampu mensejahterakan rakyatnya.
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini dapat dikaitkan dengan berbagai aspek dalam realitas kehidupan secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari seperti agama, kepercayaan, kebudayaan, dan politik.

  19. Nailatul Rifdah

    Perjalanan Spiritual Seorang TKW Kritik dan Esay Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” Karya M. Shoim Anwar
    Kisah perjalanan seorang tenaga kerja wanita yang bekerja di negeri orang, tepatnya yaitu jazirah arab, tidak disebutkan jelas letaknya, namun dalam kutipan cerpen tersebut dituliskan “Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari. Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukannya”, cerpen tersebut yaitu berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” Karya M. Shoim Anwar yang dimuat di koran Jawa Pos, 6 November 2011.
    Cerpen tersebut mengisahkan Sulastri seorang TKW yang berasal dari daerah sekitaran Bengawan Solo dengan segala permasalahan kehidupannya. Sulastri menjadi TKW melalui cara yang salah, yaitu ilegal. Begitu beraninya ia masuk ke Negeri arab yang dikenal dengan penegakan hukum Islamnya yang begitu kuat. Padahal dinegeri sendiri sudah sering didengar ketika ada orang berhaji, dan selama ini ia sering melakukan kesalahan atau kejahatan, disana (makkah/arab) akan mendapat balasannya. Hal itulah yang dialami oleh sulastri, masuk ke negeri arab dengan cara yang salah.
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    Cara yang salah dilakukan oleh Sulastri yang menggunakan jalan pintas untuk pergi menjadi TKW ke Arab. Namun ia sendiri nampaknya lupa, kalau TKW di arab yaitu diperumpakan sebagai budak atau istilah Indonesianya yaitu pembantu. Kalau mendapat majikan yang baik tentunya beruntung, namun apabila sebaliknya malah menjadi masalah baru. Perjalanan kisah Sulastri belum sampai disitu, melainkan ia baru saja datang ke Arab menggunakan kapal, baru saja ia turun dari kapal, masalah baru dimulai. Ia dikejar-kejar oleh petugas keamanan disana. Hingga ia mengalami suatu perjalanan spiritual yang luar biasa. Perjalanan spiritulanya bukan hanya mengisahkan kisahnya pribadi, melainkan menyangkut problematika negara asalnya yaitu Indonesia dengan segala kekalutan khususnya dunia TKW. Contohnya yaitu Sulastri yang terpaksa berangkat menjadi TKW illegal karena di Indonesia suaminya tidak bekerja, melainkan hanya mengurusi patung-patung yang dianggap berhala dalam Islam. Sehingga kondisi perekonomian keluarganya yang mengalami kesusahan. Hal itulah yang menjadi alasan utama Sulastri berangkat ke Negeri Arab menjadi TKW. Sebenarnya terdapat hal yang tersirat dalam kisah Cerpen tersebut tentang Indonesia dengan carut marutnya urusan tenaga kerja. Salah satunya yaitu bagaimanakah caranya Sulastri bisa sampai di Arab apabila di Indonesia ini pengawasannya benar-benar dilakukan. Maka Sulastri tidak akan bisa sampai ke Arab sana. Dikarenakan untuk pergi keluar negeri ada perlengkapan atau dokumen yang harus dipenuhi, misalkan visa, paspord dan lain sebagainya. Namun mengapa Sulastri bisa sampai di Arab tanpa dokumen-dokumen terkait tersebut. Dari situlah menandakan bahwa tidak selamanya TKI ilegal itu karena kesalahan mereka pribadi, malainkan kesalahan pihak terkait seperti pemerintah yang memberikan solusi lain namun melanggar aturan. Misalnya praktek suap menyuap agar dipermudahkan urusan dan lain sebagainya. Kembali lagi ke perjalanan spiritual Sulastri sebagai TKW ilegal di Arab Saudi, ia dikejar pihak keamanan sana sampai ia bertemu dengan seseorang yang memakai baju atau jubah putih memakai tongkat yang di dalam cerpen tersebut dikisahkan mirip nabi Musa. Sosok tersebutlah yang menjadi pengungkap hal buruk di negeri Indonesia. Seperti masalah yang dialami Sulastri, kemiskinan di negeri yang sebenarnya kaya dan subur ini, malah warganya pergi mencari nafkah ke negeri lain yang tandus. Apabila sosok tersebut adalah benar nabi Musa atau sosok lain yang ghaib, berarti hal ini sungguh menjadi tamparan yang luar biasa bagi negeri ini, karena semua keburukannya didengar sampai ke langit. Sampailah Sulastri pada titik yang sangat sulit, ia harus dikejar-kejar pihak keamanan arab, sampai-sampai ia diceritakan sangat menderita disana, semua karena kesalahannya sendiri yang menjadi TKW namun dengan cara instan. Sampailah pada puncak masalah dan akhir perjalanan spiritual Sulastri di Arab. Yaitu ketika ia di kejar pihak keamanan arab, sampai pada posisi terpojokkan, ia mendapat pengalaman spiritual yang luar biasa yaitu ia diberikan pertolongan sosok berjubah putih yang bertongkat hingga ia bisa lolos dari pihak keamanan sana. Kisah cerpen tersebutlah yang sebenarnya menceritakan keburukan negeri ini yang diwakili perjalanan kisah Sulastri menjadi TKW ilegal ditanah Arab yang Suci.

  20. Kritik Berdasarkan Bentuk Cerpen
    Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tokoh utamanya yaitu Sulastri, sedangkan empat lelaki yang dimaksud adalah polisi, Markan (suami Sulastri), Musa, dan Firaun. Latar tempat pada cerpen di atas yaitu di tanggul, di bibir atau tepi Laut Merah, dan di padang pasir. Alur yang digunakan yaitu alur campuran. Hal ini terlihat ketika di tengah cerita, Sulatri berada di bibir Laut Merah mengingat atau membayangkan tentang suaminya, Markam. Lalu, cerita kembali dilanjutkan dengan bertemunya Sulatri dengan Firaun. Latar waktu yang digunakan yaitu siang hari. Hal ini terbukti pada kutipan “Cuaca makin panas. Laut Merah tampak berkilau-kilau memantulkan sinar matahari.“ dan “Butir-butir pasir digoreng Matahari.” Kemudian, suasana yang ditampilkan dalam cerpen di atas adalah suasana mendebarkan atu mencekam yang nampak ketika Sulastri dikejar Firaun dan ketika Sulastri takut di tangkap oleh polisi.
    Berbeda dengan cerpen-cerpen yang saya kritik sebelumnya. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar ini sering kali menggunakan kata-kata kias. Banyak majas didalamnya salah satunya adalah majas hiperbola. Penggunaan gaya bahasa membuat cerpen ini menjadi lebih hidup dan lebih menarik untuk dinikmati oleh pembaca. Pembaca seolah-olah ikut serta dalam cerita tersebut, seakan ikut merasakan kejadian yang ada dalam cerpen tersebut. Contoh gaya bahasa yang terdapat pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.
    Butir-butir pasir digoreng matahari.
    Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan.
    Sendi-sendinya seperti hendak rontok.
    Hamparan pasir mendidih, meliuk-liuk di permukannya.
    Dengan latar di Arab sana, isi cerpen Sulastri dan Empat Lelaki mengingatkan tentang kisah seorang nabi pada waktu itu. Cerpen ini dibuat oleh M. Shoim Anwar pada tahun 2009 sampai 2011 di kota Surabaya.
    Isi yang Terkandung dalam Cerpen
    Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar mengisahkan tentang Sulastri yang sedang berada di Arab untuk bekerja. Suami Sulastri yaitu Markam kurang bertanggungjawab terhadap dirinya dan anaknya. Markam justru mengabdikan hidupnya untuk bertapa di kuburan demi mendapatkan benda-benda pusaka. Ketika Sulastri berada diujung tanggul, ia dipanggil oleh seorang polisi. Namun, Sulastri tidak menghiraukannya. Sulastri takut ditangkap dan di deportasi seperti teman-temannya, yang kemudian menjadi gelandangan. Sulastri dan Polisi sempat kejar-kejaran. Tetapi, Sulastri tidak kehilangan akal. Ia bersembunyi dibalik patung-patung abstrak. Hingga akhirnya, polisi tersebut kembali ke pos.
    Sulastri adalah orang biasa. Kekecewaan Sulastri terhadap perlakuan suaminya terhadap dirinya dan anaknya masih ia ingat. Namun, tiba-tiba datanglah Firaun yang ingin menjadikan Sulastri sebagai budaknya. Kemudian, Musa datang menyelamatkan dirinya. Musa berpesan agar dirinya dan suaminya bekerja dengan halal dan tidak melakukan jalan pintas untuk mendapatkan kekayaan yaitu dengan menyembah berhala. Seketika Musa menghilang. Sulastri nampak ketakutan dan minta tolong kepada polisi tadi. Namun, Firaun terus mengejar Sulastri hingga rambutnya dijambak dari belakang. Lau, Musa muncul kembali dan membantu Sulastri. Sulastri memukulkan tongkat yang diberikan Musa tersebut ke tubuh Firaun. Hingga pada akhirnya tubuh Firaun berubah menjadi pasir dan tenggelam. Sulastri pun tersadar bahwa tongkat yang ia pegang tidak ada.
    Makna dan Pesan yang Terkandung dalam Cerpen
    Makna dan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar yaitu:
    1. Bekerjalah dengan cara yang halal.
    2. Janganlah menyebah berhala, karena yang patut disembah hanya Allah SWT.
    3. Bersyukurlah atas apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita.
    4. Jadilah seorang suami yang bertanggungjawab atas kewajiban dalam menghidupi istri dan anak.
    5. Untuk pemerintah, buktikan janjimu kepada rakyat ketika sebelum menjabat. Jangan hanya demi kekuasaan saja sehingga menyengsarakan masyakarat yang terlanjur percaya.
    Perbandingan dengan Aktual
    Cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar di atas masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Percaya atau tidak percaya, di zaman yang serba modern seperti saat ini, masih banyak orang yang bekerja dengan cara yang tidak baik atau tidak halal dengan melakukan berbagai cara. Salah satunya dengan menyembah setan untuk mendapatkan kekayaan. Hal itu dilakukan semata-mata demi menjaga harga dirinya di depan orang lain agar tidak dihina sebagai orang miskin. Mereka kurang mensyukuri apa yang mereka dapatkan. Bahkan, ada pula yang mengorbankan anggota keluarga mereka sebagai tumbal demi kelancaran dalam mendapatkan yang mereka inginkan. Kelakuan ini tidak patut untuk ditiru. Masih banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan selagi kita mau berusaha. Tuhan menciptakan semua yang ada di bumi untuk kita manfaatkan sebaik mungkin.
    Kemudian, untuk suami yang kurang bertanggungjawab seperti Markam, juga masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Sering kali rumah tangga berakhir hanya karena masalah ekonomi. Ketika seorang istri berniat membantu perekonomian keluarga, sering kali dimanfaatkan oleh suami. Hingga membuat suami lupa akan tanggungjawabnya sebagai kelapa keluarga yaitu menghidupi istrinya dan anaknya. Selanjutnya, lagi-lagi untuk pemerintah yang masih sesuai dengan kejadian saat ini. Ada beberapa pejabat yang hanya janji-janji saja saat pemilu untuk mendapatkan suara yang banyak dari rakyat. Namun, ketika rakyat memilihnya dan telah mempercayainya, mereka justru lupa dengan tanggungjawabnya, lupa dengan janjinya. Hal ini nampak seperti kasus-kasus korupsi yang selalu terjadi. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan nasib rakyatnya sendiri.
    Hubungan Cerpen dengan Berbagai Masalah
    Jika diperhatikan, cerpen dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar mempunyai hubungan dengan berbagai masalah berikut ini.
    a. Ideologi dan Religi
    Ideologi adalah cara berpikir yang dijadikan pendapat untuk memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Sedangkan religi adalah kepercayaan terhadap Tuhan. Hubungan dengan masalah ideologi yang bercampur dengan unsur religi nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.
    Kutipan Pertama
    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
    Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja. Ini berawal saat dia menuruni lembah berbatu di belakang museum itu. Dia menuju ke aliran Bengawan Solo yang curam. Dari sana dia menghanyutkan diri hingga ke Tegal Rejo. Pertapaan pun dimulai hingga kini.
    Kutipan cerpen di atas menjelaskan tentang kepercayaan yang di anut suami Sulastri yaitu Markam. Markam mengabdikan hidupnya di kuburan demi mendapatkan benda-benda pusaka. Hal tersebut dijadikan Markam sebagai ideologi dalam menjalankan kelangsungan hidupnya. Namun, cara berpikir Markam sangatlah salah. Sulastri sudah mengingatkan Markam. Tetapi, ucapan Sulastri tidak dihiraukan. Bahkan, Markam rela menghanyutkan diri hingga Tegal Rejo untuk bertapa. Markam meninggalkan Sulastri dan anaknya. Tindakan Markam tersebut juga termasuk dalam unsur religi. Dimana Markam lebih percaya dengan benda mati seperti kuburan dan benda-benda pusaka dibandingkan dengan Tuhan. Yang artinya, Markam telah menduakan Tuhan. Demi mendapatkan keuntungan dan merubah nasib hidupnya, Markam rela bersekutu dengan setan.
    Unsur religi juga tampak pada percakapan Sulastri dengan Firaun seperti pada kutipan cerpen di bawah ini.
    Kutipan Kedua
    “Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.
    “Aku bukan budak.…”
    “Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
    Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.
    “Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”
    Pada kutipan percakapan di atas, menceritakan bahwa Firaun ingin menangkap Sulastri. Firaun menganggap Sulastri sebagai budaknya. Hal ini terjadi bukan tidak ada sebab. Firaun datang karena kelakuan Sulastri dan suaminya yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan seperti mengabdikan diri ke makam untuk mendapatakan benda-benda pusaka dan bersemedi di sungai. Peristiwa yang dialami Sulastri tersebut adalah sebagai akibat kelakuannya pada kutipan pertama. Lalu datanglah Musa yang berdialog dengan Sulastri pada kutipan di bawah ini.
    Kutipan Ketiga
    “Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
    “Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    Unsur religi juga tampak pada percakapan Sulastri dan Musa di atas. Dialog tersebut masih berhubungan dengan kutipan kedua. Dalam dialog tersebut, menceritakan bahwa Sulastri meminta tolong kepada Musa ketika dirinya dikejar Firaun. Musa mengatakan bahwa Sulastri telah masuk ke Arab dalam keadaan tidak baik yaitu karena kelakuannya dengan suaminya saat berada di negaranya, yang dijelaskan pada kutipan pertama. Musa mengingatkan agar Sulastri tidak bergantung pada suaminya karena suaminya penyembah berhala atau musrik, tidak percaya kepada Tuhan. Namun, Sulastri membela diri dengan mengatakan dirinya hanyalah seorang perempuan. Musa pun berkata bahwa mau perempuan atau laki-laki mempunyai kewajiban untuk mengubah nasibnya sendiri. Akan tetapi, Sulastri tetap membela diri dengan berkata negaranya miskin. Kemudian, Musa menjawab bahwa negara tempat Sulastri tinggal itu kaya. Lalu, Sulastri mengatakan dirinya tidak punya pekerjaan. Hal itu terjadi karena malas dan menyukai jalan pintas, begitu kata Musa. Percakapan Sulastri dengan Musa sebenarnya mempunyai makna yaitu kita sebagai manusia haruslah berusaha dan tidak bermalas-malasan. Bekerjalah dengan cara yang jujur, dengan cara yang diridhoi oleh Tuhan. Jangan memperkaya diri dengan mencari jalan pintas seperti menyembah berhala dan bertapa yang dilaukan oleh Markam.
    b. Politik
    Politik adalah segala tindakan yang dilakukan seperti kebijakan oleh pemerintah negara atau terhadap negara lain. Hubungan dengan masalah politik nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.
    Kutipan Keempat
    Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.
    Pada kutipan cerpen di atas, dijelaskan bahwa polisi juga bekerja sama dengan para perantara. Polisi tidak mungkin menangkap Sulastri untuk diserahkan kepada kedutaan untuk dideportasi karena ia hanya seorang diri. Para perantaralah yang bertugas menyerakan kepada polisi dengan imbalan seribu real per orang, sehingga polisi mendapat untung setidaknya tujuh ratus real per orang dan sisanya untuk diberikan kepada para perantara. Yang lebih buruk lagi, jika para perantara tersebut juga dari negara yang sama dengan Sulastri. Kejadian dalam kutipan cerpen tersebut termasuk ke dalam unsur politik. Dimana terjadi suatu transaksi disana. Polisi menjalankan tugasnya dengan syarat ada imbalan diluar gaji yang telah mereka terima dari pemerintah. Tindakan polisi tersebut tidaklah jujur dan membuat mereka yang bekerja di luar negeri seperti Sulastri menjadi serba kesulitan dan sengsara. Terlebih seperti yang dialami oleh teman-teman Sulastri yang hidup menggelandang.
    c. Sosial
    Sosial adalah sikap memperhatikan kepentingan umum, seperti menolong dan bersedekah. Hubungan dengan masalah sosial nampak pada kutipan cerpen Sulastri dan Empat Lelaki di bawah ini.
    Kutipan Kelima
    Saat Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegang kuat-kuat dengan kedua tangannya.
    Angin bertiup amat kencang mengelilingi tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya menjadi amat ringan. Ada kekuatan yang memompa dirinya. Sulastri berbalik arah. Ketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam, perempuan itu memukulkan tongkatnya ke tubuh Firaun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan menggeliat lepas dari tangan Sulastri. Bersamaan dengan itu angin kencang mengangkut ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Dengan cepat binatang itu kembali ke laut dibarengi suara gemuruh. Makin jauh dan jauh.
    Pada kutipan cerpen di atas menceritakan bahwa Musa menolong Sulastri saat Sulastri dikejar Firaun seperti pada kutipan kedua. Sikap tolong-menolong yang ditunjukkan Musa tersebut terhadap Sulastri termasuk ke dalam unsur sosial. Musa memberikan tongkat kepada Sulastri. Tongkat tersebut memberikan kekuatan kepada Sulastri. Sulastri pun memukulkan tongkat tersebut ke badan Firaun ketika Firaun akan menerkam dirinya. Seketika Firaun berubah menjadi pasir dan tubuh Firaun tersedot. Kemudian, tongkat tersebut pun menghilang.

  21. Muhammad Bagus Bagaskoro Angkasa

    Dalam cerita ini memiliki ringkasan yaitu bahwa lautan tersebut membentang dari pantai hingga batasnya. Dimana gelombang besar tersebut tidak kunjung datang. Ini hanyalah sebuah gerakan miring di permukaan udara yang sangat panas sekali. Pasir tersebut meledak di bawah sinar matahari. Tidak ada gambar yang jelas di sepanjang pantai tersebut. Dermaga yang menjorok ke tengah itu kosong. Katrol di ujung stasiun tersebut juga terletak dengan kuat di celah. Perbudakan ini sepertinya tidak pernah jenuh, menunggu kapal yang ditambatkan dari tempat selain Samudera Hindia atau Terusan Suez, atau kapal dari negara barat (mungkin Mesir, Sudan, Eritrea) atau kapal domestik yang memilih jalur laut. Panas dari Yaman ke pantai Laut Merah, yang berbatasan dengan Yordania. Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya.
    Perbudakan itu sepertinya tidak pernah jenuh, menunggu kapal yang ditambatkan dari daratan yang jauh dari Samudra Hindia atau Terusan Suez, atau kapal dari negara-negara Barat (mungkin Mesir, Sudan, Eritrea) atau kapal pengapalan domestik yang memilih jalur laut. Akhirnya, tampaknya rusak sebelum selesai, dan dia menatap ke laut. Setelah bersembunyi di bangunan pahatan abstrak yang tersebar di pantai, dia mengalami kesulitan dalam memanjat. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut.
    Saat Surastri gemetar dan terengah-engah, pria bernama Musa itu tiba-tiba muncul di hadapannya. Sulastri menangkapnya dan memeluknya sebagai upaya terakhir untuk melarikan diri dari kejaran Firaun. Saat itu, Surastri merasakan sesuatu di tangannya. Ketika Fir’aun sedang menyeringai dan hendak menerkam, wanita itu memukul tubuh Fir’aun dengan tongkat. Seperti tembikar pecah, tubuh Firaun hancur berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan memutar tangan Surastri. Surastri melihat seekor ular besar menyembul dari laut dan menghisap tubuh Fir’aun.
    Dalam ceritanya, implikasinya tersebut adalah kegiatan perbudakan yang terjadi seakan tidak pernah jenuh, menunggu kapal berlabuh di darat yang jauh dari Samudera Hindia atau Terusan Suez, atau menunggu kapal dari negara-negara Barat (mungkin Mesir, Sudan, Eritrea ) untuk berlabuh atau memilih rute laut di kapal angkutan negara selain hal itu bahwa panas dari Yaman ke pantai Laut Merah, yang berbatasan dengan Yordania. Perbudakan itu sepertinya tak kunjung jenuh, menunggu kapal merapat dari daratan jauh dari Samudera Hindia atau Terusan Suez, atau kapal dari negara Barat (mungkin Mesir, Sudan, Eritrea) atau kapal domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, Sulastri banyak berpikir saat gemetar di tepi Bengawan Solo. Di sini, sang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan pusaka keluarga. Saat Surastri gemetar dan terengah-engah, pria bernama Musa itu tiba-tiba muncul di hadapannya. Sulastri mendapati dirinya berlutut di pantai. Tongkat yang dia pegang tidak ada di sana. Dia bertanya pada dirinya sendiri, ini hanya mimpi. Dia memandangi laut yang tak berujung. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang terpencil, jauh dari anak-anak dan keluarga. Elang itu melayang tinggi di atasnya, dan terdengar teriakan keras di telinga Surastri.
    Hubungan Sulastri dan Empat Lelaki Dengan Berbagai Masalah Yang Ada Dibawah Ini Yaitu :
    1. Ideologi
    Dalam cerita tersebut terdapat masalah yang berkaitan dengan aspek hubungan ideologi yang mana kegiatan perbudakan yang terjadi seakan tidak pernah jenuh, menunggu kapal berlabuh di darat yang jauh dari Samudera Hindia atau Terusan Suez selain itu sang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan pusaka keluarga. Saat Surastri gemetar dan terengah-engah, pria bernama Musa itu tiba-tiba muncul di hadapannya. Dalam hal ini bahwa ideologi itu memiliki keterkaitan erat dengan perilaku pemikiran yang terjadi antar satu individu dengan individu lainnya selain itu Sulastri adalah seorang gelandangan. Jika dia ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa temannya, meminta setidaknya seribu real masing-masing, dan kemudian menyerahkannya kepada seorang perantara yang mirip mafia.
    2. Politik
    Dalam cerita tersebut terdapat masalah yang berkaitan dengan aspek hubungan politik yang mana Polisi segera menindaklanjuti. Keduanya tampak seperti sedang mengejar. Akhirnya Sulastri meluncur kembali ke area seni pahat abstrak. Polisi kembali ke pos mereka dalam hal ini dimana seorang Sulastri tersebut dalam berpolitik haruslah menurut dengan pihak polisi dan harus memberikan sebuah keterangan dengan sejelas-jelasnya dan janganlah lari dari sebuah kenyataan yang ada dari sini pula juga adanya kepercayaan terhadap mafia yang mana jika kita bersalah harus mengakuinya
    3. Sosial
    Dalam cerita tersebut terdapat masalah yang berkaitan dengan aspek hubungan sosial yang mana Saat Surastri gemetar dan terengah-engah, tiba-tiba seorang bernama Musa muncul di hadapannya. Sulastri menangkapnya dan memeluknya sebagai upaya terakhir untuk melarikan diri dari kejaran Firaun. Saat itu, Surastri meraba tangannya dimana hubungan sosial ini adalah sebuah bentuk dalam kegiatan bersosialisasi satu dengan yang lainnya serta dalam kehidupan tersebut kita harus menjaga sebuah etika yang berlaku dimasyarakat. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke arah laut. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai.
    4. Ekonomi
    Dalam cerita tersebut terdapat masalah yang berkaitan dengan aspek hubungan ekonomi yang mana Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Dimana pekerjaan Sulastri tersebut yang sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) tersebut menjadi seorang asisten rumah tangga orang luar yang mana dalam pekerjaannya tersebut mendapatkan gaji yang lebih tinggi nyatanya dilapangan gajinya pun juga sama saja gaji sama seperti di negara sendiri selain itu di negara sendiri juga bisa menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dalam hidup tersebut dimana faktor yang membuat kurangnya kreativitas dan ketersediaan lapangan pekerjaan dan keterampilan yang tidak memadai dengan modal nekat pun Sulastri rela meninggalkan keluarganya yang ada di Indonesia tetapi ketika disana dia kena oleh pihak kepolisian dan berusaha untuk lari tetapi juga ketahuan pada akhirnya.
    5. Budaya
    Dalam cerita tersebut terdapat masalah yang berkaitan dengan aspek hubungan Budaya yang mana Sulastri terus berlari. Firaun keluar, lebih cepat dan lebih cepat, lalu lari. Suara gemuruh terdengar di tanggul. Dari kejauhan, seorang gadis kecil dikejar oleh seorang raksasa. Fir’aun mengimbau Surastri untuk berhenti, tapi mereka yang dikejar mengabaikannya. Jaraknya semakin dekat dan dekat. Tekanan Sulastri bahkan lebih besar. Tentu saja polisi Penjaga Pantai tidak membantunya. Pada saat yang sama, firaun menjadi semakin ganas. Sulastri melompati tanggul.
    6. Religi
    Dalam cerita tersebut terdapat masalah yang berkaitan dengan aspek hubungan religi yang mana dicerita tersebut terdapat cerita kisah nabi nuh Ketika Fir’aun sedang menyeringai dan hendak menerkam, wanita itu memukul tubuh Fir’aun dengan tongkat. Seperti tembikar pecah, tubuh Firaun hancur berkeping-keping di pasir. Tongkat itu terasa licin dan memutar tangan Surastri. Surastri melihat seekor ular besar menyembul dari laut dan menghisap tubuh Fir’aun, lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun.

  22. Aleksandriani Cembes Aram

    Sulastri dan Empat Lelaki
    Karya M. Shoim Anwar
    Karya sastra merupakan suatu hasil karya manusia baik lisan maupun nonlisan (tulisan) yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar dan memiliki nilai estetik (keindahan bahasa) yang dominan. Karya sastra juga diartikan bahwa ungkapan perasaan manusia yang bersifat pribadi yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam bentuk gambaran kehidupan yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Karya sastra memiliki beberapa jenis, yaitu puisi, pantun, roman, cerpen (cerita pendek), dongeng, legenda, dan naskah drama. Salah satu jenis karya sastra yang saya akan bahasa berikut ini yaitu cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar.
    Cerpen, yang dimana seperti kita ketahui bahwa cerpen atau cerita pendek merupakan jenis karya sastra yang dijelaskan dalam bentuk tulisan yang berwujud sebuah cerita atau kisah secara pendek, jelas, serta singkat. Selain itu cerpen juga dapat disebut dengan sebuah prosa fiksi yang isinya mengenai pengisahan yang hanya terfokus pada satu konflik atau permasalahan. Salah satu cerpen karya M. Shoim Anwar yang berjudul Sulastri dan Empat Lelaki merupakan salah satu karya sastra yaitu cerpen. M. Shoim Anwar yaitu salah satu dosen sastra yang bertugas di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Beliau dijuluki Sang Doktor Cerpenis, karena beliau banyak menulis karya sastra mulai dari cerpen, puisi, novel, esai, dan puisi di berbagai media. Cerpen-cerpenya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris dan lain-lain. Saya sebagai salah satu mahasiswa didikan beliau dari Universitas PGRI Adi Buana jurusan Bahasa Indonesia, dari semester 3 sampai saat ini yaitu semester 8. Berikut ini saya akan ulas atau mengkaji salah satu cerpen dari Sang Doktor Cerpenis dari berbagai aspek yang dikaji.
    Saya membaca cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat Lelaki sudah 3 kali, saya melihat dan merasakan bahwa cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang memiliki kaitannya dengan beberapa aspek di kehidupan yang realita saat ini. Alur yang digunakan pada cerpen ini yaitu alur maju mundur atau campuran. Cerpen ini memiliki 3 tokoh, dimana tokoh utama yang bernama Sulastri. Cerpen ini menceritakan bahwa Sulastri memiliki kehidupan yang menyedihkan, akan tetapi dibalik kehidupannya tersebut Sulastri memiliki jiwa yang kuat dan tangguh. Sulastri sebenarnya sudah memiliki suami dan sudah memiliki seorang anak. Namaya suaminya Markam, dan nama anaknya tidak disebutkan didalam cerpen ini. Kehidupan keluarga Sulastri sangat menyedihkan dimana sang suami Markam melakukan ritual atau biasa disebut bertapa yang sebenarnya diajaran agama sah-sah saja selagi tidak menyimpang dari ajaran. Akan tetapi, pertapa yang dilakukan oleh suami Sulastri yaitu Murkam diluar jalur agama atau hal yang baik. Dimana Markam bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, yang tak kunjung tiba, dia bertapa di salah satu kuburan yang dirimbuni pepohonan besar yang ada didesa bernama Tegal Rejo.
    Dengan kebiasaan bertapa tersebut, kehidupan Sulastri dan anaknya melarat, sang suami tidak lagi bekerja, melainkan bertapa mengharapkan keajiban datang kepada kehidupannya itu. Tapi sayang, itu hanya sebuah hayalan belaka. Kebiasaan tersebut mengakibatkan Sulastri dan suaminya beradu argument, karena Sulastri sudah merasa apa yang dilakukan Murkam sudah tidak baik lagi, dan berakibat Sulastri dan anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawanya. Sulastri sudah tidak bisa bertahan dengan kondisi seperti itu, sehingga dia merantau ke Arab. Arab merupakan salah satu negara yang memiliki banyak pekerja yang berasal dari Indonesia. Sulastri bekerja sebagai salah satu budak di Arab, berharap kehidupannya akan mendatangkan keberuntungan bagi dirinya dan anaknya, akan tetapi menjadi kehidupan Sulastri lebih menderita lagi dari sebelumnya. Sulastri ternyata budak yang illegal. Sulastri menginginkan dirinya secepatnya kembali ke Indonesia, karena dirinya sudah tidak kuat lagi berada di negeri petro dollar. Suatu hari Sulastri berada di pantai yang biasa disebut Laut Merah. Sulastri lagi berdiri diatas tanggul, dan pandangannya terarah ke laut. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri didepan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter. Seketika polisi itu bertanya kepada Sulastri dengan bahasa Arab, dan Sulastri juga menjawabnya, seketika polisi itu ingin menangkapnya tetapi dengan gerak yang cepat Sulastri berlari menyelamatkan dirinya, sehingga dia lolos dari polisi itu.
    Setelah lolos dari kejaran polisi tersebut, Sulastri kembali duduk memandangi laut, dengan pikiran kosong. Tiba-tiba Sulastri teringat masa lalunya, yaitu kehidupan Sulastri bersama Markam suaminya beserta anaknya. Dia teringat bagaimana Markam tidak menafkahi kehidupan rumah tangganya, karena Markam sibuk dengan menyembah hal yang tidak baik untuk kehidupan normal. Markam terus bertapa berharap pusaka ajaib itu ada digenggamanya dan merubah kehidupan yang malang dan mendatangkan kehidupan yang baik. Tapi apa yang dilakukan Markam hanya membuang waktu saja tanpa memikirkan istir dan anaknya. Ingatantersebut sangat membekas di kepala dan hati Sulastri. Itu merupakan hal yang membuat Sulastri berjuang sendiri untuk bisa menafkahi dirinya dan anaknya. Sulastri masih saja terhanyut dengan ingatan masa lalunya, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki hitam dan memiliki tubuh yang besar muncul dari perairan laut merah yang bernama Firaun. Seketika Sulastri kaget dan berlari menghindari Firaun, Sulastri merasa ketakutan, karena Firaun terus mengejarnya. Firau merupakan orang yang membayar dan membebaskan Sulastri dari perbudakan di Arab.
    Sulastri terus berlari secepatnya, karena Firaun juga dengan badan yang penuh energy tersu mengejar Sulastri. Sulastri berteriak dan memanggil polisi yang tadi berusaha menangkapnya untuk meminta tolong, menghadang Firaun yang menggejarnya, tapi sayang polisi tersebut tidak menghiraukannya. Sulastri dan Firaun masih bergelut mengejar hingga Sulastri sudah merasa tidak sanggup lagi untuk berlari, ternyata Firaun sudah berada dibelakangnya tidak jauh,Firaun berhasil menjambak atau menarik rambut Sulastri sehingga rambutnya rotok. Tiba-tiba Sulastri terhenyak, didepannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutupi perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh dan tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut nama lelaki di hadapannya, Ya musa. Keduanya mengobrol beberapa hal antara lain tentang negara Sulastri yang memiliki kekayaan berlimpah tapi tidak dinikamti oleh rakyatnya akan tetapi dinikmati oleh pemerintah. Kemudan Firaun masih mengejar dan berusaha menangkap Sulastri, dan dia masih berusaha berlari dan tiba-tiba Sulastri oleng dan kehabisan nafas, lelaki yang di panggilnya tadi bernama Musa tiba-tiba muncul lagi dihadapannya. Tapi hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya, makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. Sulastri memegangnya kuat-kuat dengan kedua tangannya. Angin bertiup amat kencang mengelilingo tubuh Sulastri. Dia merasakan tubuhnya ringan, dia berbalik arah, seketika Firaun menyeringai dan hendak menerkam Sulastri, dengan cepat Sulastri memukulkan tongkatnya ke tubuh Fiiraun. Seperti sebuah tembikar yang pecah, tubuh Firaun jadi berkeping-keping di pasir.
    Berdasarkan ringakasan isi cerpen tersebut yang saya uraikan, ada beberapa aspek yang memiliki hubungannya dengan cerpen ini yaitu ideology, politik, sosial, ekonomi, budaya dan religi. Berikut ini akan dijelaskan dari segi tersebut.
    1. Religi
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    Kutipan percakapan antara Sulastri dan Musa tersebut merupakan tamparan keras bagi Sulastri. Sulastri meminta tolong kepada Musa, akan tetapi Musa tidak bisa menolongnya karena Musa merasa bahwa apa yang dilakukan oleh suami Sulastri yaitu Murkan sudah menyimpang dari ajaran agama. Murkam seorang penyembah berhala, dan itu merupakan hal yang tidak sama sekali diajarkn agama dan tidak diperbolehkan untuk melakukan sembah berhala. Di kehidupan saat ini, masih banyak orang yang melakukan hal yang sama seperti suami Sulastri yaitu menyembah berhala. Contoh yang nyata yang saya rasakan dan saya lihat sendiri, di kampung halaman saya, ada berapa masyarakat yang memilki kekuatan gaib untuk melakukan hal yang tidak baik kepada sesame, seperti menyembah dikebun, membawah telur ayam kampung, menyembah di kuburan dan itu semua demi sesuatu hal yang menyimpang norma agama. Hal tersebut sangat disayangkan, karena merugikan diri sendiri dan orang lain. Padahal jika kita percaya kepada Tuhan dan taat kepadanya, maka kehidupan kita pasti berjalan dengan baik dan penuh sukacita. Intinya kehidupan kita yaitu, berdoa, bekerja dan berusaha.
    2. Politik
    Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.
    Kutipan tersebut merupakan salah satu bagian dari politik yang sangat kejam. Dimana seharusnya negara sendiri yang lebih melindungi masyarakatnya, akan tetapi negara sendiri yang membuat masyarakatnya tersiksa. Di kehidupan saat ini, tidak terlalu jauh dari isi kutipan tersebut. Dimana banyak permasalahan antara pemimpin yang rakus akan kekayaan seenaknya memperbudak masyarakatnya. Contohnya, kasus pemerasaan yang banyak dilakukan oleh polisi, saat tilang. Lurah yang melakukan pungli kepada masyarakat dan masih banyak lagi.
    3. Ekonomi
    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi
    bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
    Kutipan tersebut merupakan pembicaraan Sulastri dengan suaminya. Dimana Sulastri sudah merasa muak dengan apa yang dilakukan oleh suaminya yaitu terus bertapa untuk mendapatkan keris ajaib dan mengubah hidup mereka, akan tetapi tak kunjung terjadi. Apa yang dilakukan oleh Murkam yang hanya bertapa tanpa bekerja untuk menghidupi keluarganya, sehingga Sulastri dan anaknya melarat dan kebutuhan ekonomi tidak terpenuhi. Hal tersebut juga banyak terjadi dikehidupan saat ini, dimana banyak orang yang hanya duduk manis, hanya mengandalkan meminta-minta tanpa bekerja. Mereka setiap hari kesana kemari mengulurkan tangan untuk meminta tanpa bekerja, padahal kondisi fisik mereka masih sehat dan masih sangat bisa bekerja. Hasil dari itu akan diguanakan untuk memenuhi kehidupan ekonominya. Padahal mereka tidak merasakan orang lain banting tulang dan giat bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi.
    4. Sosial
    Kehidupan sosial yang dirasakan Sulastri sangatlah menyedihkan. Dimana masyarakat disekitarnya tidak membantu meringankan beban yang dirasakannya atau tidak saling berinteraksi sesama. Akan tetapi menurut saya, di kehidupan saat ini juga seperti di dalam cerpen tersebut. Contohnya yaitu di kota besar seperti di Surabaya ini berbeda jauh dengan kampung halaman saya, dimana tetangga di sini tidak saling kenal atau saling sama dan tidak berinteraksi sosial sama sekali, mungkin karena kesibukan atau dengan beberapa alasan. Tapi yang terjadi di kampung halaman saya, tetangga rumah sangat dekat sekali, seperti dianggap keluarga sendiri meskipun sebenarnya tidak ada hubungan. Alangkah lebih baiknya jika kita saling membantu bisa meringankan beban sesama dan mendapat pahala.
    5. Idiologi
    Dalam cerpen tersebut, seharus juga dari awal Sulastri membantu suaminya untuk bekerja, mencukupi kebutuhan rumah tangga. Karena menurut saya, seorang perempuan seharusnya bisa mencari uang, tanpa bergantung kehidupan dengan laki-laki. Di dalam kehidupan sehari-hari saat ini, saya merasa bangga dengan perempuan, dimana mempunyai jiwa semangat yang tinggi mencari uang atau menjadi wanita karir, untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Itu merupakan suatu hal yang sangat bagus dan baik.
    Dari ulasan cerpen diatas, ada beberapa amanat yang kita harus ingat dan dijalankan, yaitu :
    1) Dalam hal apapun kita harus berdoa kepada Tuhan, bukan menyembah hal goib, yang akan merugikan diri kita sendiri.
    2) Jangan menggantungkan hidup kita pada orang lain. Selagi kita memiliki fisik yang baik, kita harus bekerja sebaik mungkin.
    3) Dalam melakukan sesuatu kita harus menjadi manusia yang jujur, bertanggungjawab dan pekerja keras.
    4) Dalam melakukan sesuatu harus semangat dan percaya apa yang dilakukan dengan niat yang baik akan mendapatkan hal yang baik juga.

