Wina Bojonegoro

Kado

0
(0)

Cerpen Wina Bojonegoro (Jawa Pos, 25 Desember 2011)
 
HUJAN!
Hari ini hujan, lebat benar. Aku merasa linglung. Hari yang aneh! Seharusnya kita dapat bernyanyi bersama, dalam irama hujan. Mengapa kini aku tak mampu menghayati irama hujan seperti biasanya? Mengapa aku merasa hujan itu seperti menghinaku? Menyindir kesenyapanku sejak ketiadaanmu?  Mengapa kau tergesa-gesa pergi? Dengan alasan yang tidak kau beri?
Tidak tahu harus berbuat apa, harus ke mana, bersama siapa. Dulu, jika hujan begini aku selalu menyambutnya dengan suka cita. Karena dalam irama hujan itu, kita bisa memainkan nada-nada meski tanpa bait, tanpa syair.
“Jadilah inspirasiku,” katamu, di tengah irama hujan. Gemercik yang sangat menenteramkan. Indah dan berirama.
Kau telah menanam setangkai bunga sepatu warna merah itu, pada musim hujan lalu. Kelihaianmu membuatnya begitu cepat tumbuh dan bercabang-cabang. Berbunga-bunga. Dan tiba-tiba kau renggut dia sampai akarnya, lupakah kau, bunga itu kau tanam di hatiku. Mencerabutnya berarti kau bawa serta hatiku. Lihat, sekarang aku tak memiliki hati lagi. Yang ada sepi. Berjalan aku menuju beranda, dimana kau pernah dan suka, diam-diam menatap cahaya bulan, mengintipnya dengan senyum.
“Lihat, bulan itu amat kesepian.” Katamu pada suatu malam. Dengan bodoh kukatakan, “Ya,” sedangkan aku tahu bulan itu tak pernah sendiri, ia tak pernah sepi, meskipun selalu di malam hari. Ia ditemani jutaan bintang yang ditaburkan begitu saja di atas langit. Nyaris tanpa pola. Tetapi lihatlah, bintang-bintang itu kembali, selalu kembali dalam posisi dan bentuk yang sama esok, dan esok lagi, dan esoknya lagi. Begitu setia pada posisinya.
Di mana kesetiaanmu?
Rinyai hujan itu begitu genit menari-nari di antara mozaik-mozaik halaman kita. Di sini pernah kau katakan, kau ingin membeli kaca mata. Supaya dapat kau pandangi wajahku dengan seksama. Pada tahi lalatku. Pada lesung pipiku. Pada pori-poriku. Tetapi kau tahu, kita belum saatnya. Diam-diam aku menyisihkan penghasilan kita yang tak seberapa. Diam diam pula aku mengurangi makan siangku.  Dan berpura-pura tidak berselera di setiap makan malam kita, hanya agar aku bisa membelikanmu kaca mata. Dan sekarang, kaca mata itu sudah ada dalam almari. Sudah siap kuhadiahkan di hari ulang tahunmu sekaligus kado natal tahun ini. Kubungkus dia dengan kertas kado merah jambu. Aku tahu kau pasti suka, tanggal  25 Desember tak lama lagi. Hari dimana kita biasa melewatkannya hanya berdua, di bawah bintang-bintang, juga rembulan yang kau katakan kesepian, atau jika hujan bertandang, kita pun akan bernyanyi riang, bersenandung dalam hujan.
Sudah 25 Desember sekarang!
Semestinya sore ini, meskipun kutahu bakal turun hujan, kita dapat bernyanyi riang, bersama irama hujan. Bersenandung tanpa bait, seperti sudah-sudah. Di teras itu dengan taman tak seberapa luas namun menyenangkan, kita akan memandang renyai hujan bersama dua cangkir teh cina yang kuseduh dengan cinta. Tak mengapa tak terlalu manis, kita toh akan mencecapnya dengan cinta. Rasa yang ditimbulkannya akan jauh lebih manis dari apa pun di dunia.
Senyap semata.
Hanya gemercik yang kian kental. Kutimang kado kecil berwarna merah jambu berisi kaca matamu. Kemarin, Soe, adikku satu-satunya, menghadapku dengan berkaca-kaca. Dia bilang, anaknya butuh biaya. Demam berdarah, katanya. Aku hanya bisa memandangnya, uang simpanan kita sudah berubah bentuk menjadi kaca mata. Soe kembali dengan putus asa. Hatiku pedih luar biasa. Tetapi cinta membutuhkan pengorbanan. Ingin aku berteriak pada Soe, ambillah kaca mata ini, jual pada tukang loak. Toh calon pemakainya sudah tidak membutuhkannya lagi. Tapi aku tak jadi bilang apa-apa. Diam-diam aku merasa berdosa pada adikku sendiri, pengorbanan dan kasih sepertinya tak kumiliki lagi, sebab aku memilihmu.
