Cerpen Yusi Avianto Pareanom (Koran Tempo, 18 Desember 2011)
AMBILLAH pisau dan daging paha sapi atau kambing yang tergantung di dapur. Tusukkan pisau ke daging. Bagaimana bunyinya? Jika tak ada daging, keluarlah ke kebun, cari pohon pisang, tikamlah. Jika kau tak mendapati pohon itu, bahkan pisau pun tak punya, beginilah bunyinya, jleb! Empuk, enak di telinga, nyaris merdu.
Pikiran seperti itu semestinya tak mampir jika bagian belakang paha kirimu tertembus anak panah. Tapi, itulah yang terjadi padaku. Aku pernah tersabet pedang, golok, belati, bahkan kena cakar binatang buas, tapi panah belum sehingga bunyi itu yang justru pertama terlintas.
Baru setelah itu panas dan perih menjalar. Aku berusaha terus berlari tetapi kakiku benar-benar sakit dan kepalaku berdenyut cepat. Darah menetes-netes di sepanjang rerumputan yang kulalui. Aku menoleh ke belakang. Sepertinya ada belasan orang yang mengejar. Aku tak terlalu yakin berapa tepatnya, bulan sabit tak banyak menyiramkan cahaya.
Jrrr… jrrr… Dap! Dap! Dua batang anak panah lewat di samping kananku dan menusuk tanah beberapa depa di depanku.
“Anjing!” Aku mengumpat-umpat sekalipun tahu hal ini tak akan membuat langkah semakin cepat.
“Hoi, babi! Maling, berhenti!”
Ada yang ganjil. Di tanah asing yang terpisah berbulan-bulan perjalanan kapal ini para pengejar itu sepertinya berbicara dalam bahasa yang kumengerti. Bahasa negara asalku? Mungkin ini khayalan gara-gara rasa perih luka di kaki dan kecemasan. Aku sudah setahun lebih bepergian ke Barat dan menggunakan bahasa-bahasa baru yang kupelajari sepotong-sepotong dalam waktu singkat sehingga aku sering kehilangan jejak perihal bahasa apa yang sedang kupakai pada suatu masa.
Siapa mereka? Sesaat aku ingin berhenti tetapi segera kubatalkan karena teriakan mereka semakin ganas. Aku terus memaksakan diri walau nyeri di kaki semakin menjadi.
“Raden, lari!”
Aku berteriak kepada Raden Mandasia yang berada beberapa belas depa di depanku. Sebuah kesalahan. Raden Mandasia yang semula berlari kencang malah menoleh, berhenti, dan membalikkan badan. Sebatang panah terbang menghantam tempurung lutut kanannya. Hanya pemanah yang benar-benar jago atau sangat beruntung yang bisa mengincar lutut sebagai sasaran pada malam dengan cahaya seadanya ini. Raden Mandasia jatuh mengerang.
“Sungu Lembu!” Raden Mandasia menyeruku.
Ketika Raden Mandasia berteriak, aku sudah terjerembap di rumput. Tiga orang pengejar segera mengepungku. Dua orang mengarahkan mata tombak ke dadaku.
.
AKU bermimpi tentang tapir bunting di bawah pohon jambe. Tapir itu tidak melakukan apa pun selain berdiri anteng dan sesekali mendengus. Tapir bukan binatang buas, tetapi jika ia berdiri hanya satu lengan di atasmu sementara dirimu tergeletak tak berdaya di tanah, percayalah bahwa setiap gerakan moncongnya yang basah, sehemat apa pun, bakal membuatmu geli-geli ngeri. Dalam mimpi aku berusaha menggerakkan tubuh mengusir tapir itu, tetapi otot dan syarafku terkunci.
Aku mendusin dengan tubuh berkeringat, perasaan ingin menangis, dan kepala diganduli tapir jahanam tadi. Badanku terasa seperti habis diinjak-injak badak, remuk semua. Yang paling menyiksa adalah rusuk yang patah. Tapi, aku yakin belum mati, tak ada orang mati yang berbalur param dan luka-lukanya terbalut rapi. Tak ada pula orang mati yang terbangun dengan perut lapar.
Namun, sepertinya ada yang salah. Tak ada suara. Terlalu sunyi. Jangan-jangan aku memang sudah mampus dan terbangun di alam lain dalam keadaan terakhir sebelum ajal? Tenggorokan dan bibirku kering. Kalau ini kematian, rasanya sungguh tidak enak.