  23. A. PENCERITAAN CERPEN “SULASTRI DAN EMPAT LELAKI”
    Cerpen bertajuk “Sulastri dan Empat Lelaki” merupakan cerpen yang bergenre sosial dipadu dengan unsur fantasi. Cerita ini mengisahkan keterbatasan dari keluarga Sulastri yang sekarang rela singgah menjadi pekerja di negeri orang sedangkan sang suami masih mempercayai adanya benda-benda ritual yang dinggapnya sebagai kepercayaan disinyalir akan mendapatkan pusaka padahal dirinya sendiri seorang pengangguran setelah meninggalkan pekerjanny, keterbatasan yang dimaksudkan ialah keterbatasan dalam mencukupi kebutuhan hidup saja susah, hanya sekadar makan pun tidak bisa dengan tekad yang kuat. Sulastri bekerja di negeri orang, namun permasalahan tidak sampai disitu setelah dia sampai, ada hal yang membuatnya berkeluh kesah akan kondisi negaranya, dari segi politik dan ekonomi, adapula segi religinya dari segi kepercayaan dan munculnya Nabi Musa AS yang memberikan petuah. Kepercayaan yang dianut suaminya yakni bertapa, kesukaannya mencari benda pusaka yang dianggapnya mistis serta tidak bisa dianggap nalar yang katanya mendatangkan rejeki namun sampai kapanpun tidak akan terjadi. Awalnya, Sulastri yang kebingungan di atas tanggul yang sudah patah, darisitu awal kisah bertemu dengan lelaki pertama sampai lelaki keempat bukan hanya pertemuan namun ada sejumlah masalah yang akan disampaikan ke dalam potongan kutipan, khayalnya dipadu kisah fantasi yang melemparkan dia pada zaman kepemimpinan raja Mesir, Fira’aun. Dimana Sulastri melakukan perjalanan dari negeri yang sangat jauh dari negara yang dijadikan pijakan sekarang sehingga tak sengaja sudah diatas permukaan tanggul, cukup jauh dari daratan.
    Sulastri melambaikan tangannya meminta tolong pada satu lelaki yang berprofesi sebagai polisi, dia menyapanya dan Sulastri mengajaknya bercakap-cakap menggunakan bahasa Arab. Hal ini nampak pada kutipan sebagai berikut
    “Hai…!” seru polisi dari arah pos. Perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak menjawab. Tampak ada sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.
    “Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.
    “Sulatsriy…?” sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.
    “Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulatsriy?” sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar Sulastri turun dari tanggul.
    “Na’am?” lelaki itu meminta.
    “Laa,” Sulastri menggeleng pelan.
    Kutipan tersebut menguraikan dari pertemuan lelaki pertama ketika berjumpa dengan polisi saat Sulastri ada diatas patahan tanggul, dia meminta tolong lalu sang polisi mengatakan hai sebagai sinyal perempuan disana disuruh berhati-hati untuk menuruni, dia menolak dan memilih untuk bertahan saking takutnya untuk melangkahi bagian yang dianggapnya ringkih polisi yang kehilangan kesabaran lalu menaiki tanggul tersebut saat posisinya di pos keamanan. Pikiran Sulastri berkecamuk, dia terlalu takut apabila polisi ini akan menyuruhnya menggelandang apabila ingin dikirimkan ke kedutaan polisi menyuruh temannya yang senasib untuk mengumpulkan sejumlah uang supaya mereka cepat di deportasi melalui kedutaan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), bisa disimpulkan bahwa uang adalah cara untuk menyelesaikan permasalahan sengit maka dari itu Sulastri berlarian menghindari polisi dengan tunggang langgang. Ketika dia masih dipinggiran laut merah panas sungguh menyengat, laut itu nampak ada cahaya yang memantulkan, sejenak Sulastri menghela nafas menghindari polisi.
    Pertemuan kedua dilanjutkan dengan lelaki kedua, pikirannya terpelanting di tepi Bengawan Solo, disana Sulastri dari desanya Tegal Rejo menemukan suaminya melakukan ritual pertapanya. Dahulunya ketika masih Markam bekerja di museum Trinil, dia bekerja seperti biasa namun semenjak perjalannya di lembah berbatu di belakang museum, kelakuannya berubah dan lebih menghabiskan seluruh waktunya untuk bertapa, mencari benda pusaka. Bagaimana sosok yang harusnya dijadikan tulang punggung keluarga menjelma menjadi seseorang yang mendedikasikan kepada barang pusaka, istrinya tak habis pikir lalu mulai berpikir mana mungkin Sulastri membiarkan anak-anaknya kelaparan jatuh bangun mempertahankan nyawa setiap harinya dengan cara seperti ini tidak dinafkahi oleh suaminya sulitnya ekonomi membelenggunya. Sudah berkali-kali Sulastri memberikan nasihat namun yang ada tanpa ada rasa bersalahnya Markam tetap menyeberangi luasnya sungai terbesar di Indonesia, tidak masuk dinalar. Dilihat dari uraian tersebut menggambarkan unsur mistis dan religinya terhadap kepercayaannya terhadap barang mati yang mempunyai keterkaitan erat, nampak Markam masih berpegang teguh kepada pusaka kuno dan ritual pertapanya yang entah tujuannya ini mendapatkan rejeki secara tak kasat mata atau bagaimana. Hal ini nampak pada kutipan.
    “Sudah dapat?” tanya Sulastri. Seperti biasa, Markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari pakainnya yang basah.
    “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
    Kesabaran Sulastri mengikis. Kali ini dia mengambil buku yang dulu sering dibaca dan diceritakan Markam. Buku yang telah kumal itu disodorkan ke muka suaminya hingga menyentuh ujung janggut.
    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
    Dari kutipan tersebut menjelaskan bahwa Sulastri membenamkan pikirannya di masa lalu yang mengingatkan bahwa ini ialah lelaki kedua yang ditemuinya dalam benaknya Sulastri mengaitkan awal kehidupannya sebagai pekerja di negara orang yang dominan berpanas, bercuaca sangat terik. Selama di Indonesia tepatnya di daerah Tegal Rejo, ia hidup dalam standar ekonomi kurang mampu apalagi beberapa waktu belakangan terakhir suaminya berhenti kerja dan memfokuskan diri pada hal mistis. Ketertarikannya itu yang membuatnya rela bertapa, mencari benda pusaka. Di cerpen ini ditemukan ada masalah kesulitan ekonomi dari keluarga, Markam yang terjerumus kepercayaan atau religi terhadap barang mati.
    Pertemuan selanjutnya ke lelaki ketiga, setelah Sulastri terbenam dalam pikirannya sendiri dia seakan melihat hamparan laut yang semakin meninggi, laut merahpun memunculkan karismanya dengan menaikkan air yang bermula hanya gelembung kecil namun menjadi pusaran. Sulastri terperanjat, berlarian menghindari laut, lalu tak lama muncul raja Mesir yang tersohor dimasanya yakni Fira’un. Tubuhnya bagai raksasa yang segera menerkam, tawa angkuhnya menggema, Sulastri ketakutan bagaimana bisa raja ratusan abad bisa mendatangi dirinya, Imaji yang terbentuk kuat dan luar biasa sehingga dia meminta tolong namun malah dikejar. Dia berlarian tunggang langgang menghindari Fira’aun yang bergaya zaman Mesir kuno, tabiatnya tetap sama menganggap orang yang dibawahnya merupakan budak. Angkuhnya masih terasa dingin padahal sifatnya tersebut merupakan sifat yang tidak boleh dipelihara setiap manusia apalagi oleh pemimpin. Hal ini nampak pada kutipan.
    “Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.
    “Aku bukan budak.…”
    “Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
    Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.
    “Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”
    Bila ditinjau dari kutipan diatas menguraikan pertemuan yang mengejutkan antara Sulastri dan Fira’aun, raja Mesir yang tersohor pada masanya namun yang menjadi permasalahannya yaitu sifat Fira’aun yang masih angkuh menagnggap Sulastri sebagai budak padahal kenyataan sebenarnya dia bekerja yang mencari pundi-pundi uang demi keluarganya di tanah air sekaligus menjadi tulang punggung yang menggantikan suaminya yang tidak bekerja. Perjalanan menyisir di pinggiran laut merah semacam ada gelombang air menanjak naik diatas permukaan. Sulastri pun lari terbirit-birit yang masih bisa terlihat bahwa masyarakat kecil bisa diperalat oleh atasan yang yang bersifat angkuh, otoriter dan tidak mementingkan rakyat, Dalam pertemuan orang ketiga mengungkapkan bahwa masalahd emi masalah yang dialami dirinya memperlihatkan gusinya.
    Kemudian pertemuan terakhir, orang keempat yang tak ialah Nabi Musa AS yang secara tidak diduga datang di hadapannya. Sulastri terkejut bukan main melihat kehadirannya, imaji mengantarkan dia bertemu seorang Nabi, wibawanya tampak teduh tidak ada celahs edikitpun . Sulastri mengajaknya berbincang, dialog demi dialog dia lontarkan banyak pertanyaan yang selama ini terpecahkan oleh jawaban lugasnya namun bermakna. Dari perihal ekonomi yang melilit, menyinggung kebiasaan Markam yang menjadi pertapa dan mendedikasikan hidupnya kepada barang mati, tak luput kondisi negara disinggung, ironis sekali seperti kondisi negara saat ini dari segi pejabat yang mementingkan golongan sendiri ketimbang rakyat sehingga membuat rakyat makin miskin makin terseok-seok mencukupikebutuhan hidupnya, Hal ini nampak pada kutipan.
    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.
    Kutipan yang disajikan diatas menguraikan berbagai permasalahan hidup yang berhasil terpecahkan oleh jawaban lugas, singkat, dan menohok dari Nabi Musa AS dari masalah ekonomi yang membelit keluarga Sulastri sehingga dia rela menapakkan kakinya untuk bekerja di negeri orang agar bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Memang jawaban yang dilontarkan oleh Nabi Musa As cukup realitis, khususnya pada bagian menyinggung perpolitikan dan kondisi negara hampir sebagian besar para pejabatnya hanya mementingkan kebutuhan golongannya sendiri padahal banyak rakyat kurang mampu yang masih harus dicukupi.
    B. KETERKAITAN CERPEN “SULASTRI DAN EMPAT LELAKI” DENGAN SEJUMLAH PERMASALAHAN
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” merupakan cerpen karya M. Shoim Anwar yang menceritakan kisah pilu perempaun sekaligus Ibu untuk anak-anaknya yang berjuang keras merantau ke negara seberang demi mendapatkan uang agar anak dan suaminya yang menjadi pertapa ini bisa menyambung hidupnya. Permasalahan dari Sulastri tampak saat kisahnya dimulai dari keempat lelaki, si tokoh ini menjadi tokoh utama, cerpen yang diselipi genre fantasi membuat pembaca merasa terseret dalam ratusan ribu silam yang mempertemukan Sulastri dengan Fira’un dan Nabi Musa AS. Berikut ini sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”.
    a.Politik
    Sulastri meminta tolong kepada Nabi Musa AS. setelah dikejar oleh Fira’aun . Dia menemuinya agar diberikan segenap solusi. Di dalam cerpen ini menyinggung politik dan keadaan negara saat yang memang adanya dialami dan terkesan hanya mementingkan golongan sendiri oleh pejabat tertentu. Hal ini nampak pada kutipan berikut ini.
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    Kutipan diatas menyajikan permasalahan negara yang pada uraian diatas sudah dijabarkan melalui percakapan Sulastri dan Nabi Musa As, permasalahan keadaan politik dan kondisi politik yang dialami di negeri ini memang benar adanya. Bisa ditujukkan dari kehidupan rakyat yang kurang mampu merasa terbebani oleh kebutuhan hidup semakin meninggi, contohnya saja dari keluarga Sulastri yang hidup di Tegal Rejo yang ekonominya tidak begitu mampu sampai dia mencari uang di negara seberang.
    b. Ekonomi
    Sulastri mengadu lagi kepada Nabi Musa AS. ,dia mengatakan bila selama ini mereka hidup selalu serba kekurangan padahal di negaranya sendiri begitu makmur dan subur akan sumber dayanya yang melimpah namun tidak semua rakyat dapat menikmati hasilnya karena ada oknum yang menyelewengkan kekuasaan dengan meraup sumber daya demi kepentingan golongan jadi yang ada rakyat menikmati sisanya yang dirasa ini masih jauh dari status ekonomi sejahtera. Hal ini nampak pada pernyataan kutipan ini.
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    Kutipan diatas menjelaskan bahwa cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” berkaitan dengan masalah ekonomi, terlihat jelas bahwa dalam kutipan memaparkan “negeri kami miskin” dari sini bisa tampak bahwa faktor dari kemiskinan salah satunya, ekonomi serta penggunaan sumber daya yang melimpah namun disalahgunakan oknum tertentu yang membuat ekonomi mencuram dan membuat masyarakat kurang mampu merasa terbebani dengan ekonomi yang serba kekurangan.
    c. Religi/Kepercayaan
    Religi dalam definisi umum mengatakan karena timbulnya kepercayaan kepada Tuhan, juga ada yang mempercayai adanya kekuatan adikodrati, animisme maupun dinamisme. Di dalam novel cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” terdapat bagian kutipan yang menjelaskan adanya suatu kepercayaan terhadap benda mati dan percaya adanya barang ghaib yang dipercaya membawa kekuatan mistis, dengan kekuatan magis tersebut membuat orang yang menganutnya merasa tersihir, orang itu ialah suami dari Sulastri bernama Markam. Kejadian aneh itu bermula setelah dia menjelajah bagian belakang museum yang terdapat lembah berbatu bahkan Markam rela meninggalkan profesinya, lupa tidak menafkahi istri dan anaknya yang dicukupi kebutuhannya. Hal ini nampak kutipan berikut ini.
    Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Museum Trinil tempatnya bekerja telah ditinggalkan begitu saja.
    Kutipan tersebut menggambarkan adanya religi atau kepercayaan yang dianut oleh Markam setelah melakukan perjalanan di lembah berbatu di balik museum tempat dia bekerja. Usai kejadian aneh itu, Markam memutuskan untuk bertapa di dekat aliran sungai Bengawan Solo yang membuat istrinya merasa heran dan berputar otak untuk mencari kerja di negeri seberang. Kepercayaan akan benda-benda pusaka yang membawa peruntungan nyatanya hanya angin belaka namun Markam tidak mengindahkan nasehat Sulastri. Apapun alasannya menganut kepercayaan bukan pada Tuhan bisa dikategorikan sebagai perbuatan musyrik karena lebih percaya kepada benda mati.
    d. Budaya
    Budaya terbagi menjadi beberapa macam dari segi sistem,kemasyarakatan, bahasa, kesenian, teknologi, pengetahuan, dan lain sebagainya namun dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ada masalah perbedaan budaya yaitu pada zaman Mesir kuno contohnya saja Fira’un yang masih menganggap Sulastri adalah bawahannya sebagai budak karena tidak sepantaran, tidak ada rasa keadilan yang diberikan padahal secara realita ini perbedaan dimensi waktu yang dibalut berbagai masalah hidup sehingga terasa fantasinya. Kembali ke sistem perbudakan yang sedari dulu telah diterapkan pada zaman Mesir Kuno yang dirasa hanya membuat kesenjangan antar manusia. Hal ini nampak pada pernyataan kutipan.
    “Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.
    “Aku bukan budak.…”
    “Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
    Kutipan diatas menguraikan bahwa sistem perbudakan dianggap Fira’aun masih ada, terbukti dianggapnya Sulastri yang dianggapnya budak karena dianggap sebagai bawahannya dan tidak sekelas, namun saat ini sistem perbudakan telah dihapus dan tidak keras karena mempertaruhkan hak asasi manusia. Nyatanya permasalahan tersebut terjadi karena Fira’un datang secara tiba-tiba.
    C. KRITIK
    Berdasarkan cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar mengangkat kisah yang berlatar Timur Tengah tepatnya di daerah pinggiran Laut merah. Cerita ini merupakan kisah pertemuan Sulastri dan keempat lelaki dengan permasalahan berbeda disertai kekalutannya yang membayangi.
    Dari segi kelebihannya, cerpen tersebut sangat menarik dari segi genre fantasi dipadu dengan sejumlah masalah yang mendatangkan berbagai macam sifat tokoh di akhir ceritanya ada sosok Nabi Musa AS yang memberikan jawaban perihal masalah Sulastri meneduhkan namun tegas, sebagai pembaca pun merasa terseret akan alurnya dan menemui orang penting dalam masanya.

  24. Cerita pendek karya M.shoim Anwar yang berujudul “Sulastri dan Empat Lelaki” menceritakan kehidupan yang berada di tepi laut yaitu laut merah. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak beterbangan menyisir permukaan air. Tiba seorang polisi yang berdiri di depan posnya. Begitulah kehidupan di tepi laut merah yang nampak asing bagi pembaca seperti saya yang baru membaca, sudah disuguhkan dan seperti terukir dengan jelas pemandangan yang indah jika dibayangkan. Kisah Sulastri yang pada saat itu berada di tepi laut merah tiba-tiba teringat sosok suaminya yang selalu menyembah hal-hal aneh seperti menyembah kuburan, alat pusaka, dan yang selalu diingatnya, bahwa suaminya tersebut pulang pergi jika sudah menyelesaikan tapanya di tengah laut. Apabila jika sudah mengapung di tengah laut, maka itu sudah dianggap pertapa yang dilakukannya. Sulastri pun terbangun dari ingatannya bayangan tentang suami tiba-tiba sudah hilang. Sulastri kembali menatap hamparan laut. Burung-burung mengeluarkan bunyi cericitnya sambil menyambar. Ada pulasan-pulasan dan gelembung udara naik ke permukaan. Makin lama makin besar. Tiba-tiba sulastri terjingkat. Sosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering didingat sebagai sang penerkam muncul dari dalam laut. Sulastripun menyebut namanya
    “Firaun…!”
    Kisah Sulastri dan Empat Lelaki yang sangat mengenah di hati pembaca. Cerita yang membuat pembaca menoleh dan teringat kembali akan kisah di masa lampau yaitu kisah Nabi Musa AS saat berpijak dengan keteguhan bahwa masih ada penolong yang menjadi pegangan. Dengan begitu, Sulastri meminta setulus hatinya agar ditolong dari kekejaman Firaun pada kisah tersebut, yang ingin memerbudak Sulastri dengan cara paksa dan mengikuti perintahnya dengan dijadikan sebagai budak. Tidak luput dengan campur tangan polisi dan perantara yang memang sudah berdiskusi di balik layar dengan memerjual belikan manusia dengan embel-embel pulang ke tanah air tercinta. Nyatanya uang seribu real itu dipergunakan untuk menyuap polisi dan masuk ke kantong perantara sebagai uang tranportasi dan uang makan. Seperti kehidupan politik saat ini yang faktanya, seperti itu sudah tidak luput lagi dari keadilan bahwa apapun bisa diselesaikan jika kita mempunyai uang banyak. Menoleh kembali kepada kisah Nabi Musa AS yang pada saat itu dihadapkan pada sosok firaun dan dengan tongkatnya dia bisa melawan kejahatan dan kekejaman Firaun. Seperti halnya yang dialami Sulastri bahwa ketika dia merasa terdesak oleh sosok bertubuh besar dan kekar, dia dihampiri oleh seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih. Wajahnya yang tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Sulastri menyebut nama lelaki di hadapnnya, “Ya, Musa…” Cerpen yang membuat pembacanya seakan terenyuh dan terbawa suasana sehingga masuk ke dalam dan membayangkan kisah Sulastri dan Empat Lelaki tersebut. Dengan dipaduhkan gaya bahasa menarik, sederhana, mudah dipahami, dan tidak bereblit-belit pada setiap kata dan kalimatnya yang mudah tersampaikan kepada pembaca dan khalayak ramai. Cerpen karya M. Shoim Anwar tersebut mempunyai penggambaran tokoh yang sangat jelas dan setiap karakter tokoh mempunyai setiap peranan tersendiri yang bersifat tetap dan sudah sesuai dengan porsinya masing-masing. Beberapa tokoh diantaranya yaitu, Sulastri, Polisi, dan Markam, Firaun, Musa. Bisa dikatakan kelima hal tersebut sendiri adalah sebuah makna simbolik yang disuguhkan khusus dan membuat pembaca bertanya-bertanya. Penggambaran tokoh yang mempunyai nilai dan maknanya sendiri. Sehingga dapat dengan mudah dipahami indah oleh pembaca. Dengan tokoh yang mempunyai nilai dan karakternya sendiri, membuat pembaca seperti menoleh ke belakang dan mengingat-ingat kembali sosok tokoh tersebut sudah banyak dijumpai di kehidupan yang dulu bahkan sekarang. Dalam aspek religi, cerpen karya M. Shoim Anwar tersebut mendeskripsikan nilai religius dilihat dari segi agama Islam. Nilai religius dalam sastra menuntun manusia ke arah segala makna yang baik. Manusia akan menjadi pribadi yang berhati nurani dan berakhlak mulia. Sikap-sikap ini akan tampak ketika manusia berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Bahkan aspek religiutas yang terdapat dalam cerpen Sulastri dan Empat lelakinya termasuk ke dalam aspek religusitas dalam dimensi pengalaman dan dimensi ritual. Dibuktikan pada kutipan di bawah ini:
    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!” Kutipan tersebut menjelaskan tentang apa yang sudah dialami oleh Sulastri, dengan memerhatikan dimensi pengalaman. Ketika Markam bertapa, Sulastri mencoba untuk menghidupi dirinya dengan anaknya tanpa disebutkan hal apa yang dilakukan oleh Sulastri. Dengan begitu, Sulastri sedikit banyak melibatkan rasa dalam religiusitasnya dengan mencari dan mengalaminya sendiri. Tidak hanya terdapat dimensi pengalaman dalam aspek religuitas dalam cerpen tersebut, adanya dimensi ritual ketika suaminya yang bernama Markam. Dibuktikan pada kutipan cerpen di bawah ini:
    Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo. “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meinggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
    Markam hanya menjulingkan bola matanya, masuk ke dapur beberapa saat, mencari-cari sesuatu, kemudian pergi kembali menyeberangi bengawan. Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba. Hal tersebut membuktikan bahwa Markam suami Sulastri hanya percaya pada benda-benda pusakan bahkan sampai melakukan tapa di bengawan solo. Bahasa dalam cerpen tersebut sarat akan makna dan pesan ideologis pengarang melalui tokoh-tokoh imajiner yang dikontruksikannya. Ideologi tokoh dalam cerpen tersebut relatif nampak, baik secara eksplisit, maupun implisit, sekalipun cerpen dari sisi muatan konflik. Persoalan dan potret yang terdapat dalam cerpen tersebut adalah ideologi atau paham keagamaan. Ideologi dalam hal cerpen tersebut, disebarkan tidak hanya secara kolektif, melainkan juga bisa secara individual. Ada tokoh-tokoh atau pihak yang memiliki peran dan otoritas untuk menyebarkan ideologinya kepada kalangan tertentu. Keberhasilan pihak dan otoritas tersebut, bergantung kepada pihak sasaranCerpen ini menarik bagi pembaca karena argumentasi-argumentasi dan pertanyaan-pertanyaan yang diuraikan dan diajukan (konflik paham keagamaan). Dalam cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat lelaki tersebut, tokoh Sulastri sebagai seorang perempuan yang dijadikan budak oleh Firaun. Sulastri tidak hanya dijadikan budak saja, tetapi mengalami bentuk kekerasan Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan cerpen sebagai berikut:
    Tangan Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hampir putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastri yang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itu pun jebol dari akarnya. Hal tersebut menggambarkan kehidupan saat ini bahwa manusia yang berkuasa sekalipun bisa dengan mudahnya melakukan kekerasan pada perempuan terutama pelaku yang melakukan adalah seorang lelaki. Dilihat di negeri kita sendiri yaitu di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan, tetapi hal itu pemerintah tidak menggubrisnya sama sekali. Bahkan ada yang menyogok dengan uang agar yang berkuasa tidak terkena hukum. Dalam cerpen tersebut dapat ditinjau dalam segi sosial, Sulasttri adalah kaum tertindas atau kelas bawah. Dengan meninggikan ideologi bahwa dia merupakan kelas bawah. Dengan begitu kelas bawah tidak akan pernah bertemu dalam serikat yang sudah diperjual belikan oleh perantara dan polisi yang disebut penguasa. Penguasa yang dianggap dalam cerpen tersebut ialah Firaun yang dengan mudahnya menindas kelas bahwa bahkan seorang perempuan. Menurut saya, cerpen tersebut fantasi dan menarik karena kita sebagai pembaca dibuat naik turun dan terombang-ambing untuk masuk ke dalam dan menghayalkannya. Cerpen karya M. Shoim Anwar kali ini mempunyai alur maju dan mundur yang sangat menarik. Pada alur maju cerpen tersebut disebut juga dengan alur progresif, penulis menyajikan jalan ceritanya secara berurutan dimlai dari tahapan perkenalan ke tahapan penyelesaian secara urut dan tidak diacak. Sedangkan alur mundur adalah cerita dengan peristiwa dari akhir ke awal, penulis mengawali kisah dengan konflik, lalu penyelesaian, dan memperlihatkan masa lalu atau disebut dengan kilas balik. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan cerpen di bawah ini:
    Di bibir Laut Merah, Sulastri teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo. Hal tersebut sudah membuktikan bahwa tokoh Sulastri mengingat kembali kehidupannya yang lalu dan teringat sosok suaminya yang bernama Markam. Tokoh perempuan yang bernama Sulastri dalam cerpen tersebut dia mengalami penindasan dan terjajah baik terjajah karena sikap suaminya yang hanya asyik dengan dunia, bahkan dia harus menjadi budak di negeri orang. betapa tersiksanya dia, hanya karena sesuap nasi dia harus jauh dari keluarga dan berjuang sendiri di negeri orang. Sedangkan suaminya hanya bisa bertapa dan melakukan hal-hal yang tidak penting yang dipercayainya dapat menghidupi anak dan istrinya. Hal tersebut tergambar pada kutipan cerpen di bawah ini:
    “Saya ditelantarkan suami,Ya Musa. Saya datang ke sini dengan menjual seluruh warisan kami.”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.” Sulastri meminta bantuan kepada Musa tetapi Musa tidak ingin menolongnya karena dia mempunyai suami yang menyembah berhala dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sewajarnya. Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa makna simbolis, makna sosial, dan makna religi yang tergambar memiliki moral dan nilai tersendiri. Bahwa yang tergambar dari cerpen tersebut di sini yang lebih mendominan yaitu lelaki. Bahwa lelaki lebih berkuasa di kalangan manapun ketika seorang lelaki tersebut mempunyai uang, kekuatan, kekuasaan, dan kepribadian baik dan buruknya. Jika dikaitkan dengan kehidupan saat ini bahwa dengan kekuasaan kita sudah tidak memerdulikan lagi hal-hal yang dianggap tidak penting sekalipun manusia bahkan seorang perempuan. Tetapi, tidak semua lelaki seperti itu. Dari keempat lelaki tersebut yaitu, Firaun, Markam, Musa, dan Polisi. Mereka mempunyai cara dan sudut pandang sendiri ketika menilai arti penting sebuah kehidupan religi dan sosial. Keempat tokoh tersebut mempunyai sifat dan karakter yang tetap yang artinya, sudah tertanam di benak mereka bahwa bisa memilih dan memilah mana hal yang dianggap penting, tidak penting, adil dan tidak adil. Seperti halnya tokoh Musa yang tidak kenal dia seorang lelaki atau perempuan tapi dia membantu dengan kejaiban tongkatnya bahwa seorang perempuan sekalipun suaminya seorang penyembah berhala, tetapi harus tetap membantu. Amanat atau pesan yang terdapat pada cerpen Sulastri dan Empat lelaki karya M. Shoim Anwar, bahwa di kehidupan manusia saat ini maupun lampau kita harus tunduk pada keadilan bukan kekuasaan tertinggi. Karena harta dan kekuasaan tertinggi pun tidak akan di bawah sampai mati apalagi sampai menindas dan melakukan kekerasan pada seorang perempuan. Sungguh cerpen yang merupakan karya sastra yang berkesan dan membekas bagi saya sebagai pembaca. Disuguhkan dengan kalimat yang kokoh dan sederhana, lugas, dan tegas.

  25. LUTFI ANIS SYAFA'ATI .

    Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki
    Kisah Sulastri dan Empat Lelaki mengenah dihati pembaca. Gaya bahasa yang dipakai sederhana dengan istilah-istilah yang sering didengarkan oleh khalayak ramai. Sementara itu, perjalanan Sulastri terkesan seperti masa lampau. Ketika zaman nabi Musa AS, saat berpijak dengan keteguhan bahwa masih ada penolong yang menjadi pegangan. Dengan begitu, Sulastri meminta setulus hatinya agar ditolong dari kekejaman Firaun pada kisah tersebut, yang ingin memerbudak Sulastri dengan paksa dan perintahnya. Tidak luput dengan campur tangan polisi dan perantara yang memang sudah berdiskusi di balik layar dengan memerjual belikan manusia dengan embel-embel pulang ke tanah air tercinta. Nyatanya uang seribu real itu dipergunakan untuk menyuap polisi dan masuk ke kantong perantara sebagai uang tranportasi dan uang makan. Sementara Sulastri juga tidak memunyai uang tersebut. Suaminya, Markam seorang yang suka bertapa di dekat makam sungai Bengawan Solo yang diyakini akan membawa berkah. Tetapi ketika Markam pulang selalu dengan tangan hampa. Anak dan istrinya ditelantarkan dengan kesia-siaan waktu yang dipergunakan bertapa. Sungguh malang sekali nasib Sulastri. Sudah jatuh, tertimpa pohon.
    Dalam kisah tersebut dapat dilibatkan dalam teori Glock dan Stark. Dikaji dalam kutipan: “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
    Kutipan tersebut menjelaskan tentang apa yang sudah dialami oleh Sulastri, dengan memerhatikan dimensi pengalaman. Ketika Markam bertapa, Sulastri mencoba untuk menghidupi dirinya dengan anaknya tanpa disebutkan hal apa yang dilakukan oleh Sulastri. Dengan begitu, Sulastri sedikit banyak melibatkan rasa dalam religiusitasnya dengan mencari dan mengalami.
    Namun pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari polisi tersebut. Kemudian saat Sulastri berdiri diposis awal ia mengingat masalalunya dengan sang Suami yaitu Markam. Suami tersebut telah menelantarkanya dan anak-anaknya. Tidak memberi nafkah lahir dan batin. Markam lebih memilih untuk bertapa di ujung bengawan solo untuk mendapatkan pusaka. Sebuah kegiatan yang bersifat sepiritual namun kurang bijak dilakukan dalam posisinya saat itu yang masih mempunyai tanggung jawab pada keluarga. Disaat bayang-bayang tentang suaminya memudar Sulastri kaget melihat sosok laki-laki yang ia sebut dengan Firaun. Dengan badan dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris. Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Ditengah pengejaran tersebut mencul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dang dengan tongkat. Ialah Musa, kemudian Sulatri mencoba meminta tolong kepadanya. Namun, musa memberikan isyarat tidak bisa dan sosok Musa hilang.
    Kemudian Sulastri terntangkap oleh Firaun. Rambutnya ditarik hingga jebol. Tubuhnya pun lemah kehilangan kesadaran. Tiba-tiba muncul sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia kaget, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya mimpi.
    Sungguh cerita yang menarik bukan. Nah, ketika membacanya sendiri ada lima hal yang menarik yaitu Sulastri, Polisi, dan Markam, Firaun, Musa. Bisa dikatakan kelima hal tersebut sendiri adalah sembuah makna simbolik yang disembunyikan oleh pengarang cerpen. Baiklah mari kita uraikan dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang sebagai pembaca perempuan. Ketika membaca cerpen tersebut dengan sudut pandang perempuan pastilah kita akan menemukan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari kata bahagia. Markam seorang suami yang mencampakan istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang baik. Markam lebih memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam pernikahan seorang perempuan akan merasa tertekan dan tidak bebas. Seperti yang dikatakan oleh seorang perempuan asal Perancis Simone de Beauvoir yang mengatakan bahwa pernikahan adalah alat untuk mengekang wanita. Kalau tidak salah seperti itu. Tidak hanya itu beberapa adegan seperti saat Sulastri bertemu dengan musa. Ada dialog yanhg menarik seperti dibawah ini
    “Saya seorang perempuan, ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    Sebuah kutipan yang menarik. Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan sebenarnya perempuan dapat menjadi diri mereka sendiri. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja. Namun seringkali perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dalam kutipan tersebut sosok Musa adalah orang yang menyadari betul bahwa laki-laki dan perempuan ialah hakikatnya sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan dapat bebas dan tidak bergantung pada laki-laki.
    Adapun juga dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut, di kehidupan nyata sendiri banya sekali perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dari laki-laki. lihat saja di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan.
    Dalam cerpen berjudul sulastri dan empat lelaki ini, sangat jelas digambarkan ekonomi yang dialami oleh sulastri sangatlah jauh dari kata sempurna. Memang benar, di dunia ini tidak ada yang sempurna karena, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Tetapi, ekonomi sulastri ini sangat tragis sekali. Dan budaya di negara sulastri sangat kental sekali, kentalnya melebihi susu kental manis. Hal ini terlihat dari masih adanya peraturan bahwa budak harus patuh kepada perintah tuannya. Saat sulastri ditinggalkan oleh suaminya, ia pun dikejar-kejar oleh firaun, karena firaun meminta ia untuk mematuhi perintahnya sebagai tuan. Sulastri pun tidak menggubris perintah firaun tersebut, akhirnya sulastri pun berlari untuk menjauh dari firaun, tetapi firaun pun tak menyerah dan terus mengejar sulastri. Namun, saat diperjalanan sulastri pun bertemu dengan sosok yang ia panggil musa, dan musa pun memberikan bantuan kepada sulastri agar terhindar dari firaun. Bantuan tersebut berupa sebuah tongkat dan tongkat tersebut dapat membuat firaun musnah.
    Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, tentunya ini tidak logis. Karena, di tahun 2021 ini sudah termasuk dalam era modern dan teknologi semakin berkembang sangat pesat. Jadi, hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia-manusia jaman sekarang. Jika ada seseorang akan dibunuh oleh penjahat, maka sesorang tersebut akan berlari ke kantor polisi untuk meminta perlindungan kepada polisi, agar terhindar dari penjahat tersebut. Jika, seseorang tersebut berada di kantor polisi maka, tidak akan dibunuh oleh penjahat. Karena, penjahatnya pun tidak berani menginjakkan kakinya di kantor polisi, hal tersebut sama saja dengan ia menyerahkan diri ke kandang harimau.
    Itu di kehidupan nyata benar-benar logis sekali yang dilakukan berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh sulastri dalam cerpen tersebut. Terkait dengan religi dalam cerpen tersebut, sangat jelas bahwa semua manusia menyembah berhala dan matahari. Mereka tidak menyembah tuhan yang telah menciptakkan ia di dunia ini. Dari segi religi saja sudah salah, maka terlihat jelas bahwa kehidupan mereka sangatlah rumit. Mereka tidak menyembah tuhan melainkan yang mereka sembah adalah berhala.
    Suami sulastri pun juga menyembah berhala, maka kehidupannya pun menjadi tersesat. Sama saja seperti ada jalan menuju surga tetapi ia lebih memilih jalan menuju neraka. Terlihat bahwa kehidupan, sikap dari suami sulastri sangatlah buruk. Jika, dikaitkan dengan kehidupan nyata hal ini masih banyak dilakukan oleh beberapa manusia di dunia ini. Walaupun zaman sudah modern, tetapi masih saja ada manusia yang menyembah seperti itu. Misalnya, bertapa di gua, laut, bahkan berguru dengan orang pintar (Dukun) untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Bahkan, bisa juga untuk memusnahkan manusia yang ia benci. Dengan cara pergi ke dukun untuk mengirim santet kepada lawan. Hal ini masih ada di Indonesia. Yang mereka lakukan tersebut sangatlah hal yang merugikan, karena hidup di dunia ini hanya satu kali, maka berbuatlah sebaik mungkin. Bahwa kehidupan yang abadi adalah di alam akhirat.
    Amanat yang dapat diambil oleh pembaca cerpen berjudul sulastri dan empat lelaki adalah;
    a. Bahwa kita sebagai manusia harus sadar mengenai hal buruk dan hal baik
    b. Belajarlah untuk ikhlas dalam membantu orang yang sedang mengalami kesusahan.
    c. Jadilah pemimpin yang adil untuk rakyatnya.
    d. Jangan pernah mengikuti ajakan setan ( Menyembah berhala, dan lain-lain).