Aku hanya mematung memandang Soe berlari pulang dengan sepedanya. Hatiku pedih. Ketika cinta harus memilih, kita menjadi rapuh. Kado kecil merah jambu kembali kuletakkan dalam almari pakaian kita, sambil berharap kau sudi kembali dan memakainya, kapan-kapan bila kau sempat. Dan sekarang aku mencoba menikmati irama hujan kita, seperti sudah-sudah. Ini hari ulang tahunmu, hari natal yang seharusnya indah dan agung. Di dalam lemari pendingin sudah kusiapkan bahan-bahan untuk sekadar perayaan kecil bagi kita berdua. Hanya sekadar berjaga-jaga jika kau pulang, kita akan merayakan makan malam dalam cahaya lilin dan renyai hujan, dengan kaca mata barumu. Kau akan menatapku dengan seksama, biarpun dalam remang cahaya lilin belaka.
Sembari menimang mesin ketik tua, cetak cetok bunyinya. Kuputar ulang kembali rekaman peristiwa, dimana kita bermula.
“Jangan pernah menyesali pilihanmu,” kata ibuku.
“Ah, hidup untuk dinikmati sepenuhnya,” jawabku  datar
“Dia laki-laki terlalu sederhana. Tak punya apa-apa.” Ibu meninggikan suaranya… lehernya tegak….
“Segala hal datang dari tiada. Lalu menjadi ada. Dan kembali menjadi tiada. Begitulah siklus kehidupan. Jadi mengapa mesti risau, Bu?” Ibu mengerutkan dahi, aku menatapnya tenang, laksana seorang penjelajah memandang gunung  yang mudah di daki dalam taksirnya.
“Siapkan dirimu kalau begitu,” kata Ibu seolah tak yakin.
Itu adalah hari menjelang pertunangan kita, meski tanpa cincin. Katamu kau akan membelinya jika tiba saatnya. Ibu memandang aneh pada kita, menggeleng-geleng. Bagaimana mungkin sebuah pertunangan tanpa cincin? Kau menggantinya dengan lingery tanpa merk warna merah bata, katamu lagi, aku nampak keren dalam warna itu. Dengan bodohnya, aku tersenyum bangga, mengenakan lingery itu hampir setiap malam, sampai terkadang aku lupa mencucinya.
Cetak-cetok bunyi mesin ketik portable tua, menggelikan dibandingkan notebook milik Kay yang selalu ditenteng ke mana-mana. Tidak mengapa menjadi sedikit menggelikan di kala kita melakoninya dengan percaya diri. Orang sering menilai kita baik atau buruk terkadang hanya persoalan bagaimana kita menampilkan diri. Juga lingery merah bata itu, tak bermerk sih, memang kenapa jika aku memakainya dengan bangga dan percaya diri, aku mengenakannya dengan segenap rasa cinta, dan diserahkan oleh seseorang yang hatinya penuh cinta.
Kay pasti sudah mulas perutnya mentertawaiku seperti ini. Di mana aku duduk dalam senyap, di tingkah suara renyai hujan. Bergaya percaya diri dengan mesin ketik kuno, cetak-cetok bunyinya. Semoga tidak terjadi salah penulisan kata. Berhati-hatilah dalam menggunakan kata atau kalimat dalam sebuah karya tulis, pesanmu pada suatu waktu. Perbedaan kata atau kalimat memiliki arti signifikan bagi tiap subyek maupun obyek. Baiklah. Sambil merenungi, di mana letak kesalahan ini hingga tiba-tiba kau pergi.
“Kau tidak mengundangku ke pesta ulang tahun dia, sekaligus merayakan natal kita?” Tanya Kay lewat telepon. Ah, mendadak aku jadi sunyi. Tidak ingin berkata-kata. Jawabku hanya:
“Kami tidak mengadakan pesta.”
Sudah!
Kay tak bertanya-tanya lagi. Dan hari menjadi gelap. Aku segera menyalakan lilin, walau tanpa kehadiranmu. Mendadak segalanya begitu senyap. Biarlah!  Biar kukenang saat kita berpelukan, tanpa kata-kata. Dan kita saling tahu bahasa dalam hati kita meski tak diucapkan.
