Cerpen Budi Afandi (Koran Tempo, 11 Desember 2011)
UJUNG telunjuk itu mendekati sakelar di tembok hijau muda. Begitu benda itu ditekan, warna terang menghilang, berganti berkas sinar yang merembes di tirai jendela, meninggalkan bayangan terali berbentuk trapesium. Tubuh sebentuk bayangan mendekati jendela, kedua tangannya memegang, lalu menyingkap ujung tirai. Seperti sedang memandang ke luar. Satu tarikan napas terdengar sebelum bayangan itu menggeret langkah menuju ranjang.“Sepertinya ada orang di luar.” Suara merdu yang setengah berbisik terdengar dari atas ranjang.“Biarkan saja.” Suara lain menimpali dengan nada berat. “Tidurlah,” sambungnya.
Hujan deras turun sejak satu jam lalu dan belum terlihat akan reda, membuat badan ingin cepat lelap. Tapi tidak bagi Airah. Ia tidak mampu menenangkan otak seperti yang dilakukannya pada kelopak mata. Kilatan putih berlalu lalang dalam pandangannya. Kilatan itu seperti benang putih yang hanyut dalam air pekat yang mengalir deras. Kilatan itu berputar, membentuk lingkaran, semakin padat dan jelas. Airah berusaha menahan katupan kelopaknya, mengusir kilatan yang kini berbentuk lingkaran sempurna. Napas Airah memburu, tubuhnya bergerak tak beraturan. Dia seperti kehilangan keseimbangan di atas kasur yang tiba-tiba serasa balok es. Dingin menyentuh tulang di balik daging di seluruh tubuh. Dingin itu menggigitnya, seperti barisan semut yang berhenti mencicip gula merah.
Dua pekan Airah kehilangan lelapnya, sejak mereka pindah ke rumah baru. Bangunan impian yang akhirnya didapatkan setelah lima tahun menikah. Hasil kerja kerasnya bersama Tabah, suami, yang malam itu tidur memunggunginya. Rumah mewah dengan gerbang setinggi tiga setengah meter. Rumah atasan Tabah yang sudah lama tidak ditempati. Rumah yang diberikan sebagai hadiah atas keberhasilan proyek besar kantornya.
Dia ingat, pagi itu Tabah pulang lebih cepat. Lelaki bertubuh ramping dengan mata teduh itu tidak dapat menyembunyikan kegembiraan di wajahnya. Begitu memasuki rumah, dia menjejak cepat dan memeluk Airah yang sedang mengolah adonan kue di ruang tengah. “Kita akan segera pindah,”ucapnya tanpa melepaskan peluknya dari tubuh berbalut celemek.
Kabar rencana kepindahan yang tiba-tiba membuat udara ruang tengah rumah kontrakan serasa dingin menyenangkan. Bukan dingin sombong yang hanya ingin menyiksa, tapi dingin yang dengan sadar menghantarkan tubuh pada ketulusan ranjang pengantin.
Airah melingkarkan lengan kanan ke lengan kiri suaminya. Keduanya menatap rumah kontrakan yang empat tahun mereka tempati. Gambar-gambar hidup, bergerak tak beraturan di kepala, berisi perjalanan selama di rumah kontrakan. Gambar-gambar yang terus bergerak mengikuti mereka saat duduk dalam mobil sedan hitam, menuju rumah baru.
Hanya satu jam melaju sedang. Mobil mereka, juga kendaraan perkakas rumah, memasuki pekarangan sebuah bangunan. Adegan yang sempat terjadi saat keduanya meninggalkan kontrakan seakan berulang. Airah dan Tabah mematung di depan pintu yang terlihat tinggi. Pintu rumah berwarna cokelat tua dengan gagang pintu dari kuningan dan sebuah lingkaran sebesar telur ayam kampung di sampingnya. Lingkaran yang terlihat seperti berbahan kaca atau kristal itu mempermanis penyambutan kedatangan mereka.
Udara di kamar gelap Airah dan Tabah malam itu terasa lebih lembap. Airah masih merasa dingin menggigit tulang-tulangnya. Untuk kedua kali sejak kepindahan mereka, Tabah tidak mau memeluknya. Dia terus memunggungi. Tidak menggeser sedikit pun selimut dari permukaan kulit di seluruh tubuh.
Airah bertahan tidak mengganggu tidur Tabah seperti yang ia lakukan sepanjang dua pekan terakhir. Dia menggerakkan badan memunggungi Tabah. Kedua telapaknya disatukan menjadi pengganjal pipi kanan dari bantal. Airah mencoba membuka mata, namun tidak mampu ditahannya berlama-lama, terasa seperti sobekan kain yang terikat benang dan jarum jahit. Dua kelopak itu tertutup lagi. Mengembalikan lingkaran dari benang putih yang kini sudah begitu jelas. Dalam seluruh pandangan Airah, lingkaran putih itu terus menguat, padat.