  26. Cerita pendek yang berjudul Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim Awar berikut dapat dijadikan contoh cerita pendek yang menarik. Cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki tersebut meskipun fiktif namun isinya mengandung suatu informasi yang tidak dapat dilewatkan begitu saja. Cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim Anwar tersebut mengisahkan nasib dari Sulastri yang memiliki permasalahan dan sebagian besar permasalahan tersebut berhubungan dengan lelaki. Sulastri sudah menikah dan memiliki suami yang bernama Markam. Markam merupakan suami dari Sulastri. Pasangan suami istri tersebut bertempat tinggal di daerah sekitar Tegal-Bengawan Solo. Kehidupan pasangan suami istri tersebut awalnya berjalan normal hingga timbulnya suatu permasalahan sehingga kehidupan Sulastri sungguh miris. Suaminya bekerja di Museum Trinil, sedangkan sang istri Sulastri merupakan pengelolah tanaman tembakau yang ia tanam di daerahnya untuk didistibutorkan ke pabrik rokok namun entah bagaimana kejadiannya dengan mengelola tanaman tembakau tersebut Sulastri merasa bahwa ia dipermainkan oleh pihak pabrik rokok. Keadaan ekonomi keluarganya kacau balau. Suaminya makin tidak jelas pekerjaannya. Markam mulai meninggalkan tempat ia bekerja dan mulai kegiatan yang tidak dapat dibenarkan. Markam mulai untuk bertapa dengan tujuan memiliki suatu keris dan tombak untuk suatu keperluan juga.
    Sulastri merasa bahwa ia tidak bisa hidup dengan perekonomian yang sangat minim. Ditambah lagi ia harus membiayai kehidupan anak mereka. Pada awal-awal Markam bergulat dengan dunia pertapaan untuk mendapatkan keris dan tombak, Sulastri mengira akan mendapatkan hal yang dapat ia gunakan untuk membiayai kehidupan keluarganya tersebut, namun lambat laun kesabaran Sulastri menunggu kejayaan keluarganya pun mengikis. Suatu ketika Markam pulang sehabis bertapa dan Sulastri murka dengan keadaan saat itu. Markam pulang tanpa membawa hasil apapun, sehingga hal tersebut membuat Sulastri semakin murka, ia mengambil dan melempar buku yang berisi kiranya ilmu untuk bertapa tersebut ke arah muka sang suami, Markam. “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa dengan meninggalkan kemewahan pada keluarganya. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta benda yang berlimpah. Tapi kau malah meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”. Begitulah kemurkaan Sulastri yang diterima sang suami, Markam. Mendengar istrinya begitu murka, Markam mengambil sesuatu dari dapur dan pergi meninggalkan rumah untuk mengabdikan hidupnya bertapa agar mendapatkan benda-benda pusaka yang sangat ia dambakan tersebut.
    Sekelebat kenangan tersebut membuyarakan lamunan Sulastri yang saat ini berada di pinggir Laut Merah. Tetiba muncul dari dalam Laut Merah sosok yang begitu ia takuti yakni Firaun. Sulastri menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada seseorang yang ia mintai pertolongan, di sana ia melihat seoarang polisi namun polisi tersebut bukannya menolong malah ia melambaikan tangan dan masuk ke dalam pos. kejadian tersebut merupakan kali kedua polisi dengan Sulastri bertemu di tempat yang sama. Pada pertemuan pertama polisi tersebut ingin menghampiri Sulastri barangkali memang berniat menolong namun Sulastri Sulastri menjauh dan bersembunyi dari polisi tersebut, sehingga pertemuan kedua tersebut kiranya sang polisi tidak mau menolong karena pernah diperlakukan tidak baik oleh Sulastri.
    Mengetahui sang polisi tidak menggubris permintaan tolong Sulastri, ia memutuskan untuk melarikan diri dengan sekuat tenaga dari sosok besar yang dibaluti dengan otot-otot besar dan pakaian gemerlap yang menutupi bawah pusar hingga lututnya, itu Firaun. Ketika berlari Sulastri dihentikan dengan adanya sosok lain yakni Musa. Sulastri meminta tolong pada Musa agar dibantu bebas dari Firaun namun Musa tidak membantunya dengan mudah dikarenan beberapa hal yang telah dilakukan Sulastri di masa lalu yakni ia ikut suaminya untuk menyembah berhala. Selain itu Sulastri juga pergi dari Indonesia ke Arab dengan cara yang tidak baik. Setelah mengungkapka beberapa kesalahan Sulastri tersebut Musa menghilang dari pandangannya. Mengetahui itu Firaun kembali mengejar Sulastri.
    Sulastri kembali berlari lagi dan terkejut melihat ada sosok Musa kembali lagi berupa tongkat. Tongkat tersebut pun ia pukulkan kea rah Firaun dan seketika tubuh Firaun terbecah berkeping-keping. Setelah kejadian tersebut Sulastri menyadari bahwa ia di tepi Laut Merah sendiri. Berdasarkan cerita pendek Laut Merah tersebut dapat dipahami dari berbagai aspek karena dari isi cerita pendek tersebut mencakup beberapa aspek yang dapat diamati secara detail. Dalam cerita pendek Laut Merah tersebut menyinggung permasalah religi yakni dapat dipahami bahwa suami Sulastri yakni Markam melakukan pemujaan pada berhala. Ia rutin bertapa dengan tujuan agar memiliki keris dan tombak yang mana hal tersebut tidak sepenuhnya dibenarkan berdasarkan agama terutama agama islam meskipun memang pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan perilaku yang seperti itu ia menelantarkan anak dan istrinya sehingga hal tersebut juga memiliki pandangan tidak baik di mata suatu agama yang dianut.
    Dari sisi Sulastri juga tidak dapat dibenarkan karena jika memang suami melakukan perbuatan yang kiranya tidak baik atau bertentangan dengan agama yang dianut seharusnya ia sebagai istri dapat memeringati sang suami. Perbuatan Sulastri tersebut merupakan bentuk abdinya pada sang suami yakni bahwa sang istri harus melayani suami dan taat pada suami. Beberapa kali ia menahan untuk tidak marah pada Markam lantaran sang suami tidak bisa menghidupi keluarganya sendiri. Berdasarkan perilaku-perilaku Sulastri dengan suami yakni Markam yang telah dilakukan sang Kuasa tidak memalingkan wajahNya. Ia tetap membantu Sulastri dalam keadaan apapun. Hal ini dapat dipahami pada isi cerita bagian ketika Sulastri yang didatangi seorang polisi yang dirasa ia kurang aman sehingga terjadi kejar-kejaran antara Sulastri dengan polisi tersebut dan akhirnya Sulastri berhasil melepaskan diri dari seseorang yang dirasa akan menyebabkan sesuatu yang buruk pada diri Sulastri. Hal buruk berlanjut pada pertemuannya dengan Firaun yang ingin Sulastri bergabung dengan ajarannya namun lagi dan lagi Tuhan memberikan bantuannya melalui Musa sehingga Sulastri dapat lepas pula pada kejaran Firaun tersebut.
    Selain itu isi dari cerita pendek tersebut masuk dalam hubungan ekonomi yakni dapat dilihat pada bagian cerita Sulastri yang murka pada sang suami karena merasa bahwa Sulastri dan anaknya hidup dalam kesengsaraan. Ia tidak mendapatkan nafkah dari sang suami. Markam meningglkan pekerjaannya dan keluarganya, ia lebih memilih mengabdi bertapa untuk mendapatkan keris dan tombak sehingga keadaan ekonomi pada keluarganya benar-benar kacau. Sulastri yang bertanam tembakau merasa bahwa pihak pabrik rokok mempermainkannya sehingga ia merasa benar-benar tidak dihargai baik di keluarga maupun dalam tanggung jawab kerjanya. Sulastri tidak mau berusaha lebih dalam mencari nafkah menggantikan sang suami. Dengan pikiran dangkal alih-alih ia mencari kerja yang lebih mudah di negaranya sendiri, ia pergi ke Arab dan mengalami beberapa kejadian yang tidak baik. Sungguh nelangsa hidup Sulastri, berniat baik ingin mendapatkan upah sehingga ia dapat kembali menafkahi dirinya sendiri dan anaknya namun yang ia dapat hanyalah kesengsaraan dan berimbas penyesalan. Apapun yang dilakukan pasti terdapat besar kecilnya suatu penyesalan. Hal tersebut menjadi hukum alam bahwa suatu penyesalan akan datang di akhir cerita.
    Dari berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidup Sulastri dapat dipahami bahwa setiap orang bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kejayaan mereka sendiri, tidak perlu menggantungkan kebahagiaan ataupun kesejahteraan pada seseorang, hanya diri kita yang mampu memahami diri sendiri dan hanya kita pula yang dapat menjamin kebahagiaan masing-masing diri. Bahkan ketika seorang perempuan yang telah menikah, ia akan diibaratkan hanya sebagai pengikut dari suami. Memang benar adanya dalil seperti itu dalam suatu agama namun jika terdapat kejadian yang menimpa Sulastri tersebut, ia tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas kejadian yang menyebabkan sang suami tidak kembali pada keluarganya hingga kini. Alaih-alih kembali untuk menafkahi keuarga kecil yang telah dibangun dengan rasa cinta, Markam lebih memiliki mengabdi pada berhala untuk mendapatkan barang-barang pusaka yang sangat ia dambakan. Bahkan hingga kini Sulastri masih belum tau mengenai kabar sang suami. Ia hanya bisa memandang jauh, menerawang, dan membayangkan kenangan-kenangan yang telah ia lalui bersama sang suami di tanah air.
    Selain itu setiap orang memiliki pemikiran-pemikiaran sendiri untuk melakukan sesuatu, baik sesuatu berkelakuan baik ataupun buruk. Kita tidak pernah memahami arti sesungguhnya dari perlakuan seseorang yang diberikan pada kita. Seperti halnya dengan kejadian yang dialami Sulastri ketika ia berdiri termangu di atas tanggul, ia didekati oleh seorang polisi yang menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Perlakuan sang polisi tersebut jika dinilai beberapa orang bahwa polisi tersebut ingin menolong Sulastri bahwa bisa saja polisi tersebut menganggap Sulastri ingin melompat ke laut, namun ketika didekati oleh seorang polisi yang kiranya ingin menolong tersebut, Sulastri berlari dan bersembunyi. Ia berpikir tidak ada yang bisa menolongnya, meskipun sang polisi tadi rupanya ingin menolongnya bisa saja Sulastri akan diserahkan pada sekelompok orang yang dapat dikatakan bekerja sebagai mafia. Sulastri akan diminta mengumpulkan beberapa uang seperti nasib temannya yang lain untuk syarat ia akan dideportase ke negara asalnya, Indonesia.
    Berdasarkan sedikit pemaparan makna isi cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki tersebut dapat disimpulkan bahwa apa-apa yang dilakukan dan di manapun Sulastri berpijak, ia akan selalu berurusan dengan lelaki yang tidak menghargai dirinya. Hal ini dapat direnungi atau disimak kembali pada beberapa bagian dalam cerita pendek tersebut yakni pertama Sulastri menjalani bahtera rumah tangga dengan seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab pada keluarga kecilnya tersebut. Sulastri dan anaknya dibiarkan sengsara begitu saja. Kemudian setelah suaminya memutuskan untuk mengabdi dalam dunia pertapaan, Sulastri mengasingkan diri ke negara lain dengan tujuan kiranya untuk mendapatkan upah. Sulastri pergi dengan suatu cara yang diyakini Musa bahwa cara tersebut ialah cara yang tidak benar atau haram. Di sana Sulastri menyesal dan ingin kembali ke tanah air. Tidak ada yang dapat Sulastri percaya di sana, baik polisi maupun seseorang yang menjadi perantaranya untuk kedutaan agar dibantu dideportasi ke negara asal. Ketidakpercayaan Sulastri tersebut muncul karena berdasarkan apa yang ia lihat atau alami yakni teman senasibnya yang diperlakukan seperti itu oleh seseorang yang diyakini perantara tersebut, namun alih-alih dibantu ke kedutaan temannya diharuskan membayar seribu real perorang pada perantara tersebut.
    Selain polisi, lelaki yang berada di sekelilingnya yakni kemunculan Firaun. Kemunculan Firaun tersebut dapat dimaknai akibat bentuk perilaku yang tidak baik sedangkan kemunculan Musa dapat dimaknai sebagai bentuk eksistensi Allah yakni untuk membantu Sulastri. Hal ini dapat dijelaskan secara singkat yakni di sisi lain perilaku Sulastri yang tidak mencari nafkah berdasarkan jalan Allah dan ia tidak menegur perbuatan tidak baik pada suaminya yakni menyembah berhala. Selain itu dia pergi ke Arab dengan cara yang dapat dikatakan tercela atau haram. Beberapa perilaku Sulastri tersebut mendapatkan balasan dari semesta yakni kemunculan Firaun yang menginginkan atau menganggap bahwa kedatangan Sulastri ke tepi pulau merah adalah untuk menyerahkan diri menjadi budaknya karena perlakuan Sulastri yang tidak baik tersebut. Padahal kenyataannya Sulastri tidak ingin menjadi budak Firaun. Diikuti dengan kemunculan Musa yakni dapat dimakna bahwa adanya eksistensi Allah yang membantu Sulastri ketika menghadapi kesulitan. Hal ini membuktikan bahwa seburuk apapun kesalahan yang pernah kita lalui akan diberikan kesempatan oleh Allah jika kita benar-benar menyesal dan berniat untuk bertaubat.
    Pada penjelasan dari keseluruhan isi cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki tersebut adanya suatu peristiwa yang berkorelasi dengan beberapa kejadian di dunia nyata. Banyak hamba-hamba Allah yang melakukan perbuatan-perbuatan tidak baik dan banyak juga dari mereka yang menyadari bahwa perilaku tersebut tidak benar hingga akhirnya mereka bertaubat. Tidak berselang lama ia melakukan kesalahan yang sama dan sampai suatu ketika seseorang tersebut berhadapan dengan karma entah kejadian yang melukai dirinya sendiri maupun bentuk karma yang lain. Pemberian karma tersebut merupakan bentuk peringatan dari Allah bahwa suatu perilaku yang kita lakukan tersebut ialah tidak benar, sehingga Allah menginginkan kita bertaubat dengan cara memberikan suatu pelajaran. Suatu karya sastra pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, begitupun dengan salah satu karya sastra cerita pendek dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki tersebut. Kelebihan pada cerita pendek tersebut ialah adanya sedikit sentuhan dari negara lain yang dimasukkan penulis dalam cerita pendek ini sehingga menambah warna dari isi cerita dan pembaca tidak bosan dalam menikmati cerita pendek tersebut. Kelebihan lain dari cerita pendek tersebut yakni karya Shoim Anwar tersebut memiliki beberapa pesan moral yang dapat disebarkan dan patut diperhatikan juga oleh pembaca, salah satunya yakni kita tidak boleh melakukan hal yang dilarang oleh agama kita dalam bentuk apapun.
    Sedangkan kekurangan yang terdapat dalam cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki yakni terdapat beberapa penggunaan kata yang kurang tepat berupa typo atau kesalahan penulisan lain sehingga hal tersebut dapat mengganggu sedikit banyaknya ketika pembaca menikmati isi dari cerita pendek tersebut.

  27. lathifatul hidayah

    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” juga diceritakan bahwa tokoh Sulastri bekerja sebagai seorang TKW. Hal seperti ini juga masih banyak terjadi di Indonesia, dimana banyak orang yang memilih pergi ke luar negeri untuk bekerja sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) menjadi pembantu orang luar dibanding bekerja di dalam negeri sendiri, karena mereka berpikir bahwa gaji atau penghasilan yang mereka dapat lebih besar dari penghasilan bekerja di dalam negeri. Padahal jika kita melihat negara Indonesia adalah negara yang sangat kaya dibandingkan dengan negara yang lain. Indonesia memiliki semua hal, bahkan banyak negara yang tidak memiliki kekayaan seperti Indonesia tinggal kita sebagai penduduk untuk memanfaatkan kekayaan tersebut dengan baik. Hal- hal yang berkaitan dengan penjelasan tersebut juga disebutkan dalam kutipan berikut.
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?” (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” juga disebutkan bahwa beberapa orang-orang yang memiliki kedudukan atau jabatan menjadi serakah sehingga membuat negara ini menjadi menderita. Dengan banyaknya berita yang muncul mengenai pejabat yang korupsi. Mereka mengambil uang rakyat untuk kepentingan pribadi mereka, seperti kutipan yang disebutkan dalam cerpen sebagai berikut.
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.” (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Tidak hanya mengenai orang-orang berkuasa yang serakah, keburukan lainnya yaitu mengenai kecurangan dalam mendapatkan jabatan tinggi. Sudah menjadi hal yang biasa jika akan diadakan pemilihan berbagai macam hal akan dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang mencalonkan diri untuk menarik hati rakyat, seperti kutipan yang disebutkan dalam cerpen sebagai berikut.
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.” Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini memiliki banyak pesan moral yang baik, seperti mengingatkan kita untuk tidak mudah menyerah dalam melakukan sesuatu, selalu mengingat kuasa Allah SWT, bersikap jujur, adil, dan bertanggung jawab.

  28. Dela Ruspita Sari

    Kritik Esai Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki Karya M. Shoim Anwar
    Sulastri dan empat lelaki adalah salah satu cerpen karya M. Shoim Anwar. beliau lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. M. Shoim Anwar adalah seorang sastrawan sekaligus dosen. M. Shoim Anwar telah banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di berbagai media, cerpen-cerpen yang dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis. salah satunya adalah cerpen Sulastri dan empat lelaki. Karya sastra merupakan bentuk dan suatu cerminan realitas kehidupan di masyarakat yang digambarkan dengan imajinasi. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki menceritakan tentang penderitaan Sulastri yang tertindas, ada pihak sebagai penjajah dan terjajah. Faktor ekonomi yang menjadi penyebab dari cerita ini. Kisah Sulastri ini terkesan seperti menceritakan pada zaman dulu. Sulastri yang yakin akan pertolongan untuknya dari Firaun yang benar-benar kejam terhadapnya. Dalam cerita tersebut Sulastri diperbudak oleh Firaun sehingga dia meminta bantuan agar terbebas dari Firaun tersebut. Dalam cerpen tersebut seperti menggambarkan kehidupan sehari-hari seolah-olah bercerita tentang kehidupan masyarakat yang di dalam kehidupannya mengalami ketidakadilan. Dalam cerpen tersebut menceritakan tokoh Sulastri merupakan seorang TKW yang tertindas dan direndahkan, seorang wanita yang dianggap lemah dan tidak berdaya sehingga seseorang yang berkuasa memperlakukan Sulastri seenaknya sendiri dan Sulastri dituntut harus mau menuruti perintahnya serta tunduk kepadanya. Tokoh Sulastri yang bekerja sebagai TKW ini dianggap sebagai tokoh yang lemah dan ia diperlakukan tidak adil bahkan dia dibiarkan oleh suaminya yang pekerjaan suaminya adalah menyembah berhala, bahkan dia tidak mendapatkan nafkah dari suaminya. Sulastri dan anaknya tidak dinafkahi. Dalam cerita ini Sulastri yang meminta pertolongan kepada Musa, namun tokoh Musa yang membantu Sulastri dari kejaran Firaun musnah. Musa memiliki watak yang baik dan penolong sedangkan Firaun seseorang yang mempunyai kekuasaan serta memiliki sikap yang egois dan tidak bisa dibantah. Semua harus patuh dan tunduk pada perintahnya, beliau merupakan raja yang kejam dan suka meindas rakyat kecil dan tidak mengenal kata ampun.
    Atas perlakuan suami Sulastri yang tidak menafkahinya membuat Sulastri memutuskan untuk menjadi TKW supaya kehidupannya dapat terpenuhi. Di dalam kehidupan saat ini ketika memilih pasangan atau suami harus pandai karena suami merupakan penopang atau salah satu orang terpenting di dalam kehidupan karena mereka yang akan berpengaruh terhadap kebiasaan kita. Sebagai seorang suami tentunya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap istri dan anaknya, ia harus memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Jika mereka tidak mau seperti dalam cerpen ini suami Sulastri tidak mau bekerja, ia tidak mau menjalankan tanggung jawabnya sehingga dengan terpaksa Sulastri yang harus mencari nafkah.
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini diawali dengan penggambaran sebuah pemandangan Laut Merah pada saat itu. dalam Islam Laut Merah mengingatkan pada kisah Nabi Musa AS yang diberikan mukjizat oleh Allah SWT dapat membelah Laut Merah untuk menghindari kejaran Firaun dan pada pasukannya sehingga Firaun dan pasukannya tenggelam di Laut Merah. Dalam cerpen tersebut juga tampak sosok Firaun dan Nabi Musa AS yang hadir saat Sulastri berada di tengah tanggul Laut Merah. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
    Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
    “Firaun…!” (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Dalam kutipan diatas menggambarkan bahwa Firaun yang seolah menampakkan diri di depan Sulastri, kemudian Firaun mengejar Sulastri karena mengaggapnya sebagai budak yang menyembahnya. Sulastri yang ketakutan pun berlari menghindari kejaran Firaun. Jika mengingat tentang penguasa mesir dahulu yaitu Firaun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan dan semua orang harus tunduk pada dirinya. Sehingga Allah menurunkan Nabi Musa AS untuk menyadarkan Firaun. Firaun yang memiliki kekuasaan dan juga memiliki harta dengan seenaknya memperbudak rakyat kecil, mereka dengan dipaksa untuk tunduk pada semua perintahnya. Di mata Allah kita memiliki derajat yang sama dan tidak untuk dibeda-bedakan.
    Sulastri yang terus berlari dari kejaran Firaun akhirnya melompat dari atas tanggul, di sana Sulastri ditampakkan dengan lelaki tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang dan menggunakan kain putih menutup perut hingga lutut yang dikenal sebagai Nabi Musa AS. Dalam cerpen ini seperti berkaitan dengan kejadian-kejadian di Indonesia. Banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk bisa mendapatkan kekayaan bahkan ada yang melakukan hal-hal yang dianggap musyrik yaitu melakukan ritual untuk mendapatkan benda-benda yang dianggap dapat memberikan kekayaan. Sebenarnya hal-hal seperti ini di Indonesia sendiri sudah mengakar sejak dulu. Tentunya kita harus bijak jika ingin berkaitan dengan hal-hal tersebut. Jika hal tersebut digunakan untuk kebaikan tentunya tidak akan menjadi persoalan. Tetapi jika hal tersebut digunakan untuk hal yang tidak baik maka tentunya tidak diperbolehkan. Tokoh Sulastri yang menjadi TKW juga menggambarkan masyarakat di Indonesia. Banyak sekali masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong ingin menjadi TKW di luar negeri supaya mendapatkan gaji yang lebih besar dengan maksud agar mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka dan keluarganya.
    Dalam cerpen ini dilihat dari segi politik yaitu seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan bertindak dengan semaunya sendiri bahkan suka menindas rakyat kecil tanpa ampun. Dengan kekayaan yang dimiliki seseorang tersebut merasa berkuasa serta memengaruhi orang lain supaya tindakan yang diinginkan dapat berjalan sesuai dengan harapannya sebagai penguasa. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat bahwa orang yang memiliki kedudukan tinggi memperlakukan rakyat yang tidak memiliki kedudukan tinggi dengan tidak adil. Mereka merasa kedudukannya yang tinggi dinilai lebih tinggi derajatnya.
    Dilihat dari segi sosial pada cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” dapat dilihat bahwa dalam kehidupan bahwa tokoh Sulastri merasa bingung dengan situasi yang dihadapinya, suami yang pekerjaanya menyembah patung-patung berhala sedangkan ia tidak dapat merubah perilaku suaminya tersebut dan juga permasalahan sosial dalam rumah tangga menjadi pemicu dalam permasalahan sosial yang biasanya disebabkan oleh permasalahan ekonomi yang mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan sehari-harinya ditambah lagi seorang suami yang tidak memberikan nafkah pada istri dan anak-anaknya sehingga dengan terpaksa peran istri yang harus menggantikan. Dalam cerpen ini tokoh Sulastri yang harus mencukupi kebutuhan hidupnya, anak-anaknya dan juga suaminya. Ia sampai harus bekerja ke luar negeri supaya kebutuhannya dapat tercukupi.
    Dari segi religi cerpen ini sama dengan kisah Firaun dan nabi Musa AS. Dalam cerpen ini sama-sama menggunakan nama-nama raja Firaun dan Musa AS. Tokoh Nabi Musa yang memiliki sifat suka menolong, beliau memiliki sikap yang bijaksana. Firaun yang memiliki sifat kejam suka menindas dan berbuat semaunya bahkan memaksa semua orang supaya patuh padanya. Suami Sulastri yang pekerjaanya menyembah berhala sama persis dengan umat pada masa Nabi Musa AS yang sebagian juga menyembah berhala salah satunya Firaun.
    Dalam cerpen ini lebih dominan kepada lelaki, bahwa seorang lelaki lebih dikedepankan ketika mereka memiliki hartam kekuasaan dan juga jabatan. Banyak yang tidak mememerdulikan sekitar dan bahkan banyak juga yang merendahkan perempuan dengan semua hal yang dimiliki tersebut meskipun tidak semuas lelaki yang memiliki hal tersebut seperti itu. dari keempat lelaki yang ada dalam cerita tersebut tentunya juga memilki karakter yang berbeda-beda.
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim ini memiliki amanat jika sebagai seorang suami tentunya memiliki tanggung jawab dan harus menjalankan tanggung jawabnya tersebut sebaik-baiknya. Seorang suami harus mampu untuk menjadi kepala keluarga yang mampu mengayomi keluarganya dan juga menafkahi keluarganya. Dalam cerpen ini menggambarkan sikap yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Seorang suami yang menelantarkan istri dan juga anaknya karena tidak mau bekerja untuk menafkahi istri dan anaknya sehingga sang istri yang harus bekerja untuk mencari nafkah. Menggambarkan seorang tokoh Sulastri yang rela menjadi TKW supaya hidupnya dan juga anaknya dapat tercukupi. Dalam cerpen tersebut menceritakan bahwa seseorang yang memiliki harta yang lebih seharusnya malah membantu seseorang disekitarnya yang lebih membutuhkan bukan malah menjadi seorang pemimpin yang kejam.

  29. Samirah

    Berbicara mengenai karya sastra memang suatu hal yang mengasyikkan, salah satunya karya sastra berupa cerita pendek. Cerita yang bisa dihabiskan dengan sekali duduk, sehingga membuat pembaca tak jenuh dengan alur yang bertele-tele. Tanpa disadari membaca cerpen, memiliki beberapa manfaat yang dapat diambil oleh pembaca, salah satunya menambah pengetahuan dari berbagai aspek yang ditulis pengarang di dalam cerpen. Manfaat cerpen selain menyenangkan, juga mendapatkan manfaat pengetahuan seperti dalam cerita pendek “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar, yang didalamnya tentu terdapat aspek yang dapat diambil dan dijadikan cerminan. Pengarang menekankan perwatakan pada setiap tokoh dengan karakteristik tersendiri, untuk menekankan apa yang ingin disampaikan sehingga alur cerita menjadi lebih terarah. Secara singkat, cerpen ini mengisahkan tentang tokoh Sulastri yang amat malang, hidupnya hancur dan tak ada tujuan. Cerpen ini menceritakan di sebuah negeri di Jazirah Arab, yang dibuktikan dengan latar tempat “laut merah”. Selain itu, juga terdapat percakapan yang berbahasa Arab.
    Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.
    “Sulatsriy…?” sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.
    “Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulatsriy?” sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar Sulastri turun dari tanggul.
    “Na’am?” lelaki itu meminta.
    “Laa,” Sulastri menggeleng pelan.
    Berawal dari Sulastri dan suaminya yang berasal dari Negara Indonesia, menumpahkan hidupnya di salah satu negeri di Jazirah Arab, namun secara ilegal atau tidak sesuai dengan hukum. Sulastri menggantungkan hidup pada suaminya dan jauh dari keluarga serta anak-anaknya. Namun, suaminya justru mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka, sehingga membuat Sulastri ingin mengakhiri hidupnya, tepatnya di laut merah. Polisi berseragam biru tua mulai kehilangan kesabaran untuk membujuk Sulastri dan akhirnya bersikap tak acuh. Sulastri tahu niat polisi bukanlah baik, melainkan ada niat tersendiri, polisi tidak akan menangkapnya secara cuma-cuma. Kalau ingin ditangkap dan dikembalikan ke negara asalnya, dia harus bergabung dengan beberapa teman mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Namun, yang paling menyedihkan adalah justru perantara ini adalah orang-orang yang berasal setanah air dengan Sulastri sendiri, ya..Indonesia. Sulastri terus mengingat kelakuan suaminya, membayangkan semua hal yang terjadi bersama laut merah, dan ingatan itu mulai mengabur dengan sendirinya. Tak lama kemudian, datanglah sosok tubuh besar yang bernama Fir’aun. Menurut saya, tokoh ini adalah makhluk halus yang bekerja sama dengan suami Sulastri sendiri, suaminya menyerahkan istrinya untuk sosok mengerikan itu. Hal ini dibuktikan pada percakapan Sulastri dan Fir’aun.
    “Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.
    “Aku bukan budak.…”
    “Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
    Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.
    “Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”
    Sulastri penuh ketakutan hingga bajunya robek dan rambutnya lepas dari asalnya. Hingga datanglah tokoh Musa, yang pada akhirnya membantu Sulastri untuk bisa lepas dari sosok Firaun. Di akhir cerita, pembaca selalu dibuat bertanya-tanya bagaimana yang terjadi selanjutnya. Bagaimana tokoh Sulastri menjalani kehidupannya setelah mengalami kejadian hebat tersebut, apakah ia berusaha untuk kembali ke tanah air untuk hidup mandiri dan berkumpul kembali dengan keluarga serta meninggalkan suaminya, atau masih duduk meratapi nasib di laut merah dan membayangkan tingkah laku suaminya. Inilah yang menjadi sisi menarik dalam setiap karya sastra yang ditulis oleh M. Shoim Anwar.
    Pengarang menggunakan simbol “empat lelaki” dalam cerpen ini, dimana empat laki-laki ini yaitu: tokoh Suami Sulastri, Polisi, Firaun, dan Musa. Empat tokoh ini berpengruh langsung dengan hidup Sulastri. Setiap tokohnya memiliki maksud dan makna masing-masing. Cerpen ini menghadirkan hegemoni atau kekuasaan pemimpin negeri yang bukannya memakmurkan rakyatnya, namun justru membuat rakyat sengsara hingga memutuskan untuk ke negeri orang. Selanjutnya, cerpen ini akan diuraikan satu persatu dari berbagai masalah: ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, religi, dll.
     Sisi Ideologi
    Dalam cerpen ini, setiap tokohnya memiliki ideologi masing-masing. Adapun tokoh utama yaitu Sulastri, ia memiliki ideologi liberalism dimana tokoh Sulastri ingin memiliki kebebasan, entah kebebasan untuk hidup lebih baik, baik dari suaminya atau kebebasan dari negaranya sendiri. Tokoh Sulastri berada di posisi tertindas dan tidak tau harus bagaimana.
    “Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    Selain itu, hegemoni juga mendominasi dalam cerpen ini, hegemogi kekuasaan yang paling dominan. Pemimpin memperjualbelikan kekuasaan, dan mengadudomba rakyatnya sendiri. Seperti dalam percakapan berikut:
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
     Sisi Politik
    Cerpen ini jika dilihat dari sisi politik, cukup menggelitik Negara Indonesia, lagi-lagi pemimpin yang diberikan amanah banyak sekali yang melakukan permainan politik. Janji-janji manis menjadi asupan mereka setiap tahunnya. Berkoar-koar sambil terkadang bersadba…rakyat yang termakan justru memilihnya, dan menyesal pada akhirnya. Bukannya makmur tapi malah remuk. Seperti dalam percakapan tokoh Musa dan Sulastri, dimana memang masih terjadi hingga saat ini.
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    Selain itu, permainan politik juga dilakukan oleh tokoh polisi dan perantara yang melakukan semua itu demi uang. Hal ini dibuktikan pada kutipan:
    Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.
     Aspek Sosial, Ekonomi, serta Disorganisasi Keluarga
    Aspek sosial dalam cerpen ini, difokuskan pada masalah ekonomi, khususnya masalah kemiskinan. Lagi-lagi hal ini memang menjadi masalah sentral dalam setiap cerita. Tokoh Sulastri dan suaminya memang mengalami masalah ekonomi, hingga akhirnya pergi ke negeri orang. Sulastri yang menggantungkan ekonomi pada suaminya, justru semakin melarat dan tak karuan, suaminya bukannya bekerja keras melainkan mengabdikan hidupnya pada berhala, kuburan, dan benda-benda pusaka. Faktor ekonomi inilah, sebenarnya yang menjadi titik terjadinya disorganisasi keluarga. Dimana terjadinya perpecahan dalam suatu keluarga, karena salah satu dari mereka tidak melakukan kewajibannya masing-masing. Seperti dalam kutipan berikut:
    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
     Aspek Budaya
    Cerpen ini mengisahkan bahwa budaya mistis masih kuat dan kental, masih terdapat beberapa orang yang mempunyai kepercayaan terhadap barang atau suatu hal tertentu. Seperti dalam kutipan berikut:
    Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba.
    Kutipan tersebut, sangat jelas bahwa tokoh suami Sulastri masih memegang erat budaya mistis bahwa setiap benda memiliki kekuatan gaib tersendiri.
     Aspek Religi
    Cerpen ini jika dilihat dari sisi religi, dapat diambil nilai-nilai yang dapat dijadikan cerminan diri, bahwa percaya pada sesuatu selain Allah bukanlah suatu hal yang benar. Allah adalah sebaik-baiknya tempat kembali, pengarang kembali lagi menekankan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika mereka tidak berusaha mengubahnya sendiri. Menggantungkan rezeki pada hal-hal ghaib justru tidak memberikan manfaat apapun, semua menjadi sia-sia dan percuma. Seperti dalam kutipan berikut:
    Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo.
    “Sudah dapat?” tanya Sulastri. Seperti biasa, Markam tak menjawab. Wajahnya tampak pucat. Kumis dan jenggotnya memanjang menutup sepasang bibir yang bungkam. Tetesan air masih jatuh dari pakainnya yang basah.
    “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
     Amanat
    Hal yang paling penting dalam cerpen ini adalah pengarang memberikan pesan bahwa kita sebagai manusia khususnya perempuan, jangan pernah menyerah pada kehidupan. Gender bukanlah suatu hal yang penting. Menjadi seorang perempuan harus mandiri dan jangan menggantungkan hidup pada orang lain. Perempuan berhak melakukan apapun, bekerja, menjadi ibu yang baik, atau merangkap keduanya. Jangan membuat gender menjadikan kita lemah, dan menerima takdir tanpa usaha apapun. Seperti dalam kutipan percakapan antara tokoh Musa dengan Sulastri, sebagai berikut:
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    Kritik sedikit mengenai cerpen ini, terdapat beberapa kalimat yang menggunakan bahasa Arab, sehingga mungkin beberapa pembaca awam masih belum paham dan tidak tahu. Namun, hal ini tentu tidak mengurangi estetika di dalamnya.