Aku menengok ke kiri dan kanan. Di dalam tenda aku rupanya, dan aku terbaring atas selembar tikar. Mataku mencoba mencerna cahaya matahari, dari kehangatannya, mestinya ini pagi atau sore hari. Aku tak bisa memastikannya. Di sudut kanan tenda, ada bara setanggi yang mengepulkan asap tipis harum. Aku memperhatikannya lebih lama. Seekor jangkrik merah tanah berjalan mendekati, mungkin ia tertarik dengan wangi dupa, tapi panas membuatnya segera melompat menyingkir. Aku memutar mata lagi. Kepalaku masih berat tetapi pandangan mulai membaik. Aku belum mati, aku yakin itu sekarang. Aku bangkit dan berusaha duduk. Anjing, begini saja sudah setengah mati.
Di samping kiriku ada buli-buli. Aku mengangkatnya dan berusaha meneguk isinya langsung. Jahanam, tempat air sekecil ini pun terlalu berat saat ini. Tanganku tak terluka parah, tetapi sungguh tak bertenaga. Aku lantas menunggingkan buli-buli itu dan menuangkan isinya ke cawan di dekatnya. Aku menyesap pelan-pelan. Tapir buntung, gerangan siapa yang terlalu pelit mencampur tuak yang enak dengan air tawar? Betul-betul tidak bermutu.
.
SUDAH berapa lama aku berada di sini? Mestinya lebih dari sehari dan kurang dari satu pekan. Perutku lapar tetapi masih tertahankan, dan bulu-bulu di wajahku mulai terasa kasar, dua itu saja ukurannya. Semestinya aku tak harus remuk begini jika Raden Mandasia tak cari perkara.
Pada siang sebelum malam sial itu, Raden Mandasia mengatakan sesuatu yang tak kuduga. Saat itu kami sedang berada di kawasan timur padang rumput luar tembok besar Kotaraja Kerajaan Gerbang Emas.
“Sungu Lembu, aku kangen,” kata Raden Mandasia.
“Kepada siapa? Nyai Manggis, Putri Joodha, atau penyanyi pincang yang susunya besar itu?”
“Yang gemuk maksudmu? Bukannya dia seleramu?” kata Raden Mandasia.
Kami berdua tertawa. Betul, aku pernah tidur dengan penyanyi itu, sekali, sebuah pengalaman yang tidak sangat istimewa tetapi sama sekali tak bisa disebut buruk. Kalau diberi kesempatan lagi aku juga tak akan menolak karena perempuan itu terlepas cacatnya, atau mungkin justru karena itu, adalah pecinta yang bersemangat. Aku masih ter ingat kepada si penyanyi ketika sejurus kemudian roman Raden Mandasia kembali bersungguh-sungguh.
“Sudah lama aku, maksudku kita, tidak melakukan yang satu itu,” ujar Raden Mandasia.
“Raden jangan main-main, ingat kita sekarang berada di mana,” kataku.
“Aku tahu, tapi lihatlah itu,” kata Raden Mandasia.
Tangannya menunjuk ke arah utara. Pada jarak tujuh ratus tombak, ratusan sapi gemuk merumput. Penjaganya sepertinya kurang dari sepuluh orang yang tersebar di sana-sini.
“Jangan Raden, jangan, Raden punya tugas yang lebih penting,” kataku.
“Hampir satu tahun, Sungu, ayolah.”
“Belum ada satu tahun? Paling juga baru enam bulan, masa sudah kumat?”
“Enam bulan atau satu tahun, apalah bedanya? Itu sudah lama sekali bagiku.Terserahlah kau menyebutku kumat. Soalnya sekarang adalah kau ikut atau tidak. Jangan-jangan kau takut?” kata Raden Mandasia.
“Sejak kapan aku, Sungu Lembu, putra Banjaran Waru, menjadi seorang penakut? Raden sudah tahu sendiri, jangankan mencuri daging sapi, menantang maut pun aku sanggup,” kataku lekas.
Aku menyesalinya lebih lekas lagi karena mudah terpancing dan harus melontarkan pula kata-kata yang sangat menggelikan itu. Maut tak perlu ditantang, bila waktunya datang, ia pasti menang.
“Ha ha ha, mari berangkat kalau begitu.”
Anjing, anjing, anjing, aku mengumpat-umpat mengikuti Raden Mandasia yang masih tertawa-tawa. Kami berjalan mendekati kawanan sapi. Pada jarak dua ratus tombak kami berhenti. Kami lalu merangkak mendekat, mengintai, memastikan bahwa penjaga kawanan ratusan sapi ini benar-benar kurang dari sepuluh orang—ada delapan saja—artinya banyak titik bisa dimasuki. Aku mulai tersenyum lega, setidaknya pekerjaan nanti malam bakal enteng. Bahkan, terbit sedikit liurku melihat sapi-sapi di depan mata yang betul-betul gemuk menggiurkan.