.
RUANG tengah yang dua kali lebih besar dari seluruh bagian rumah kontrakan Airah dan Tabah menyambut. Keduanya tenggelam dalam arus pikiran yang berlarian pada tiap jengkal lantai putih berselimut debu tipis. Arus pikiran yang terus bergerak itu membuat mereka seperti lupa pada lalu lalang pekerja yang keluar-masuk membawa aneka rupa perabot.
Bangunan itu berlantai dua dengan warna putih yang mendominasi. Di lantai satu terdapat ruang tengah, tepat setelah membuka pintu masuk. Ruangan berisi sofa hijau muda dengan benang-benang keemasan dengan bentuk teratai pada sandarannya. Tegak lurus dengan pintu masuk, tepat di ujung ruang tengah, di belakang sofa tunggal, terlihat pintu kecil seukuran kotak tabung gas pemadam api di sudut-sudut hotel. Pintu kecil itu tidak aneh kecuali warnanya yang merah menyala, kontras dengan warna seluruh ruangan. Tidak jauh dari pintu merah, tepatnya di sebelah kiri, tangga selebar kurang-lebih satu meter siap membawa siapa saja menuju lantai dua.
Di kiri ruang tengah ada ruang berisi sebuah meja dan rak-rak buku. Tabah tersenyum lebar saat memasuki ruang itu. Dia merencanakannya menjadi tempat membaca. Berhadap-hadapan dengan ruang baca di benak Tabah, terdapat sebuah ruang kosong yang membuat Airah bersemangat untuk segera membeli piano dan alat musik lainnya.
Di lantai dua, ada tiga ruang tidur dengan ukuran dan perkakas yang sama persis. Satu kamar berada segaris dengan pintu merah, beberapa meter dari ujung tangga. Dua kamar lainnya membentuk garis lurus dengan dua kamar sisi kiri-kanan ruang tengah.
Hari itu mereka bersih-bersih, memasang beberapa perabot baru yang akhirnya lebih banyak tidak terpakai. Belakangan Airah menyadari ada yang unik dari semua pintu di rumah itu. Semua pintu, bahkan pintu dapur dan kamar mandi, memiliki lingkaran putih sebesar telur ayam kampung. Lingkaran seperti dekat gagang kuningan pintu masuk. Posisinya pun sama. Namun bukan bentuk atau warna yang membuat lingkaran itu unik, jika bukan aneh. Airah terkejut ketika menyadari lingkaran itu sejenis kaca transparan. Melaluinya, mata dapat melihat ke dalam kamar. Mendatangkan gamang dalam benak Airah. Gamang yang tak hilang mendengar penjelasan Tabah. “Bosku itu punya cita rasa khas terhadap bangunan. Rumah ini adalah salah satu rumah yang paling dia sayang. Makanya kita dipesan tidak mengubah apa pun.” Meski tidak puas, Airah memutuskan tidak mencari tahu lebih jauh. Dia dan suaminya sibuk membereskan seluruh bagian, termasuk kamar segaris pintu merah yang mereka jadikan kamar tidur.
Malam itu, tubuh keduanya terasa roboh seperti usai dihantam petarung kelas berat. Sehabis santap malam, mereka memasuki kamar tidur lebih cepat. Keduanya lelap beberapa saat setelah kulit menyentuh kasur. Tapi tidak berlangsung lama. Tubuh Airah mulai terlihat gelisah. Bergerak acak, memperbaiki posisi kepala, kaki, dan tangan. Geraknya seperti tubuh yang sedang dikerangkeng pada ranjang beraliran 1.000 volt. Tubuh itu tidak mau diam, kelopak mata Airah yang mengatup bergerak-gerak. Dengan napas tersengal, Airah melihat ruang tengah yang tiba-tiba berubah.
Ia berdiri tepat di ujung tangga menuju lantai satu rumah mereka. Matanya menyipit diikuti gerakan kulit jidat yang mengkerut. Dia kebingungan menatap ruang tengah yang kosong-melompong. Semua sofa hilang, hanya lantai putih yang terlihat dan tiga pintu cokelat. Airah curiga ada maling memasuki rumahnya. Dia harus segera memanggil Tabah. Namun dia kaget ketika suaranya tidak mampu menembus tenggorokan. Dia lebih kaget ketika kakinya juga tidak bisa digerakkan. Airah terus mencoba menggerakkan tubuh, namun tubuhnya seperti terpancang pada tiang penyaliban, memaksa matanya menatap lurus ke lantai ruang tengah.