  30. Ulasan kali ini tentang cerpen Sulastri dan Empat lelaki karya M. Shoim Anwar yang cukup membuat penasaran dari judulnya. Sebelum membahas cerpen ini lebih jauh, mari kita berkenalan dengan penulisnya yang tentu sudah tidak asing lagi yaitu M. Shoim Anwar. Beliau sudah memiliki jam terbang tinggi dalam hal menciptakan sebuah karya sastra yang memiliki nilai estetika bagi penikmatnya. Banyak judul cerpen yang telah diterbitkan oleh M. Shoim Anwar diantaranya Di Jalan Jabal Al-Kaabah, Tahi Lalat, Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup, Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Pada kesempatan ini kita akan membahas cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat lelaki. Siapakah Sulastri dan empat lelaki? Ada apa dengan mereka? Mari kita kupas lebih dalam makna cerpen ini!
    Karya sastra merupakan sebuah ide yang dituangkan penulis dengan memperhatikan nilai estetika. Terdapat beberapa jenis karya sastra yang sering kita jumpai contohnya puisi, novel, pantu, cerpen, dan sebagainya. Cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim Anwar tersebut menceritakan nasib dari Sulastri yang memiliki permasalahan dan sebagian besar permasalahan tersebut berhubungan dengan lelaki. Sulastri sudah menikah dan memiliki suami yang bernama Markam. Markam merupakan suami dari Sulastri. Pasangan suami istri tersebut bertempat tinggal di daerah sekitar Tegal-Bengawan Solo. Kehidupan pasangan suami istri tersebut awalnya berjalan normal hingga timbulnya suatu permasalahan sehingga kehidupan Sulastri sungguh miris. Suaminya bekerja di Museum Trinil, sedangkan sang istri Sulastri merupakan pengelolah tanaman tembakau yang ia tanam di daerahnya untuk didistibutorkan ke pabrik rokok namun entah bagaimana kejadiannya dengan mengelola tanaman tembakau tersebut Sulastri merasa bahwa ia dipermainkan oleh pihak pabrik rokok. Keadaan ekonomi keluarganya kacau balau. Suaminya makin tidak jelas pekerjaannya. Markam mulai meninggalkan tempat ia bekerja dan mulai kegiatan yang tidak dapat dibenarkan. Markam mulai untuk bertapa dengan tujuan memiliki suatu keris dan tombak untuk suatu keperluan juga.

    Ulasan lebih jelas dapat mengunjungi https://galasastra.blogspot.com/

  31. Karya sastra adalah seni bahasa yang diciptakan oleh umat manusia yang merupakan hasil dari pemikiran yang direalisasikan dalam bentuk tulisan. Oleh sebab itu, dalam sebuah karya sastra sering digambarkan kehidupan manuisa baik secara nyata maupun tidak nyata. cerpen adalah salah satu jenis karya sastra imajinasi yang membahas tetang permasalahan kehidupan seseorang atau berdasarkan tokoh. Menurut Anwar (2019:1), karya sastra selalu berkembang seiring dengan berjalannya kebudayaan manusia. Semakin maju kebudayaan manusia, semakin maju pula kesusastraannya.

    Karya sastra cerpen menjadi salah satu karya yang berkembang dan menjadi cerminan dalam kehidupan masyarakat dan pengarangnya. Salah satunya cerpen yang berjudul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar. Dalam cerpen tersebut, banyak muncul konflik/permasalahan-permasalahan yang dialami tokoh utama Sulastri, yakni mulai dari; konflik sosial ekonomi, konflik agama, konflik politik, konflik kelas sosial dan masih banyak konflik lainya. Cerpen ini seakan menjadi tamparan keras bagi pemimpin kita yang tidak mampu mengontrol kekuasaan dengan adil terutama bagi kasta menegah dan kasta bawah. Pengarang mampu mengecoh pembaca. Penyajian judul dan alur cerita dibungkus dengan diksi yang unik dan indah. Contohnya pembaca yang terkecoh akan beranggapan bahwa cerpen Sulastri dan Empat Lelaki bercerita tentang seorang wanita yang sangat cantik yang terlibat jalinan kasih dengan empat lelaki, namun nyatanya tidak demikian.
    Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki ini menceritakan tentang seorang wanita yang sedang merenungi nasibnya sendiri diatas tanggul yang mengarah ke bibir pantai laut merah. Dalam renungan itulah ia bertemu dengan seorang polisi yang bertugas untuk menjaga dermaga. Dalam percakapan itu polisi meminta agar sulastri ini cepat turun namun sulastri tidak menghiraukannya sehingga polisi ini naik pita dan berlari kearah sulastri untuk segera membawanya turun. Suastri yang tidak mau ditangkap itu akhinya berlari dan bersembunyi agar ia terhindar dari polisi tersebut. Beberapa saat setelah polisi itu pergi sulastri kembali ke bibir laut merah, dalam gemerlapnya air dalam laut itu ia teringat aliran air yang ada dibengawan solo yang seringkali dilalui oleh suaminya yang beranama markam untuk ke sebuah kuburan yang dirimbuni pohon besar untuk bertapa agar mendapatkan sebuah pusaka. Sulastri seringkali memarahi markam karena ia lebih mementingkan mencari sebuah pusaka daripada mengurusi kemelaratan istri dan anaknya yang sedang kelaparan. Sebuah kegiatan spiritual yang kurang tepat karena lari dari tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga.
    Ketika bayang-bayang suaminya itu telah memudar, ia dikagetkan dengan sesosok manusia berbadan gagah, dempal, Otot-ototnya tampak kekar, tubuh yang diibaratkan sebagai sang penerkam tiba-tiba keluar dari dalam laut yang ia namai sebagai firaun. Sulastri berlari kearas polisi yang tadi sempat mengejarnya namun polisi itu acuh dan tidak menghiraukannya. Sulastri berlari untuk menyelamatkan diri. Ia sangat ketakutan dan panik kala firaun sedang mengejarnya. Rambutnya ditarik hingga jebol. Tubuhnya pun lemah kehilangan kesadaran. Tiba-tiba muncul sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri meminta pertolongan kepada Musa namun kata kata yang sulastri ucapkan selalu dibantah oleh Musa.
    Tolonglah saya, Ya Musa, pinta Sulastri.
    Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu? jawab Musa dengan suara besar menggema.
    Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.
    Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?
    Negeri kami miskin, Ya Musa.
    Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.
    Kami menderita, Ya Musa.
    Para pemimpin negerimu serakah.
    Kami tak kebagian, Ya Musa
    Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.
    Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.
    Di negerimu keadilan telah jadi slogan.
    Tolonglah saya, Ya Musa.
    Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.
    Sontak angin datang bergemuruh. Lelaki yang dipanggil sebagai Musa menghablur dalam pandangan Sulastri. Terlihat dari kejauhan firaun tertawa dengan lepas, sulastri kembali berlari. Ia sangat ketakutan. Ia mencari pertolongan kesana kemari manun tak ada yang menolongnya. Tangan Firaun yang kekar meraih baju Sulastri dari belakang. Baju itu robek dan tertinggal di genggaman Firaun. Sulastri terus memacu langkahnya yang hapir putus. Firaun makin menggeram. Kali ini rambut Sulastri yang panjang dijambak dan ditarik kuat-kuat oleh Firaun. Rambut itu pun jebol dari akarnya. Sampai akhirnya sulastri tak kuat untuk berlari, nabi Musa kembali datang dihadapannya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia kaget, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya mimpi. Cerpen pun selesai.
    Penulis disini menyinggung tentang ketidakadilan dan ideology dominan yang dilakukan oleh penguasa. Dalam kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dari uang dan kekuasaan. Uang dan kekuasaan seakan menjadi santapan lezat yang diperebutkan oleh setiap insan. Seperti yang kita tahu bahwa ada tiga kasta yaitu kasta atas, kasta menengah, dan kasta bawah. Mereka yang berada di kasta menengah dan kasta bawah rela melakukan segala cara agar mereka dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya dan ada pula karena menolak masuk dalam golongan masyarakat kelas bawah. Saat kasta bawah menjadi budak penguasa mereka tidak akan perduli jika harus berada dibawah kendali penguasa. Penguasa adalah seseorang yang memiliki hak untuk mengendalikan, merampas, menindas, memaksa, dan melakukan kekerasan terhadap seorang budak. Tindakan-tindakan yang dialami oleh tokoh Sulastri dengan ke empat lelaki ini menjelaskan adanya unsur Hegemoni. Unsur hegemoni politik atau hegemoni kekuasaan.
    Dalam bahasa Yunani, hegemoni adalah dominasi karena dalam praktik sebelumnya, hegemoni menunjukkan posisi dominan dalam kehidupan sehari-hari. Hegemoni dalam KBBI bermakna beragam seperti, pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dan sebaginya suatu negara atas negara lain (negara bagian). Berdasarkan kutipan dalam cerpen Sulastri membuktikan adanya unsur hegemoni kekuasaan sebagai berikut :
    Sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar Sulastri turun dari tanggul.
    Naam? Lelaki itu meminta-minta.
    Laa, Sulastri menggeleng pelan. Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak turun. Polisi berlari ketanggul, ketika hamper sampai ke tanggul, Sulastri menjauh semakin cepat dann cepat.
    Polisi tidak akan meyerahkannya ke dutaan untuk dideportasi. Karena ia harus bergabung dengan temannya untuk mengumpulkan uang, lalu diserahkan pada perantara yang bekerja ala mafia. Para perantra inilah yang menghubungi polisi. Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak turun. Polisi berlari ketanggul, ketika hamper sampai ke tanggul, Sulastri menjauh semakin cepat dann cepat.”
    Kutipan tersebut menjelaskan bahwa adanya bentuk hegemoni poltik dimana polisi menggunakan kekuasaannya untuk memerintahkan Sulastri terjun ke laut dari atas tanggul. Namun sulastri menolak dengan melarikan diri dari polisi tersebut. Hal ini sulastri lakukan untuk menghiddari adanya kekerasan fisik dari polisi. Seperti yang dikemukan oleh Gramsci dalam Jurnal Hegemoni sebagai Teori Kebudayan (Saptono), bahwa hegemoni kekuasaan akan bertahan lama jika pelaku hegemoni menggunakan dua perangkat kerja. Salah satunya perangkat kerja yang mampu melakukan tindakan kekerasan yang bersifat memaksa, biasanya dilakukan oleh hukum, aparat polisi, dan militer, bahwkan penjara. Kesalahan pengunaan kekuasaan yang dilakukan oleh polisi terhadap Sulastri menegaskan kembali bahwa mereka yang memiliki kekuasaan mampu mengontrol, memaksa, dan memerintah dengan semaunya.
    Kemudian tokoh utama juga memperoleh hegemoni dari sang penguasa Firaun. Ia menganggapnya hanya seorang budak yang ia beli dari suaminya sendiri. Berikut adalah bukti kutipan :
    Firaun lelaki bertubuh gemapal, tampak kekar, wajah kotak, matanya cekung, dan cenderung pendek.Dia berdiri tegak sambil tertawa mengibas-ngibaskan anggota badan. Sulastri gemetar dan mencoba meminta tolong pada polisi.
    Tak usah takut hai, Budak! Kata Firaun.
    Aku bukan budak
    Oo siapa yang telah membayar untuk mebebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adaah aku!
    Tugas seorang budak adalah melayani tuannya. Namun disini Sulastri seakan sudah lelah tindakan dengan Firaun dan mencoba untuk pergi dari Firaun. Firaun digambarkan pengarang sebagai penguasa pada umumnya. Penguasa yang memiliki perut buncit dan daging yang gempal karena terlalu banyak memakan uang rakyat. Kekuasaan yang dimiliki Firaun seakan tidak dapat dibendung ia memaksa dan memerintah budaknya hanya untuk kesenagannya semata. Tanap melihat bagaimana ketakutan dan keresahan yang dirasakan budak.
    Para pemimpinmu negerimu serakah.
    Kami tak kebagian, Ya Musa.
    Mereka telah mejara kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golonga, serta para cukongnya.
    Kami tidak memperoleh keadilan, Ya Musa.
    Dinegerimu keadilan menjadi slogan. Para pemimpin negerimu juga tak bias menolong. Kau hanya dibutuhlan saat pemilu. Setleah itu kau dijadikan barang dagangan murah.
    Pengarang secara gamblang menyindir para pengausa di negeri kita. Para penguasa yang tidak menanamkan arti keadilan. Para penguasa yang haus akan kekuasaan dan uang. Mereka hanya penjilat rakyatnya ketika mereka butuh. Mereka menjadi penjilat dengan melontarkan janji-janji ketika pemilihan umum berlangsung. Katanya mereka berjanji akan mensejahterahkan dan menanamkan keadilan untuk bangsanya, nyatanya ketika sudah mendapatkan kursi pemimpin ia lupa akan rakyatnya yang bersuara dengan lantang untuk mendungkungnya sebagai pemimpin di negeri ini. Pemimpin digambarkan oleh pengarang sebagai pemimpin yang rakus dan tamak. Kekayaan di negeri kita seakan tidak akan ada habisnya, sebab negeri kita adalah negeri yang kaya. Namun jika negeri ini dikuasi oleh pemimpin yang salah maka tidak akan ada yang namanya keadilan. Kekayaan negeri ini tidak akan diperoleh oleh mereka gelongan kasta menengah dan kasta rendah. Seperi yang dikemukakan oleh Gramsci Gramsci dalam jurnal Teori Hegemoni sebagai Teori Kebudayan (Saptono) mengatakan bahwa, hegemoni adalah suatu kelompok sosial harus dapat melaksanakan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Dan menjadi dominan ketika kekuasaan tersbeut sudah dijalankan.
    Jika dikaji secara mendalam cerpen ini banyak sekali mengandung nilai nilai filosofis serta nilai moral yang dapat kita jadikan pelajari. Cerpen ini merupakan sebuah simbol keberanian. Menurut saya pribadi, tokoh bernama sulastri itu menggambarkan seorang rakyat yang ditindas oleh penguasa. Musa yang diceritakan sebagai penolong sebenarnya adalah keberaniannya sendiri. oleh karena itu, kita harus berani untuk menyuarakan kebenaran walaupun itu sangat sulit untuk dilakukan namun Insyaallah akan berbuah manis dikemudian hari. Berbicara tentang keberanian, saya jadi ingat sebuah semboyan dari salah satu guru saya yang mengatakan bahwa ketika kita menyampaikan suatu kebenaran maka akan ada dua respon yang berbeda. Pertama; orang cerdas akan merenung, kedua; orang bodoh akan tersinggung. Karena sulit meyakinkan lalat, bahwa bunga jauh lebih indah daripada sampah. Yah begitulah ulasan cerpen kali ini. See you next tomorrow.

    Daftar Pustaka
    Wikipedia. Tanpa Tahun. Hegemoni. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hegemoni#:~:text= Hegemoni20(bahasa20Yunani. Diunduh 25 April 2021 pukul 00:35 WIB
    Saptono. Tanpa Tahun. Teori Hegemoni. http://repo.isi-dps.ac.id/226/1/Teori_Hegemoni_ Sebuah Teori_Kebudayaan_Kontemporer.pdf. Diunduh 25 April 2021 pukul 00:35 WIB
    KBBI Online. Pengertian Hegemoni

  32. Sulastri, nama yang diciptakan dengan khas kejawen diperuntukkan untuk seorang wanita berambut panjang pada tokoh utama cerpen tersebut. Sebuah nama berasal dari bahasa Jawa yang berarti isteri dewa, nama bunga dan pohonnya. Melambangkan pesona dan karisma seorang yang glamor dan ingin menjadi pusat perhatian. Seorang yang perasa, pemimpi, tulus, semangat, dan mudah jatuh cinta. Memiliki nama yang bagus akan membantu seseorang menjadi lebih percaya diri, dan lebih bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang. Akan tetapi nama “Sulastri” sangat tidak mencerminkan kualitas pribadinya yang sekarang, doa orangtua dengan memberikannya ia nama tersebut sangatlah sia-sia. Kini anak yang dibanggakan semasa kecilnya dulu sedang beradu nasib dengan keputus asa an oleh ketidakwarasan negeri.
    Arah hatinya tersesat karena mengalami situasi buruk, tidak tahu harus berlutut ke mana dan menceritakan semua keluhan yang ada dalam hidupnya. Tidak mungkin memberi tahu orang lain karena tidak semua memberikan solusi yang dapat menjadi jalan keluar, hatinya menyusut setiap hari. Ia sedang tidak dekat dengan Sang Pencipta, bahkan menjauhinya. Padahal, keyakinan beragama sangat penting untuk memperkuat kekuatan batinnya dalam menghadapi segala masalah yang dialami wanita bersuami dan beranak tersebut. Hiruk pikuk dunia yang semakin kacau ini, membuat ia semakin terpenjara hati dan pikirannya untuk tetap melanjutkan hidup. Masih teringat jelas cerita pada cerpen tersebut bahwa seorang polisi hendak menyelamatkan Sulasttri ketika berada di atas tanggul, namun apadaya ia tak mau dan memilih untuk menjauh. Penggambaran yang sempurna meyakinkan pembaca bahwa perempuan bernama Sulastri hendak untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena putus asa. Permintaan polisi untuk membujuknya turun selalu ditolak mentah olehnya hingga polisi tersebut kehilangan kesabaran dan meninggalkannya.
    Bengawan Solo, tempat ia merenung dan mengingat kembali masa lalu yang kelam. Tempat kesengsaraan yang diberikan oleh sang suami. Ia tak sanggup mempertahankan nyawa sendiri tanpa campur tangan suami. Ya, suami yang tidak bertanggung jawab dalam hal menafkahi, karena lebih mementingkan hasrat musyrik yang sedang dijalankannya. Sulastri tersadar dalam lamunannya dan tersontak akan kedatangan yang ia sebut dengan nama Fir’aun yang hendak menyelakai Sulastri dan Musa yang berhasil menolongnya. Telah kita ketahui, Fir’aun merupakan seorang raja yang kejam pada zaman itu. Sedangkan Musa merupakan seorang Nabi dengan mukjizat yang diberikan Allah untuk menolong umat manusia berupa tongkat. Sebuah perlawanan Nabi Musa kala itu atas kekejaman raja Fir’aun dengan membelah lautan lalu menenggelamkannya sehingga raja Fir’an beserta prajurit dan pengikutnya terhanyut di dasar lautan. Kisah tersebut sangat berkaitan dengan cerpen yang ditulis oleh M. Shoim Anwar, bahwasannya dalam beragama kita harus teguh iman dan pendirian. Harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika hati dan jiwa kita sudah tertutupi oleh kegelapan namun tidak mau mencari jalan keluar dan bertobat, maka kita tidak percaya akan kekuasaan Tuhan yang sangat begitu besar. Hal itu telah digambarkan oleh seorang raja Fir’aun yang semasa hidupnya menentang ajaran yang sesat. Lain dengan Nabi Musa yang menjadi penerangan dalam kegelapan, dengan mukjizat berupa kesaktian tongkat tersebut mampu membuat umat manusia terdasar bahwa pertolongan Allah akan datang bersamaan dengan iman kita yang kembali pada jalan lurus.

    قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ)53() وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ )54(4
    “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar {39} : 53-54).
    Ayat-ayat di atas menyerukan kepada semua orang yang jatuh ke dalam situasi tidak bermoral atau maksiat, baik dalam keraguan atau dosa lainnya, untuk bertaubat dan kembali kepada Allah. Tentu Allah akan mengampuni dosa siapa pun yang bertaubat dan kembali pada-Nya. Bahkan orang yang melakukan syirik jika ia bertaubat, maka ia akan diampuni. Betapa Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya. Teringat kembali berbagai kisah yang dialami oleh beberapa nabi pada zaman itu. Paus tidak memakan Nabi Yunus, laut tidak menenggelamkan Nabi Musa, pisau tidak melukai Nabi Ismail, api tidak membakar Nabi Ibrahim. Jika kita melibatkan Allah dalam semua urusan, maka Allah akan menjaga kita setiap saat.
    Setiap orang memiliki kisah hidup masing-masing, terutama dalam menjadi pernikahan. Akan melewati berbagai ujian demi ujian, baik faktor ekonomi, kesehatan, hubungan dengan keluarga. Bagi yang berhasil melampauinya, bisa jadi hubungan terlihat semakin kokoh dalam bahtera rumah tangga.

    “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”

    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

    Orang selalu berkata bahwa uang tidak bisa membeli segalanya. Cinta dan kebahagiaan adalah dua hal yang tidak bisa diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki. Ini juga yang menyebabkan Sulastri dan suaminya banyak perselisihan dengan ingin berpisah dan mengakhiri pernikahan itu. Ia mengeluh untuk mendapatkan kekuatan, betapa egois dan tidak bersyukurnya ia. Apa yang ia pikirkan sekarang adalah uang, uang dan uang. Bahkan ia lupa dengan kekuatan Allah dengan segala kemurahan-Nya atas segala nikmat rezeki yang tak terhingga. Teringat lantunan Sudjiwo Tejo yang berbunyi “Khawatir tidak bisa makan saja kau sudah menghina Tuhan”. Namun semua dijalani dengan iringan kerja keras dan usaha, tidak melulu membiarkan nasib kemiskinan menggerogoti kehidupan. Kemudian ia mencoba yang terbaik untuk menenangkan hati dengan mengundurkan diri, memohon pengampunan dan refleksi diri pada takdirnya. Ia merelakan apa yang bisa dilakukan sekarang sekalipun suaminya telah melakukan kemusyrikan dan menelantarkannya.
    “Negeri kami miskin, Ya Musa. Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa. Kami menderita, Ya Musa. Kami tak kebagian, Ya Musa. Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa. Tolonglah saya, Ya Musa. Tolonglah saya, Ya Musa….”
    Hal itu bisa dikaitkan dengan keadaan politik pada masa itu, mengapa demikian? Perkataan Sulastri seakan dunia tidak berpihak kepadanya. Politik di negeri ini sering kali memberikat peluang kepada para politikus untuk bertindak kejahatan berupa korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemerintah lebih mementingkan keuntungan keluarga dibanding kesejahteraan rakyat. Keserakahan politik ini akan memecah bela kesatuan negeri ini. Alangkah damai dan indah negeri ini jika tidak ada keserakahan.

  33. Fijannatin Alfiyah

    KRITIK DAN ESAI CERPEN “Sulastri dan EMPAT LELAKI”

    Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki sendiri menceritakan seorang perempuan bernama sulastri yang berada di bibir pantai Laut merah. Sulastri saat berada dilaut merah itu sendiri kemudian bertemu dengan polisi yang mencoba untuk menangkapnya. Penangkapan itu bukan untuk dimasukkan ke penjara atau dideportasi ke negara asalnya yaitu Indonesia. Polisi berusaha menangkapnya untuk dikumpulkan dengan temaan-temanya yang lain kemudia diberikan kepada para mafia. Dari setiap yang ditangkap polisi tersebut akan mendapatkan imbalan berupa uang dan lebih ironinya lagi yang meberikan uang itu sendiri berasal dari negara Sulastri sendiri yaitu Indonesia.
    Namun pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari polisi tersebut. Kemudian saat Sulastri berdiri diposis awal ia mengingat masalalunya dengan sang Suami yaitu Markam. Suami tersebut telah menelantarkanya dan anak-anaknya. Tidak memberi nafkah lahir dan batin. Markam lebih memilih untuk bertapa di ujung bengawan solo untuk mendapatkan pusaka. Sebuah kegiatan yang bersifat sepiritual namun kurang bijak dilakukan dalam posisinya saat itu yang masih mempunyai tanggung jawab pada keluarga. Disaat bayang-bayang tentang suaminya memudar Sulastri kaget melihat sosok laki-laki yang ia sebut dengan Firaun. Dengan badan dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris. Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Ditengah pengejaran tersebut mencul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dang dengan tongkat. Ialah Musa, kemudian Sulatri mencoba meminta tolong kepadanya. Namun, musa memberikan isyarat tidak bisa dan sosok Musa hilang.
    Kemudian Sulastri terntangkap oleh Firaun. Rambutnya ditarik hingga jebol. Tubuhnya pun lemah kehilangan kesadaran. Tiba-tiba muncul sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia kaget, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya mimpi.
    Pada cerpen “Sulastri dan empat lelaki” ini memiliki hubungan dengan berbagai masalah. Dianataranya yaitu ekonomi. Melihat Sudut pandang sebagai pembaca perempuan. Ketika membaca cerpen tersebut dengan sudut pandang perempuan pastilah kita akan menemukan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari kata bahagia. Markam seorang suami yang mencampakan istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang baik. Markam lebih memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam pernikahan seorang perempuan akan merasa tertekan dan tidak bebas. Seperti yang dikatakan oleh seorang perempuan asal Perancis Simone de Beauvoir yang mengatakan bahwa pernikahan adalah alat untuk mengekang wanita. Kalau tidak salah seperti itu. Tidak hanya itu beberapa adegan seperti saat Sulastri bertemu dengan musa. Ada dialog yanhg menarik seperti dibawah ini

    “Saya seorang perempuan, ya Musa.”

    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

    Sebuah kutipan yang menarik. Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan sebenarnya perempuan dapat menjadi diri mereka sendiri. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja. Namun seringkali perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dalam kutipan tersebut sosok Musa adalah orang yang menyadari betul bahwa laki-laki dan perempuan ialah hakikatnya sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan dapat bebas dan tidak bergantung pada laki-laki.

    Selain ekonomi, juga berkaitan dengan hokum. Dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut, di kehidupan nyata sendiri banya sekali perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dari laki-laki. lihat saja di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan.
    Cerpen tersebut juga berkaiatan dengan budaya. Karena keseluruhan cerpen itu sendiri dapat ditangkap sebuah makna bahwa dominasi laki-laki begitu kuat. Lihat saja seperi polisi yang seorang laki-laki, Markam, dan Firaun yang seorang laki-laki, serta Musa seorang laki-laki pula. Sungguh laki-laki begitu mendominasi dalam cerpen tersebut. Lihatlah juga dalam kehidupan nyata presiden kita yang mulai dari yang pertama hingga saat ini, kebanyakan adalah laki-laki, dan hanya ada satu perempuan. Dalam cerpen itu sendiri menunjukan bahwa Seorang perempuan selalu dibawah dominasi laki-laki. Perempuan sebagai objek yang tidak berdaya dan dibawah bayang-bayang laki-laki.
    Seperti pada kehidupan nyata, cepen tersebut juga menyangkut masalah problematika politik oleh kaum atas. dilambangkan pada sosok polisi. Lihat saja saat Polisi dalam cerpen tersebut berusaha untuk menangkap Sulastri. Hal itu dialakukan guna untuk menapatkan imbalan berupa uang. Sebuah ketamakan yang berada pada diri yang dilambangkan dalam sebagai sosok polisi. Nafsu ini sendiri memiliki sebuah sifat untuk ingin disanjung, memiliki pangkat, tamak, dan lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia agar dilihat lelbih atau mendapatkan sesuatu ataupun sebuah pengakuan. Sehingga menggerakkan manusia untuk berbuat jahat kepada manusia lainnya. Demi mendapat kekuasaan, penghargaan, dan lainnya. Nafsu ini diidentikan dengan warna kuning.
    Tidak hanya itu saja dalam cerpen tersebut juga mengandung religi yang digambarkan dalam sosok Musa. Lihat saja Musa ketika berdialog dengan Sulastri dan ia menolongnya. Dalam dialog itu sendiri Musa menerangkan dan mengajarkan kebaikan tentang kebaikan-kebaikan. Nafsu Mutmainnah sendiri merupakan nafsu yang mengajak untuk kebaikan. Nafsu ini diidentikan dengan warna putih. Nafsu Mutmainnah menodorong manusia untuk melaksanakan kebaikan, membantu orang lain, beribadah, dan bergembira. Namun nafsu ini jika berlebihan juga tidaklah baik karena dia akan lupa melihat dirinya sendiri jika terlelap kesenangan dirinya.
    Kisah Sulastri dan Empat Lelaki mengenah dihati pembaca. Gaya bahasa yang dipakai sederhana dengan istilah-istilah yang sering didengarkan oleh khalayak ramai. Sementara itu, perjalanan Sulastri terkesan seperti masa lampau. Ketika zaman nabi Musa AS, saat berpijak dengan keteguhan bahwa masih ada penolong yang menjadi pegangan. Dengan begitu, Sulastri meminta setulus hatinya agar ditolong dari kekejaman Firaun pada kisah tersebut, yang ingin memerbudak Sulastri dengan paksa dan perintahnya. Tidak luput dengan campur tangan polisi dan perantara yang memang sudah berdiskusi di balik layar dengan memerjual belikan manusia dengan embel-embel pulang ke tanah air tercinta. Nyatanya uang seribu real itu dipergunakan untuk menyuap polisi dan masuk ke kantong perantara sebagai uang tranportasi dan uang makan. Sementara Sulastri juga tidak memunyai uang tersebut. Suaminya, Markam seorang yang suka bertapa di dekat makam sungai Bengawan Solo yang diyakini akan membawa berkah. Tetapi ketika Markam pulang selalu dengan tangan hampa. Anak dan istrinya ditelantarkan dengan kesia-siaan waktu yang dipergunakan bertapa. Sungguh malang sekali nasib Sulastri. Sudah jatuh, tertimpa pohon.

  34. Cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki karya M.Soim Anwar ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama sulastri yang berada di bibir pantai Laut merah. Sulastri saat berada dilaut merah itu sendiri kemudian bertemu dengan polisi yang mencoba untuk menangkapnya. Penangkapan itu bukan untuk dimasukkan ke penjara atau dideportasi ke negara asalnya yaitu Indonesia. Polisi berusaha menangkapnya untuk dikumpulkan dengan temaan-temanya yang lain kemudia diberikan kepada para mafia. Dari setiap yang ditangkap polisi tersebut akan mendapatkan imbalan berupa uang dan lebih ironinya lagi yang meberikan uang itu sendiri berasal dari negara Sulastri sendiri yaitu Indonesia.

    Namun pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari polisi tersebut. Kemudian saat Sulastri berdiri diposis awal ia mengingat masalalunya dengan sang Suami yaitu Markam. Suami tersebut telah menelantarkanya dan anak-anaknya. Tidak memberi nafkah lahir dan batin. Markam lebih memilih untuk bertapa di ujung bengawan solo untuk mendapatkan pusaka. Sebuah kegiatan yang bersifat sepiritual namun kurang bijak dilakukan dalam posisinya saat itu yang masih mempunyai tanggung jawab pada keluarga. Disaat bayang-bayang tentang suaminya memudar Sulastri kaget melihat sosok laki-laki yang ia sebut dengan Firaun. Dengan badan dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris. Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Ditengah pengejaran tersebut mencul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dang dengan tongkat. Ialah Musa, kemudian Sulatri mencoba meminta tolong kepadanya. Namun, musa memberikan isyarat tidak bisa dan sosok Musa hilang.

    Kemudian Sulastri terntangkap oleh Firaun. Rambutnya ditarik hingga jebol. Tubuhnya pun lemah kehilangan kesadaran. Tiba-tiba muncul sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia kaget, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya mimpi.

    Pada cerpen “Sulastri dan empat lelaki” ini memiliki hubungan dengan berbagai masalah. Dianataranya yaitu ekonomi. Melihat Sudut pandang sebagai pembaca perempuan. Ketika membaca cerpen tersebut dengan sudut pandang perempuan pastilah kita akan menemukan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari kata bahagia. Markam seorang suami yang mencampakan istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang baik. Markam lebih memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam pernikahan seorang perempuan akan merasa tertekan dan tidak bebas. Seperti yang dikatakan oleh seorang perempuan asal Perancis Simone de Beauvoir yang mengatakan bahwa pernikahan adalah alat untuk mengekang wanita. Kalau tidak salah seperti itu. Tidak hanya itu beberapa adegan seperti saat Sulastri bertemu dengan musa. Ada dialog yanhg menarik seperti dibawah ini

    “Saya seorang perempuan, ya Musa.”

    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

    Sebuah kutipan yang menarik. Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan sebenarnya perempuan dapat menjadi diri mereka sendiri. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja. Namun seringkali perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dalam kutipan tersebut sosok Musa adalah orang yang menyadari betul bahwa laki-laki dan perempuan ialah hakikatnya sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan dapat bebas dan tidak bergantung pada laki-laki.

    Selain ekonomi, juga berkaitan dengan hokum. Dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut, di kehidupan nyata sendiri banya sekali perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dari laki-laki. lihat saja di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan.

    Cerpen tersebut juga berkaiatan dengan budaya. Karena keseluruhan cerpen itu sendiri dapat ditangkap sebuah makna bahwa dominasi laki-laki begitu kuat. Lihat saja seperi polisi yang seorang laki-laki, Markam, dan Firaun yang seorang laki-laki, serta Musa seorang laki-laki pula. Sungguh laki-laki begitu mendominasi dalam cerpen tersebut. Lihatlah juga dalam kehidupan nyata presiden kita yang mulai dari yang pertama hingga saat ini, kebanyakan adalah laki-laki, dan hanya ada satu perempuan. Dalam cerpen itu sendiri menunjukan bahwa Seorang perempuan selalu dibawah dominasi laki-laki. Perempuan sebagai objek yang tidak berdaya dan dibawah bayang-bayang laki-laki.