Seperti halnya mata hati, mata cinta pun memiliki caranya sendiri untuk merasakan kehadiran kekasihnya. Aku percaya kau ada pada suatu waktu. Kau di situ. Berdiri dalam gelap. Memandang dalam diam. Aku yakin kau kembali. Percayalah, ya aku percaya. Dalam cinta ada kepercayaan. Kata Jake kepada Rose dalam Titanic. Aku sungguh mati percaya pada itu. Mustahil kita hidup tanpa memiliki kepercayaan. Bayangkan, kau akan curiga pada siapa pun orang di sekelilingmu. Kau tak dapat memandang manusia lain melalui kebaikannya. Aku belajar itu darimu.
Tapi mengapa? Kau pergi juga, begitu tiba-tiba.
Hari sudah berganti. 25 Desember  sudah menjadi hari ini. Aku mulai meluapakan segala hal tentangmu, tepatnya berusaha melupakan. Namun kaca mata dalam bungkus kado merah jambu tetap kusimpan dalam almari pakaian kita, aku percaya, jauh dalam hatiku, kau pasti pulang.
Akhirnya waktu demi waktu membimbingku menjadi semacam rasa biasa saja. Kesepian tak lagi begitu bermakna. Hujan sudah reda, hanya menyisakan rinyai tak seberapa. Langit masih suka muram, aku sudah terbiasa. Udara lembab, tak mengapa. Cetak-cetok mesin ketik kuno yang menggelikan itu masih menyertaiku, aku mulai menikmatinya. Sesekali mengenangmu dengan segenap rasa rindu.
Tok! Tok! Tok!
Menyerupai suara cetak-cetok mesin ketik kuno menggelikan ini, atau suara hujan, lagi? Bulir-bulirnya kadang begitu besarnya….
Tok! Tok! Tok!
Bukan. Itu bukan suara bulir hujan. Juga bukan suara cetak-cetok mesin ketik kuno menggelikan ini. Itu suara seseorang mengetok pintu rumah  sederhanaku. Ahhh…sudah lama tak ada suara seperti itu. Pasti menyenangkan bisa berbincang dengan seseorang, setidaknya seseorang , meskipun dia seseorang yang menawarkan dagangan, atau permintaan sumbangan.
Tok! Tok! Tok!
Yeah…!! Aku datang membuka pintu, seseorang berdiri di situ dengan jaket baseball abu-abu dan topi warna hitam, menutupi wajahnya hingga mata. Seuntai senyum merekah. Aku terpana. Hampir lupa caranya tersenyum. Dia merenggut topi hitamnya dan… aku terpana, lebih dalam.
“Boleh aku masuk?” pintamu….
“Kau selalu diterima…,” jawabku. Harus bagaimana aku? Aku takut berhalusinasi. Kami berdiri dalam bimbang… jaket baseball itu terbuka.
“Kau pasti membenciku,” aku harus berkata apa?
“Aku pergi untuk ini…,” dia merogoh sesuatu dari dalam kantung celananya, menggenggam erat dengan tangan kanan.
“Ibumu mentertawaiku tentang pertunangan kita. Aku tersudut sebagai lelaki. Kay memandangku sebelah mata gara-gara itu. Meskipun kau berkata tak selalu pertunangan ditandai dengan cincin. Aku ingin kita memakainya, seperti orang lain, agar aku sebagai lelaki punya harga diri.”
Dia membuka genggaman tangannya. Sebentuk kotak kecil. Ia memandangku tepat pada kedua mataku, dimana aku tak bisa sembunyi dari apa pun. Di depannya aku selalu telanjang, tanpa masker apa pun, atau topeng apa pun. Kotak kecil itu berisi cincin emas putih, berkilau….
“Bolehkah aku?”
Dan karena aku diam, ia meraih jari manis kananku, entah mana yang benar, di mana posisi yang tepat untuk melambangkan keterikatan, di kanan? Di kiri? Yang jelas jari manis bukan?
Dan kaca mata itu. Kita hanya tinggal menunggu hujan untuk menari bersama. Hanya saja, aku lupa bilang padamu, kekasihku, ibuku sudah abadi, di sana, di dunia yang lain. (*)
 .
.

Baca juga  Golok Berdarah di Tanganku

Rewwin, 2010

.

.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. henry Rusdijanto

    Surprise …

Leave a Reply

error: Content is protected !!