Mata Airah bergerak. Jantungnya bergerak cepat. Empat sosok wanita tiba-tiba datang dari arah berbeda. Dari pintu masuk utama, pintu di kiri-kanan ruang tengah, dan muncul dari arah tepat di bawah posisi Airah. Tubuh-tubuh mereka berbalut kebaya biru tua dipadu kain batik yang hanya sepaha melangkah bak penari yang hendak memulai persembahan. Rambut keempat wanita itu panjang hingga ke tengah punggung, seukuran rambut Airah. Mereka berjalan menunduk hingga berhadap-hadapan di tengah ruangan.
Sepi. Bahkan Airah tidak mampu merasakan udara di sekelilingnya. Sampai terdengar gelegar tawa keempat wanita itu. Tawa mereka menggema ke seluruh ruangan dan seperti terjadi tepat di depan kuping Airah. Dia berusaha menutup mata, menggerakkan tangan menutup telinga, berusaha sekuat tenaga. Namun tubuhnya tidak mau mematuhi perintah. Airah berusaha menyebut nama Tabah, tapi tidak juga berhasil. Hingga akhirnya dia lunglai dan tersadar ketika Tabah membuka tirai kamar.
Mimpi di malam pertama di rumah baru mencabut semua akar pohon kesenangan yang baru ditanam Airah. Hilang semua rencana berbelanja, termasuk keinginan membeli biola dan piano. Semakin hilang kesenangannya ketika Tabah menanggapi mimpinya dengan ringan. “Kamu terlalu lelah.”
.
“RUMAH ini paling bersejarah dari semua rumah yang saya punya,” kalimat itu keluar bersama kepulan asap dari mulut pria yang duduk santai di sofa ruang tengah. Canang, pria berbadan tinggi-kekar itu, duduk tepat di sofa tunggal depan pintu merah. Dengan kaus putih bersih dan celana jins, dia tidak tampak seperti atasan Tabah. Penampilannya sangat berbeda dengan pria yang pernah dilihat Airah beberapa tahun lalu, dalam perayaan ulang tahun kantor suaminya.
Hari Minggu itu Canang berkunjung setelah dua pekan kepindahan Airah dan Tabah ke rumahnya. Kedekatan Canang dan Tabah diketahui Airah melebihi kedekatan Canang dengan pekerjanya yang lain. Padahal suaminya hanya salah satu manajer bagian pada perusahaan Canang.
Sesekali Canang mengisap rokok kretek dalam-dalam, lalu menenggak kopi. Dengan status Canang sebagai atasan, Airah merasa ganjil melihat rokok yang diisap Canang. Bukan rokok bermerek atau cerutu dari luar negeri, yang banyak digunakan untuk menggambarkan kemegahan seseorang. Tapi hanya rokok kretek yang mudah didapatkan di emper jalanan. “Rumah ini dulunya ditempati istri pertama saya,” kata Canang seraya membuat lingkaran dengan asap rokoknya, persis teman remaja Airah yang merokok di belakang sekolah. “Saya hadiahkan kepada Tabah bukan tanpa alasan. Saya percaya kalian akan cocok dengan rumah ini, karena tanggal menikah kalian sama dengan kami.”
Airah tidak banyak berbicara selama menemani Canang. Bukan karena tidak ada hal yang ingin dia tanyakan. Hanya saja, Airah merasa ada sesuatu yang memaksa lidah dan tubuhnya tidak bergerak. Sesuatu yang keluar dari tubuh Canang dan membawa Airah pada perasaan serupa mimpi pertama di rumah baru.
Hingga Canang memasuki mobilnya, kalimat Airah yang hendak menanyakan kepala ikat pinggang Canang tidak juga keluar. Kepala ikat pinggang bulat putih, persis tiap bulatan pada pintu di rumah mereka. Hanya bedanya, di tengah bulatan putih yang dikenakan Canang terdapat bulatan lain berwarna merah seukuran kelereng. “Jaga diri baik-baik,” kalimat itu diucapkan Canang tepat sebelum menutup jendela mobil dan berlalu. Airah tidak kuasa bertanya kepada Canang, begitu juga ketika melihat wajah suaminya yang mekar. Dia diam saja, seperti diamnya ketika terbangun dari mimpi-mimpi sejak malam pertama kepindahan mereka. Mimpi yang masih terus terjadi.
.
SUARA hujan masih terdengar meski tidak sekencang sebelumnya. Tubuh Airah juga mulai tenang, menyisakan gerakan kecil seperti riak permukaan air yang menuju diam. Tubuh Airah masih memunggungi Tabah. Malam itu dia mencoba bertahan. Matanya terpejam membiarkan lingkaran putih memenuhi pandangan. Membawa tubuhnya kembali berdiri menatap ruang tengah tanpa sofa.