    Seperti pada kehidupan nyata, cepen tersebut juga menyangkut masalah problematika politik oleh kaum atas. dilambangkan pada sosok polisi. Lihat saja saat Polisi dalam cerpen tersebut berusaha untuk menangkap Sulastri. Hal itu dialakukan guna untuk menapatkan imbalan berupa uang. Sebuah ketamakan yang berada pada diri yang dilambangkan dalam sebagai sosok polisi. Nafsu ini sendiri memiliki sebuah sifat untuk ingin disanjung, memiliki pangkat, tamak, dan lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia agar dilihat lelbih atau mendapatkan sesuatu ataupun sebuah pengakuan. Sehingga menggerakkan manusia untuk berbuat jahat kepada manusia lainnya. Demi mendapat kekuasaan, penghargaan, dan lainnya. Nafsu ini diidentikan dengan warna kuning.

    Tidak hanya itu saja dalam cerpen tersebut juga mengandung religi yang digambarkan dalam sosok Musa. Lihat saja Musa ketika berdialog dengan Sulastri dan ia menolongnya. Dalam dialog itu sendiri Musa menerangkan dan mengajarkan kebaikan tentang kebaikan-kebaikan. Nafsu Mutmainnah sendiri merupakan nafsu yang mengajak untuk kebaikan. Nafsu ini diidentikan dengan warna putih. Nafsu Mutmainnah menodorong manusia untuk melaksanakan kebaikan, membantu orang lain, beribadah, dan bergembira. Namun nafsu ini jika berlebihan juga tidaklah baik karena dia akan lupa melihat dirinya sendiri jika terlelap kesenangan dirinya.

    Kisah Sulastri dan Empat Lelaki mengenah dihati pembaca. Gaya bahasa yang dipakai sederhana dengan istilah-istilah yang sering didengarkan oleh khalayak ramai. Sementara itu, perjalanan Sulastri terkesan seperti masa lampau. Ketika zaman nabi Musa AS, saat berpijak dengan keteguhan bahwa masih ada penolong yang menjadi pegangan. Dengan begitu, Sulastri meminta setulus hatinya agar ditolong dari kekejaman Firaun pada kisah tersebut, yang ingin memerbudak Sulastri dengan paksa dan perintahnya. Tidak luput dengan campur tangan polisi dan perantara yang memang sudah berdiskusi di balik layar dengan memerjual belikan manusia dengan embel-embel pulang ke tanah air tercinta. Nyatanya uang seribu real itu dipergunakan untuk menyuap polisi dan masuk ke kantong perantara sebagai uang tranportasi dan uang makan. Sementara Sulastri juga tidak memunyai uang tersebut. Suaminya, Markam seorang yang suka bertapa di dekat makam sungai Bengawan Solo yang diyakini akan membawa berkah. Tetapi ketika Markam pulang selalu dengan tangan hampa. Anak dan istrinya ditelantarkan dengan kesia-siaan waktu yang dipergunakan bertapa. Sungguh malang sekali nasib Sulastri. Sudah jatuh, tertimpa pohon.

    Pesan atau amanat yang dapat saya ambil dari cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar, bahwa kehidupan manusia saat ini maupun lampaui kita harus tunduk pada keadilan bukan kekuasaan tertinggi. Karena harta dan kekuasaan tertinggi pun tidak akan di bawah sampai mati apalagi sampai menindas dan melakukan kekerasan pada seorang perempuan. Cerpen yang dibuat ini memiliki kesan untuk pembaca dengan kalimat yang bagus, kuat, sederhana, lugas, dan tegas.

  35. Sulastri dan Empat Lelaki
    Oleh
    M. Shoim Anwar
    Unsur intrinsik dalam novel ataupun cerpen merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Kepaduan antar berbagai unsur tersebut, akhirnya membangun inti cerita. Dalam mengkritik cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, saya akan mengkritik dari beberapa segi unsur intrinsik dan ekstrinsik.
    Pertama, alur atau plot menjadi kerangka dasar suatu tindakan yang bertalian satu sama lain dalam sebuah cerita novel ataupun cerpen. Umumnya, plot novel ataupun cerpen tidaklah sederhana karena pengarang menyusunnya berdasarkan kaitan sebab akibat. Alur yang digunakan pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki adalah alur maju dan mundur. Dalam cerita tersebut Sulastri mengingat peristiwa kehidupannya selama di Solo. Seperti pada kutipan berikut “ Di bibir Laut Merah, Sulastri teringat ketika tercenung di tepi Bengawan Solo. Dari Desa Tegal Rejo dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. Lelaki itu bernama Markam, suami Sulastri. Suatu kali Markam pulang dengan berenang menyeberangi Bengawan Solo”.
    Kedua, sudut pandang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam cerita. Pengarang akan mengklasifikasikan pencerita atau tokoh yang menyampaikan cerita, melalui sudut pandang orang pertama, maupun sudut pandang orang ketiga. Menurut Lubbock (1965: 251 -257) sudut pandang merupakan hubungan antara tempat pencerita berdiri dan ceritanya; dia ada di dalam atau di luar cerita. Hubungan tersebut ada dua macam, yaitu hubungan pencerita diaan dengan ceritanya dan hubungan pencerita akuan dengan ceritanya
    Sudut pandang yang digunakan pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu. Hal ini dikarenakan penulis menggunakan nama untuk menceritakan kisahnya, seperti Sulastri, Fir’aun, Polisi, dan menggunakan kata ganti “ia”. Selain itu, karena pengarang mengetahui berbagai hal mengenai tokoh, tindakan, peristiwa, serta motivasi yang melatarbelakangi setiap tindakan tokoh. Pengarang juga tidak terbatas hanya pada satu tokoh, tetapi dapat berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya, sehingga tidak hanya terdapat satu tokoh “dia”. Pengarang dapat berkomentar dan memberikan penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkan. Seperti pada teks “Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri”.

    Ketiga, amanat merupakan pesan moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Amanat dapat disampaikan secara implisit ataupun eksplisit. Secara implisit berarti, amanat sifatnya tersirat atau tidak langsung. Biasanya, pembaca dapat mengambil amanat cerita dari, tingkah laku tokoh menjelang cerita pada novel ataupun cerpen berakhir. Sementara amanah yang bersifat eksplisit berarti pengarang di tengah ataupun akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, ujaran, larangan, dan sebagainya secara langsung. Sehingga, pembaca tidak perlu menganalisis lagi amanat cerita dalam novel ataupun cerpen yang sebenarnya.
    Amanat pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki disampaikan secara implisit atau tersirat yang artinya amanat itu tidak terdapat dalam teks cerpen. Dalam mencari amanat yang seperti ini, pembaca harus membaca dengan teliti dan menyimpulkan sendiri amanatnya. Amanat yang terkandung dalam cerpen tersebut adalah meskipun kita orang miskin, hidup di negeri sendiri lebih tenang daripada hidup di negeri orang, apalagi bekerja sebagai budak atau pembantu. Tidak semua orang asing itu baik dan tidak semuanya juga jelek. Jika tidak beruntung, maka hidup kita akan seperti Sulastri, dikejar-kejar orang dan ingin pulang rasanya sulit.
    Selain unsur intrinsik, sebuah novel juga memiliki unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur pembentuk novel yang berada di luar novel tersebut. Hal ini dilakukan supaya kita bisa lebih memahami makna cerita yang terkandung dalam sebuah novel, karena proses penciptaan novel turut dipengaruhi kondisi-kondisi tertentu yang ada saat novel tersebut ditulis oleh pengarangnya.
    Pertama, latar belakang masyarakat saat novel ditulis oleh pengarang turut memengaruhi novel tersebut karena faktor-faktor yang ada dalam lingkungan masyarakat tempat pengarang hidup turut memengaruhi pemikiran pengarang dan, dengan demikian, turut memengaruhi karya-karyanya. Latar belakang masyarakat ini dapat berupa ideologi, kondisi politik, kondisi ekonomi, dan kondisi sosial.
    Ideologi negara tempat pengarang hidup turut memengaruhi novel yang ditulisnya karena dua hal. Pertama, bisa saja novel yang ditulis seorang pengarang selaras atau sesuai dengan ideologi negaranya karena ia menyetujui dan menganut ideologi tersebut. Kedua, bisa saja novel yang ditulis oleh seorang pengarang tidak selaras atau berbeda dengan ideologi negaranya. Oleh karena itu, novel yang ditulis oleh pengarang tersebut mengandung kritik-kritik terhadap ideologi yang dianut negaranya, sesuai dengan ideologi yang dianut oleh pengarangnya.
    Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki terlihat gambaran ideologi yang terdapat di Arab Saudi. Polisi disana tidak akan menangkap warga asing tanpa adanya imbalan. Para budak disana jika ingin dipulangkan ke negaranya maka ia harus membayar polisi dan perantara. Ketika sudah membayar, polisi akan segera melakukan penangkapan yang direncanakan dan membawanya ke kedutaan untuk mendapatkan surat deportasi. Hal ini dibuktikan pada teks “Sulastri tahu, polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia. Para perantara inilah yang akan menghubungi polisi agar menangkap sekumpulan orang yang sudah diatur tempat dan waktunya. Dari seribu real per orang, konon polisi akan mendapat tujuh ratus real per orang, sisanya untuk para perantara. Polisi akan mengirim orang-orang tangkapan ini ke kedutaan dengan surat deportasi. Kedutaanlah yang berkewajiban menerbangkan mereka ke tanah air. Celakanya, ketika uang sudah diserahkan tapi penangkapan tak kunjung tiba. Lebih celaka lagi, para perantara ternyata berasal dari negeri Sulastri sendiri.”
    Pengarang yang baik akan bersikap kritis terhadap kondisi politik negaranya. Oleh karena itu, novel yang ditulisnya akan menjadi sebuah respon atau kritik terhadap kondisi politik yang terjadi di negaranya. Contohnya novel Saman dan Larung karya Ayu Utami, kedua novel tersebut mengkritik kondisi politik Orde Baru yang otoriter dan represif.
    Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki menyinggung politik yang ada di Indonesia. Di sana dijelaskan bahwa masyarakat hanya dibutuhkan ketika pemilu. Setelah pemilu selesai, maka tidak ada yang memikirkan bagaimana nasib masyarkatnya. Itu dikarenakan para pemimpin yang serakah, yang tidak adil kepada masyarakatnya, yang lupa dengan janji-janjinya ketika pemilu. Hal ini dibuktikan pada percakapan Sulastri dengan Musa “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.” “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.” “Tolonglah saya, Ya Musa.” “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    Kondisi ekonomi ini juga turut memengaruhi lahirnya novel. Sebuah novel bisa menggambarkan kondisi ekonomi sebuah negara pada suatu waktu dan lokasi tertentu, sesuai dengan cerita yang terkandung di dalamnya. Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki dapat dilihat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat itu sangat kekurangan. Markam dan Sulastri harus hidup dengan kemelaratan, ditambah Markam, suami Sulastri tidak bekerja. Ia hanya bertapa sepanjang hari tanpa ada hasilnya. Sulastri bahkan menjadi budak di Arab Saudi karena ditelantarkan suaminya. Hal ini dibuktikan pada teks “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
    Kedua, latar belakang pengarang juga turut memengaruhi novel yang ditulisnya karena biasanya menggambarkan pandangan atau pemikiran penulis mengenai masalah-masalah yang ia ceritakan dalam novelnya. Dengan mempelajari latar belakang pengarang, kita juga jadi bisa mengetahui motivasi pengarang saat menulis novelnya. Latar belakang pengarang ini mencakup beberapa faktor, yaitu riwayat hidup pengarang, kondisi psikologis pengarang, aliran sastra pengarang.

    Riwayat hidup pengarang merupakan biografi pengarang tersebut secara keseluruhan. Dengan mempelajari riwayat hidup pengarang, kita bisa menganalisa faktor apa saja yang memengaruhi pandangan dan jalan pikir pengarang mengenai novel yang ia tulis berdasarkan pengalaman-pengalaman hidupnya.
    Riwayat hidup penulis novel Sulastri dan Empat Lelaki adalah sebagai berikut, M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Setamat dari SPG di kota kelahirannya, dia melanjutkan pendidikan ke IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kemudian diteruskan ke Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya untuk S-2 dan S-3. Dia pernah mengajar di SD, SMP, SMA, dan Perguan Tinggi. Dia juga pernah mengasuh acara sastra di radio (RKPD Jombang), anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, ketua komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, dan redaktur majalah kebudayaan Kali Mas dan Kidung. Di samping mengajar, Shoim banyak menulis di berbagai media massa, menjadi pembicara dan membacakan cerpen-cerpennya di berbagai wilayah tanah air, termasuk di TIM Jakarta.
    Shoim tiga kali berturut-turut menjadi juara pada lomba menulis cerpen yang diadakan Dewan Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990), dan beberapa kali menjuarai lomba penulisan cerpen dan esai yang diadakan Depdiknas (2001, 2002, 2003, 2005, 2006, 2007), serta mendapatkan Penghargaan Seni dari Gubernur Jawa Timur (2008). Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis, seperti Cerita Pendek dari Surabaya (editor Suripan Sadi Hutomo), Negeri Bayang-bayang (editor D. Zawawi Imron, dkk.), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (editor Korrie Layun Rampan), dll. Kumpulan cerpen Shoim yang telah terbit adalah Oknum (Gaya Masa,1992), Musyawarah Para Bajingan (Gaya Masa,1993), Limau Walikota (ed., Surabaya Post, 1993), dll.
    Kondisi psikologis pengarang saat ia menulis novel juga turut memengaruhi cerita yang ia buat. Suasana hati pengarang saat menulis sebuah novel biasanya akan tergambar pula dalam novel yang ia tulis. Pada novel Sulastri dan Empat Lelaki, terlihat suasana hati penulis pada saat itu adalah amarah karena melihat masyarakat pada saat itu tidak menerima keadilan dari negaranya, sampai harus menjadi budak di negri orang. Hal ini disebabkan karena politik di Indonesia yang sangat tidak adil. Tidak hanya sekali penulis menyindir politik di Indonesia. Pada karyanya yang lain seperti puisi Dursasana Peliharaan Istana, Ulama Durna Ngesot ke Istana, juga mengandung unsur sindiran yang ditujukan pada ideologi dan politik di Indonesia.
    Aliran sastra ini akan memengaruhi bentuk dan gaya kepenulisan pengaran dalam novelnya. Oleh karena itu, bila kita mempelajari aliran sastra yang dianut pengarang, akan lebih mudah memahami makna novel yang ditulisnya. Dalam beberapa karya penulis yang sudah pernah saya baca, makan saya menyimpulkan bahawa aliran sastra yang dianut penulis adalah Determinisme, yaitu aliran dalam sastra yang melukiskan suatu peristiwa atau kejadian dari sisi jeleknya saja. Biasanya menyoroti pada ketidakadilan, penyelewengan dan lain-lain yang dianggap kurang baik oleh pengarang.

  36. Sukis setiowati

    Kritik dan Esai Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar

    Cerpen merupakan suatu karya sastra yang diciptakan oleh pengarang dalam bentuk tulisan dengan alur cerita yang jelas dan ringkas. Salah satu contoh cerpen yang menarik untuk dibaca yaitu Sulastri dan Empat Lelaki karya dari M. Shoim Anwar. M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. M. Shoim Anwar telah banyak menulis cerpen, novel ataupun karya tulis lainnya.
    Sesuai dengan judulnya, dalam cerpen ini terdapat tokoh Sulastri dan empat laki-laki yaitu Markam (Suami Sulastri), Polisi, Firaun, dan Musa. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki menceritakan seorang perempuan bernama Sulastri yang hidupnya berada dalam penderitaan. Dalam cerpen ini, Sulastri tidak dinafkahi oleh suaminya yang sibuk dengan bertapa (menyembah berhala). Seperti halnya dalam kutipan berikut.
    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!” (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)

    Pada kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa Sulastri merasa menderita karena kehidupannya tidak terpenuhi. Hal ini terjadi karena suami Sulastri pergi begitu untuk bertampa tanpa memikirkan kehidupan sehari-hari istri dan anak-anaknya. Sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Tidak hanya dalam cerpen ini saja, dalam kehidupan nyata pun faktor ekonomi memang memegang peran penting dalam meningkatkan status sosial seseorang. Bahkan ada yang rela meninggalkan negaranya untuk merantau ke tempat lain, dengan harapan dapat memperbaiki perekonomian.
    Hingga akhirnya Sulastri memutuskan untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita yang tengah diperbudak oleh Firaun yang memang benar-benar kejam. Sulastri diminta untuk mematuhi apa yang diperintahkan oleh Firaun tanpa membantah keinginannya. Sulastri disini dianggap lemah oleh Firaun sehingga dapat diperlakukan seenaknya sendiri tanpa adanya keadilan. Banyak yang berfikir bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan itu tidak seimbang, sehingga perempuan diperlakukan seenaknya sendiri oleh laki-laki. Pada akhirnya Sulastri bertemu dengan Musa, orang yang menolongnya dari cengkraman Firaun tersebut.
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini ceritanya hampir menyerupai dengan cerita pada kisah Nabi Musa AS yang dapat membelah laut Laut Merah untuk berlari dari kejaran Fir’aun hingga akhirnya tenggelam dalam Laut Merah tersebut. Seperti halnya dalam kutipan berikut.
    Sulastri terjingkat. Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
    “Firauuun…!” ((Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Pada kutipan tersebut, di ceritakan bahwa sosok Firaun yang tiba-tiba memunculkan dirinya dihadapan Sulastri, kemudian Sulastri di kejar oleh Firaun yang beranggapan bahwa Sulastri adalah budak yang mau menuruti apa saja kemauan Firaun. Sulastri sangat ketakutan hingga berlari menjauhi Firaun tersebut. Dari cerita tersebut, mengingatkan pada cerita penguasa Mesir yang bernama Firaun. Firaun yang menganggap dirinya adalah tuhan yang ingin disembah oleh semua orang.
    Sulastri terus berlari dan berteriak-teriak minta tolong namun tidak ada yang menolongnya. Firaun terus mendekati Sulastri, Firaun melangkahkan kakinya makin cepat lalu berlari. Jarak pun makin dekat, Sulastri makin memeras tenaganya. Tiba-tiba Sulastri terkejut di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Laki-laki tersebut mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Sulastri memanggil sosok ini dengan sebutan Musa. Sulastri akhirnya meminta bantuan kepada Musa, namun Musa tak langsung menolongnya. Ada beberapa bercakapan yang mereka lakukan, salah satu percakapannya yaitu seperti “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?” Kata Musa. Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata saat ini yaitu masih banyak orang musyrik (menyembah selain Allah SWT). Pada saat ini masih ada yang tidak peduli terhadap urusan agama dan lebih memilih sibuk dengan urusan dunianya. Banyak orang yang terjerumus ke dalam hal-hal yang memang diharamkan oleh Allah Swt.
    Tiba-tiba sosok yang dipanggil dengan sebutan Musa tersebut menghablur dalam pandangan Sulastri . Firaun tidak berhenti mengejar Sulastri, justru semakin mendekat dan bisa menangkap Sulastri. Tak lama kemudian Musa kembali hadir menemui Sulastri, namun hadir sebagai siluet yang samar-samar. Musa berniatan untuk membantu Sulastri dari kejaran Firaun. Seperti halnya dalam ketipan berikut.
    lelaki yang tadi dipanggil sebagai Musa tiba-tiba muncul lagi di hadapannya. Tapi kali ini hadir sebagai siluet yang samar. Sulastri meraih dan memeluknya sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan diri dari kejaran Firaun. Saat itu juga Sulastri merasakan ada benda di genggamannya. Makin nyata dan nyata. Benda itu adalah tongkat. (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)

    Pada kutipan tersebut, Sulastri mendapatkan pertolongan dari kejaran Firaun yang kejam itu. Sulastri diselamatkan oleh Musa yang menggunakan bantuan tongkat kayu kering miliknya tersebut. Dan akhirnya Sulastri selamat dari kejaran Firaun. Cerita ini seperti kisah Nabi Musa yang di turunkan oleh Allah SWT untuk menyadarkan Fir’aun.
    Pada saat itu tubuh Firaun hancur jadi berkeping-keping di pasir. Bersamaan dengan itu angin kencang menyeret ombak ke daratan. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun. Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Sulastri di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan keluarganya.

    Dilihat dari segi politik cerpen ini yaitu menggambarkan seseorang bergelimang harta dan juga kekuasaan yang memperlakukan orang lain seenaknya sendiri tanpa memikirkan dampak yang akan menimpa. Jika ditelaah lebih mendalam, menghargai sesama manusia dapat menyelamatkan seseorang dalam hal yang negatif. Apabila seseorang yang memiliki jabatan tinggi namun tidak dapat menghargai orang lain atau sombong maka suatu saat ketika sudah berhenti menjabat tidak akan dihormati lagi oleh orang lain.
    Dilihat dari segi religius cerpen ini yaitu menggunakan nama tokoh yang sama dengan kisah para nabi. Seperti tokoh yang bernama Fir’aun yang merupakan salah satu raja di Mesir. Kemudian, kebiasaan yang dilakukan oleh Markam yang menyembah berhala sama halnya orang-orang pada cerita kisah Nabi Musa AS yang masih menyembah berhala.
    Dilihat dari segi sosial cerpen ini yaitu menggambarkan seorang suami yang tidak bertanggung jawab atas anak dan istrinya. Karena, faktor ekonomi akan menyebabkan permasalahan dalam rumah tangga sehingga kehidupannya menjadi kesulitan. Sudah kewajiban seorang suami untuk menafkahi anak istrinya. Tapi hal ini juga masih banyak terjadi di masyarakat, ambil contoh saja orang Indonesia. Banyak orang Indonesia yang seperti itu, hingga akhirnya seorang istri rela jauh dari keluarga untuk merantau ke negara orang dengan harapan kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.
    Amanat yang terdapat dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini adalah Pertama, sebagai sesama manusia harus saling menghargai, saling membantu jika ada yang membutuhkan pertolongan, dan bersikap adil. Kedua, seorang suami harus manafkahi istri dan keluarganya karena sudah menjadi kewajibannya sebagai kepala keluarga.
    Penggunaan kata dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” mudah dipahami oleh pembaca. Penggambaran ceritanya sangat jelas dan sangat rinci, menggunakan nama tokoh yang berbeda sehingga pembaca tertarik ingin membacanya.

  37. Melalui keseluruhan cerita Sulastri dan Empat lelaki karya M Shoim Anwar ini dapat diambil banyak sekali nilai-nilai positif bagi pembaca. Salah satunya adalah peringatan bagi kita sebagai manusia yang harus tetap berusaha sebaik mungkin untuk menjalankan hidup di jalan yang benar. Penulis juga menunjukkan pada pembaca bahwa karma itu ada. Karma ditunjukkan dalam bentuk apapun sehingga dapat menyadarkan manusia untuk terus berbuat baik dan tidak meninggalkan Tuhan.
    Cerita pendek atau sebuah karya sastra pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan, pada cerita Sulastri dan Empat Lelaki ini memiliki kelebihan dalam segi gaya bahasanya dimana kita seperti diajak menonton cuplikan hidup seseorang dengan memberikan sentuhan-sentuhan bahasa yang indah dan kreatif sehingga pembaca dengan nyaman membaca karya sastra ini. Selain itu, penulis menambahkan berbagai warna cerita di dalamnya sehingga seakan akan pembaca berada dalam cerita tersebut. Kelebih lainnya adalah dalam cerita ini, M. Shoim Anwar menyuguhkan banyak pesan moral yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran bagi pembaca salah satunya adalah larangan menyekutukan Tuhan.
    Kekurangan yang ada pada cerita pendek ini adalah ada beberapa penggunaan kata yang salah dalam penulisannya sehingga sedikit mengganggu pada saat pembaca menikmati cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki. Selain itu ada hal yang tidak dijelaskan secara detail yakni cara Sulastri pergi ke negeri Arab, mengapa dianggap menggunakan cara yang salah, sehingga membuat pertanyaan lagi bagi pembaca.

  38. Apolinaris Komul

    Maksud dari cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar.
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar kekuasaan terletak pada sebuah kehidupan Sulastri yang harus menerima akibat dari ulah suaminya (Markam). Apalagi suaminya sudah tidak mempedulikan Sulastri dan anak-anaknya. Suaminya lebih memilih untuk bertapa agar mendapatkan benda pusaka yang ia inginkan. Karena suaminya menyembah berhala maka itu sama saja Sulastri juga seperti suaminya meskipun Sulastri tidak melakukannya. Dan suaminya telah menjadi budak Firaun dan Firaun juga sudah menganggap Sulastri sudah menjadi budaknya. Karena faktor ekonomi Markam rela menjadi budak Firaun dan pemerintah tidak mempedulikan rakyat kecil seperti kehidupan Sulastri dan Markam. Pengarang menggambarkan secara tidak langsung menggunakan ilustrasi dari kehidupan tokoh Sulastri yang menganggap masyarakat hanya sebagai batu loncatan, ketika pemerintah ingin memiliki kekuasaan.

  39. Tita Rohmawati

    Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki

    Kisah Sulastri dan Empat Lelaki mengenah dihati pembaca. Gaya bahasa yang dipakai sederhana dengan istilah-istilah yang sering didengarkan oleh khalayak ramai. Sementara itu, perjalanan Sulastri terkesan seperti masa lampau. Ketika zaman nabi Musa AS, saat berpijak dengan keteguhan bahwa masih ada penolong yang menjadi pegangan. Dengan begitu, Sulastri meminta setulus hatinya agar ditolong dari kekejaman Firaun pada kisah tersebut, yang ingin memerbudak Sulastri dengan paksa dan perintahnya. Tidak luput dengan campur tangan polisi dan perantara yang memang sudah berdiskusi di balik layar dengan memerjual belikan manusia dengan embel-embel pulang ke tanah air tercinta. Nyatanya uang seribu real itu dipergunakan untuk menyuap polisi dan masuk ke kantong perantara sebagai uang tranportasi dan uang makan. Sementara Sulastri juga tidak memunyai uang tersebut. Suaminya, Markam seorang yang suka bertapa di dekat makam sungai Bengawan Solo yang diyakini akan membawa berkah. Tetapi ketika Markam pulang selalu dengan tangan hampa. Anak dan istrinya ditelantarkan dengan kesia-siaan waktu yang dipergunakan bertapa. Sungguh malang sekali nasib Sulastri. Sudah jatuh, tertimpa pohon.
    Dalam kutipan di atas digambarkan bahwa Fir’aun yang seolah menampakan diri di depan Sulastri, kemudian Fir’aun mengejar Sulastri karena menganggapnya sebagai budak yang menyembahnya. Sulastri yang ketakutan pun berlari menghindari kejaran Fir’aun. Jika mengingat kisah tentang penguasa Mesir yang bengis dahulu yaitu Fir’aun, ia menganggap bahwa dirinya sebagai Tuhan dan semua orang harus tunduk dan patuh terhadap perintahnya, oleh sebab itu, Allah SWT menurunkan Nabi Musa AS untuk menyadarkan Fir’aun.
    Selanjutnya, Sulastri yang terus berlari dari kejaran Fir’aun akhirnya melompat dari atas tanggul, di sana Sulastri ditampakan oleh seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang, dan menggunakan kain putih menutup perut hingga lutut yang dikenal sebagai Nabi Musa AS. Dalam kutipan sebagai berikut. Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut…Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering…
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini tidak hanya membahas mengenai keterkaitan antara kisah Nabi Musa AS saja, namun juga membahas mengenai kejadian yang sering terjadi di Indonesia dimana seseorang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan bahkan tergolong musyrik yaitu melakukan ritual untuk mendapatkan benda-benda yang dianggap sakral atau memiliki kemampuan magis yang dapat mendatangkan kekayaan. Hal tersebut digambarkan terjadi pada suami Sulastri yang bernama Markam dalam kutipan sebagai berikut.
    Ya, Musa….” (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini tidak hanya membahas mengenai keterkaitan antara kisah Nabi Musa AS saja, namun juga membahas mengenai kejadian yang sering terjadi di Indonesia dimana seseorang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan bahkan tergolong musyrik yaitu melakukan ritual untuk mendapatkan benda-benda yang dianggap sakral atau memiliki kemampuan magis yang dapat mendatangkan kekayaan. Hal tersebut digambarkan terjadi pada suami Sulastri yang bernama Markam dalam kutipan sebagai berikut.
    …dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Hal seperti itu sangat sering terjadi di Indonesia, meskipun di jaman yang serba digital saat ini pun hal-hal seperti itu masih sering ditemui. Saat melihat siaran berita di televisi terkadang masih banyak berita-berita yang membahas mengenai hal-hal seperti itu, saking tenarnya ada sebuah acara di televisi yang mengangkat tema mengenai kejadian-kejadian mistis atau akibat dari melakukan pesugihan dan banyak orang yang suka untuk menonton acara tersebut termasuk saya, hal tersebut berguna untuk mengambil pesan-pesan positif yang ingin disampaikan, sehingga acara dengan mengangat tema hal-hal yang mistis pun mendapatkan rating yang tinggi. Sebenarnya di Indonesia sendiri hal-hal mistis sudah seperti kebudayaan yang mengakar sejak jaman dahulu namun kita harus bijak dalam bertindak, jika hal-hal seperti itu digunakan untuk hal yang positif misalnya untuk melestarikan kebudayaan dan menghormati para leluhur kita tentu boleh saja dilakukan, namun jika hal seperti itu dilakukan untuk hal yang negatif seperti untuk kepentingan pribadi dan menjerumus ke arah musyrik tentu saja hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.
    “Saya seorang perempuan, ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    Sebuah kutipan yang menarik. Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan sebenarnya perempuan dapat menjadi diri mereka sendiri. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja. Namun seringkali perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dalam kutipan tersebut sosok Musa adalah orang yang menyadari betul bahwa laki-laki dan perempuan ialah hakikatnya sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan dapat bebas dan tidak bergantung pada laki-laki.
    Adapun juga dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut, di kehidupan nyata sendiri banya sekali perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dari laki-laki. lihat saja di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan.
    Dalam cerpen berjudul sulastri dan empat lelaki ini, sangat jelas digambarkan ekonomi yang dialami oleh sulastri sangatlah jauh dari kata sempurna. Memang benar, di dunia ini tidak ada yang sempurna karena, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Tetapi, ekonomi sulastri ini sangat tragis sekali. Dan budaya di negara sulastri sangat kental sekali, kentalnya melebihi susu kental manis. Hal ini terlihat dari masih adanya peraturan bahwa budak harus patuh kepada perintah tuannya. Saat sulastri ditinggalkan oleh suaminya, ia pun dikejar-kejar oleh firaun, karena firaun meminta ia untuk mematuhi perintahnya sebagai tuan. Sulastri pun tidak menggubris perintah firaun tersebut, akhirnya sulastri pun berlari untuk menjauh dari firaun, tetapi firaun pun tak menyerah dan terus mengejar sulastri. Namun, saat diperjalanan sulastri pun bertemu dengan sosok yang ia panggil musa, dan musa pun memberikan bantuan kepada sulastri agar terhindar dari firaun. Bantuan tersebut berupa sebuah tongkat dan tongkat tersebut dapat membuat firaun musnah.
    Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, tentunya ini tidak logis. Karena, di tahun 2021 ini sudah termasuk dalam era modern dan teknologi semakin berkembang sangat pesat. Jadi, hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia-manusia jaman sekarang. Jika ada seseorang akan dibunuh oleh penjahat, maka sesorang tersebut akan berlari ke kantor polisi untuk meminta perlindungan kepada polisi, agar terhindar dari penjahat tersebut. Jika, seseorang tersebut berada di kantor polisi maka, tidak akan dibunuh oleh penjahat. Karena, penjahatnya pun tidak berani menginjakkan kakinya di kantor polisi, hal tersebut sama saja dengan ia menyerahkan diri ke kandang harimau.
    Itu di kehidupan nyata benar-benar logis sekali yang dilakukan berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh sulastri dalam cerpen tersebut. Terkait dengan religi dalam cerpen tersebut, sangat jelas bahwa semua manusia menyembah berhala dan matahari. Mereka tidak menyembah tuhan yang telah menciptakkan ia di dunia ini. Dari segi religi saja sudah salah, maka terlihat jelas bahwa kehidupan mereka sangatlah rumit. Mereka tidak menyembah tuhan melainkan yang mereka sembah adalah berhala.
    Suami sulastri pun juga menyembah berhala, maka kehidupannya pun menjadi tersesat. Sama saja seperti ada jalan menuju surga tetapi ia lebih memilih jalan menuju neraka. Terlihat bahwa kehidupan, sikap dari suami sulastri sangatlah buruk. Jika, dikaitkan dengan kehidupan nyata hal ini masih banyak dilakukan oleh beberapa manusia di dunia ini. Walaupun zaman sudah modern, tetapi masih saja ada manusia yang menyembah seperti itu. Misalnya, bertapa di gua, laut, bahkan berguru dengan orang pintar (Dukun) untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Bahkan, bisa juga untuk memusnahkan manusia yang ia benci. Dengan cara pergi ke dukun untuk mengirim santet kepada lawan. Hal ini masih ada di Indonesia. Yang mereka lakukan tersebut sangatlah hal yang merugikan, karena hidup di dunia ini hanya satu kali, maka berbuatlah sebaik mungkin. Bahwa kehidupan yang abadi adalah di alam akhirat.
    Amanat yang dapat diambil oleh pembaca cerpen berjudul sulastri dan empat lelaki adalah;
    a. kita sebagai manusia harus sadar dalam hal baik maupun buruk.
    b. kita sebagai manusia aharus ikhlas dalam membatu dalam semama manusia
    c. Jadilah manusia yang berilaku dalam kepemimpin yang adil untuk rakyatnya.
    d. Jangan pernah mengikuti ajakan setan ( Menyembah berhala, dan lain-lain).