.
RADEN Mandasia, pangeran kedua belas Kerajaan Gilingwesi, saudara kembar Raden Langkir, adalah seorang pencuri dalam pengertian ia mengambil milik orang lain tanpa permisi. Tapi, ia bukan sembarang pencuri jika memang ada pengertian yang demikian. Ia tak pernah mengambil selain daging sapi, biasanya bagian lulur, dengan cara yang tak lazim pula.
Ia akan mencari seekor sapi yang diinginkannya, memilih waktu yang tepat, memotong sapi dengan pisau lengkung besar dari baja yang nyaris menyerupai golok tepat di kandang atau tempat penggembalaannya. Memotong, ya, memotong-motong, bukan menyembelih karena darah sapi korban nyaris tak menetes sedikit pun, dengan kecepatan pendekar pedang yang sulit diikuti mata sehingga bahkan sapi korban pun mungkin tak sadar nyawanya sudah melayang. Lantas ia akan melepaskan daging dari kulit dengan pisau kembar tipis yang sangat tajam dan meloloskan daging dari tulang-tulang dengan lancar pendek atau pisau berbentuk bulu ayam dari Pulau Garam. Kulit sapi kemudian dipakainya sebagai alas potongan-potongan daging.
Dari kiri ke kanan, atas ke bawah, Raden Mandasia berturut-turut akan meletakkan potongan lamusir rusuk keempat sampai kedua belas yang lunak berkat butiran lemaknya dan yang sangat enak jika dibakar atau dibuat sup, daging tanjung dari tulang punggung belakang yang nikmat jika dipanggang atau digoreng bumbu taosi, daging paha depan dengan potongan segi empat setebal dua sampai tiga ruas yang enak diolah setelah dicincang, beberapa potong daging iga—jumlahnya tak pasti karena kadang ia kepingin mencicipi sepotong dua—yang selain gurih dan empuk jika dibakar juga sedap jika dibuat sup atau semur, daging penutup atau paha belakang sapi dekat pantat yang sangat kurang lemak sehingga terlalu liat jika dibakar atau dipanggang tetapi cukup sedap jika dijadikan campuran makanan olahan lain atau ditumpuk menjadi daging lapis bakar setelah dicincang terlebih dahulu, daging punuk dengan seratserat kasarnya yang cocok dikukus atau dimasak asap, daging leher atau sampil yang bisa dibakar atau direbus dengan santan dan gula, daging sampil kecil dari bahu atas dan bawah yang dipotong segi empat dan cocok diolah menjadi kari atau oseng-oseng, daging kijen berbentuk kerucut yang lumayan empuk dengan lapisan kulit tipisnya yang gurih jika dibakar atau dibuat oseng-oseng, sandung lamur atau daging agak berlemak dari dada bawah sekitar ketiak yang paling mengundang selera jika dimasak dengan cabai hijau atau diolah menjadi masakan asam pedas manis lainnya, daging gandik atau bagian paha belakang terluar yang selain sedap digulai juga cocok dibuat abon atau dendeng, daging kelapa atau daging yang berasal dari paha belakang bagian atas yang bisa dipanggang, daging sancan atau daging otot perut yang panjang datar liat yang setelah dipukul-pukul bisa dibakar atau diiris tipis-tipis untuk tumisan dengan campuran berbagai sayur, daging sengkel dari bagian depan atas kaki sapi yang bisa dimasak sup atau soto atau bola-bola daging, daging buntut yang sudah pasti mantap bila disup, potongan kaki yang tak terlalu buruk jika dijadikan sup bersantan, dan terakhir—atau di bagian kanan bawah—jeroan yang terdiri atas jantung, paru, limpa, ginjal, babat, dan usus yang pas untuk gorengan, baceman, gulai, atau soto.
Kalau sedang ingin, suatu hal yang teramat jarang, Raden Mandasia akan memotong cingur, membelah kepala dan mengeluarkan otak dan lidah, serta meloloskan tetelan dan kikil.