Waktu seakan-akan kembali ke garis awal. Airah berdiri tepat di ujung tangga menuju lantai satu rumah mereka. Dia terkejut melihat tubuhnya berbalut kebaya biru tua dengan kain batik yang hanya sepaha. Airah tidak mampu berteriak, bergerak, atau melakukan yang dia inginkan hingga semua terjadi lagi. Empat wanita tiba-tiba datang dari arah berbeda.
Airah kehilangan kuasa atas tubuhnya, dia tidak mampu menahan diri melangkah menuruni tangga, membawanya ke arah empat wanita itu. Kali ini Airah melihat jelas mereka berjalan dengan wajah-wajah tertunduk. Rambut mereka bergoyang pelan mengikuti gerak tubuh. Airah tidak mampu memalingkan wajah. Dia sangat ingin memanggil Tabah, yang mungkin masih memunggung di kamar. Sampai akhirnya Airah berada tepat di antara empat wanita itu dan tiba-tiba tidak mampu menahan diri untuk tidak ikut tertawa. Airah tertawa seirama keempat wanita itu. Tertawa dengan suara yang menggema ke seluruh ruangan hingga mereka diam dan saling menatap lurus.
Wajah keempat wanita itu bersih, putih. Kulit wajah yang terlihat selaras dengan tangan dan betis. Airah merasakan kesejukan menatap wajah-wajah dengan hidung mancung dan bibir tipis itu. Airah merasa lebih sejuk lagi ketika ia melihat lubang mata di wajah mereka. Keempat wajah itu memiliki lubang mata tanpa bola, hanya lubang hitam menganga. Airah merasakan kesejukan semakin dalam ketika tubuhnya ditarik ke dalam lubang mata itu. Membuatnya seperti sedang berjalan dalam lorong gelap yang panjang. Lorong yang di ujungnya terdapat lingkaran cahaya dan membawa Airah melihat gambar-gambar dari seluruh bagian rumah barunya. Hingga sampai ke kamar tidurnya dan suami.
Airah tersenyum melihat Tabah menggoyang tubuh Airah yang masih tergeletak di ranjang kamar. Tabah terlihat sangat panik. Sesekali meletakkan telinga kiri dan kanannya ke dada Airah. Dia tersenyum mendengar teriakan Tabah coba membangunkannya.
“Buka matamu, Airah!” Tabah berteriak sambil terus menggerakkan tubuh istrinya. Pagi baru saja tiba ketika Tabah melihat istrinya terlelap. Dia segera keluar dari kamar dan kembali membawa segelas susu dan roti bakar. Namun Airah tidak juga bangun. Tabah tiba-tiba melihat gerakan napas istrinya tidak menentu, kadang perlahan lalu sangat cepat. Dua kelopak mata Airah juga bergerak-gerak seperti tertahan sesuatu. “Buka matamu Airah!” Tabah berusaha membangunkan istrinya itu ketika menyadari keganjilan. Berkali-kali dia membuka kelopak itu dengan paksa, namun Airah bergeming. Napas Airah yang tersengal membuat Tabah semakin tidak menentu. Dia berlari ke luar kamar, kembali, lalu mengangkat tubuh istrinya. Membopong tubuh Airah ke luar rumah.
Airah tersenyum melihat Tabah bergegas membawa tubuhnya menuju mobil yang seketika melaju. Dia lega melihat sikap suaminya yang beberapa hari terakhir seakan-akan tidak menganggapnya ada. Airah senang melihat cara Tabah mengangkat tubuhnya. Dia tersenyum hingga dua tangannya terpegang wanita di kiri-kanannya. Tangan mereka hangat, mengalahkan semua hangat yang pernah Airah rasakan. Dan tiba-tiba saja tawa mereka berlima meledak panjang sebelum akhirnya Airah berbalik dan melangkah bergandengan bersama seorang wanita berkebaya biru, menuju pintu merah menyala. (*)
.
.
Mataram, April 2011
Budi Afandi, juru foto dan wartawan. Giat di Aliansi Jurnalis Independen Mataram, Lombok.
.
.
Bahloel Magroma
penulisnya seorang juru foto? pantas, detil pada objek. magis dan horrofying. tercium aroma allan poe, stephen king, gabriel marquez. seperti membaca terjemahan cerpen-cerpen eropa. saya menunggu cerpen-cerpen lainnya.
Cewek Manizzz
Bagus banget cerpennya…
hary
dongeng yg cukup bagus…
goop
saya berdebar pas baca ini,
seringkali harus menoleh ke belakang, jangan-jangan ada wanita berkebaya dengan kain sepaha :((
cerpen yang bagus
dawam
Welwhhhhh……weleh!Kok membingungkan ya jalan ceritanya?!Atau aku yang tak mampu mencernanya.Ah…sudahlah.