  40. Retno Ayu Purbaningrum

    Kisah Sulastri dan Empat Lelaki mengenah dihati pembaca. Gaya bahasa yang dipakai sederhana dengan istilah-istilah yang sering didengarkan oleh khalayak ramai. Sementara itu, perjalanan Sulastri terkesan seperti masa lampau. Ketika zaman nabi Musa AS, saat berpijak dengan keteguhan bahwa masih ada penolong yang menjadi pegangan. Dengan begitu, Sulastri meminta setulus hatinya agar ditolong dari kekejaman Firaun pada kisah tersebut, yang ingin memerbudak Sulastri dengan paksa dan perintahnya. Tidak luput dengan campur tangan polisi dan perantara yang memang sudah berdiskusi di balik layar dengan memerjual belikan manusia dengan embel-embel pulang ke tanah air tercinta. Nyatanya uang seribu real itu dipergunakan untuk menyuap polisi dan masuk ke kantong perantara sebagai uang tranportasi dan uang makan. Sementara Sulastri juga tidak memunyai uang tersebut. Suaminya, Markam seorang yang suka bertapa di dekat makam sungai Bengawan Solo yang diyakini akan membawa berkah. Tetapi ketika Markam pulang selalu dengan tangan hampa. Anak dan istrinya ditelantarkan dengan kesia-siaan waktu yang dipergunakan bertapa. Sungguh malang sekali nasib Sulastri. Sudah jatuh, tertimpa pohon.
    Dalam kutipan di atas digambarkan bahwa Fir’aun yang seolah menampakan diri di depan Sulastri, kemudian Fir’aun mengejar Sulastri karena menganggapnya sebagai budak yang menyembahnya. Sulastri yang ketakutan pun berlari menghindari kejaran Fir’aun. Jika mengingat kisah tentang penguasa Mesir yang bengis dahulu yaitu Fir’aun, ia menganggap bahwa dirinya sebagai Tuhan dan semua orang harus tunduk dan patuh terhadap perintahnya, oleh sebab itu, Allah SWT menurunkan Nabi Musa AS untuk menyadarkan Fir’aun.
    Selanjutnya, Sulastri yang terus berlari dari kejaran Fir’aun akhirnya melompat dari atas tanggul, di sana Sulastri ditampakan oleh seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang, dan menggunakan kain putih menutup perut hingga lutut yang dikenal sebagai Nabi Musa AS. Dalam kutipan sebagai berikut. Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut…Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering…
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini tidak hanya membahas mengenai keterkaitan antara kisah Nabi Musa AS saja, namun juga membahas mengenai kejadian yang sering terjadi di Indonesia dimana seseorang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan bahkan tergolong musyrik yaitu melakukan ritual untuk mendapatkan benda-benda yang dianggap sakral atau memiliki kemampuan magis yang dapat mendatangkan kekayaan. Hal tersebut digambarkan terjadi pada suami Sulastri yang bernama Markam dalam kutipan sebagai berikut.
    Ya, Musa….” (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini tidak hanya membahas mengenai keterkaitan antara kisah Nabi Musa AS saja, namun juga membahas mengenai kejadian yang sering terjadi di Indonesia dimana seseorang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan bahkan tergolong musyrik yaitu melakukan ritual untuk mendapatkan benda-benda yang dianggap sakral atau memiliki kemampuan magis yang dapat mendatangkan kekayaan. Hal tersebut digambarkan terjadi pada suami Sulastri yang bernama Markam dalam kutipan sebagai berikut.
    …dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa. (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Hal seperti itu sangat sering terjadi di Indonesia, meskipun di jaman yang serba digital saat ini pun hal-hal seperti itu masih sering ditemui. Saat melihat siaran berita di televisi terkadang masih banyak berita-berita yang membahas mengenai hal-hal seperti itu, saking tenarnya ada sebuah acara di televisi yang mengangkat tema mengenai kejadian-kejadian mistis atau akibat dari melakukan pesugihan dan banyak orang yang suka untuk menonton acara tersebut termasuk saya, hal tersebut berguna untuk mengambil pesan-pesan positif yang ingin disampaikan, sehingga acara dengan mengangat tema hal-hal yang mistis pun mendapatkan rating yang tinggi. Sebenarnya di Indonesia sendiri hal-hal mistis sudah seperti kebudayaan yang mengakar sejak jaman dahulu namun kita harus bijak dalam bertindak, jika hal-hal seperti itu digunakan untuk hal yang positif misalnya untuk melestarikan kebudayaan dan menghormati para leluhur kita tentu boleh saja dilakukan, namun jika hal seperti itu dilakukan untuk hal yang negatif seperti untuk kepentingan pribadi dan menjerumus ke arah musyrik tentu saja hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.
    “Saya seorang perempuan, ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    Sebuah kutipan yang menarik. Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan sebenarnya perempuan dapat menjadi diri mereka sendiri. Perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja. Namun seringkali perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dalam kutipan tersebut sosok Musa adalah orang yang menyadari betul bahwa laki-laki dan perempuan ialah hakikatnya sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan dapat bebas dan tidak bergantung pada laki-laki.
    Adapun juga dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut, di kehidupan nyata sendiri banya sekali perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dari laki-laki. lihat saja di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan. Mulai dari KDRT dan sebagainya. Maka dari itu para aktivis menekankan agar RUU PKS untuk segera disahkan.
    Dalam cerpen berjudul sulastri dan empat lelaki ini, sangat jelas digambarkan ekonomi yang dialami oleh sulastri sangatlah jauh dari kata sempurna. Memang benar, di dunia ini tidak ada yang sempurna karena, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Tetapi, ekonomi sulastri ini sangat tragis sekali. Dan budaya di negara sulastri sangat kental sekali, kentalnya melebihi susu kental manis. Hal ini terlihat dari masih adanya peraturan bahwa budak harus patuh kepada perintah tuannya. Saat sulastri ditinggalkan oleh suaminya, ia pun dikejar-kejar oleh firaun, karena firaun meminta ia untuk mematuhi perintahnya sebagai tuan. Sulastri pun tidak menggubris perintah firaun tersebut, akhirnya sulastri pun berlari untuk menjauh dari firaun, tetapi firaun pun tak menyerah dan terus mengejar sulastri. Namun, saat diperjalanan sulastri pun bertemu dengan sosok yang ia panggil musa, dan musa pun memberikan bantuan kepada sulastri agar terhindar dari firaun. Bantuan tersebut berupa sebuah tongkat dan tongkat tersebut dapat membuat firaun musnah.
    Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, tentunya ini tidak logis. Karena, di tahun 2021 ini sudah termasuk dalam era modern dan teknologi semakin berkembang sangat pesat. Jadi, hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia-manusia jaman sekarang. Jika ada seseorang akan dibunuh oleh penjahat, maka sesorang tersebut akan berlari ke kantor polisi untuk meminta perlindungan kepada polisi, agar terhindar dari penjahat tersebut. Jika, seseorang tersebut berada di kantor polisi maka, tidak akan dibunuh oleh penjahat. Karena, penjahatnya pun tidak berani menginjakkan kakinya di kantor polisi, hal tersebut sama saja dengan ia menyerahkan diri ke kandang harimau.
    Itu di kehidupan nyata benar-benar logis sekali yang dilakukan berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh sulastri dalam cerpen tersebut. Terkait dengan religi dalam cerpen tersebut, sangat jelas bahwa semua manusia menyembah berhala dan matahari. Mereka tidak menyembah tuhan yang telah menciptakkan ia di dunia ini. Dari segi religi saja sudah salah, maka terlihat jelas bahwa kehidupan mereka sangatlah rumit. Mereka tidak menyembah tuhan melainkan yang mereka sembah adalah berhala.
    Suami sulastri pun juga menyembah berhala, maka kehidupannya pun menjadi tersesat. Sama saja seperti ada jalan menuju surga tetapi ia lebih memilih jalan menuju neraka. Terlihat bahwa kehidupan, sikap dari suami sulastri sangatlah buruk. Jika, dikaitkan dengan kehidupan nyata hal ini masih banyak dilakukan oleh beberapa manusia di dunia ini. Walaupun zaman sudah modern, tetapi masih saja ada manusia yang menyembah seperti itu. Misalnya, bertapa di gua, laut, bahkan berguru dengan orang pintar (Dukun) untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Bahkan, bisa juga untuk memusnahkan manusia yang ia benci. Dengan cara pergi ke dukun untuk mengirim santet kepada lawan. Hal ini masih ada di Indonesia. Yang mereka lakukan tersebut sangatlah hal yang merugikan, karena hidup di dunia ini hanya satu kali, maka berbuatlah sebaik mungkin. Bahwa kehidupan yang abadi adalah di alam akhirat.
    Amanat yang dapat diambil oleh pembaca cerpen berjudul sulastri dan empat lelaki adalah;
    a. kita sebagai manusia harus sadar dalam hal baik maupun buruk.
    b. kita sebagai manusia aharus ikhlas dalam membatu dalam semama manusia

  41. Kritik Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”

    Karya M. Shoim Anwar

    Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” ini merupakan salah satu karya sastra dari seorang sastrawan bernama M. Shoim Anwar. Sebelum saya mengulas cerpen karya beliau, saya terlebih dahulu mengulas tentang sosok beliau. M. Shoim Anwar, beliau merupakan seorang sastrawan yang lahir di Desa Sanbung Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan seorang sastrawan yang kiprahnya sangat bagus bahkan beliau beberapa kali menjuarai lomba. Salah satunya adalah menjuarai lomba menulis secara berturut-turut yang diadakan oleh Dewan Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990) dan juga pernah menjuarai lomba menulis cerpen dan esai yang diadakan oleh Depdiknas (2001, 2002, 2003, 2005, 2006, 2007). Beliau juga pernah mendapatkan penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur pada tahun 2008. Oleh karena itu, kiprahnya dalam dunia sastra sudah tidak dapat diragukan lagi. Bahkan beberapa cerpen yang ditulisnya telah dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis. Dan tentu masih banyak hal lain dalam perjalanan karirnya di dunia sastra yang patut diacungi jempol namun tidak dapat saya jelaskan secara keseluruhan. Setelah menengok kiprah dari seorang M. Shoim Anwar yang sangat menginspirasi banyak kalangan terutama para mahasiswa inilah, saya tertarik untuk mengulas salah satu karya beliau berupa cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki.

    Sebagaimana yang tertulis dalam judul cerpen tesebut, cerpen ini mengisahkan tentang seseorang perempuan bernama Sulastri yang menjadi tokoh utama dan seorang empat lelaki yang diantaranya adalah Polisi, Markam (Suami Sulastri), Fir’aun serta Musa. Menengok ke dalam awal paragraf dalam cerpen tersebut. Bagi pembaca, terutama dari kalangan muslim tentu tidak asing lagi ketike membaca paragraf pertama dalam cerpen tersebut yang terdapat istilah Laut Merah. Laut merah sendiri merupakan sebuah teluk yang terletak di sebelah barat jazirah Arab yang keberadaan teluk tersebut memisahkan dua benua, yaitu benua Asia dan Afrika. Dan tentu, hanya dengan membaca istilah laut merah saja kita akan dihadapkan pada sikap penasaran yang mendalam karena berbagai faktor misalkan kisah Nabi Musa AS yang menenggalamkan Fir’aun dan para pengikutmya, warna dari teluk tersebut, serta keberadaan air yang cukup asin.

    Dengan menengok keberadaan istilah Laut Merah dalam cerpen tersebut, tentu sudah dipastikan bahwa dalam cerpen tersebut kisah yang diceritakan merupakan kisah seseorang yang tinggal di daratan Timur tengah. Namun, siapakah sosok tersebut? Tentu tidak lain dan tidak bukan dialah Sulastri. Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa Sulastri merupakan seorang perempuan asal Indonesia yang berada di daratan Timur tengah. Apa yang Sulastri lakukan di sana? Tentu tidak lain dan tidak bukan dan sudah dipastikan bahwa keberadannya di sana adalah untuk memperkerjakan dirinya guna menafkahi keluarga. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

    “Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.

    Melihat kutipan di atas, sudah cukup membuktikan bahwa sosok Sulastri bukanlah seseorang yang asli penduduk sana, melainkan penduduk asal Indonesia. Sehingga saya dapat menyimpulkan bahwa sosok Sulastri merupakan seorang yang jika tidak menjalankan ibadah, mengunjungu tempat-tempat sejarah, maka beliau merupakan seorang tenaga kerja di sana. Namun, melihat alur dalam cerpen tersebut memang ia sedang memperkerjakan dirinya di daratan Timur tengah sana karena kecewa akan perilaku suaminya yang bernama Markan yang justru melakukan hal syirik dengan menduakan Tuhan yang dibuktikan dengan perilakunya dalam bertapa untuk mendapatkan benda-benda pusaka, namun dirinya membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawanya. Kekesalan Sulastri terhadap suaminya dalam cerpen tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan berikut ini.

    “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”

    Dalam kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa Sulastri sebagai seorang istri hendak mengingatkan kepada suaminya bahwa yang ia lakukan tidaklah berguna, dan tidak akan dapat memberikan manfaat bagi keluarganya namun hanya dapat menyengsarakannya. Bukti kutipan lain yang menjadi bukti kekesalan seorang Sulastri terhadap Markam suaminya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

    Meskipun Sulastri sudah berkeluh kesah kepada perilaku Markam suaminya, namun sama sekali tidak ada respon dari Markam, dan justru enggan untuk mendengarkannya. Hal-hal seperti ini sering kita jumpai dalam kejadian nyata di kehidupan sehari-hari, sebagaimana di daerah-daerah tertentu yang ada di Indonesia masih banyak orang-orang yang percaya terhadap hal-hal mistik tersebut dengan bertapa beberapa malam untuk mendapatkan barang-barang atau benda-benda yang diinginkan yang terkadang digunakan untuk membentengi dirinya dalam menghadapi serangan musuh. Namun, perlu dicatat bahwa jika hanya melakukan pertapaan tanpa memikirkan keberadaan keluarga dan anak-anak, hal itu tentu akan berdampak pada kesengsaraan anak dan suami. Mengingat, dalam cerpen tersebut keberadaan Markam suaminya hanya mementingkan keinginannya sendiri dalam memuaskan hasrat untuk mendapatkan benda-benda keramat yang diinginkan tanpa emmikirkan keluarganya. Kejadian seperti ini juga dapat menjadi pelajaran bagi para remaja dan remaji saat ini, bahwa jangan tergesah-gesah untuk menikah mengingat kesiapan mental dalam mengarungi rumah tangga harus benar-benar siap sehingga antara kedua belah pihak dapat saling mengayomi, dan bukan justru memberatkan salah satu karena lebih mementingkan hasrat atau keinginan untuk bersenang-senang.

    Dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” tersebut juga terdapat kemiripan dengan kisah dalam peristiwa lampau yang terjadi dalam sejarah islam yaitu kisah Nabi Musa dengan seorang Raja bernama Fir’aun yang memiliki keangkuhan, serta menganggap dirinya Tuhan sehingga semua orang harus tunduk dan mudah ia perbudak. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.

    “Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.”

    “Firauuun…!” serta dalam kutipan berikut ini..

    “Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.

    “Aku bukan budak.…”

    “Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

    Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa keberadaan Fir’aun dalam cerpen tersebut menunjukkan sikap yang seenaknya sendiri dengan menganggap semua orang itu budak. Adapun kemiripan dengan peristiwa dalam sejarah dalam islam dengan kisah Fir’aun dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” tersebut pada pengejaran yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap Sulastri yang mengingatkan pada peristiwa dalam sejarah islam ketika Raja Fir’aun mengejar Nabi Musa dengan keretanya bersama-sama dengan pengikutnya. Namun, jika dalam peristiwa lampau dalam sejarah islam tersebut yang menjadi sasaran pengejaran adalah Nabi Musa AS, sedangkan dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” Sulastri. Pengejaran yang dilakukan terhadap Sulastri dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

    “Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

    Fir’aun terus mengejar Sulastri yang terus berlari menghindari kejaran Fir’aun. Namun, ketika jarak sudah semakin mendekat, Sulastri bertemu dengan sosok lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, dan berjenggot panjang. Lelaki tersebut mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Sehingga hal itu membuat Sulastri gemeteran untuk memanggilnya, dialah Musa. Ketika berbicara mengenai sosok yang ditemui Sulastri ketika hendak menghindari kejaran Fir’aun dalam cerpen tersebut juga mengingatkan kita kepada sosok Nabi Musa AS yang diberikan mukjizat oleh Allah SWT berupa tongkat yang dimiliki. Di dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”sosok Musa juga digambarkan dengan membawa tongkat sehingga memiliki kiripan dengan peristiwa dalam sejarah muslim.

    Ketika bertemu dengan Musa, Sulastri hendak memberikan pertolongan terhadap dirinya. di awal Sulatri memohon pertolongan, Musa enggan memberikan pertolongan karena ia menganggap bahwa ia masuk dalam daratan dengan haram. Namun, perlahan Sulastri hendak menjelaskan bahwa ia dilantarkan oleh suaminya. Lagi-lagi Musa memberikan jawaban yang secara halus memberikan perlawanan terhadap permintaan Sulastri yang dilontarkan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

    Kemudian dalam cerpen tersebut juga dijelaskan mengenai ucapan Musa yang memberikan gambaran kepada Sulastri bahwa sebenarnya negerinya merupaka negara yang memiliki kekayaan yang sangat melimpah, namun dalam negeri tersebut seringkali bahkan sudah menjadi tradisi bahwa seorang pemimpin dipastikan serakah ketia menduduki jabatan yang tinggi dengan memakan uang rakyat dan memuaskannya sendiri. Bahkan beberapa kali keberadaan rakyat sering diperalat untuk memperoleh dukungan ketika hendak ada pemilihan umum dengan menjanjikan kepada rakyat akan hal-hal yang dapat menghipnotis daya tarik rakya, namun ketika sudah menjadi penguasa ia lebih mementingkan dirinya dan golongannya. Hal tersebut juga sering terjadi dalam dunia nyata. Keserakahan tersebut dapat dilihat dalam kutipan cerpen berikut ini.

    “Para pemimpin negerimu serakah.”

    “Kami tak kebagian, Ya Musa”

    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

    “Tolonglah saya, Ya Musa.”

    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

    Setelah mendengarkan jawaban Musa yang dimintai pertolongan oleh Sulastri, tidak lama kemudian angin datang bergemuruh sehingga membuat penglihatan Sulastri menghablur terhadap Musa. Hal itu kemudian mendorongnya untuk berlai kembali agar terhindar dari kejaran Fir’aun yang terus mengejarnya. Ketika Sulastri sudah kehabisan nafas dan oleng, lelaki yang tadinya dipanggil Musa yang sebelumnya memberikan penolakan atas permintaan tolong yang dilontarkan oleh Sulastri kemudian muncul kembali di hadapannya. Namun, kali ini ia datang sebagai siluet yang samar. Kemudian Sulastri memeluknya erat-erat sebagai salah satu jalan terakhir untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran Fir’aun. Pada saat itu pula Sulastri merasakan ada benda yang digenggamnya. Ternyata makin kuat dan nyata yang ia pegang adalah tongkat, kemudian Sulastri memegangnya dengan kedua tangannya. Ketika Sulastri memegang kuat tongkat tersebut, Sulastri merasakan keringanan pada tubuhnya dan merasa ada yang memompa dirinya, hingga jarak Fir’aun semakin mendekat kepada Sulastri dan hendak menerkamnya kemudian Sulastri memukulkan tongkat tersebut kepada Fir’aun. Seperti sebuah timbakar yang pecah, tubuh Fir’aun menjadi berkeping-keping di pasir. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun.

    Setelah membaca gambaran cerita di atas, lagi-lagi muncul sebuah kemiripan dengan peristiwa yang terjadi dalam Nabi Musa AS yang memili tongkat yang dapat berubah menjadi ular dan menelan semua ular palsu dari tukang sihir serta mampu membela laut dengan hanya memukulkan ke dalam laut. Kemiripan dalam peristiwa tersebut dengan keistimewaan yang ada dalam cerpen tersebut adalah sama-sama terdapat sebuah tongkat yang sakti yang dapat menyelamatkan dari kejaran Fir’aun.

    Berdasarkan gambaran di atas, cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” dapat memberikan penjelasan dari berbagai segi, diantaranya politik, sosial, ekonomi, dan religi. Dalam segi politik dapat kita lihat dalam cerpen tersebut yang mengisahkan keberadaan seorang penguasa yang lebih mementingkan kekuasaannya sendiri karena merasa pangkat dan derajatnya lebih tinggi sehingga ia seenaknya menindas rakyat kecil, bahkan seringkali jatah uang rakyat justru dimakan untuk memuaskan dirinya sendiri. Jika dilihat dari segi sosial dan ekonomi, dapat dilihat dari gambaran dalam cerpen tersebut yang mengisahkan sosok Sulastri yang mengalami permasalahan sosial dalam hidupnya mengingat keberadaan suami yang tidak mmapu ia rubah untuk berhenti bertapa dan menginginkan untuk mau mengurusi keluarga, namun ia tidak mampu melakukannya, sehingga ia merasa keluarganya tidak bisa sejahtera. Permasalahan sosial yang terjadi dalam keluarga Sulastri juga berdampak pada ekonomi yang menerpanya. Ia harus jatuh bangun untuk memenuhi kehidupannya bahkan ia sampai pergi ke negeri lain guna menafkahi anak-anaknya. Sungguh sangat perihatin kepada sosok Sulastri yang merasakan penderitaan akibat perilaku suaminya. Dan yang terakhir jika dilihat dari segi religi, dalam cerpen tersebut khususnya pada sosok suami Sulastri yang masih percaya terhadap hal-hal mistis dengan dibuktikan dengan pertapaan yang dilakukan Markam dalam mengharapkan kedatangan benda-benda pusaka. Hal itu juga masih sering terjadi dalam dunia nyata mengingat masih banyak orang yang menyembah pohon-pohon besar untuk dilakukan pertapaan bahkan ada yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan jodoh.

    Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” sangatlah menarik, hal itu terlihat dalam kisah atau gambaran dalam cerpen tersebut yang memiliki kemiripan dengan kisah pada Nabi Musa AS dan Raja Fir’aun sehingga dapat memberikan daya tarik bagi pembaca untuk melihat segi kemiripan dan perbedaan antara kisah dalam Cerpen tersebut dengan kisah yang terjadi pada zaman Nabi Musa AS. Kemudian dengan membaca cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” secara keseluruh terdapat amanat bahwa ketika jadi pemimpin, bersikaplah adil dan bijaksana dan jangan mementingkan kepuasan diri sendiri. Dan janganlah merasa senang apabila bahagia di atas penderitaan orang lain.

  42. Kritik dan Esai “Sulastri dan Empat Lelaki”

    Laut menghampar dari panta hingga batas tak terhingga. Ini adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikiut seperti tak pernah jenuh menantikan kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia dan Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah Barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestic yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara.

    Sementara tak jauh di sebelah Utara sana terlihat sekeompok bangunan dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut beterbangan menyisir permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.

    Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungny yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap kea rah laut. Tubuhnhya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin ama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya ketika dia melohat ke bawah. (sinopsis)

    Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” tersebut sangatlah menarik bagi pembaca. Mulai dari alur kisah yang digunakan, bahasa, serta nama tokoh yang digunakan dalam cerita tersebut menghasilkan kesan bergairah bagi pembaca. Dalam cerpen tersebut, penulis menggunakan alur campuran, yakni berawal dari kisah/alur maju menuju ke alur mundur. Penulis menggunakan latar tempat yang sangat istimewa, yakni Laut Merah. Suatu tempat yang memiliki banyak cerita dan hampir tak pernah sepi didatangi oleh manusia di muka bumi. Penulis menggambarkan keadaan Laut Merah kala itu, yang membuat pembaca serasa ikut terjun ke dalam cerita yang dibuatnya.

    Cerpen tersebut fokus pada tokoh utama, yakni Sulastri. Ia adalah wanita yang berasal dari keluarga miskin yang tinggal di desa. Ia memiliki seorang suami dan anak. Ia hodup dengan bergelimpangan kekurangan, keadaan sosial dan ekonominya sangat terbilang kurang dan tidak mampu dibandingkan dengan warga lainnya.

    Cerpen tersebut mengangkat kisah hidup nyata dari salah seorang warga, tetangga, keluarga, sanak saudara kita disana yang sangat berkekurangan dalam segi ekonomi. Dalam mencukupi kehidupan hidup keluarganya, ia mengandalkan hasil bertanam tembakau yang meski hasilnya sangat jauh dari kata memuaskan. Jika difikir-fikir memang kebutuhan di jaman sekarang sangatlah banyak. Baik kebutuhan kita sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Semua kebutuhan hidup tersebut menuntut kita agar dapat memenuhinya dengan cara bekerja atau mencari nafkah. Dalam cerpen tersebut penulis menceritakan ada sepasang suami istri yang tinggal di pedesaan dengan kondisi yang serba kekurangan, namun pada kenyataannya sang suami tak dapat mencukupi kebutuhan hidup sang istri dan keluarga.
    Bidang Politik:

    Pada cerpen tersebut dapat kita ketahui adanya nilai moral, pesan/amanat hyang penulis lukiskan dalam berbagai bidang, salah satunya yakni bidang politik.
    Dapat kita ketahui pada paragraf ke-empat dan lima, yakni:

    “Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi makin kehilangan kesabaran. Raut wajahnya yang coklat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bonkahan batu. Terdengar dia menyeru kembali. Muncul kehawatiran pada diri Sulastri. Ketika polisi itu hampir sampai di atas tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat. Sang polisi mengikuti dengan langkah cepat pula. Keduanya tampak seperti berkejaran. Sesampai diujung, Sulastri menyelinap kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke tempatnya.”

    “Sulastri tahu, polisi tak akan mengkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang kerja ala mafia…. “

    Pada kedua paragraf tersebut kita dapat mengetahui aspek politik yang terdapat dalam cerita tersebut. Penulis menggambarkan dalam kehidupan nyata ini tidak ada segala sesuatu yang dikerjakan tanpa menggunakan suatu imbalan. Semua mahluk hidup di dunia ini mengutamakan keuntungan dalam hidupnya. Meskipun semua tahu jika uang dapat di dapat melalui cara yang halal. pada cerita tersebut penulis mencerminkan bagaimana kelicikan politik yang digunakan oleh manusia-manusia saat ini. mereka bahkan menghalakan segala cara demi mendapat keuntungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tak peduli apakah langkah yang mereka ambil tersebut bernilai benar ataukah salah. Mereka juga tak memperhatikan bagaimana perasaan pihak-pihak yang menjadi korban atas perilaku yang mereka kobarkan.

    Di negara kita juga tak terhindar dari manifest politik. Di negara ini pihak yang di atas sangat berwenang bagi pihak yang di bawah. Mereka tak memikirkan bagaimana keadaan pihak-pihak yang berada di bawahnya. Mereka menganggap rakyat kecil hanyalah angin lewat yang tak butuh perhatian. Mereka membutuhkan rakyat-rakyat kecil jika dalam siatuasi atau keadaan tertentu saja. Seperti halnya pada kalimat yang di utarakan oleh tokoh Musa.

    “kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat. Di sini kering dan tandus.”
    “para pemimpin negerimu serakah.”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untik diri sendiri, keluarga, golongan, serta paracukongnya.”
    “di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

    Kalimat-kalimat tersebut haruslah menjadi tamparan bagi kita, khususnya bagi kaum kalangan atas/pemimpin. Kami rakyat kecil adalah sosok yang sangat membutuhkan keadilan, kasih sayang, serta perhatian dari kalian yang telah kami pilih sebagai pemimpin. Kami memilih kalian bukan hanya sekedar Cuma-Cuma. Kami memilih dengan alasan dan tujuan agar kehidupan kami, nasib kami dapat berubah, agar kami mendapat perhatian dan perlakuan yang jauh lebih baik selayaknya pemimpin pada pihak-pihak yang dipimpinnya. Kami bukan membutuhkan sosok pemimpin yang serakah, sibuk mencari keuntungan guna membahagiakan dirinya sendiri.

    Bidang Sosial:

    Dalam cerpen tersebut aspek sosial tergambarkan pada sosok istri yang rela pergi ke luar negeri demi mencari nafkah, demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena suaminya tak mau mencarikan nafkah untuknya. Ia memilih pergi ke luar negeri dengan tujuan agar kebutuhan hidupnya terjamin, agar dapat menjadi orang yang sukses dan dapat menjunjung harkat serta martabat keluarganya. Meski pada kenyataannya, dalam cerita tersebut penulis menggambarkan bahwa seorang wanita tersebut jauh-jauh pergi ke luar negeri tidak mendapatkan pekerjaan yang semestinya atau sepert yang diharapkan. Di sana, ia menjadi budak yang di negeri kerjanya di anggap rendah. Budak dipekerjakan dengan keras dan semaunya oleh pihak-pihak yang mempekerjakannya. Kita tidak boleh bersifat seenaknya sendiri kepada siappaun itu, meskipun derajat kita lebih tinggi dari orang itu. Begitu pula dengan budak. Janganlah jadi pihak yang tak memiliki rasa kemanusiaan terhadap sesame. Meskipun mereka budak, mereka juga membutuhkan keadilan, kasih sayang dari kita layaknya manusia-manusia lainnya.

    Hal tersebut dapat kita jumpai pada kalimat:

    “Di bibir Laut Merah, Sulastri teringat ketika terenung di tepi Bengawan Solo. Dari desa Tegalrejo dia menatap ke seberang sungai …”

    dan pada kalimat:

    “Tanam tembakau di tepi Bengawan makin tak berharga …”

    Bidang Ekonomi:

    Pada bidang ekonomi ini penulis menceritakan keadaan nyata tokoh utama yakni Sulastri yang rela menjadi budak demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Pada cerita tersebut sang tokoh sangatlah mengeluhkan keadaan ekonominya. Ia tak pernah mendapat perhatian dari kalangan atas/pemimpin selayaknya rakyat dalam suatu negara-negara lain di luar sana. Ia juga pusing memikirkan keadaan ekonominya dikarenakan sang suami yang tak bisa memberikan nafkah bagi kebutuhnan hidupnya.

    Pada kalimat “aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?” merupakan tamparan bagi para pemimpin keluarga agar dapat mencukupi dan member nafkah bagi keluarganya. Di luar sana banyak pekerjaan yang dapat kita jadikan sebagai sarana dalam mencari nafkah. Jangan malah menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang tidak dapat membawa hasil dan keuntungan bagi kehidupan kita.

    Bidang Religi:

    Pada bidang religi ini pesan yang disampaikan penulis berupa janganlah menjadi penyembah berhala atau segala sesuatu yang dapat mengarahkan kita kepada kesesatan. Di dunia ini yang berhak disembah hanyalah Tuhan. Bukan benda-benda keramat yang kita anggap sakti dan mampu membawa keberuntungan bagi krhidupan kita. Hanya Tuhan sosok yang dapat menolong, menyayang dan mengangkat derajat kita sebagai manusia.

    Pada kalimat “saya ditelantarkan suami, Ya Musa”.
    “suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”

    Merupakan teguran bagi kita semua agar kita berusaha lebih giat lagi dalam menjalani hidup. Terlebih dalam mencukupi kebutuhan hidup kita, yakni mencari rezeki. Janganlah sesekali menganggap benda keramat sebagai Tuhan atau tempat berharapnya segala sesuatu, karena hal tersebut hanya menjadikan hidupmu sesat.

  43. Cerita pendek berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”, dilihat dari judul sudah sangat unik dan memancing para penikmat sastra untuk membacanya. Hal itu dikarenakan judulnya terkesan sedikit ambiguitas karena pemaknaannya ketika pembaca membaca judulnya saja sudah akan banyak pertanyaan di dalam otaknya. Mungkin ketika penulis membuat judul ini bukan hanya dilihat dari isi cerpen tersebut, tetapi juga dengan maksud untuk menarik dan menimbulkan rasa penasaran para pembaca agar membaca karya tersebut. Beberapa pemaknaan yang ada di fikiran saya selaku pembaca sendiri itu bermacam-macam. Antara lain, apa maksud dari judul ini, menceritakan tentang apa cerpen ini, apa hubungannya Sulastri dan empat lelaki itu, siapa empat lelaki itu, kejahatan ataukah perbuatan baik yang terdapat di dalam cerpen tersebut, sekiranya begitu yang saya fikirkan awalnya sebelum saya scrol ke atas lagi untuk membacanya lebih lanjut.
    Bukan hanya judulnya saja yang menarik tetapi pada awal cerpen ini juga membugah pembaca untuk melanjutkan bacaan ini, karena memberi gambaran terlebih dahulu kepada pembacanya terkait keadaan atau suasana tempat kejadian atau latar tempat dan latar suasana, jika dilihat dari segi struktur pembuatan cerpen part ini disebut orientasi. Terlihat pada paragraf utama cerpen di bawah ini.
    “LAUT menghampar dari pantai hingga batas tak terhingga. Ini adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara.”
    Pada paragraf kedua juga masih memberikan gambaraan keadaan tempat dan suasana di dalam cerpen. Tetapi sudah mulai memunculkan 1 tokoh yaitu polisi dan disusul pada paragraf 3 memunculkan pemeran atau tokoh utamanya yaitu Sulastri. Terlihat pada kutipan ini.
    “Sementara tak jauh di sebelah utara sana terlihat sekelompok bangunan dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak beterbangan menyisir permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula.”
    “Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya ketika dia melihat ke bawah.”
    Dilihat dari struktur cerpen setelah adanya orientasi, pada umumnya dilanjut dengan komplisasi atau awal mula atau memberikan gambaran tentang permasalahan itu mulai muncul. Terlihat pada kutipan ini.
    “Hai…!” seru polisi dari arah pos. Perempuan tadi menoleh dengan tatapan dingin, tak menjawab. Tampak ada sesuatu yang mengusik dirinya. Polisi berjalan mendekat sambil telunjuknya diacung-acungkan ke kiri kanan. Bibir perempuan tadi seperti mau bergetar.
    “Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.
    “Sulatsriy…?” sang polisi menegaskan. Perempuan itu mengangguk.
    “Wa maadzaa sataf’aliina ya Sulatsriy?” sang polisi kembali bertanya apa yang akan dikerjakan Sulastri. Perempuan itu tak menjawab. Polisi berbaret biru dan berkulit gelap itu memberi isyarat agar Sulastri turun dari tanggul.
    “Na’am?” lelaki itu meminta.
    “Laa,” Sulastri menggeleng pelan.
    Pada kutipan di atas menceritakan keadaan sulastri yang sedang meratapi nasivnya di atas tanggul sehingga menimbulkan rasa curiga yang dialami oleh polisi. Polisi itu mungkin saja khawatir dengan apa yang akan dilakukan oleh Sulastri, segingga ia menanyakan apa yang akan dilakukan oleh perempuan itu atau Sulastri, lebih-lebih polisi tersebut takut apabila petempuan itu loncat untuk bunuh diri. Maka polisi meminta untuk Sulastri turun tapi Sulastri bukannya nurut untuk turun malah pergi berlari agar tak tertangkap oleh polisi tersebut.
    Pencapaian konflik pada cerpen ini yaitu ketika Sulastri mengingat kembali apa yang menjadikannya beralasan pergi ke negeri otu yaitu karena telah ditelantarkan oleh suaminya. Suaminya tidak pernah memberinya nafkah, karena lebih memilih menyembah berhala dengan bertapa di bengawan Solo. Punck konfliknya yaitu ketika ia mulai dikejar-kejar oleh Firaun. Evaluasi ketika Sulastri bertemu kembali dengan Musa di tengah-tengah ia dikejar oleh Firaun dan kemudian ia memeluknya tetapi yang dipeluknya ialah hanya tingkatnya bukan Musa. Setelah itu resolusi atau bagian akhir dari penyelesaian masalahnya yaitu ketika Sulastri memukul Firaun menggunakan tongkatnya dan menjadi serpihan kecil-kecil kemudian terhanyut oleh air laut. Akan tetapi pada cerpen ini tidak menunjukkan adanya koda, yang merupakan akhir atau penutup dari cerita yang biasanya berisi tentang kesimpulan dari isi cerpen tersebut.
    Berdasarkan penjelasan di atas dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul pada saat membaca judul cerpen tersebut. Yaitu 4 lelaki yang menjadi sorotan sejak awal, 4 lelaki ini adalah Polisi, Firaun, Suami atau Markam, dan Musa. Pada dasarnya keempat laki-laki ini memiliki watak atau penokohan yang berbeda-beda akan tetapi sama-sama menindas hak perempuan atau Sulastri dengan cara yang berbeda-beda. Di dalam cerpen tersebut menggambarkan bahwa wanita selalu kalah oleh laki-laki, perempuan seringkali menjadi tokoh utama di dalam kekerasan baik fisik maupun verba. Dari fisik yaitu ketika Firaun menarik baju yang digunakan Sulastri dari belakang dan menjambak ramvut sulastri hingga copot smpai akarnya. Kekerasan verba juga didapatkan oleh Sulastri ketika berhadapan dengan Musa yaitu terlihat pada percakapan ini.
    “Tolonglah saya, Ya Musa,” pinta Sulastri.
    “Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.
    “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”
    “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa….”
    Terlihat jelas vahwa perempuan selalu hidup dibayang laki-laki, bahkan ada penderitaan yang dialami oleh Sulastri ketika menikah. Ia tak pernah mendapatkan hak dari suaminya untuk mendapatkan nafkahz hal ini jika disangkutkan dengan kehidupan nyata mungkin sangat koheren karena masih banyak di dunia nyata lebih-lebih di Indonesia yang bekerja atau yang menjadi tulang punggung keluarga ialah perempuan dan tak jarang suaminya hanya duduj diam di rumah, bahkan ada beberapa yang malah laki-lakinya tukang menghabiskan uang untuk vermain dengan wanita lain, ataupun berjudi seperti main kartu ataupun sambung ayam.
    Jika di sambungkan dengan teori sosial yang berupa adanya batasan atau kesenjangan atara kelas sosial yaitu sosial atas dan sosial bawah. Menurut George Soul, ekonomi adalah pengetahuan sosial yang mempelajari tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat khususnya dengan usaha memenuhi kebutuhan dalam rangka mencapai kemakmuran dan kesejahteraan (Richard G Lipsey dan Pete O Steiner, 1991:9).
    Tidak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri status sosial ekonomi seseorang berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, pekerjaan, bahkan pendidikan. Status (kedudukan) memiliki dua aspek yaitu aspek yang pertama yaitu aspek struktural, aspek struktural ini bersifat hierarkis yang artinya aspek ini secara relatif mengandung perbandingan tinggi atau rendahnya terhadap status-status lain, sedangkan aspek status yang kedua yaitu aspek fungsional atau peranan sosial.
    Jika dilihat dari aspek struktural memang jelas bahwa Sulastri mengambarkan strata tingkat sosial yang rendah, karena ia hidup penuh kemiskinan ditelantarkan oleh suaminya, bahkan sampai disevut oleh Firaun dengan kata Budak. Kalau dilihat dari aspek fungsional atau peranan sosial memang Sulastri bukanlah sosok yang penting falam strata kelas sosial atas, ia bukan penjabat bukan orang yang banyak duit. Untuk strata kelas sosial atas di sini tergambarkan oleh tokoh polisi. Karena polisi bisa bertindak semaunya, ia bersikap membeda-bedakan dalam menangkap seseorang polisi tak akan menangkapnya tanpa imbalan. Seperti halnya di kehidupan nyata bahwa bnyak polisi yang tidak menjalankan laporan masyarakat apabila tidak ada uangnya, tapi sangat berbeda jika polisi mendapatkan laporan kejahatan dan ada uang istilahnya membuka meja laporan maka kasus itu akan seseger mungkin dituntaskan.