Raden Mandasia akan selalu membawa bagian lulur atau daging yang tepat berada di kiri kanan punggung tengah, yang terdiri atas has dalam, has luar, dan daging yang menempel pada tulang yang berbentuk beliung kecil. Semua daging ini sangat lunak karena otot-otot di sekitarnya jarang digerakkan sapi. Daging-daging yang cukup ditaburi sedikit garam, bubuk merica putih atau hitam—terserah selera, tanpa perlu bawang putih atau bumbu lain. Daging-daging yang cukup dibakar dua sisi sebentar saja sampai setengah matang sehingga keempukannya terjaga sehingga lumat saat digigit. Daging-daging yang bakal membuat penikmatnya merasai kedamaian yang sampai tahap tertentu adikodrati antara ia dan Penciptanya, atau setidaknya merasa sangat bersyukur bahwa dirinya bukanlah orang-orang salah arah yang pantang makan daging.
Setelah memotong dan menata rapi daging sapi korban, Raden Mandasia kadang menyisihkan kepingan-kepingan perak senilai seekor sapi, bahkan pernah uang emas yang setidaknya senilai tiga kali sapi yang dipotong, atau beratus kali nilai daging yang dibawa.
Aku jelas kaget ketika mendapati perbuatan ini dalam pencurian pertama yang melibatkanku.
“Raden, kita ini mau apa sebetulnya?” tanyaku.
Raden Mandasia hanya tersenyum. Ketika aku bertanya lagi mengapa kami harus bersusah payah sementara ia sebagai pangeran bisa dengan mudah mendapatkan daging apa pun yang ia maui di istana, Raden Mandasia balik bertanya apakah pekerjaan mereka mencuri barusan terasa susah bagiku, pertanyaan yang cepat-cepat kujawab, “Sama sekali tidak,”—mana sudi aku terlihat lemah apalagi pengecut, jawaban yang membuatnya kembali tersenyum dan berkata, “Nah! Dan kita tidak sedang di istana.”
“Tapi kenapa kita tak berburu atau membeli saja bila akhirnya Raden meninggalkan uang?”
Jawaban pertanyaan tersebut adalah perintahnya kepadaku untuk menyiapkan api agar kami bisa segera membakar daging. Kadal kopet! Babi pincang! Tapi, aku patuh juga. Aku bukan abdi apalagi budak pangeran Gilingwesi itu, tetapi sejak pertemuan pertama kami beberapa bulan sebelumnya di rumah dadu Nyai Manggis, aku tak kunjung berhasil mengubah bentuk percakapan kami yang sedikit banyak mirip majikan dan gedibal. Pangeran yang satu ini memang sungguh menjengkelkan. Tapi, aku mesti menabahkan dan menyabarkan diri. Aku menyimpan rencana lain, banyak rencana lain.
Maka, sejak pencurian pertama bersama tersebut, menyalakan api adalah tugasku. Tugas Raden Mandasia? Tidur-tidur ayam menunggu bara jadi. Pada kali pertama itu pulalah Raden Mandasia, masih dengan mata terpejam, entah nglindur atau sengaja, berujar panjang seolah menanggapi pertanyaanku, “Tak ada yang lebih sedap ketimbang daging lulur sapi, sayangnya bagian ini sangat sedikit sehingga biasanya tukang jagal menyimpannya untuk keluarga mereka atau pembeli pertama yang punya kedekatan dengannya, mungkin paman yang ditakutinya, kekasih gelapnya, ipar gundiknya, atau bisa juga tukang gali sumur dan tukang pijatnya, yang pasti bukan sembarang orang. Berburu? Berburu hewan ternak? Ahai, putra Banjaran Waru pintar melucu juga.”
“Jadi mencuri saja? Begitu, Raden?”
Raden Mandasia tak menjawab, mungkin tertidur lagi atau pura-pura tertidur. Jangkrik. Ketika bara sudah jadi Raden Mandasia bangun atau pura-pura membangunkan diri. Ia tersenyum ramah tanpa merasa bersalah dan mulai menaruh satu-satu potongan daging. Aku sebetulnya ingin menunjukkan rasa jengkelku tetapi tanpa kumaui kegusaranku terusir demi tercium aroma harum.
“Raden, mengapa belum matang sudah diangkat?” tanyaku ketika Raden Mandasia mengambil daging yang baru dibakar sepeminuman pipa.
“Hanya orang bodoh yang mengolah daging seenak ini sampai kering,” kata Raden Mandasia.
Anjing, mengapa aku selalu kalah omongan? Tapi, jagad dewa batara, pangeran pencuri ini benar, sangat benar, demikian pikirku ketika gigi dan lidahku beradu dengan daging setengah matang yang hangat. Bukan hanya empuk, daging itu juga menyemburkan kuah di dalam mulut.