  44. Kritik Esai Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki
    Kritik Esai Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki Karya M. Shoim Anwar
    Sulastri dan empat lelaki adalah salah satu cerpen karya M. Shoim Anwar. beliau lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. M. Shoim Anwar adalah seorang sastrawan sekaligus dosen. M. Shoim Anwar telah banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di berbagai media, cerpen-cerpen yang dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis. salah satunya adalah cerpen Sulastri dan empat lelaki. Karya sastra merupakan bentuk dan suatu cerminan realitas kehidupan di masyarakat yang digambarkan dengan imajinasi. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki menceritakan tentang penderitaan Sulastri yang tertindas, ada pihak sebagai penjajah dan terjajah. Faktor ekonomi yang menjadi penyebab dari cerita ini. Kisah Sulastri ini terkesan seperti menceritakan pada zaman dulu. Sulastri yang yakin akan pertolongan untuknya dari Firaun yang benar-benar kejam terhadapnya. Dalam cerita tersebut Sulastri diperbudak oleh Firaun sehingga dia meminta bantuan agar terbebas dari Firaun tersebut. Dalam cerpen tersebut seperti menggambarkan kehidupan sehari-hari seolah-olah bercerita tentang kehidupan masyarakat yang di dalam kehidupannya mengalami ketidakadilan. Dalam cerpen tersebut menceritakan tokoh Sulastri merupakan seorang TKW yang tertindas dan direndahkan, seorang wanita yang dianggap lemah dan tidak berdaya sehingga seseorang yang berkuasa memperlakukan Sulastri seenaknya sendiri dan Sulastri dituntut harus mau menuruti perintahnya serta tunduk kepadanya. Tokoh Sulastri yang bekerja sebagai TKW ini dianggap sebagai tokoh yang lemah dan ia diperlakukan tidak adil bahkan dia dibiarkan oleh suaminya yang pekerjaan suaminya adalah menyembah berhala, bahkan dia tidak mendapatkan nafkah dari suaminya. Sulastri dan anaknya tidak dinafkahi. Dalam cerita ini Sulastri yang meminta pertolongan kepada Musa, namun tokoh Musa yang membantu Sulastri dari kejaran Firaun musnah. Musa memiliki watak yang baik dan penolong sedangkan Firaun seseorang yang mempunyai kekuasaan serta memiliki sikap yang egois dan tidak bisa dibantah. Semua harus patuh dan tunduk pada perintahnya, beliau merupakan raja yang kejam dan suka meindas rakyat kecil dan tidak mengenal kata ampun.
    Atas perlakuan suami Sulastri yang tidak menafkahinya membuat Sulastri memutuskan untuk menjadi TKW supaya kehidupannya dapat terpenuhi. Di dalam kehidupan saat ini ketika memilih pasangan atau suami harus pandai karena suami merupakan penopang atau salah satu orang terpenting di dalam kehidupan karena mereka yang akan berpengaruh terhadap kebiasaan kita. Sebagai seorang suami tentunya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap istri dan anaknya, ia harus memberi nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Jika mereka tidak mau seperti dalam cerpen ini suami Sulastri tidak mau bekerja, ia tidak mau menjalankan tanggung jawabnya sehingga dengan terpaksa Sulastri yang harus mencari nafkah.
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini diawali dengan penggambaran sebuah pemandangan Laut Merah pada saat itu. dalam Islam Laut Merah mengingatkan pada kisah Nabi Musa AS yang diberikan mukjizat oleh Allah SWT dapat membelah Laut Merah untuk menghindari kejaran Firaun dan pada pasukannya sehingga Firaun dan pasukannya tenggelam di Laut Merah. Dalam cerpen tersebut juga tampak sosok Firaun dan Nabi Musa AS yang hadir saat Sulastri berada di tengah tanggul Laut Merah. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
    Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.
    “Firaun…!” (Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, Jawa Pos, 6 November 2011)
    Dalam kutipan diatas menggambarkan bahwa Firaun yang seolah menampakkan diri di depan Sulastri, kemudian Firaun mengejar Sulastri karena mengaggapnya sebagai budak yang menyembahnya. Sulastri yang ketakutan pun berlari menghindari kejaran Firaun. Jika mengingat tentang penguasa mesir dahulu yaitu Firaun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan dan semua orang harus tunduk pada dirinya. Sehingga Allah menurunkan Nabi Musa AS untuk menyadarkan Firaun. Firaun yang memiliki kekuasaan dan juga memiliki harta dengan seenaknya memperbudak rakyat kecil, mereka dengan dipaksa untuk tunduk pada semua perintahnya. Di mata Allah kita memiliki derajat yang sama dan tidak untuk dibeda-bedakan.
    Sulastri yang terus berlari dari kejaran Firaun akhirnya melompat dari atas tanggul, di sana Sulastri ditampakkan dengan lelaki tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang dan menggunakan kain putih menutup perut hingga lutut yang dikenal sebagai Nabi Musa AS. Dalam cerpen ini seperti berkaitan dengan kejadian-kejadian di Indonesia. Banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk bisa mendapatkan kekayaan bahkan ada yang melakukan hal-hal yang dianggap musyrik yaitu melakukan ritual untuk mendapatkan benda-benda yang dianggap dapat memberikan kekayaan. Sebenarnya hal-hal seperti ini di Indonesia sendiri sudah mengakar sejak dulu. Tentunya kita harus bijak jika ingin berkaitan dengan hal-hal tersebut. Jika hal tersebut digunakan untuk kebaikan tentunya tidak akan menjadi persoalan. Tetapi jika hal tersebut digunakan untuk hal yang tidak baik maka tentunya tidak diperbolehkan. Tokoh Sulastri yang menjadi TKW juga menggambarkan masyarakat di Indonesia. Banyak sekali masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong ingin menjadi TKW di luar negeri supaya mendapatkan gaji yang lebih besar dengan maksud agar mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka dan keluarganya.
    Dalam cerpen ini dilihat dari segi politik yaitu seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan bertindak dengan semaunya sendiri bahkan suka menindas rakyat kecil tanpa ampun. Dengan kekayaan yang dimiliki seseorang tersebut merasa berkuasa serta memengaruhi orang lain supaya tindakan yang diinginkan dapat berjalan sesuai dengan harapannya sebagai penguasa. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat bahwa orang yang memiliki kedudukan tinggi memperlakukan rakyat yang tidak memiliki kedudukan tinggi dengan tidak adil. Mereka merasa kedudukannya yang tinggi dinilai lebih tinggi derajatnya.
    Dilihat dari segi sosial pada cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” dapat dilihat bahwa dalam kehidupan bahwa tokoh Sulastri merasa bingung dengan situasi yang dihadapinya, suami yang pekerjaanya menyembah patung-patung berhala sedangkan ia tidak dapat merubah perilaku suaminya tersebut dan juga permasalahan sosial dalam rumah tangga menjadi pemicu dalam permasalahan sosial yang biasanya disebabkan oleh permasalahan ekonomi yang mengalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan sehari-harinya ditambah lagi seorang suami yang tidak memberikan nafkah pada istri dan anak-anaknya sehingga dengan terpaksa peran istri yang harus menggantikan. Dalam cerpen ini tokoh Sulastri yang harus mencukupi kebutuhan hidupnya, anak-anaknya dan juga suaminya. Ia sampai harus bekerja ke luar negeri supaya kebutuhannya dapat tercukupi.
    Dari segi religi cerpen ini sama dengan kisah Firaun dan nabi Musa AS. Dalam cerpen ini sama-sama menggunakan nama-nama raja Firaun dan Musa AS. Tokoh Nabi Musa yang memiliki sifat suka menolong, beliau memiliki sikap yang bijaksana. Firaun yang memiliki sifat kejam suka menindas dan berbuat semaunya bahkan memaksa semua orang supaya patuh padanya. Suami Sulastri yang pekerjaanya menyembah berhala sama persis dengan umat pada masa Nabi Musa AS yang sebagian juga menyembah berhala salah satunya Firaun.
    Dalam cerpen ini lebih dominan kepada lelaki, bahwa seorang lelaki lebih dikedepankan ketika mereka memiliki hartam kekuasaan dan juga jabatan. Banyak yang tidak mememerdulikan sekitar dan bahkan banyak juga yang merendahkan perempuan dengan semua hal yang dimiliki tersebut meskipun tidak semuas lelaki yang memiliki hal tersebut seperti itu. dari keempat lelaki yang ada dalam cerita tersebut tentunya juga memilki karakter yang berbeda-beda.
    Dalam cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim ini memiliki amanat jika sebagai seorang suami tentunya memiliki tanggung jawab dan harus menjalankan tanggung jawabnya tersebut sebaik-baiknya. Seorang suami harus mampu untuk menjadi kepala keluarga yang mampu mengayomi keluarganya dan juga menafkahi keluarganya. Dalam cerpen ini menggambarkan sikap yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Seorang suami yang menelantarkan istri dan juga anaknya karena tidak mau bekerja untuk menafkahi istri dan anaknya sehingga sang istri yang harus bekerja untuk mencari nafkah. Menggambarkan seorang tokoh Sulastri yang rela menjadi TKW supaya hidupnya dan juga anaknya dapat tercukupi. Dalam cerpen tersebut menceritakan bahwa seseorang yang memiliki harta yang lebih seharusnya malah membantu seseorang disekitarnya yang lebih membutuhkan bukan malah menjadi seorang pemimpin yang kejam.

  45. FLORENSIA CARLIANI MBUES .

    Cerpen Sulastri Dan Empat lelaki merupakan salah satu cerpen karya Shoim Anwar. Setiap cerpen tentunya memiliki karakter masing-masing disetiap isi cerita begitu pula dengan maknanya. Cerpen Sulastri ini berbeda dan sangat menarik, dari segi imajinasi cerpen ini mampu membawa pikiran kepada kehidupan sehari-hari, dimana apa yang diceritakan seperti sesuatu yang terekam dan berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Terlihat pada bagian datangnya Musa dalam cerita ini, dimana Musa memberikan beberapa peringatan dan terdengar seperti tamparan sebuah pesan bukan kepada Sulastri saja tetapi kepada setiap masyarakat yang sudah membaca cerpen ini, seperti Musa memberi tahu bahwa pemerintah hanya memhon kepada masyarakat pada saat pemilu setelah itu mereka akan menjadikan kalian budak.

    Cerpen Sulastri ini dapat dinilai atau dilihat dari beberapa nilai, yakni ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya dan religi.
    Dilihat dari Nilai Ideologi
    Ideologi merupakan pemikiran yang biasanya sering menyertai individu atau kelompok. Ideologi adalah istilah yang sudah tidak asing dalam ilmu sosial dan politik. Ideologi berkaitan langsung dengan struktur sosial, sistem produksi ekonomi, dan struktur politik. Ideologi adalah bagian yang membentuk pikiran, tindakan, dan interaksi masyarakat.
    Secara ideologi bahwa cerita Sulastri dan empat lelaki ini memiliki ideologi yang cukup kuat dan luas, artinya fondasi dalam membangun cerita ini sangat kuat. Fondasi atau akar dari cerita ini adalah bagaimana masyarakat hidup dibawa perintah penguasa negara. Secara garis besar cerpen ini juga mengambarkan penyimpangan feminisme, dimana Sulastri sangat mengharapkan nafkah dari suaminya yang tak bertanggung jawab. Sulastri tidak mau berusaha, dia menggap jika menjadi seorang perempuan hanya bisa bekerja di rumah dan mengurus anak.

    Dilihat dari Nilai Politik
    Politik yakni berkaitan dengan permasalahan politik atau pemerintahan. Nilai-nilai politik umumnya muuncul sebagai kritik membangun atau koreksi terhadap jalanya pemerintahan dan upaya penyampaian aspirasi rakyat.
    Nilai politik dalam cerpen ini sangat digambarkan secara kuat dimana, Musa menyampaikan bagaimana penampakan aturan dan wewenang pemerintah terhadap masyarakat dan negara. Pemerintah hanya memanfaatkan masyarakat untuk bekerja menghasilkan kekayaan bumi, lalu dengan menyalah gunakan wewenang dia merampas dan memakan hak-hak rakyat. Bukan hanya itu, demi sebuah politik lahan dan sawah masyarakat digusur lalu dibangun bangunan bertembok demi misi kepemerintahan.

    Dilihat dari Nilai Sosial
    Nilai sosial merupakan nilai-nilai yang didasarkan adat-istiadat yang dianut dalam masyarakat sosial setempat, tentang pantas/tidak pantas, baik/buruk suatu Tindakan.
    Seringkali dalam masyarakat kita kurang menyadari atau kurang menarpakan nilai sosial. Nilai sosial yang digambarkan dalam cerpen Sulastri ini adalah bagaimana perlakuan polisi yang angkuh dan tidak punya hati disaat Sulastri dikejar oleh Firdaus, dia hendak meminta tolong kepada polisi tapi polisi itu hanya melihat tapi tidak bisa menolong Sulastri.

    Dilihat dari Budaya dan Religi
    Nilai budaya merupakan sebuah kebiasaan dalam masyarakat yang mengakar dan turun-temurun. Nilai religi merupakan nilai yang didasrkan dengan hukum dalam ajaran agama dan kitab suci.
    Nilai budaya yang digambarkan pada cerpen ini mungkin dilihat dari keseharian Sulastri yang hanya mengurus rumah dan anak-anak, dan dia hanya berharap kepada uang kerja suaminya. Ini seringkali menggambarkan kehidupan masyarakat desa yang masih belum sepenuhnya maju. Nilai religi yang ada pada cerpen ini adalah nilai yang buruk terhadap sikap dari suami Sulastri yang menyembah berhala, baginya bertapa adalah sebagai cara untuk mendapatkan kekuatan dan membuat hidupnya Makmur. Ini sangat menyimpang dari ajaran agama dan kitab suci.

  46. Kritik dan esai cerpen Sulastri dan Empat Lelaki

    Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki merupakan cerpen karya M Shoim Anwar yang dipublikasikan pada tanggal 5 Desember 2011. Cerpen tersebut secara singkat menceritakan seorang Sulastri yang menjadi imigran gelap di negeri Timur Tengah. Sebagai seorang imigran gelap, Sulastri berusaha menyelamatkan dirinya dari kejaran seorang polisi yang ingin menangkapnya dan kejaran seorang lelaki (Firaun) yang ingin menjadikannya sebagai budak. Dari cerpen tersebut dapat beberapa masalah yang termuat, antara lain sebagai berikut:

    Ideologi

    Idelogi pada setiap manusia pada dasarnya berbeda satu sama lain dan tidak bisa dipaksakan orang lain untuk menerimanya. Pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki, tokoh Sulastri menganggap dirinya sendiri sebagai orang yang kecil, lemah, tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, yang ada dipikiran Sulastri bahwa perempuan tidak akan bisa tanpa suaminya atau bantuan orang lain. Pemikiran yang seperti itu membuat Sulastri selalu bergantung pada suaminya dan orang lain. Hal tersebut dapat diketahui pada kutipan dialog antara Sulastri dengan Musa berikut:

    “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

    “Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

    Sedangkan pada tokoh Firaun, Ia menganggap bahwa dirinya adalah orang yang berkuasa atas segalanya sehingga menyebut dirinya sebagai tuhan. Firaun tak segan-segan menjadikan orang sebagai budaknya dan menyuruhnya untuk menyembah dirinya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut:

    “Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

    Jika dihubungkan dengan kenyataan yang ada di Indonesia dan negara lain kedua tokoh tersebut memiliki contohnya masing-masing. Pertama, tokoh Sulastri, mencerminkan masyarakat yang pada dasarnya pemalas tidak mau berusaha keras sendiri, selalu menginginkan kekayaan dengan jalan pintas tanpa berusaha keras. Jalan pintas yang sering digunakan masyarakat Indonesia antara lain; pesugihan, mencuri, dan korupsi. Kedua, tokoh Firaun merupakan cerminan dari pejabat-pejabat tinggi yang merasa berkuasa atas segalanya. Seorang pejabat yang menindas rakyat jelata dengan kekuasaanya. Selain itu Firaun juga merupakan cerminan dari masyarakat luar negeri yang memandang rendah masyarakat Indonesia, ketika masyarakat Indonesia berada di negaranya.

    Perbedaan ideologi pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki tidak hanya ditemukan secara individu dengan individu, namun juga ditemukan perbedaan ideologi secara negara dengan negara. Masyarakat di negara Indonesia menganggap bahwa setiap individu manusia telah merdeka sejak lahir. Hal tersebut berbeda pada masyarakat di negara Timur Tengah, khususnya di sekitar Laut Merah. Mereka menganggap bahwa tidak semua manusia merdeka sejak lahir, namun, manusia dapat dikatakan merdeka jika dibayar dengan uang atau terlepas dari perbudakan. Seperti yang telah dikatakan oleh Firaun berikut:

    “Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

    Politik

    Dari segi politik, permainan uang diantara polisi tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun juga terdapat di luar negeri, khususnya yang disebutkan oleh pengarang pada cerpen Sulastri dan Empat Orang Lelaki karya M Shoim Anwar. Permainan uang di negara – negara Timur Tengah terjadi pada saat proses penangkapan imigran gelap (warga asing yang tidak memiliki paspor dan visa atau yang memiliki tetapi masa berlakunya sudah habis) melalui perantara yang bisa disebut sebagai mafia untuk dideportasi kembali ke negara asalnya. Imigran gelap tidak secara langsung ditangkap oleh polisi tanpa adanya imbalan. Deportasi imigran gelap tersebut berawal dari berkumpulnya imigran gelap dengan membawa sejumlah uang yang ditentukan untuk membayari perantara serta polisi yang akan menangkapnya. Dari penangkapan tersebut polisi mendapatkan imbalan uang per orangnya yang dibagi hasil dengan perantara tersebut.

    Politik uang pun dibicarakan dalam cerpen Sulastri dan Empat Lelaki. Politik uang tersebut terjadi di Indonesia, dimana calon pejabat atau penguasa membutuhkan masyarakat saat kampanye saja. Dengan cara yang kotor agar mendapatkan suara rakyat, calon-calon pejabat atau penguasa mengobral janji-janji palsu yang manis, bahkan tak segan juga untuk menyuap masyarakat agar mereka memilihnya. Akan tetapi, ketika calon pejabar atau penguasa ini telah memenangkan kampanye mereka tidak peduli lagi dengan masyarakat yang telah mendukungnya. Hal tersebut dapat ditemukan pada kutipan cerpen berikut:

    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

    Sosial dan Budaya

    Budaya makan gaji buta hampir terjadi pada semua polisi, tidak hanya polisi saja, namun juga pada setiap orang yang memiliki pekerjaan dengan gaji tetap. Pada cerpen Sulastri dan Empat Orang Lelaki karya M Shoim Anwar dapat diketahui terdapat polisi yang makan gaji buta. Hanya pada awalnya saja seorang Polisi tersebut bertugas menjaga kawasan dengan niat ketika Sulastri melewati tanggul. Namun, ketika Sulastri melewati area tanggul sekali lagi, Polisi tersebut tidak menghiraukan Sulastri meskipun Ia mengetahui ada Sulastri yang sedang lewat area tanggul. Berikut kutipannya:

    Di ujung tanggul Sulastri kembali berdiri. Persis di tempat yang tadi ditinggalkan. Sang polisi melihatnya dari kejauhan. Kali ini lelaki itu tak ingin repot, bibirnya mengatup hingga kumisnya tampak makin tebal.

    Pada kenyataannya juga sama, kebanyakan polisi menjalankan tugasnya sesukanya saja, tidak konsisten terus menurus meskipun pada jam kerja. Seperti hanya polisi di Indonesia, mereka hanya mau menjalankan tugasnya apabila mendapatkan imbalan atau dilihat oleh atasannya. Contoh tersebut sudah jelas dapat dilihat dalah kehidupan sehari-hari, pada polisi lalu lintas khususnya. Dalam kesehariannya, polisi lalu lintas sering mengadakan operasi zebra untuk menilang pengendara yang melanggar aturan lalu lintas. Hal itu sering diadakan karena polisi tersebut bisa mendapatkan uang dengan membujuk pengendara yang melanggar lalu lintas agar tidak terkena tilang dari polisi. Namun berbeda keadaannya dengan tugas polisi yang lain. Yakni mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan. Tugas tersebut seringkali dilaksanakan oleh polisi sesuka hatinya, bahkan sering diabaikan hanya karena tidak akan memberi imbalan kepada polisi.

    Ketidaktanggung jawaban seorang suami dalam menafkahi keluarga dimunculkan pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki. Pada cerpen tersebut, Markam tidak bisa bertanggungjawab menafkahi keluarganya. Istri dan anak-anaknya dibiarkan bertahan hidup sendiri, tanpa dipedulikan sedikitpun, Ia hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri. Pikiran Markam hanyalah kesenangan dirinya saja, hingga Ia juga meninggalkan pekerjaannya demi kesenangannya tersebut.

    Pada faktanya, di dunia ini masih banyak seorang suami yang tidak bertanggungjawab dalam menafkahi istri serta anak-anaknya. Seorang istri hingga rela mati-matian menafkahi keluarga seorang diri. Sedangkan, sang suami hanya memikirkan kesenangan dirinya saja.

    Keserakahan dan ketidakadilan penguasa di Indonesia terjadi dimana saja. Banyaknya para penguasa yang korup dan tidak menghiraukan lingkungan sekitarnya. Kekayaan alam Indonesia yang dieksploitasi secara habis-habisan, seperti yang dilakukan PT Freeport. Ketidakadilan yang terjadi antara masyarakat kecil dengan para penguasa. Masyarakat kecil selalu tertindas dengan aturan-aturan penguasa yang seenaknya sendiri. Keadilan hanyalah menjadi impian saja. Penguasa selalu menjanjikan keadilan, namun ketidakadilan yang selalu terjadi. Ketidakadilan dan keserakahan tersebut terdapat pada kutipan cerpen berikut:

    “Kami menderita, Ya Musa.”

    “Para pemimpin negerimu serakah.”

    “Kami tak kebagian, Ya Musa”

    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

    Ekonomi

    Berbicara mengenai ekonomi, pada dasarnya ekonomi setiap keluarga hingga setiap negara berbeda-beda, ada yang kaya da nada pula yang miskin. Pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki tersebut menceritakan tentang seorang Sulastri yang merupakan seseorang dari kalangan ekonomi tidak mampu.

    Seperti yang terdapat pada cerpen tersebut bahwa keadaan ekonomi negara dikendalikan oleh pabrik-pabrik, investor, dan pemerintah. Harga bahan pokok atau dasar produksi yang biasa dijual oleh masyarakat dipermainkan seenaknya oleh pabrik-pabrik besar, hingga masyarakat mengalami kesusahan. Hal tersebut dapat ditemukan pada kutipan cerpen berikut:

    “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus.

    Lapangan pekerjaan di Indonesia juga dijelaskan oleh pengarang bahwa lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia ini sangatlah kurang. Banyak masyarakat yang menganggur tidak mempunyai pekerjaan karena tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya, masyarakat yang tidak mempunyai tersebut mengalami kemiskinan. Hal tersebut terdapat dalam kutipan dialog antara Sulastri dengan Musa berikut:

    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”

    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

    Religi

    Dari sisi religi, dapat diketahui bahwa adanya kemusyrikan terhadap benda benda pusaka. Markam yang merupakan suami Sulastri, selalu melakukan pertapaan demi mendapatkan benda-benda pusaka dari usaha pertapaanya tersebut. Meskipun tidak pernah mendapatkan hasil apa-apa Markam tetap saja melakukan pertapaan hingga meninggalkan istri dan anaknya dalam kesengsaraan. Dalam agama perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai musrik karena mengabdikan dirinya pada kuburan dan menyembah benda berhala. Hal tersebut dapat ditemukan pada kutipan dialog berikut:

    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

    Berbicara mengenai agama, seharusnya tokoh Markam tidak melalukukan pertapaan demi mendapat benda-benda pusaka. Pertapaan yang sia-sia jika dilakukan terus menerus tidak membawa manfaat apapun selain melunturkan keimanan kepada Tuhan yang Maha Esa karena mempercayai benda-benda pusaka. Terutama jika pertapaan tersebut hingga membuat istri dan anak-anaknya dalam kemelaratan karena mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga. Dalam agama manapun, hal tersebut dapat dikatakan dosa karena tidak memenuhi kewajiban sebagai seorang suami.

    Akan berbeda lagi jika pertapaan yang dilakukan demi mencari keberadaan Tuhan yang Maha Esa dan mencari arti kehidupannya di dunia ini, serta tetap memenuhi kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga. Pertapaan yang semacam itulah yang tidak akan menambah dosa, justru akan menambah pahala.

    Begitu pula dengan tokoh Sulastri. Pada cerpen tersebut Sulastri juga merupakan seseorang dengan keimanan yang rendah. Ia sangat ketakutan dengan manusia lain (disebutnya Firaun) yang bertubuh dempal, otot kekar, dan bermuka seram, tidak dengan Tuhan yang Maha Esa. Hal tersebut terdapat pada kutipan cerpen berikut:

    Sulastri terus berlari. Firaun melangkahkan kakinya, makin cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar oleh raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulastri berhenti, tapi yang dikejar tak menghirau. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga pantai sudah pasti tak menolognya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulastri meloncat dari atas tanggul.

    Sulastri pun juga sangat memohon-mohon pelindungan, serta lebih percaya dengan manusia lain (disebutnya Musa) ketimbang memohon perlindungan kepada Tuhan yang Maha Esa. Melihat bagaimana cara Ia memohon kepada manusia lain, Sulastri tidak ingat bahwa Tuhan selalu dapat dimintai pertolongan dan perlindungan kapan pun dan dimana pun. Hal itu terdapat pada kutipan dialog antara Sulastri dengan Musa berikut:

    “Tolonglah saya, Ya Musa.”

    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

    “Tolonglah saya, Ya Musa….”

    Tak hanya pada masalah keimanan, Sulastri juga salah cara dalam mencari rezeki. Dalam cerpen tersebut dapat dikatakan bahwa Sulastri memasuki negeri orang lain dengan illegal, tanpa izin yang resmi. Sebagaimana dalam Agama Islam, tidak diperbolehkan baginya seorang muslim yang memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya (Q.S An-Nur ayat 27). Bukti bahwa Sulastri seorang imigran gelap terlihat jelas pada kutipan dialog Musa berikut:

    “Kau masuk ke negeri ini secara haram. Bagaimana aku bisa menolongmu?” jawab Musa dengan suara besar menggema.

  47. Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”

    Karya M Shoim Anwar

    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” merupakan salah satu cerpen karya M. Shoim Anwar . Siapa sih yang tidak kenal beliau? M. Shoim Anwar sudah tidak asing lagi , karena beliau salah satu seorang sastrawan yang lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur sudah banyak karya-karyanya di dunia sastra. Karyanya berbentuk esai sastra.

    Cerita pendek diartikan sebagai bacaan singkat yang dapat dibaca sekali duduk dalam waktu setengah sampai dua jam, genrenya memiliki efek tunggal, karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks “pengarang cerpen tidak melukiskan seluk beluk kehidupan tokohnya secara menyeluruh, melainkan hanya menampilkan bagian-bagian penting kehidupan tokoh yang berfungsi untuk mendukung cerita tersebut yang juga bertujuan untuk menghemat penulisan cerita karena terbatasnya ruang yang ada. (Allan Poe dalam Nurgiyantoro dalam Regina Bernadette).

    Dari cerpen ini yang telah saya baca, memiliki makna yang cukup dalam. Setiap kata dan kalimatnya mempunyai arti, penulis membuat seolah-olah pembaca ikut merasakan apa yang telah dialami di dalam cerpen, dari kisahnya pun hamper terjadi didalam kehidupan nyata.

    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” bercerita tentang perempuan yang memiliki nama atau yang biasa dipanggil Sulastri. Sulastri adalah seorang pekerja TKW. Tokoh utama dari cerpen ini yaitu Sulastri, empat orang lelaki adalah seorang polisi, Markam atau suami Sulastri, Fir’aun, dan Musa AS. Sulastri saat sedang terdiam, dan merenung tentang kehidupannya berjalan menaiki tanggul Laut Merah sampai akhirnya Sulastri di perlihatkan sosok Fir’aun dan Musa AS. Ketika zaman nabi Musa AS, saat melangkah dengan keyakinan dan kerja keras dia yakin akan mendapatkan sebuah pertolongan nantinya ditengah perjalanan. Kemudian Sulastri meminta tolong dengan nada yang memelas agar dikasihani dari siksa yang ada. Namun Firaun ingin menyiksa dan memperbudak Sulastri pada saat itu. Polisi akhirnya ikut turun tangan dan menjadi perantara. Saat Polisi meminta uang kepada Sulastri, sementara Sulastri tidak memiliki uang sama sekali. Markam adalah suami dari Sulastri yang bisa dibilang memiliki hobi bertapa di dekat makam sungai Bengawan Solo yang konon katanya dapat membawa keberkahan dalam kehidupan kedepannya. Bertapa yang tidak ,mengenal waktu hingga anak istrinya tidak terurus.

    Bisa dilihat dari kutipan cerpen :

    …dia menatap ke seberang sungai ke arah Desa Titik. Tampak ada kuburan yang dirimbuni pepohonan besar. Di sana ada seorang lelaki bertapa menginginkan kehadiran benda-benda pusaka, membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawa.

    Ternyata itu tidak terjadi pada sebuah cerpen saja, namun dapat kita lihat bahwa di kehidupan atau lingkungan sekitar kita masih percaya adanya hal itu. Zaman memang sudah cukup maju di era saat ini, namun jika kita lihat dari Youtube, Facebook, atau media social lainnya pasti akan membahas hal yang serupa. Memang semua itu tidak ada salahnya jika kita percaya tentang hal itu, namun jika terlalu fanatik kesannya menjadi mistis, kearah pesugihan, dan tumbal. Budaya ini memang sudah ada dari nenek moyang kita. Kegiatan seperti ini terjadi pro dan kontra. Memiliki nilai positif dan negative, kita harus bisa membedakan jika sudah masuk terjerumus pada hal negative karena bisa disebut musyrik. Sama hal nya dengan menduakan tuhan.

    Sulastri juga bekerja sebagai TKW, banyak perempuan yang ingin menjadi seorang TKW karena penghasilannya yang bisa dibilang cukup besar. Namun jika dibayangkan tidak semudah itu, membutuhkan proses yang panjang, pengorbanan, berpisah dengan orang-orang yang tersayang, harus bisa menyesuaikan keadaan disana. Jika dilihat dari sumber kekayaan, Indonesia juga merupakan Negara yang kaya. Indonesia memiliki lautan yang luas, pulau ada dimana-mana, penduduk yang banyak dan padat, hutan-hutan yang lebat, berbagai jenis tumbuhan hias dan tumbuhan yang dapat dikonsumsi, berbagai jenis hewan, berbagai jenis buah-buahan yang tidak ada di negara lain, perkebunan, pertambangan, dan masih banyak lagi kekayaan yang lainnya. Bisa dilihat dari kutipan cerpen :

    “Negeri kami miskin, Ya Musa.”

    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”

    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”

    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”

    Di dalam cerpen ini cukup unik karena memiliki pesan atau sindiran untuk koruptor atau politik-politik yang ada di Indonesia. Bisa dilihat dari kutipan cerpen :

    “Para pemimpin negerimu serakah.”

    “Kami tak kebagian, Ya Musa”

    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

    Jika orang-orang besar atau yang memiliki jabatan yang tinggi bisa melakukan kecurangan, maka rakyat yang biasa pasti bisa melakukan hal itu juga, serakah, egois, semua hal akan dilakukan untuk menarik perhatian rakyat dan tergiur akan janji-janjinya.

    Segi social dalam cerpen, Sulastri termasuk perempuan yang tertindas. Sulastri diperbudak oleh empat lelaki itu, dia hanya menjadi pemenuh hasrat lelaki. Sungguh miris dan kasihan.

    Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” Karya M Shoim Anwar “ sangat menarik, jika di kaitkan dalam ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, religi . Cerpen ini salah satu cerpen yang lengkap sehingga pembaca dibuat emosi naik turunnya darah.

    Cerpen ini memiliki kata dan kalimat beragam yang mudah untuk dipahami, dan memiliki daya tarik karena jika membaca diulang-ulang tidak akan bosan. Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” ini memiliki banyak pesan yang dapat diambil, jika kita menginginkan sesuatu maka bekerja keraslah dan berdoa, selalu mengingat bahwa Allah SWT adil terhadap semua umatnya , bertanggung jawab atas jabatan yang telah diraih saat ini hingga nantinya, bersikap jujur, adil, dan tidak ingkar janji..

  48. rahma yunita

    Pada cerita cerita diatas menceritakan sebuah kisa tentang Sulastri yang kebingungan arah dalam menjalani sebuah kehidupan ini, dalam kisah cerpen ini masih kita sering jumpai di dunia nyata, dengan judul Sulastri dengan Empat lelaki, cerpen ini memiliki ciri khas dalam gaya bahasa yang menggunakan bahasa yang dapat di mengerti masyarkat diluar sana untuk memahami cerpen tersebut. Cerita Sulastri ini memiliki suatu teka teki dalam menjalani kehidupan, seorang wanita yang bingung dengan kehidupan yang tak tau mau melakukan dan takut salah melangkah dalam mengambil keputusan. Contoh seperti kisah Sulastri dengan Empat Lelaki.
    LAUT menghampar dari pantai hingga batas tak terhingga. Ini adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikat seperti tak pernah jenuh menanti kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia atau Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestik yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara.
    Sementara tak jauh di sebelah utara sana terlihat sekelompok bangunan dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut berpunggung perak beterbangan menyisir permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri di depan posnya.
    Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungnya yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap ke arah laut. Tubuhnya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin lama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi.
    Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang bekerja ala mafia.
    Sulastri terus berlari. Firaun melangkahkan kakinya, makin cepat dan cepat, lalu berlari. Bunyi mendebam terasa di atas tanggul. Dari kejauhan terlihat seperti gadis kecil dikejar oleh raksasa. Firaun menyeru-nyeru agar Sulastri berhenti, tapi yang dikejar tak menghirau. Jarak pun makin dekat. Sulastri makin memeras tenaga. Polisi penjaga pantai sudah pasti tak menolognya. Sementara Firaun melejit makin garang. Sulastri meloncat dari atas tanggul.
    Sulastri terhenyak. Di depannya muncul seorang lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, berjenggot panjang. Lelaki itu mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Mulut Sulastri bergetar menyebut nama lelaki di hadapannya, “Ya, Musa….”
    Sulastri mendapati dirinya bersimpuh di pasir pantai. Tongkat yang tadi dipegangnya ternyata tak ada. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya sebuah mimpi. Dipandangnya laut luas tak bertepi. Sulastri masih di sini, di tepi Laut Merah yang sepi, jauh dari anak-anak dan famili. Burung elang melayang tinggi di atasnya, pekiknya melengking ke telinga Sulastri.
    Dalam cerita tersebut dijelaskan sekilas mengenai budaya yang terjadi pada cerpen terseburt, didalamnya menjelaskan bagaimana masih kental dan melekat adat menyembah berhala. Tak dapat di pungkiri sebulum masuknya agama dan menyebar di plosok-plosok daerah, banyak nenek moyang terdahulu masih menganut kepercayaan menyembah berhala dan untuk memeluk suatu kepercayaan entah itu agama islam, Kristen, hindu, atau Budha masih susah dan perlu tak tik dan rayuan agar nenek moyang kita bisa memeluk agama tersebut. Meskipun berkembangan zaman sudah moderen dan canggih-canggih, kebiasaan untuk melakukan sebuah ritual masih sering terjadi dan masih sering di lakukan. Contohnya pada kutipan berikut.
    “Di sini, seorang suami mengabdikan hidupnya untuk kuburan dan benda-benda pusaka yang tak kunjung tiba.”
    Kutipan diatas menjelaskan bagaimana seseorang masih melakukan ritual-ritual yang sering dilakukan oleh suami Sulastri, tanpa memikirkan nasip anak istrinya dia tega meninggalkan untuk mendapatkan sebuah benda-benda pusaka dan ilmu hitam untuk diriny sendiri. Sedangkan Sulastri sudah tidak bisa berkata-kata lagi mengenai kelakuakan suaminya yang tidak habis pikir tersebut.
    Berikut kutipan ketika Sulastri pasra akan kelakukan Suaminya.
    “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”
    Hanya mengejar suatu harta, dan benda keramat entah itu bertujuan untuk apa. Kehidupan tersebut memang masih ada terjadi meskipun dunia semakin maju
    Melihat kejadian suami dari Sulastri ini mengingat dalam Agama islam melarang untuk menyambah berhala atau menduakan Tuhan. Karena dalam ajaran agama islam ketika orang tersebut menyembah suatu benda mati seperti patung, lukisan atau sejenisnya apalagi menduakan Tuhan dianggap orang tersebut Mutdrad kepada agamanya. Seprti suami dari Sulastri tersebut.
    Seseorang tidak akan melakukan hal-hal tersebut apabila seseorang bertaqa kepada Tuhannya, dan selalu sabar serta terus berusaha dalam menghadapai suatu ujian pada hidupnya. Bukan meninggal agama, anak, dan istri serta keluarga yang dia cintai.
    “Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
    Seorang istri yang pasrah akan keadaan kehidupannya dan tidak harus berbuat apa lagi kepada kehidupannya, ketika seseorang tersebut tersesat tak tau arah, Sulastri hampir pasra dan juga akan mengikuti suami melakukan jejak yang menyesatkan
    “Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.