“Raden, daging ini rasanya… luhur,” kataku. Aku sempat terhenti sepengunyahan sebelum akhirnya menemukan kata yang mewakili rasa yang kucecap.
“Ha ha ha, kupikir kau bakal berkata rasanya mewah, tapi luhur lebih bagus, aku suka itu,” kata Raden Mandasia.
Malam itu, dan malam-malam pencurian daging sapi sesudahnya, tawa dan tuak adalah hidangan penutup. Tapi, tidak pada malam jahanam itu.
.
MALAM sudah bergeser ke dini hari ketika Raden Mandasia mulai memotong sapi gemuk berbulu coklat, jenis sapi negara empat musim yang tak bakal ditemui di Gilingwesi dan kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Rempah-rempah yang hanya kenal dua musim. Para penjaga atau penggembala sapi tertidur, atau, kalaupun belum, sedang terserang kantuk sehebat-hebatnya karena pada saat malam menggelincir ke pagi itulah kata orang roh menuntut jatah sejenak keluar dari tubuh yang mewadahinya dan anteng mengaso di alamnya sendiri. Itulah sebabnya kami berdua tak pernah kepergok karena pemilihan waktu yang tepat ini. Apalagi, kami selalu bekerja dengan cepat.
Pada malam sial itu, kami sebetulnya sudah berjalan ratusan tombak meninggalkan potongan daging sapi di belakang ketika Raden Mandasia menepuk pahanya.
“Ampun, aku lupa menaruh jeroan di atas kulit. Rasanya mereka masih di rumput bersama tulang-tulang yang lain,” kata Raden Mandasia.
“Terus?” aku bertanya.
“Kita balik, tata semestinya.”
“Raden, cukuplah main-main hari ini.’”
“Kita balik, begitu aturannya.”
“Siapa yang bikin aturan?”
“Aku sendiri.”
“Ampun, mengapa repot? Biarkan sajalah.”
“Kita balik. Kau ikut?”
Aku tak menjawab, hanya mengumpat dalam hati. Dongkol sekali. Tapi, seperti yang sudah-sudah, aku tak bisa membiarkan Raden Mandasia jalan sendiri. Ketika kami sampai di tempat mereka memotong daging, suasana masih seperti sebelumnya, sepi. Sapi-sapi maupun penjaganya damai tak bersuara. Raden Mandasia tersenyum ke arahku, ia seperti mau bilang kalau ketakutanku berlebihan. Raden Mandasia kemudian segera menata jeroan di pojok kanan bawah lembaran kulit sapi.
Sepertinya segala sesuatu akan berjalan lancar sampai seekor sapi di barisan depan melenguh tersebab entah tetapi cukup membangunkan seorang penjaga yang langsung melihat dua orang asing di kawanan ternak mereka. Walau masih mengantuk penjaga itu bisa berteriak kencang sehingga kawan-kawannya ikut terbangun. Sampai di situ masih aman karena aku yakin kecepatan lari kami bakal mengalahkan para penjaga.
Namun, keriuhan itu juga membangunkan kawanan sapi yang kemudian bergerak liar menutupi jalan kabur. Pilihan satu-satunya adalah berlari ke utara. Sampai beberapa ratus tombak, kami masih aman. Namun, yang tak kami sadari, jalur pelarian yang makin lama makin menurun jalannya ini tepat menuju lembah yang sangat luas yang tak akan selesai dilintasi dengan perjalanan kuda setengah hari. Dan, betapa di tanah datar, di bawah kaki kami, puluhan ribu kemah berdiri.
Terkejut, kami berhenti. Teriakan pengejar menyiagakan para prajurit yang berjaga. (*)
.
.
Yusi Avianto Pareanom, saat ini bekerja di Penerbit Banana. Karyanya yang terbaru adalah kumpulan cerita pendek Rumah Kopi Singa Tertawa (2011).
.
.
Dayeuh
wah… cerpen kuliner. menambah wawasan tentang perdagingsapian :9
dawam
Syukurlah….bahwa ada pengarang cerpen yang kemampuan berkisahnya tentang aneka macam daging demikian sempurna.He..he…he…he…minimba pengalaman dari tukang bakso ya?!
rambo
Cerita ttg raden mandasia nya gak lengkap ya? Yg sebelum2nya mana nih?
letnankimi
wah, bikin ngiler gan.
Gent0 Markes0
Si penulis belajar masak pada istrinya. Wkwkwkwkwk
nawa elsyifa
bener2..kya chef yg lgi d0ngeng
Do
Dalem banget