    “Aku bukan budak.…”
    “Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
    Sulastri tak menjawab. Dia terus melangkah mundur sambil memulihkan diri. Sementara Firaun menggerak-gerakkan lehernya untuk menghilangkan rasa penat. Sulastri dengan cepat berbalik arah dan berlari.
    Melihat tersebut Sulastri tersadar karena dia memulai arah yang salah, penyesalan mungkin datang terakhir rasa takut, cemas, khawtir, bingung menjadi satu dalam pikiran dan juga hati bergedud tak campuran rasanya.
    Disini dapat dilihat bahwasanya wanita selalu tertindas dan selalu dianggap sepeleh oleh orang laki-laki seperti halnya, pada cerita tersebut yang secara langsung diceritakan yang mendomisili laki-laki yang di anggap kuat sedangkan perempuan itu lemah dan selalu tidak bijak daripada kaum laki-laki. Seperti Firaun merupakan laki-laki, Musa juga laki-laki, sedangkan Suami dari Sulastri juga laki-laki.
    Seakan-akan kaum wanita ini sangat lemah dan tak berdaya tidak sama halnya dengan kaum laki-laki yang memiliki sikap kuat dan tangguh.
    Dalam cerita cepen tersebut juga menjelaskan dan menyinggung sedikit mengenai tentang politik yang sedang terjadi di Negara kita. Banyaknya rakyatnya masih kekurangan sadang, papan, dan pangannya sedang kan kehidupan para pemimpinya yang sangat mewah dan tidak memikirkan rakyatnya seperti apa apakah persedian pangannya mencukupi atau tidak.
    “Kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat, di sini kering dan tandus.”
    “Kami tidak punya pekerjaan, Ya Musa.”
    “Apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”
    “Kami menderita, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu serakah.”
    “Kami tak kebagian, Ya Musa”
    “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
    “Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”
    “Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”
    “Tolonglah saya, Ya Musa.”
    “Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”
    Kutipan tersebut sepenggal menjelaskan bagaimana rakyatnya yang menderita yang serba kekurangan secara sandang, papan, dan pangan. Pada negeri ini suatu keadilan bagi masyarakat kecil seperti ini sangatlah nihil karena di negeri kita sendiri ketika mencari suatu keadilan sangatlah susah, hanya orang-orang yang memiliki uang dan juga kekuasaan pada negeri ini yang bisa mendapat suatu keadilan.
    Banyaknya para petinggi dinegeri ini yang korupsi ketika melihat uang serakah dan tidak memikirkan nasib-nasib rakyatnya yang susah payah, untuk melakukan kelanjutan hidup yang sedang ia lalui.
    Cerpen tersebut bisa digali dari berbagai sudut pandang, alur yang diceritakan pada cerpe tersebut maju mundur dan maju lagi, sebuah kombinasi yang sangat unik. Latar pada ceritacerpen tersebut juga terdapat dau laut merah dan juga sungai bengawan solo. Untuk penggunaan bahasanyapun juga sangat menarik sehingga para pembaca juga dapat dan mudah memahami isi dari cerita cerpen tersebut. Karena penggunaan bahasanya juga sangat sederhana dan mudah dipahami masyarakat luas sana. Tanpa harus berfikir perkalimat makna-maknanya.

  49. Sely Ika Kurniawati_175200072

    Nama: sely ika kurniawati

    Nim : 175200072

    Membaca cerpen Sulastri dan Empat lelaki karya M. Shoim Anwar merupakan sebuah bentuk mini kehidupan yang penuh teka-teki dalam sebuah cerpen yang ditulis dengan mengesankan.

    Karya sastra memang harus mengandung unsur ambiguitas. Sehingga timbul beberapa sudut pandang. Bisa juga dengan unsur ambiguitas itu sendiri tercipta ruang diskusi bagi mereka penikmat karya sastra atau juga kalangan umum. Bisa dikatakan dengan unsur ambiguitas itu sendiri karya tersebut akan kaya makna, sudut pandang, dan juga kekayaan berfikir sehingga tidak cetek dalam berfikir. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki sendiri menceritakan seorang perempuan bernama sulastri yang berada di bibir pantai Laut merah. Sulastri saat berada dilaut merah itu sendiri kemudian bertemu dengan polisi yang mencoba untuk menangkapnya. Penangkapan itu bukan untuk dimasukkan ke penjara atau dideportasi ke negara asalnya yaitu Indonesia. Polisi berusaha menangkapnya untuk dikumpulkan dengan temaan-temanya yang lain kemudia diberikan kepada para mafia. Dari setiap yang ditangkap polisi tersebut akan mendapatkan imbalan berupa uang dan lebih ironinya lagi yang meberikan uang itu sendiri berasal dari negara Sulastri sendiri yaitu Indonesia.

    Namun pada akhirnya Sulastri dapat menjauh dari polisi tersebut. Kemudian saat Sulastri berdiri diposis awal ia mengingat masalalunya dengan sang Suami yaitu Markam. Suami tersebut telah menelantarkanya dan anak-anaknya. Tidak memberi nafkah lahir dan batin. Markam lebih memilih untuk bertapa di ujung bengawan solo untuk mendapatkan pusaka. Sebuah kegiatan yang bersifat sepiritual namun kurang bijak dilakukan dalam posisinya saat itu yang masih mempunyai tanggung jawab pada keluarga. Disaat bayang-bayang tentang suaminya memudar Sulastri kaget melihat sosok laki-laki yang ia sebut dengan Firaun. Dengan badan dempal, otot-otonya yang kuat, dan perkasa, seakan-akan semua adalah dalam cengkramannya. Sulastri begitu ketakutan lalu bertriak namun tidak digubris. Sulastri takut lalu berlari dan Firaun pun mengejarnya. Ditengah pengejaran tersebut mencul laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dang dengan tongkat. Ialah Musa, kemudian Sulatri mencoba meminta tolong kepadanya. Namun, musa memberikan isyarat tidak bisa dan sosok Musa hilang.

    Kemudian Sulastri terntangkap oleh Firaun. Rambutnya ditarik hingga jebol. Tubuhnya pun lemah kehilangan kesadaran. Tiba-tiba muncul sosok Musa dengan tongkatnya. Sulastri seolah-olah mendapat kekuatan. Lalu diberikanlah tongkat Musa kepadanya. Tongkat pun di pukulkan kepada Firaun dan ia hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri tersadar, ia tebangun dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah. Tongkat yang tadi digengamnya pun tidak ada. Ia kaget, apakah kejadian yang dialaminya tadi hanya mimpi.

    Ketika membaca cerpen tersebut dengan sudut pandang perempuan pastilah kita akan menemukan suatu bentuk ketidakadilan yang dialami perempuan. seperti pada saat Sulastri mengingat pernikahannya dengan suaminya yaitu Markam. Suatu perkawinan yang jauh dari kata bahagia. Markam seorang suami yang mencampakan istrinya, ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang baik. Markam lebih memilih untuk pergi bertapa dan berharap dalam pertapaannya mendapatkan pusaka. Bisa dirasakan bukan, bahwa dalam pernikahan seorang perempuan akan merasa tertekan dan tidak bebas. Seperti yang dikatakan oleh seorang perempuan asal Perancis Simone de Beauvoir yang mengatakan bahwa pernikahan adalah alat untuk mengekang wanita. Kalau tidak salah seperti itu. Tidak hanya itu beberapa adegan seperti saat Sulastri bertemu dengan perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja. Namun seringkali perempuan sendiri tidak sadar bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dalam kutipan tersebut sosok Musa adalah orang yang menyadari betul bahwa laki-laki dan perempuan ialah hakikatnya sama untuk menentukan nasibnya sendiri. Perempuan dapat bebas dan tidak bergantung pada laki-laki.

    Adapun juga dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut, di kehidupan nyata sendiri banya sekali perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan dari laki-laki. lihat saja di Indonesia banyak sekali kekerasan yang dialami oleh perempuan.

    Untuk keseluruhan cerpen itu sendiri dapat ditangkap sebuah makna bahwa dominasi laki-laki begitu kuat. Lihat saja seperi polisi yang seorang laki-laki, Markam, dan Firaun yang seorang laki-laki, serta Musa seorang laki-laki pula. Sungguh laki-laki begitu mendominasi dalam cerpen tersebut. Lihatlah juga dalam kehidupan nyata presiden kita yang mulai dari yang pertama hingga saat ini, kebanyakan adalah laki-laki, dan hanya ada satu perempuan. Dalam cerpen itu sendiri menunjukan bahwa Seorang perempuan selalu dibawah dominasi laki-laki. Perempuan sebagai objek yang tidak berdaya dan dibawah bayang-bayang laki-laki.

    Begitulah kiranya ketika mencoba membaca cerpen tersebut dengan membaca sebagai perempuan. selain itu ada sudut pandang lain yang bisa ditemukan. Sebuah sudut pandang yang menarik. Antara Sulastri, Polisi, Markam, dan Firaun, Musa. Sebenarnya kelima tokoh itu adalah suatu bentuk kesatuan.

    Dapat diartikan sebenarnya tokoh Polisi, Markam, dan Firaun, serta Musa merupakan sebuah makna simbolik belaka. Keempatnya adalah sebuah gambaran tentang empat bentuk nafsu yang ada pada manusia. Dan Sulastri sebagai pancer/diri yang memiliki nafsu tersebut. Pada dasarnya semua nafsu tersebut memang akan selalu ada pada manusia. Manusia harus berusaha dan berlatih agar dapat mengontrol dari keempat nafsu tersebut.

    Keempat nafsu tersebut dikenal dengan Amarah, Aluamah, Supiyah, dan Muthmainah. Baik mari kita uraikan satu-persatu. Pertama nafsu Amarah, nafsu Amarah merupakan sebuah sifat marah, emosi, dan kekecewaan. Nafsu ini mendorong manusia untuk memiliki sifat yang keluar dari rasa manusia itu sendiri atau bisa dikatakan memiliki sifat yang seperti hewan. Mengedepankan rasa marah mengesampingkan logika dan hati. Nafsu ini membuat orang tentu tidak merasa tenang. Nafsu amarah sendiri diidentikan dengan warna merah. Didalam cerpen tersebut nafsu amarah dilambangkan dengan sosok Firaun. Lihat saja Firaun yang begitu kejam, jahat, dan tak memiliki rasa ampun pada siapapun. Termasuk pada Sulastri yang seorang perempuan.

    Nafsu berikutnya ialah nafsu Aualamah merupakan nafsu keinginan dasar manusia untuk makan dan minum. Nafsu yang mendorong manusia untuk memuaskan keinginnya untuk banyak makan secara berlebihan dan akan berdampak buruk bagi manusia itu sendiri seperti mudah terserang penyakit. Nafsu ini diidentikan dengan warna hitam. Didalam cerpen tersebut nafsu Aualamah dilambangkan dengan sosok Markam. Kenapa bisa Markam? Karena disaat bersama Markam Sulastri begitu bernafsu agar dapat memenuhi kebuutuhannya untuk makan dan minun. Dapat dikatakan munculnya nafsu tersebut pada diri Sulastri pada saat ia bersama Markam.

    Nafsu berikutnya ialah nafsu Supiyah. Nafsu ini dilambangkan pada sosok polisi. Lihat saja saat Polisi dalam cerpen tersebut berusaha untuk menangkap Sulastri. Hal itu dialakukan guna untuk menapatkan imbalan berupa uang. Sebuah ketamakan yang berada pada diri yang dilambangkan dalam sebagai sosok polisi. Nafsu ini sendiri memiliki sebuah sifat untuk ingin disanjung, memiliki pangkat, tamak, dan lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia agar dilihat lebih atau mendapatkan sesuatu ataupun sebuah pengakuan.

    Nafsu berikutnya ialah nafsu Mutmainnah. Dalam cerpen tersebut digambarkan dalam sosok Musa. Lihat saja Musa ketika berdialog dengan Sulastri dan ia menolongnya. Dalam dialog itu sendiri Musa menerangkan dan mengajarkan kebaikan tentang kebaikan-kebaikan. Nafsu Mutmainnah sendiri merupakan nafsu yang mengajak untuk kebaikan. Nafsu ini diidentikan dengan warna putih. Nafsu Mutmainnah mendorong manusia untuk melaksanakan kebaikan, membantu orang lain, beribadah, dan bergembira.

    Nah begitulah gambaran simbolik tentang empat tokoh Polisi, Markam, Firaun, dan Musa. Tentu saja pancernya sendiri adalah Sulastri. Sulastri sebagai contoh mansuia yang diselimuti dengan nafsu-nafsu tersebut. Jika manusia tidak dapat mengedalikan nafsu tersebut maka terombang ambinglah ia dalam hidup. Konsep ini sendiri dalam Jawa bisa dikenal dengan Sedulur papat limo pancer. Pancer dalam pemahaman Jawa ialah merupakan puncak dari kesatuan illahi atau dalam pandangan ini tubuh manusia ialah rumah yang menempatkan pancer sebagai pemimpin dan sedulur papat ialah perangkat atau yang harus diatur.

    Begitulah kirannya sudut pandang kedua pada cerpen tersebut ialah sudut pandang falsafa kehidupan Jawa. Bagi mereka yang suka dengan nilai-nilai falsafa kehidupan Jawa cerpen ini sangatlah cocok dan untuk mereka yang menyukai kesetaraan gender/perjuangan perempun menarik untuk dikaji lebih dalam. Untuk keseluruhan, cerpen ini kaya akan makna. Cerpen ini bisa digali dengan berbagai macam sudut pandang. Alur yang dibawahkan juga begitu menyenangkan maju-mundur-maju lagi. Sebuah kombinasi yang menyenangkan. Latarnya juga bagus yaitu bengawan solo dan laut merah. Bisa diibaratkan juga bengawan solo adalah lambang orang yang mencari ilmu dan laut merah adalah lambang dari sumber ilmu. Cerita yang begitu menarik dan bahasa yang dibawakan juga sederhana. Sehingga semua orang bisa menikmati alur cerita dengan penuh rasa penasaran. Cerpen yang cocok untuk dibaca dimasa sekarang ini

  50. Renjana

    Langsung cek link https://renjanamu1.blogspot.com/2021/04/makna-ketidakadilan-cerpen-sulastri-dan.html mengkritik cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki” karya M. Shoim Anwar

  51. Efi Dianto

    Saat membaca sebuah cerpen berjudul Sulastri dan Empat lelaki yang ditulis oleh M. Shoim Anwar merupakan sebuah bentuk karya sastra yang penuh nilai kehidupan didalamnya terdapat lika-liku kehidupan entah tentang masalah duniawi atau akhirat sehingga memiliki nilai tersendiri untuk ditelisik sang Sulastri tersebut. Dari judulnya pun kita dibuat bingung dan cemas layaknya menunggu siaran SDSB di radio. Sulastri tersebut apakah seorang gadis manis yang sedang berjuang bersama pujaan hatinya atau seorang hamba sahaya yang mengharapkan keadilan. Sungguh kita dibuat bertanya-tanya entah mau bertanya kepada siapa yang terpenting bacalah dengan seksama.

    Dalam Karya sastra hendaklah mengandung sebuah unsur ambiguitas. Sehingga didalam unsur tersebut dapat menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi sebuah karya sastra tersebut, bukan hanya itu didalam unsur ambiguitas itu sendiri mampu menarik pembaca terbelenggu dalam jurang kebimbangan serta dapat membuat bertanya-tanya. Dalam cerpen Sulastri dan Empat Lelaki sendiri diceritakan seorang perempuan bernama sulastri yang berdiri diatas tanggul Laut Merah sambil mentapnya penuh kegalauan. Sulastri naik hingga melewati patung-patung yang berderet rapi ditepi laut. Sulastri pun terus berjalan menulusuri arus laut entah apa yang mau dibuatnya tatkala melihat kebawah. Sulastri gemetar saat menatap kebawah sambil menyapa gelombang yang datan. Dari kejahuan ada sseseorang laki-laki perawakan gagah menyapa Sulastri dari sebuah bilik tempat laki-laki tersebut ngepam. Sulastri enggan menyapa balik laki-laki tersebut, nampak sinis pula wajah Sulastri layaknya melihat mantan kekasih bergoncengan dengan pacarnya. Laki-laki tersebut merupakan sebuah abdi Negara. Laki-laki tersebut nampaknya ingin mencegah hal-hal yang tidak diharapkan terjadi, maka dari itu laki-laki tersebut negoisasi dengan Sulastri. Polisi tersebut kemudian memberi sebuah tawaran lagi, tetapi Sulastri tetap menolak dan menolak. Akhirnya kejar-kejaran pun terjadi bak seperti film tom and jerry, bukan hanya itu juga meminta bantuan kepada para mafia untuk mengawasi gerak-gerik Sulastri beserta gengnya tersebut. Dari hasil pemalakan yang dilakukan mafia itu 700 real per orang diberikan kepada polisi tersebut sisanya untuk mafia pemalak tersebut. Otak polisi lebih cerdik hingga mudah menyetut para mafia sehingga mereka mudah diatur dan dikendalikan.

    Namun pada dasarnya Sulastri juga cerdik layaknya Mikhail Tal akhirnya dapat menjauh dari polisi tersebut. Kemudian saat Sulastri berdiri diposisi awal ia teringat masalalunya yang kelam dengan Markam. Markam merupakan suami dari Sulastri tetapi Markam tidak mencerminkan seorang kepala rumah tangga, oleh sebab itu hidup Sulastri dan anak-anaknya jadi terlantar. Betapa tersiksanya batin seorang Sulastri yang lahir sebagai perempuan dimana kodrat seorang perempuan itu dilindungi bukan melindungi, karena tidaklah afdhol tulang rusuk menjadi tulang punggung yang layak dinafkahi secara lahiria maupun batinia. Markam lebih memilih untuk tapa brata layaknya resi Wisrawa entah apa yang ada dalam fikirannya. Sebuah kegiatan yang bersifat sepiritual namun kurang bijak dalam menyikapi langkah seperti itu dikarenakan memiliki tanggung jawab pada anak dan istrinya. Disaat bayangan tentang Markam mulai memudar Sulastri kaget melihat sesosok laki-laki dengan badan dempal, otot-otonya kekar, dan perkasa, layaknya Raden Gatot kaca putra Bima dengan dewi Arimbi yang dikenal dengan otot kawat tulang besi. Sulastri ketakutan dengan laki-laki tersebut yang bernama Firaun. Sulastri yang berlari terus di kejar sang Firaun hingga berada tepat ditengah-tengah pengejaran tersebut mencullah seorang laki-laki dengan baju puith, berjenggot, dan dengan tongkat yang dikenal dengan Musa. Dari sini kita diajak oleh penulis untuk berfikir lebih dalam dan diajak pula larut dalam kubangan rasa penasaran, sosok Musa tersebut apakah sosok Musa yang sering diceritakan Romo kyai atau pak Ustad dalam acara muslimat yang dapat membelah laut serta merubah tongkat menjadi ular, atau kah Musa yang lain saya pun tidak faham. Sulatri mencoba meminta tolong kepadanya. Namun, musa memberikan isyarat tidak dapat membantunya dan kemudia si Musa pun hilang begitu saja.

    Akhirnya Sulastri pun tertangkap juga oleh Firaun. Tubuhnya pun lemas dan kehilangan kesadaran. Tiba-tiba sosok Musa muncul kembali dengan tongkat ditangannya. Kemudia Sulastri seolah-olah mendapat sebuah kekuatannya kembali. Disodorkan tongkat sang Musa tersebut kepada Sulastri. Sulastri pun memukulkan kepada Firaun, dan Firaun pun hancur berkeping-keping. Kemudian Sulastri pun sadar dari tidur dan mendapati dirinya di bibir pantai laut merah.

    Adapun juga dalam cerpen tersebut menceritakan perempuan mengalami bentuk kekerasan. Ada beberapa kekerasan yang dialami oleh Sulastri. Kekerasan tersebut ialah kekerasan secara fisik. Kekerasan fisik sendiri yang dialami ialah ketika Sulastri saat tertangkap oleh Firaun dan rambutnya ditarik hingga jebol. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan seringkali mengalami bentuk kekerasan fisik. Tidak hanya dalam cerpen tersebut dalam kehidupan nyata pun sering terjadi dalam kehidupan nyata kekerasan tersebut dapat terjadi melalui bentuk fisik maupun kekerasan verbal. Untuk keseluruhan cerpen itu sendiri dapat ditangkap sebuah makna bahwa dominasi laki-laki begitu kuat. Lihat saja seperti polisi yang seorang laki-laki, Markam, dan Firaun yang seorang laki-laki, serta Musa seorang laki-laki pula. Sungguh laki-laki begitu mendominasi dalam cerpen tersebut. Lihatlah juga dalam kehidupan nyata presiden kita yang mulai dari yang pertama hingga saat ini, kebanyakan adalah laki-laki, dan hanya ada satu perempuan. Dalam cerpen itu sendiri menunjukan bahwa Seorang perempuan selalu dibawah dominasi laki-laki. Perempuan sebagai objek yang tidak berdaya dan dibawah bayang-bayang laki-laki. Begitulah kiranya ketika mencoba membaca cerpen tersebut dengan membaca sebagai perempuan. selain itu ada sudut pandang lain yang bisa ditemukan. Sebuah sudut pandang yang menarik.

    Dapat diartikan sebenarnya tokoh Polisi, Markam, dan Firaun, serta Musa merupakan sebuah makna simbolik belaka. Dapat diartikan sebagai gambaran tentang empat bentuk nafsu yang ada pada manusia. Maka dari itu seseorang dalam menjalani hidup harus memahami empat hal dalam hidup yang diartikan dalam istilah jawa yaitu macapat. Yang pertama yaitu Maskumambang yaitu dimana seseorang awal di turunkan masih berbentuk ruh. Kemudian yang kedua yaitu mijil dimana mulai dimasukkan zat-zat berbentuk cairan yang dimasukkan kedalam rahim biyung, ketiga hal tersebut yaitu kinanti dimana seseorang yang mulai tumbuh dan berjalan yang diibaratkan anak kecil yang masih ingin belajar dan belajar. Yang keempat yaitu sinom dalam hal ini diibaratkan seseorang yang mulai menginjak masa muda yang mulai mencari jati diri, sejatinya hidup itu bagaimana dan mulai diajarakan untuk mengenal sang lillah, selanjutnya yaitu asmaradhana yang dapat diibaratkan dan dikaitan dalam cerpen ini yaitu setelah melewati fase muda seseorang akan merasakan asmara yang penuh dengan lika-liku percintaan. Keenam gambuh dan ketujuh yaitu Dhandanggula dapat diibaratkan seseorang dalam menjalani hidup dapat mengendalikan nafsu dan cepat-cepatlah berhijrah tidak hanya menetap pada suatu lingkungan, bukan hanya lingkungan yang kelam tetapi juga ndang berpindah ke lingkungan yang dapat mengenalkan kepada Tuhan. Kedelapan yaitu durma diibaratkan bahwa akan memliki sifat belas kasih sesama, kesembilan yaitu Pangkur disini diartikan bahwa sejak pangkur ini seseorang akan mungkur. Kesepuluh yaitu megatruh yaitu diibaratkan putusnya atara raga dan sukma dan terakhir yaitu pucung pada akhirnya manusia akan di pocong. Hal tersebut dengan dikenal sangkan paraning dumadi oleh orang jawa.

    ada cerpen tersbut ialah sudut pandang religi. Bagi mereka yang suka dengan nilai-nilai religi cepen ini sangatlah cocok. Untuk keseluruhan, cerpen ini kaya akan makna. Cerpen ini bisa digali dengan berbagai macam sudut pandang. Alur yang dibawahkan juga begitu menyenangkan maju-mundur-maju lagi. Sebuah kombinasi yang menyenangkan. Latarnya juga bagus yaitu bengawan solo dan laut merah. Bisa diibaratkan juga bengawan solo adalah lambang orang yang mencari ilmu dan laut merah adalah lambang dari sumber ilmu. dari tokoh laki-laki tersebut yaitu memiliki sifat tamak, angkuh, sombong, dan iri sehingga dapat pula dijabarkan luas seseorang dalan hidupnya hendalah dapat menjaga sembilan lubang yang ada pada badan serta lebih berserah diri pada sang pencipta agar dapat bertemu guru sejati dan mengerti arti sejatinya hidup itu apa dan hidup akan kembali kepada siapa.

  52. Menyelisik Praktik Ketidakadilan Gender dalam Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim Anwar
    Berbicara mengenai keadilan, secara terminologi akan merujuk pada hak dan wujud manifestasi dari derajat pada manusia sebagai ciptaan Tuhan. Sudah sepatunya kita sebagai manusia harus saling menghormati dan menjaga perilaku dalam tatanan hidup sosial. Melalui sikap toleransi tersebut maka akan dapat melahirkan tatanan masyarakat yang seimbang. Hal tersebut berlaku pada lelaki dan perempuan sebagai sebuah gender yang merupakan bentuk harapan-harapan kebudayaan. Akan tetapi pada praktinya di dalam tatanan sosial, masih ditemukannya bentuk ketidakadilan gender antara lelaki dengan perempuan. Sepertihalnya dalam cerpen karya Shoim Anwar yang berjudul Sulastri dan Empat Lelaki.
    Membaca cerpen Sulastri dan Empat Lelaki lebih dalam, kita akan menemukan bentuk kekerasan yang dilakukan tokoh lelaki baik polisi dan Firaun terhadap tokoh utama yakni Sulastri. Penulis secara tangkas mampu menangkap fenomena budaya patriarki yang ada di pada kehidupan sosial kemudian menuangkanya sebagai bentuk gumpalan-gumpalan kegelisahan yang mampu menghadirkan makna mendalam kepada pembaca. Cerpen sebagai sebuah representasi dari realitas masyarakat merupakan media yang tepat dalam memberikan penyucian jiwa. Menukil kata-kata dari Horatius bahwa karya sastra adalah Dulce et Utile . Karya sastra tidak hanya indah namun juga dapat bermanfaat kepada pembacanya dalam bentuk pembelajaran.
    Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki mampu menyuguhkan problematika yang kompleks serta gelap. Pembaca akan disuguhkan dengan adegan-adegan kekerasan yang dialami tokoh utama. Konflik yang hadir tersebut merupakan bentuk ketidakadilan gender, karena terdapat kekerasan simbolik yang dialami oleh tokoh utama. Apabila dilihat dari sudut pandang teori kritik feminisme, ketidakadilan gender terbagi dalam empat aspek yakni; 1) Marginalisasi, 2)Subordinasi, 3)Beban kerja ganda, 4) Kekerasan. Melalui aspek tersebut kita dapat menyelisik setara tandas diskriminasi lelaki terhadap perempuan yang terjadi akibat adanya relasi sosial. Secara teoritis, kesetaraan gender menempatkan perempuan pada kodratnya dalam berbagai kiprah perempuan di berbagai bidang sosial. Makna lainnya kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisisi dalam berbagai bidang
    Lelaki sebagai mitra merupakan bentuk keterlibatan lelaki sebagai bagaian dari gerakan perempuan bukan sebagai pembajak atau mereduksi peran perempuan. Sudah pasti lelaki harus menjadi mitra yang baik agar dapat terciptanya ketentraman pada relasi sosial. Cerpen Sulastri dan Empat Lelaki bercerita mengenai seorang perempuan yang mengalami kekerasan dan ketidakadilan gender dalam hidupnya. Tokoh perempuan yang bernama Sulastri dianggap sebagai budak oleh tokoh antagonis yakni Firaun. Ada banyak kekerasan simbolis yang dialami tokoh Sulastri mulai dari dijambak rambutnya, dirobek bajunya dan dikejar seolah-olah Sulastri merupakan budak yang hina. Hal tersebut merupakan bentuk aspek kekerasan yang terdapat pada cerpen Sulastri dan Empat Lelaki. Kekerasan baik fisik ataupun nonfisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin pada sebuah institusi sosial. Kita bisa melihat dari penggambaran cerita yang diciptakan oleh penulis bahwa peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki sebagai sebuah maskulintas.
    Aspek marginalisasi yakni peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Terdapat banyak car yang dapat digunkan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Perempuan ditempatkan kedalam posisi sebagai pencari nafkah tambahan. Sehingga ketika melakuka pekerjaan di ranah publik maka ia akan dinlai pada posisi tersebut. Marginalisasi perempuan terdapat pada bagian cerita ketika Sulastri tertangkap oleh polsisi. Peristiwa tersebut merupakan konflik awal Sulastri sebelum dijadikan sebagai seorang budak di negeri orang.
    Subordinasi merupakan peneliaian atau anggpan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jeni kelamin lebih rendah dari yang lain. Terdapat adanya nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-mila peran gender, laki-laki dan perempuan .Aspek subordinasi yakni peletakan tingkat perempuan diposisi rendah ketika Sulastri ditangkap oleh polisi lalu dibebaskan oleh Firaun dengan tebusan berupa uang. Atas dasar tersebutlah Firaun menjadikan Sulastri sebagai seorang budak. Firaun beranggapan bahwa apa yang ia lakukan merupakan haknya sebagai seorang majikan termasuk hendak memperkosa Sulastri atau melakukan kekerasa kepada Sulastri. Shoim Anwar membangun konflik pada cerita pendek tersebut secara runtut guna menhasilkan atmosfir ketegangan yang dapat dinikmati oleh para pembacanya. Pembaca diajak untuk berempati kepada tokoh Sulastri melalui adegan kekerasan yang dialami, sehingg secara tidak langsung penulis memcoba membangun paradigma kritis pembaca. Namun sayang terdapat adanya kelemahan dalam cerpen tersebut bilamana ditinjau dari segi gaya bahasa. Terdapat adanya bahasa asing yang digunakan oleh penulis sehingga dapat membuat bingung para pembaca yang tidak tahu menahu mengenai bahasa Arab.
    Kembali lagi pada ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh Sulastri. Kondisi nasib Sulastri sebagai seorang budak disebabkan oleh faktor ekonomi yang tidak mendukung. Berdasarkan hal tersebut, Sulastri memutuskan untuk menjadi tenaga kerja di negeri asing. Apabila disandingkan dengan dunia nyata, fenomena tersebut merupakan realitas sosial, ketika individu berusaha untuk mewujudkan mimpinya maka ia harus merubah hierarki sosialnya. Agara dapat terlepas dari belenggu kemiskinan, seseorang akan berusaha untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi, kondisi yang menekan aspek psikologi seseorang akan menjadikan individu mengalami kekalutan mental. Kekalutan mental mendorong individu befikir dan bertindak secara dangkal sehingga akan mendorong individu pada situasi yang lebih rumit.
    Kedewasaan dapat membuat setiap orang menjadi mandiri, serta mampu mengatur hidup agar lebih baik, dan juga mampu menolong diri sendiri. Orientas hidup manusia adalah mencari kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun orientasi hidup perempuan adalah menuju konsep ideal yaitu, bagaiamana dapat menuju dan memperoleh kehidupan dimasa mendatang yang lebih baik. Usaha yang keras perlu diimbangi oleh doa selaku hamba dari Sang Pencipta. Selain itu, setiap upaya yang ditempuh oleh manusia akan memperoleh hasil meskipun secara tidak langsung. Penulis menyimbolkan harapan dan hasil yang diperoleh tokoh Sulastri pada tokoh Musa. Tokoh Musa merupakan representasi dari harapan dan bentuk pertolongan dari Sang Maha Pencipta. Sedangkan pada tokoh Firaun dapat kita interpretasikan sebagai bentuk rintangan dan lika-liku kehidupan dalam mencapai cita-cita yang maju.
    Ketimpangan sosial dan aspek ekonomi merupakan akar dari masalah yang timbul dalam struktur cerita yang dibangun penulis. Penulis menggambarkan bagaimana diskirimnasi yang dilakukan oleh tokoh Firaun terhadap tokoh Sulastri melalui kekerasan fisik yang ada di dalam cerita. Adanya diskiriminasi gender tersebut, mejadikan posisi perempuan nyaris tidak ada nilai. Melalui keempat aspek tersebut kita dapat membongkar dan mengetahui bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh Sulastri.
    Banyak kelebihan dari cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim Anwar. Kita dapat menuai realitas sosial mengenai ketidakadilan gender yang masih berlaku pada masyarakat. Melalui wawasan tersebut, sebagai seorang pembaca kita dapat memaksimalkan sebagai sebuah pedoman dalam memperlakukan perempuan. Tidak hanya itu, sebagai seorang pembaca perempuan, kita dapat menjadikan hal tersebut sebagai tameng apabila dalam aktivitas sosial yang kita jalani. Adapun kekurang yang terdapat pada cerpen tersebut, yakni terletak pada penggunaan gaya bahasa yang mungkin dapat memecah konsentrasi pembaca. Selain itu, pada pembangunan narasi cerita yang langsung tertuju pada konflik besar sehingga tidak cocok apabila dibaca secara berulang kali.
    Pembaca akan sedikit dibuat berekspetasi melalui sosok tokoh Musa. Tokoh tersebut dapat menjelma menjadi kekurangan cerita dan kelebihan dari cerita yang dibangun. Kekurangan cerita, pembaca akan dibuat terganggu karena diajak untuk berimjinasi secara rumit. Namun pada posisi kelebihan, tokoh Musa merupakan simbolisasi atas kuasa Tuhan yang dapat dijadikan pembaca sebagai refleksi dalam menyucikan jiwa. Praktik ketidakadilan gender dalam cerpen Sulastri dan Empat Lelaki karya Shoim Anawar dapat kita ketahui dan bongkar secara mendalam apabila menerapkan teori tersebut. Karya sastra tidak hanya indah atau estetik melainkan juga bermanfaat bagi pembacanya dalam menyuguhkan wawasan serta pengetahuan yang dapat digunakan sebagai penyucian jiwa.

Leave a Reply

error: Content is protected !!